Share

4

Penulis: BARIZTI
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-02 21:05:19

Di hadapan cermin itu, Ray tengah mengaitkan kancing kemejanya dengan gerak yang mekanis. Hingga tiba-tiba, ponselnya berdering, menyela keheningan paginya. Tertera nama "Alin" di layar tersebut, membuat Ray dengan malas menjawabnya.

Dengan napas berat, Ray terpaksa mengangkat panggilan itu. "Ya, Sayang?"

"Kenapa semalaman kau sulit dihubungi?" Suara Alin terdengar cemas dan kecewa.

Ray menghimpit ponselnya menggunakan bahu dan telinga, sembari ia melingkarkan jam tangan mewah di pergelangan tangannya. "Bukankah Vian sudah memberitahumu jika aku keluar kota? Aku rapat dan ponselku tertinggal di mobil malam itu. Jadi, aku tak tahu kau menghubungiku." jawab Ray dengan suaranya yang datar.

Alin menghela napas kasar dan merasa frustrasi. "Kau tak pernah seceroboh ini, Ray. Apa yang sebenarnya terjadi?"

Ray menahan kesabaran, dengan tatapannya yang begitu tajam ke arah cermin. "Sudahlah, apa maumu sekarang? Aku sedang terburu-buru."

"Kau melupakan hal penting bahwa seharusnya semalam kita pergi mencari cincin pernikahan." ujar Alin dengan suaranya yang meninggi.

Ray menghela napas kasar, "Aku lupa." sahut Ray singkat.

Alin yang mendengar ucapan Ray tersebut langsung tercengang. "Lupa? Bagaimana bisa kau lupa? Pernikahan kita tinggal sebentar lagi, Ray." Alin berteriak sebab tak bisa menyembunyikan kekesalannya.

"Baiklah, aku minta maaf, Sayang. Nanti kita cari, oke?" Ray mencoba menenangkan, meski ia merasa semakin lelah dan tak tertarik.

"Aku harap kau tak lupa untuk kali ini, Ray." ucap Alin sebelum panggilan telepon itu berakhir.

Ray berdiri tegak di depan cermin, pandangannya tertuju pada refleksi dirinya yang mengenakan jas hitam rapi. Raut wajahnya terlihat bingung dan sedikit gelisah, mengingat kejadian semalam yang begitu mengguncang hatinya. Tangan Ray yang tegang mulai meluruskan dasinya, sementara pikirannya melayang pada pengakuan tulus yang terlontar dari bibirnya semalam.

"Akhh... sakit, Kak!"

Ray menghentikan gerakannya, seraya menyeka air mata gadis yang berada dalam kungkungannya ini. Ia menatapnya intens, mendengarkan tangis sesenggukan itu. "Ada hal yang ingin kukatakan padamu, Laura."

Laura masih diam, menatap rahang tegang pria itu dengan sendu.

Sementara itu, Ray tersenyum seraya mengusap rambut Laura. "Sebenarnya, wanita yang kucintai selama ini adalah kau, Laura, bukan Alin." ungkapnya dengan yakin.

Laura terpaku, matanya kembali berkaca-kaca dan ekspresinya menunjukkan keterkejutan luar biasa atas kejujuran Ray. Ray sendiri makin mendekat, kemudian mencium kembali bibir gadis yang masih terkatup itu. Ia memeluknya erat, dengan Laura yang juga mencengkeram kuat bahu Ray, seraya menahan sakit akan gerakan pria itu.

Ingatan tersebut bukannya membuat Ray menyesal, tetapi justru membuatnya tersenyum puas. Hingga kala ia akan meninggalkan kamar, sudut matanya menangkap kilauan kecil di dekat bantal tempat tidurnya. Langkahnya mendekat dan ia menemukan sebuah benda berkilau.

"Anting?"

*

Sementara di sisi lain, Laura yang baru saja keluar dari kamarnya dan baru saja akan menuju ruang makan, spontan terpaku dengan kakinya yang gemetar saat melihat sosok pria lain di sana.

Alin yang mendapati keberadaannya pun langsung tersenyum. "Kemarilah Laura dan ayo sarapan bersama! Lihatlah, Ray juga bawa kue untuk kita semua."

Sosok pria yang merupakan Ray itu menatap Laura datar, hingga membuat gadis itu tersenyum kikuk.

