Share

Pelabuhan Kedua
Pelabuhan Kedua
Penulis: BARIZTI

1

Penulis: BARIZTI
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-02 20:25:30

Pagi itu, Laura terkejut mendengar suara teriakan dari kamar orang tuanya. Spontan ia keluar dari kamarnya dengan terburu-buru untuk menuju sumber suara tersebut. Namun, alangkah terkejutnya ia kala mendapati keadaan ayahnya yang di luar dugaannya.

"Papa!" teriaknya panik.

Laura mendekati sosok pria yang tak lagi muda itu dan yang tengah meringis menahan sakit pada area dadanya.

"Papa kenapa, Pa?" tanya Laura panik. Namun sang ayah tak mampu mengucapkan sepatah kata pun dan membuat Laura semakin takut.

"Ma, ini Papa kenapa, Ma?" tanya Laura dengan mata yang berkaca-kaca pada sosok wanita yang juga masih berdiri dengan raut wajah cemas.

Nera hanya menatap sendu Laura seraya menggeleng lemah. "Mama tak tahu, Ra. Saat papamu bangun tadi, tiba-tiba ia langsung melenguh sakit seperti ini. Katanya, dadanya sesak." jawabnya dengan suara bergetar.

Tiba-tiba, suara dari hentakan kaki yang cepat mengeruhkan suasana.

"Dokternya udah di jalan, Ma. Sebentar lagi pasti sampai dan Papa akan baik-baik aja." ujar Alin yang baru saja masuk kamar itu secara tiba-tiba.

Laura membulatkan matanya, merasa tak percaya akan ucapan kakaknya itu. "Apa Kak? Dokter?" ujarnya ragu. "Kak, ini Papa harus dibawa ke rumah sakit, bukan malah nunggu didatengin dokter. Barangkali, ada masalah kesehatan yang harus diperiksa menyeluruh." imbuhnya dengan sedikit tegas karena panik.

Alin berdecak kesal seraya memutar bola matanya. "Tapi di rumah sakit juga harus nunggu, 'kan? Gimana kalo Papa makin parah waktu di jalan? Yang penting sekarang Papa segera dapet pertolongan tenaga medis." balas Alin dengan penuh penekanan dan yang membuat Laura masih tak tenang.

Hingga tiba-tiba, sebuah tangan terulur dan memegang tangan Laura.

"Papa cuma sesak sedikit, Laura. Tak apa, ga harus ke rumah sakit kok." ujar lirih Niko dan mencoba menenangkan kepanikan Laura.

"Tapi, kan, Pa..." Kekhawatiran masih terlihat jelas dari raut wajah Laura. Namun, Niko dengan lembut menampilkan senyumnya pada putrinya tersebut.

"Udah, Papa tak apa." ucap Niko meyakinkan.

Tak lama kemudian, dokter pun tiba dan langsung memeriksa keadaan Niko.

"Berdasarkan hasil pemeriksaan, Tuan Niko mengalami peningkatan kolesterol." ujar dokter tersebut dengan nada serius.

Laura yang berada di samping ayahnya, tampak tak yakin akan penjelasan dokter ini. "Tapi Dok, Papa selalu jaga pola makan kok. Beneran ini karena kolesterol?" tanyanya, mencoba mencari kepastian.

Nera mengernyitkan dahi atas pertanyaan Laura tersebut. "Kau meragukan kata-kata dokter, Laura?" tanyanya dengan suara beratnya dan menimbulkan suasana yang makin tegang.

Laura menatap Nera dengan tatapan tajam. "Bukan begitu, Ma. Aku hanya ingin memastikan, karena Papa selama ini tak pernah mengalami masalah kolesterol." balas Laura dengan suaranya yang penuh kekhawatiran.

Dokter itu mengangguk, memahami kekhawatiran Laura. "Memang benar, di usia Tuan Niko, tubuhnya akan lebih rentan terhadap masalah kolesterol. Terkadang, meskipun sudah menjaga asupan dengan baik, bahkan dengan hanya memakan makanan yang sedikit berminyak, itu sudah cukup mempengaruhi kesehatannya." jelasnya, berusaha memberikan pemahaman yang lebih mendalam kepada gadis tersebut.