"Kenapa Kak Ray di sini?" tanya Laura dengan suara yang hampir tak terdengar.

Alin menatap Laura seraya berdecak kesal. "Tentu saja Ray ingin menjenguk Papa yang masih sakit, Laura." jawab Alin sembari tersenyum kecut.

"Oh, begitu rupanya." Laura hanya mengangguk pelan, dengan kemudian ia duduk di sebelah Nera, mencoba menyembunyikan kegugupannya.

"Apa Papa udah makan, Ma?" tanya Laura.

Nera menangguk sembari tersenyum. "Udah tadi dan udah minum obat juga. Sekarang, papamu lagi berjemur di balkon kamarnya. Jadi, kita makan berempat aja, oke?"

"Iya Ma." balas Laura dengan sekilas menatap Ray yang terus menatap ke arahnya.

"Ayo, Sayang, cobalah!" ucap Alin seraya menyuapi Ray.

Ray tersenyum kecil kemudian membuka mulutnya, menerima suapan dari Alin. Sementara itu, Laura hanya menatap mereka dengan ekspresi yang sulit diartikan. Berbeda dengan Nera yang ikut senang melihat kemesraan pasangan di depannya.

"Gimana, enak?" tanya Alin yang diangguki oleh Ray.

Rasa kurang nyaman begitu terlihat dari ekspresi Ray terhadap Alin. Berbeda dengan saat ia bersama Laura semalam. Hingga saat itu pun, Ray masih mencuri pandang pada Laura, membuat Laura yang justru kurang nyaman akan situasi tersebut.

Sampai kemudian, tatapan Alin teralihkan pada Laura yang tengah sibuk menyantap hidangannya. "Laura, kenapa kau cuma pakai satu anting? Mana yang satunya?" tanyanya dengan raut penasaran, namun juga dengan tawa yang tertahan.

Laura terkejut dan langsung menyentuh telinganya. Ia baru sadar jika yang diucapkan Alin adalah benar. "Aku... aku tak tahu, Kak. Sepertinya, lepas saat aku tidur dan aku tak menyadarinya. Aku akan mencarinya nanti." jawabnya dengan suaranya yang sedikit bergetar.

Alin mengangguk paham, sementara Ray hanya diam, dengan matanya yang masih memandang tajam ke arah Laura. Makan bersama pagi itu berlangsung dalam ketegangan yang hanya dirasakan oleh Laura dan Ray, tetapi tidak untuk yang lain.

Di sela waktu makan, Alin kembali memperhatikan wajah adiknya. "Laura, aku perhatikan kau terlihat pucat. Kau sakit?"

Walau terkadang sifat Alin terbilang ketus dan galak, namun masih ada rasa kepeduliannya untuk Laura. Karena bagaimana pun, ia tetap menyayangi Laura meski mereka bukan saudara kandung.

Laura tersenyum kikuk, dengan tatapan matanya yang menghindar, "Aku tak apa, Kak. Mungkin ini hanya karena kurang tidur." sahutnya berusaha meyakinkan.

Nera tiba-tiba memegang bahu Laura, membuat Laura merasa aneh. "Kau istirahat saja jika kurang sehat! Kurasa, Marcel bisa mengurus untuk kali ini." ujarnya dengan nada lembut yang begitu dibuat-buat.

Laura hanya tersenyum kecil, merasa terbiasa dengan cara ibu tirinya dalam mencari perhatian agar terlihat baik di depan Ray. "Aku tak apa, Ma. Aku masih kuat ke kantor."

Di sisi lain, ponsel Alin tiba-tiba berdenting, tanda notifikasi telah masuk. Setelah ia membaca pesan yang tertera di layar itu, Alin langsung berdiri dengan terburu-buru.

"Aku harus segera pergi untuk pemotretan. Kau tak apa kutinggal?" ucapnya sembari menoleh pada Ray.

Ray mengangguk sembari tersenyum, "Tak apa kalau kau memang terburu-buru. Pergilah! Atau kau mau kuantar?"

Alin spontan menggeleng, "Tak usah, aku bisa berangkat sendiri. Lagi pula, kau juga masih ada perlu sama Papa, 'kan?"

"Iya, ada beberapa hal tentang bisnis yang ingin kuperbincangkan dengannya." jawab Ray yang diangguki oleh Alin.

"Baiklah, aku pergi dulu kalau begitu. Bye, Sayang," ucap Alin dengan kemudian langsung mengecup pipi Ray.

Ray tersenyum kecil kemudian membalas dengan tatapan lembut. "Bye juga, Sayang. Hati-hati!"

Alin mengangguk kemudian tak lupa berpamitan dengan Nera dan Laura.

"Aku tak bisa mengantarmu, Laura." ujar Alin yang dibalas senyuman oleh Laura.

"Tak apa, Kak. Aku bisa pergi naik taxi nanti." balas Laura yang membuat Ray menatap Nera.

Meski di rumah itu memiliki tiga mobil, namun Laura sendirilah yang tak memiliki hak untuk itu selama ini. Semenjak ayahnya menikah dengan Nera, Laura benar-benar terbatas untuk bisa menggunakan fasilitas di rumah itu. Semua dikuasai oleh Nera dan Alin, dengan alasan Laura masih kuliah dan belum pantas menggunakan mobil sebab belum bekerja.

Ucapan Laura itu jelas membuat Nera tersenyum kikuk, takut Ray menilai sifatnya buruk. "Kenapa naik taxi? Kau bisa pakai mobil mama atau pun papa. Pakailah sesukamu, Laura."

Laura hanya tersenyum tipis, dengan Ray yang sebenarnya sudah cukup tahu akan hal yang dialami Laura.

"Iya Ma, aku akan menggunakannya nanti." ujar Laura yang membuat Nera tersenyum.

"Baiklah, aku pergi dulu, Laura." pamit Alin yang diangguki oleh Laura.

Setelah Alin meninggalkan hunian itu, Laura masih duduk bersama Nera dan Ray, sembari menghabiskan makanannya. Sesekali, ia tak sengaja beradu pandang dengan Ray yang juga balas menatapnya datar. Hingga kemudian, Laura memilih menyudahi sarapannya lebih dulu dan pamit ke kamarnya.

Dalam kamar itu dan sampai beberapa menit berlalu, Laura terus mencari ke setiap sudut untuk menemukan satu antingnya yang hilang. Ia membolak-balikan bantal yang ada dan meraba-raba sprei miliknya, bahkan menyusuri tiap inci kamarnya. Namun sayangnya, ia tak menemukan keberadaan antingnya. Padahal, anting itu adalah pemberian terakhir mendiang ibu kandungnya.

"Dimana jatuhnya anting itu? Menyebalkan sekali." gumamnya dengan kembali membolak-balik bantal di atas ranjangnya.

Hingga tiba-tiba, suara denting notifikasi mengejutkannya.

"Apa kau mencari sesuatu? Anting itu ada padaku dan datanglah lagi untuk mengambilnya."

Sontak mata Laura membelalak saat tahu siapa pengirim pesan itu dan yang dimana ia juga mengirimkan foto anting tersebut.

Bab terkait

  • Pelabuhan Kedua   5

    Dengan menggenggam erat ponselnya, ekspresi Laura menjadi resah."Jadi anting itu jatuh dikamar Kak Ray? Aku tak mungkin ke sana lagi. Tapi jika Kak Alin ke sana dan menemukan anting itu, dia pasti akan curiga. Bagaimana ini?" ujarnya dalam hati.Laura terdiam sejenak, kemudian ia terkejut kala mendengar suara ketukan di pintu. Dengan segera, ia membuka pintu dan terkejut bukan kepalang mendapati Ray berdiri dengan santainya di ambang pintu."Kak Ray? Kau untuk apa di sini?" suara Laura bergetar, dengan matanya mencari-cari tanda-tanda ada orang lain atau tidaknya di sekitar.Ray hanya menatap datar padanya, seolah-olah kehadirannya adalah hal yang biasa. Dengan segera, ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya dan menyerahkannya pada Laura. "Minum ini! Itu akan mengurangi rasa sakitmu dan mencegahmu hamil." ucap Ray dengan nada serius dan juga dengan tatapan dingin.Laura menatap kesal ke arah Ray, dengan jantungnya yang berdegup kencang merasakan amarah. Dengan gerakan kasar, ia merebut