Dokter itu beralih menatap Nera, "Saya akan buatkan resep obatnya dan tolong berikan pada Tuan Niko secara rutin!"

Nera spontan mengangguk, "Iya, Dok, terima kasih banyak." balasnya dengan perasaan yang sedikit lebih lega.

Dokter ini pun tersenyum kecil, kemudian memberikan resep obat tersebut kepada Nera. Sementara itu, Laura masih menggenggam tangan ayahnya dan masih merasa khawatir, meski keadaan ayahnya kini sudah baik-baik saja.

*

Keesokannya, Laura berdiri terpaku di ruang kerja ayahnya. Dokumen-dokumen tersebar di hadapannya, membuat Laura sampai mencengkeram rambutnya sendiri. Hingga tak lama kemudian, sudut matanya menangkap Marcel, sosok pria yang merupakan kepercayaan besar ayahnya. Ia berjalan masuk dengan ekspresi yang sulit dibaca.

"Laura, laporan keuangan perusahaan terus menurun. Hanya kau, putri kandung Niko, yang bisa menyelesaikan masalah ini. Apalagi, ayahmu masih sakit dan tak bisa memimpin perusahaan untuk beberapa waktu." ujar Marcel dengan nada serius.

Kerutan langsung muncul di dahi Laura, menunjukkan betapa terkejutnya ia akan penjelasan tersebut. "Tapi bagaimana caranya, Paman? Aku bahkan tak punya uang sebanyak itu untuk mengganti rugi para investor." sahutnya dengan suara yang nyaris tak terdengar.

Marcel menghela napas panjang, mengerti kebingungan dan kegelisahan yang dirasakan gadis ini. "Tapi jika tak segera kita atasi, maka masalah lain pun akan sulit kita hadapi, Laura."

Laura menyipitkan matanya, merasa tak paham akan maksud dari ucapan Marcel yang baginya menegangkan ini. "Masalah lain? Apa maksudnya, Paman? Apa yang terjadi dengan perusahaan ini sebenarnya?" tanyanya dengan nada yang bergetar.

Marcel menunduk seraya menghela napas kasar. "Sebenarnya, bukan hanya masalah keuangan saja, Laura. Ada beberapa oknum yang melaporkan akan buruknya produk perusahaan kita. Bahkan, ada pula laporan penipuan yang menyangkut nama ayahmu. Grafik penjualan dan omset kita menurun drastis karena berita itu. Yang aku khawatirkan, ini akan sampai pada ayahmu dan membuat sakitnya makin parah. Karena itu, kita harus mengatasi masalah ini." jelasnya dengan raut wajah yang juga resah.

Laura mendudukkan dirinya di kursi kerja ayahnya seraya memijat pelipisnya. Kemudian, ia menatap Marcel dengan wajah sendu. "Paman, kau tahu jika aku masih belum terlalu paham untuk mengatasi masalah sebesar ini. Kaulah kepercayaan ayahku. Tak bisakah kau mencari solusi akan hal ini?" tanyanya dengan nada yang terdengar pasrah.

Marcel hanya bisa mengangguk dan tersenyum kecil. "Aku bisa saja menghilangkan berita itu, Laura. Tapi masalah pertama kitalah yang harus diutamakan. Karena setelah itu teratasi, maka masalah yang lain pun akan mudah untuk kutangani."

Laura meraup kasar wajahnya, menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskan secara perlahan. Ia pun menatap Marcel yang masih setia berdiri di hadapannya. "Masalah utama kita itu juga membutuhkan penanganan yang besar, Paman. Dari mana aku bisa mendapatkannya?"

Marcel berjalan mendekat kemudian menatap Laura serius. "Ada seseorang yang bisa membantu kita." ucapnya dengan nada yang penuh keyakinan.

Laura pun balas menatapnya dengan rasa penasaran yang mendalam. "Siapa dia, Paman?"

"Ray Elvano."