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-02
  • Pelabuhan Kedua   6

    Ray mendekat, menatap Laura dengan senyuman sinis. "Menurutmu apa? Aku tak mungkin melakukan sesuatu hal tanpa sebab. Harusnya, kau sedikit berterima kasih karena aku membantu keadilan untuk ibumu." jelasnya dengan kemudian langsung meninggalkan Laura begitu saja.Dalam kebingungan dan kekhawatiran yang mendalam tentang apa yang sebenarnya terjadi, Laura pun menyusul langkah cepat Ray. Hingga saat sampai di depan ruang Alin, Laura mencekal tangan pria itu, hingga membuatnya terkejut dan menatap intens padanya. "Ada apa?""Apa yang sebenarnya kau ketahui?" Tatapan Laura benar-benar tajam, seolah penuh penuntutan. Ray tersenyum tipis, kemudian memegang tangannya. "Aku tak bisa mengatakannya.""Kenapa tak bisa? Kau harus mengatakannya!" tuntut tegas Laura.Ray hanya diam, kemudian tiba-tiba melepas jasnya dan ia gunakan itu untuk menutup punggung Laura. Laura sendiri terkejut dengan tindakan Ray, dengan tatapannya yang masih tajam. "Aku memintamu menjawab pertanyaanku, bukan meminta

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-25
  • Pelabuhan Kedua   1

    Pagi itu, Laura terkejut mendengar suara teriakan dari kamar orang tuanya. Spontan ia keluar dari kamarnya dengan terburu-buru untuk menuju sumber suara tersebut. Namun, alangkah terkejutnya ia kala mendapati keadaan ayahnya yang di luar dugaannya."Papa!" teriaknya panik.Laura mendekati sosok pria yang tak lagi muda itu dan yang tengah meringis menahan sakit pada area dadanya."Papa kenapa, Pa?" tanya Laura panik. Namun sang ayah tak mampu mengucapkan sepatah kata pun dan membuat Laura semakin takut."Ma, ini Papa kenapa, Ma?" tanya Laura dengan mata yang berkaca-kaca pada sosok wanita yang juga masih berdiri dengan raut wajah cemas.Nera hanya menatap sendu Laura seraya menggeleng lemah. "Mama tak tahu, Ra. Saat papamu bangun tadi, tiba-tiba ia langsung melenguh sakit seperti ini. Katanya, dadanya sesak." jawabnya dengan suara bergetar.Tiba-tiba, suara dari hentakan kaki yang cepat mengeruhkan suasana."Dokternya udah di jalan, Ma. Sebentar lagi pasti sampai dan Papa akan baik-bai

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-02
  • Pelabuhan Kedua   2

    "Kenapa kau melihatku begitu?"Ucapan yang terdengar sedikit tegas itu membuyarkan kebingungan Laura. Bahkan, Laura sampai tak sadar jika pria tersebut telah duduk di hadapannya.Dengan suara terbata, "Bukankah anda sedang ada keperluan di luar?" tanya Laura gugup.Pria itu mengangguk sembari membolak-balikan berkas di mejanya. "Tadinya iya. Tapi setelah aku mendapat laporan bahwa kau datang ke kantorku, tentu saja aku harus kembali secepat mungkin." jawabnya dengan nada santai.Laura masih diam, sementara pria itu beralih menatap Laura dengan serius."Ada apa? Kau tak suka jika aku yang ada di sini? Aku akan panggilkan asistenku kalau begitu," ujarnya seraya meraih gagang telepon.Laura spontan menggeleng dengan cepat. "Bukan begitu, Kak. Um, maaf! Maksudku, Tuan Ray." terangnya dengan sedikit terbata.Ray kembali meletakkan gagang telepon tersebut, kemudian menatap Laura dengan tatapan intens. Hal itu membuat Laura langsung memalingkan pandangannya ke arah lain."Kau bisa panggil ak

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-02
  • Pelabuhan Kedua   3

    Ray menoleh, menatap wajah ketakutan Laura, kemudian ia tersenyum smirk. "Tentu saja menghias malam kita, Sayang." jawabnya santai, namun mampu membuat Laura merasa merinding.Laura makin merasa gugup, hingga ia meremas kuat pakaiannya sendiri. Ketakutan dan rasa bersalahnya membuatnya ingin menangis. Hingga tak ia sadari, Ray tengah berjalan menghampiri dan telah berdiri di hadapannya. Jarak yang begitu dekat di antara mereka membuat kegugupan luar biasa bagi Laura.Dengan memegang lembut dagu Laura, Ray justru tersenyum menatap gadis yang mulai terisak di depannya itu. "Kita bahkan belum memulainya dan kau sudah menangis?" tanyanya, dengan sudut bibirnya yang terangkat ke atas.Laura menggeleng lemah, kemudian menunduk dengan matanya yang terpejam. "Aku merasa tak mampu melakukan semua ini. Aku sama saja mengkhianati Kak Alin." jelasnya sembari terisak.Ray justru tetap bersikap santai dan mengusap rambut Laura dengan lembut. "Kau tak sedang mengkhianati siapa pun, Laura. Kau sedang

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-02

Bab terbaru

  • Pelabuhan Kedua   6

    Ray mendekat, menatap Laura dengan senyuman sinis. "Menurutmu apa? Aku tak mungkin melakukan sesuatu hal tanpa sebab. Harusnya, kau sedikit berterima kasih karena aku membantu keadilan untuk ibumu." jelasnya dengan kemudian langsung meninggalkan Laura begitu saja.Dalam kebingungan dan kekhawatiran yang mendalam tentang apa yang sebenarnya terjadi, Laura pun menyusul langkah cepat Ray. Hingga saat sampai di depan ruang Alin, Laura mencekal tangan pria itu, hingga membuatnya terkejut dan menatap intens padanya. "Ada apa?""Apa yang sebenarnya kau ketahui?" Tatapan Laura benar-benar tajam, seolah penuh penuntutan. Ray tersenyum tipis, kemudian memegang tangannya. "Aku tak bisa mengatakannya.""Kenapa tak bisa? Kau harus mengatakannya!" tuntut tegas Laura.Ray hanya diam, kemudian tiba-tiba melepas jasnya dan ia gunakan itu untuk menutup punggung Laura. Laura sendiri terkejut dengan tindakan Ray, dengan tatapannya yang masih tajam. "Aku memintamu menjawab pertanyaanku, bukan meminta

  • Pelabuhan Kedua   5

    Dengan menggenggam erat ponselnya, ekspresi Laura menjadi resah."Jadi anting itu jatuh dikamar Kak Ray? Aku tak mungkin ke sana lagi. Tapi jika Kak Alin ke sana dan menemukan anting itu, dia pasti akan curiga. Bagaimana ini?" ujarnya dalam hati.Laura terdiam sejenak, kemudian ia terkejut kala mendengar suara ketukan di pintu. Dengan segera, ia membuka pintu dan terkejut bukan kepalang mendapati Ray berdiri dengan santainya di ambang pintu."Kak Ray? Kau untuk apa di sini?" suara Laura bergetar, dengan matanya mencari-cari tanda-tanda ada orang lain atau tidaknya di sekitar.Ray hanya menatap datar padanya, seolah-olah kehadirannya adalah hal yang biasa. Dengan segera, ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya dan menyerahkannya pada Laura. "Minum ini! Itu akan mengurangi rasa sakitmu dan mencegahmu hamil." ucap Ray dengan nada serius dan juga dengan tatapan dingin.Laura menatap kesal ke arah Ray, dengan jantungnya yang berdegup kencang merasakan amarah. Dengan gerakan kasar, ia merebut

  • Pelabuhan Kedua   4

    Di hadapan cermin itu, Ray tengah mengaitkan kancing kemejanya dengan gerak yang mekanis. Hingga tiba-tiba, ponselnya berdering, menyela keheningan paginya. Tertera nama "Alin" di layar tersebut, membuat Ray dengan malas menjawabnya.Dengan napas berat, Ray terpaksa mengangkat panggilan itu. "Ya, Sayang?""Kenapa semalaman kau sulit dihubungi?" Suara Alin terdengar cemas dan kecewa.Ray menghimpit ponselnya menggunakan bahu dan telinga, sembari ia melingkarkan jam tangan mewah di pergelangan tangannya. "Bukankah Vian sudah memberitahumu jika aku keluar kota? Aku rapat dan ponselku tertinggal di mobil malam itu. Jadi, aku tak tahu kau menghubungiku." jawab Ray dengan suaranya yang datar.Alin menghela napas kasar dan merasa frustrasi. "Kau tak pernah seceroboh ini, Ray. Apa yang sebenarnya terjadi?"Ray menahan kesabaran, dengan tatapannya yang begitu tajam ke arah cermin. "Sudahlah, apa maumu sekarang? Aku sedang terburu-buru.""Kau melupakan hal penting bahwa seharusnya semalam kita