Jawaban Marcel itu seketika membuat Laura terkejut, sampai jantungnya seakan berhenti berdetak sejenak.

Ray Elvano, nama itu bukan nama yang asing bagi Laura. Hingga, Laura hanya bisa menelan kasar salivanya, merasa dilema. Di satu sisi, dia ingin menyelamatkan perusahaan ayahnya. Namun, di sisi lain, dia harus melanggar janji yang telah dibuatnya sendiri.

Ekspresi kebingungan masih tergambar jelas di wajahnya. Hingga pada akhirnya, Laura harus berani membuat keputusan dan harus segera bertindak.

*

Siang itu, Laura tepat berada di sebuah gedung perusahaan yang jauh lebih besar dari milik ayahnya. Bahkan, tiap sudut dari dalam gedung itu benar-benar terkesan mewah. Ia tak menyangka jika Ray adalah sosok yang memimpin perusahaan sebesar itu.

"Anda tunggulah di sini dan Tuan Vian akan menemui anda," ujar seorang wanita yang baru saja mengantarkan Laura ke ruangan Ray.

Dengan tatapan bingung, Laura merasa asing akan nama tersebut. "Siapa Vian?" tanya Laura.

"Tuan Vian adalah kepercayaan Tuan Ray. Dia yang akan membantu dan mendiskusikan hal yang anda maksud. Tuan Ray sedang ada kepentingan di luar dan mungkin baru kembali ke kantor sore nanti."

Laura mengangguk dan tersenyum paham. "Oh, begitu rupanya. Baiklah, aku akan menunggunya di sini."

Setelah wanita yang telah mengantarkan Laura itu pergi, Laura pun merasa lega, sebab bukan dengan Ray ia akan bertemu, melainkan dengan orang lain.

Dengan hela napas panjang, Laura tersenyum puas. "Setidaknya aku tak melanggar ucapanku. Aku akan bertemu dengan Vian, bukan dengan Ray."

Beberapa menit kemudian, Laura mendengar suara langkah kaki yang makin mendekat, kemudian disusul dengan suara pintu yang terbuka. Laura yakin, itu adalah Vian.

"Sudah lama menunggu?"

Mendengar suara yang tak asing itu, Laura segera menoleh dengan matanya yang membulat. Ia tak menyangka sebab yang ia dapati bukanlah seseorang yang ia duga sebelumnya.

Bab terkait

  • Pelabuhan Kedua   2

    "Kenapa kau melihatku begitu?"Ucapan yang terdengar sedikit tegas itu membuyarkan kebingungan Laura. Bahkan, Laura sampai tak sadar jika pria tersebut telah duduk di hadapannya.Dengan suara terbata, "Bukankah anda sedang ada keperluan di luar?" tanya Laura gugup.Pria itu mengangguk sembari membolak-balikan berkas di mejanya. "Tadinya iya. Tapi setelah aku mendapat laporan bahwa kau datang ke kantorku, tentu saja aku harus kembali secepat mungkin." jawabnya dengan nada santai.Laura masih diam, sementara pria itu beralih menatap Laura dengan serius."Ada apa? Kau tak suka jika aku yang ada di sini? Aku akan panggilkan asistenku kalau begitu," ujarnya seraya meraih gagang telepon.Laura spontan menggeleng dengan cepat. "Bukan begitu, Kak. Um, maaf! Maksudku, Tuan Ray." terangnya dengan sedikit terbata.Ray kembali meletakkan gagang telepon tersebut, kemudian menatap Laura dengan tatapan intens. Hal itu membuat Laura langsung memalingkan pandangannya ke arah lain."Kau bisa panggil ak

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-02
  • Pelabuhan Kedua   3

    Ray menoleh, menatap wajah ketakutan Laura, kemudian ia tersenyum smirk. "Tentu saja menghias malam kita, Sayang." jawabnya santai, namun mampu membuat Laura merasa merinding.Laura makin merasa gugup, hingga ia meremas kuat pakaiannya sendiri. Ketakutan dan rasa bersalahnya membuatnya ingin menangis. Hingga tak ia sadari, Ray tengah berjalan menghampiri dan telah berdiri di hadapannya. Jarak yang begitu dekat di antara mereka membuat kegugupan luar biasa bagi Laura.Dengan memegang lembut dagu Laura, Ray justru tersenyum menatap gadis yang mulai terisak di depannya itu. "Kita bahkan belum memulainya dan kau sudah menangis?" tanyanya, dengan sudut bibirnya yang terangkat ke atas.Laura menggeleng lemah, kemudian menunduk dengan matanya yang terpejam. "Aku merasa tak mampu melakukan semua ini. Aku sama saja mengkhianati Kak Alin." jelasnya sembari terisak.Ray justru tetap bersikap santai dan mengusap rambut Laura dengan lembut. "Kau tak sedang mengkhianati siapa pun, Laura. Kau sedang

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-02
  • Pelabuhan Kedua   4

    Di hadapan cermin itu, Ray tengah mengaitkan kancing kemejanya dengan gerak yang mekanis. Hingga tiba-tiba, ponselnya berdering, menyela keheningan paginya. Tertera nama "Alin" di layar tersebut, membuat Ray dengan malas menjawabnya.Dengan napas berat, Ray terpaksa mengangkat panggilan itu. "Ya, Sayang?""Kenapa semalaman kau sulit dihubungi?" Suara Alin terdengar cemas dan kecewa.Ray menghimpit ponselnya menggunakan bahu dan telinga, sembari ia melingkarkan jam tangan mewah di pergelangan tangannya. "Bukankah Vian sudah memberitahumu jika aku keluar kota? Aku rapat dan ponselku tertinggal di mobil malam itu. Jadi, aku tak tahu kau menghubungiku." jawab Ray dengan suaranya yang datar.Alin menghela napas kasar dan merasa frustrasi. "Kau tak pernah seceroboh ini, Ray. Apa yang sebenarnya terjadi?"Ray menahan kesabaran, dengan tatapannya yang begitu tajam ke arah cermin. "Sudahlah, apa maumu sekarang? Aku sedang terburu-buru.""Kau melupakan hal penting bahwa seharusnya semalam kita

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-02
  • Pelabuhan Kedua   5

    Dengan menggenggam erat ponselnya, ekspresi Laura menjadi resah."Jadi anting itu jatuh dikamar Kak Ray? Aku tak mungkin ke sana lagi. Tapi jika Kak Alin ke sana dan menemukan anting itu, dia pasti akan curiga. Bagaimana ini?" ujarnya dalam hati.Laura terdiam sejenak, kemudian ia terkejut kala mendengar suara ketukan di pintu. Dengan segera, ia membuka pintu dan terkejut bukan kepalang mendapati Ray berdiri dengan santainya di ambang pintu."Kak Ray? Kau untuk apa di sini?" suara Laura bergetar, dengan matanya mencari-cari tanda-tanda ada orang lain atau tidaknya di sekitar.Ray hanya menatap datar padanya, seolah-olah kehadirannya adalah hal yang biasa. Dengan segera, ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya dan menyerahkannya pada Laura. "Minum ini! Itu akan mengurangi rasa sakitmu dan mencegahmu hamil." ucap Ray dengan nada serius dan juga dengan tatapan dingin.Laura menatap kesal ke arah Ray, dengan jantungnya yang berdegup kencang merasakan amarah. Dengan gerakan kasar, ia merebut

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-02
  • Pelabuhan Kedua   6

    Ray mendekat, menatap Laura dengan senyuman sinis. "Menurutmu apa? Aku tak mungkin melakukan sesuatu hal tanpa sebab. Harusnya, kau sedikit berterima kasih karena aku membantu keadilan untuk ibumu." jelasnya dengan kemudian langsung meninggalkan Laura begitu saja.Dalam kebingungan dan kekhawatiran yang mendalam tentang apa yang sebenarnya terjadi, Laura pun menyusul langkah cepat Ray. Hingga saat sampai di depan ruang Alin, Laura mencekal tangan pria itu, hingga membuatnya terkejut dan menatap intens padanya. "Ada apa?""Apa yang sebenarnya kau ketahui?" Tatapan Laura benar-benar tajam, seolah penuh penuntutan. Ray tersenyum tipis, kemudian memegang tangannya. "Aku tak bisa mengatakannya.""Kenapa tak bisa? Kau harus mengatakannya!" tuntut tegas Laura.Ray hanya diam, kemudian tiba-tiba melepas jasnya dan ia gunakan itu untuk menutup punggung Laura. Laura sendiri terkejut dengan tindakan Ray, dengan tatapannya yang masih tajam. "Aku memintamu menjawab pertanyaanku, bukan meminta