  • Pelabuhan Kedua   3

    Ray menoleh, menatap wajah ketakutan Laura, kemudian ia tersenyum smirk. "Tentu saja menghias malam kita, Sayang." jawabnya santai, namun mampu membuat Laura merasa merinding.Laura makin merasa gugup, hingga ia meremas kuat pakaiannya sendiri. Ketakutan dan rasa bersalahnya membuatnya ingin menangis. Hingga tak ia sadari, Ray tengah berjalan menghampiri dan telah berdiri di hadapannya. Jarak yang begitu dekat di antara mereka membuat kegugupan luar biasa bagi Laura.Dengan memegang lembut dagu Laura, Ray justru tersenyum menatap gadis yang mulai terisak di depannya itu. "Kita bahkan belum memulainya dan kau sudah menangis?" tanyanya, dengan sudut bibirnya yang terangkat ke atas.Laura menggeleng lemah, kemudian menunduk dengan matanya yang terpejam. "Aku merasa tak mampu melakukan semua ini. Aku sama saja mengkhianati Kak Alin." jelasnya sembari terisak.Ray justru tetap bersikap santai dan mengusap rambut Laura dengan lembut. "Kau tak sedang mengkhianati siapa pun, Laura. Kau sedang

  • Pelabuhan Kedua   2

    "Kenapa kau melihatku begitu?"Ucapan yang terdengar sedikit tegas itu membuyarkan kebingungan Laura. Bahkan, Laura sampai tak sadar jika pria tersebut telah duduk di hadapannya.Dengan suara terbata, "Bukankah anda sedang ada keperluan di luar?" tanya Laura gugup.Pria itu mengangguk sembari membolak-balikan berkas di mejanya. "Tadinya iya. Tapi setelah aku mendapat laporan bahwa kau datang ke kantorku, tentu saja aku harus kembali secepat mungkin." jawabnya dengan nada santai.Laura masih diam, sementara pria itu beralih menatap Laura dengan serius."Ada apa? Kau tak suka jika aku yang ada di sini? Aku akan panggilkan asistenku kalau begitu," ujarnya seraya meraih gagang telepon.Laura spontan menggeleng dengan cepat. "Bukan begitu, Kak. Um, maaf! Maksudku, Tuan Ray." terangnya dengan sedikit terbata.Ray kembali meletakkan gagang telepon tersebut, kemudian menatap Laura dengan tatapan intens. Hal itu membuat Laura langsung memalingkan pandangannya ke arah lain."Kau bisa panggil ak

  • Pelabuhan Kedua   1

    Pagi itu, Laura terkejut mendengar suara teriakan dari kamar orang tuanya. Spontan ia keluar dari kamarnya dengan terburu-buru untuk menuju sumber suara tersebut. Namun, alangkah terkejutnya ia kala mendapati keadaan ayahnya yang di luar dugaannya."Papa!" teriaknya panik.Laura mendekati sosok pria yang tak lagi muda itu dan yang tengah meringis menahan sakit pada area dadanya."Papa kenapa, Pa?" tanya Laura panik. Namun sang ayah tak mampu mengucapkan sepatah kata pun dan membuat Laura semakin takut."Ma, ini Papa kenapa, Ma?" tanya Laura dengan mata yang berkaca-kaca pada sosok wanita yang juga masih berdiri dengan raut wajah cemas.Nera hanya menatap sendu Laura seraya menggeleng lemah. "Mama tak tahu, Ra. Saat papamu bangun tadi, tiba-tiba ia langsung melenguh sakit seperti ini. Katanya, dadanya sesak." jawabnya dengan suara bergetar.Tiba-tiba, suara dari hentakan kaki yang cepat mengeruhkan suasana."Dokternya udah di jalan, Ma. Sebentar lagi pasti sampai dan Papa akan baik-bai

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status