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-25

Bab terbaru

  • Pelabuhan Kedua   6

    Ray mendekat, menatap Laura dengan senyuman sinis. "Menurutmu apa? Aku tak mungkin melakukan sesuatu hal tanpa sebab. Harusnya, kau sedikit berterima kasih karena aku membantu keadilan untuk ibumu." jelasnya dengan kemudian langsung meninggalkan Laura begitu saja.Dalam kebingungan dan kekhawatiran yang mendalam tentang apa yang sebenarnya terjadi, Laura pun menyusul langkah cepat Ray. Hingga saat sampai di depan ruang Alin, Laura mencekal tangan pria itu, hingga membuatnya terkejut dan menatap intens padanya. "Ada apa?""Apa yang sebenarnya kau ketahui?" Tatapan Laura benar-benar tajam, seolah penuh penuntutan. Ray tersenyum tipis, kemudian memegang tangannya. "Aku tak bisa mengatakannya.""Kenapa tak bisa? Kau harus mengatakannya!" tuntut tegas Laura.Ray hanya diam, kemudian tiba-tiba melepas jasnya dan ia gunakan itu untuk menutup punggung Laura. Laura sendiri terkejut dengan tindakan Ray, dengan tatapannya yang masih tajam. "Aku memintamu menjawab pertanyaanku, bukan meminta

  • Pelabuhan Kedua   5

    Dengan menggenggam erat ponselnya, ekspresi Laura menjadi resah."Jadi anting itu jatuh dikamar Kak Ray? Aku tak mungkin ke sana lagi. Tapi jika Kak Alin ke sana dan menemukan anting itu, dia pasti akan curiga. Bagaimana ini?" ujarnya dalam hati.Laura terdiam sejenak, kemudian ia terkejut kala mendengar suara ketukan di pintu. Dengan segera, ia membuka pintu dan terkejut bukan kepalang mendapati Ray berdiri dengan santainya di ambang pintu."Kak Ray? Kau untuk apa di sini?" suara Laura bergetar, dengan matanya mencari-cari tanda-tanda ada orang lain atau tidaknya di sekitar.Ray hanya menatap datar padanya, seolah-olah kehadirannya adalah hal yang biasa. Dengan segera, ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya dan menyerahkannya pada Laura. "Minum ini! Itu akan mengurangi rasa sakitmu dan mencegahmu hamil." ucap Ray dengan nada serius dan juga dengan tatapan dingin.Laura menatap kesal ke arah Ray, dengan jantungnya yang berdegup kencang merasakan amarah. Dengan gerakan kasar, ia merebut

  • Pelabuhan Kedua   4

    Di hadapan cermin itu, Ray tengah mengaitkan kancing kemejanya dengan gerak yang mekanis. Hingga tiba-tiba, ponselnya berdering, menyela keheningan paginya. Tertera nama "Alin" di layar tersebut, membuat Ray dengan malas menjawabnya.Dengan napas berat, Ray terpaksa mengangkat panggilan itu. "Ya, Sayang?""Kenapa semalaman kau sulit dihubungi?" Suara Alin terdengar cemas dan kecewa.Ray menghimpit ponselnya menggunakan bahu dan telinga, sembari ia melingkarkan jam tangan mewah di pergelangan tangannya. "Bukankah Vian sudah memberitahumu jika aku keluar kota? Aku rapat dan ponselku tertinggal di mobil malam itu. Jadi, aku tak tahu kau menghubungiku." jawab Ray dengan suaranya yang datar.Alin menghela napas kasar dan merasa frustrasi. "Kau tak pernah seceroboh ini, Ray. Apa yang sebenarnya terjadi?"Ray menahan kesabaran, dengan tatapannya yang begitu tajam ke arah cermin. "Sudahlah, apa maumu sekarang? Aku sedang terburu-buru.""Kau melupakan hal penting bahwa seharusnya semalam kita

  • Pelabuhan Kedua   3

    Ray menoleh, menatap wajah ketakutan Laura, kemudian ia tersenyum smirk. "Tentu saja menghias malam kita, Sayang." jawabnya santai, namun mampu membuat Laura merasa merinding.Laura makin merasa gugup, hingga ia meremas kuat pakaiannya sendiri. Ketakutan dan rasa bersalahnya membuatnya ingin menangis. Hingga tak ia sadari, Ray tengah berjalan menghampiri dan telah berdiri di hadapannya. Jarak yang begitu dekat di antara mereka membuat kegugupan luar biasa bagi Laura.Dengan memegang lembut dagu Laura, Ray justru tersenyum menatap gadis yang mulai terisak di depannya itu. "Kita bahkan belum memulainya dan kau sudah menangis?" tanyanya, dengan sudut bibirnya yang terangkat ke atas.Laura menggeleng lemah, kemudian menunduk dengan matanya yang terpejam. "Aku merasa tak mampu melakukan semua ini. Aku sama saja mengkhianati Kak Alin." jelasnya sembari terisak.Ray justru tetap bersikap santai dan mengusap rambut Laura dengan lembut. "Kau tak sedang mengkhianati siapa pun, Laura. Kau sedang

  • Pelabuhan Kedua   2

    "Kenapa kau melihatku begitu?"Ucapan yang terdengar sedikit tegas itu membuyarkan kebingungan Laura. Bahkan, Laura sampai tak sadar jika pria tersebut telah duduk di hadapannya.Dengan suara terbata, "Bukankah anda sedang ada keperluan di luar?" tanya Laura gugup.Pria itu mengangguk sembari membolak-balikan berkas di mejanya. "Tadinya iya. Tapi setelah aku mendapat laporan bahwa kau datang ke kantorku, tentu saja aku harus kembali secepat mungkin." jawabnya dengan nada santai.Laura masih diam, sementara pria itu beralih menatap Laura dengan serius."Ada apa? Kau tak suka jika aku yang ada di sini? Aku akan panggilkan asistenku kalau begitu," ujarnya seraya meraih gagang telepon.Laura spontan menggeleng dengan cepat. "Bukan begitu, Kak. Um, maaf! Maksudku, Tuan Ray." terangnya dengan sedikit terbata.Ray kembali meletakkan gagang telepon tersebut, kemudian menatap Laura dengan tatapan intens. Hal itu membuat Laura langsung memalingkan pandangannya ke arah lain."Kau bisa panggil ak

  • Pelabuhan Kedua   1

    Pagi itu, Laura terkejut mendengar suara teriakan dari kamar orang tuanya. Spontan ia keluar dari kamarnya dengan terburu-buru untuk menuju sumber suara tersebut. Namun, alangkah terkejutnya ia kala mendapati keadaan ayahnya yang di luar dugaannya."Papa!" teriaknya panik.Laura mendekati sosok pria yang tak lagi muda itu dan yang tengah meringis menahan sakit pada area dadanya."Papa kenapa, Pa?" tanya Laura panik. Namun sang ayah tak mampu mengucapkan sepatah kata pun dan membuat Laura semakin takut."Ma, ini Papa kenapa, Ma?" tanya Laura dengan mata yang berkaca-kaca pada sosok wanita yang juga masih berdiri dengan raut wajah cemas.Nera hanya menatap sendu Laura seraya menggeleng lemah. "Mama tak tahu, Ra. Saat papamu bangun tadi, tiba-tiba ia langsung melenguh sakit seperti ini. Katanya, dadanya sesak." jawabnya dengan suara bergetar.Tiba-tiba, suara dari hentakan kaki yang cepat mengeruhkan suasana."Dokternya udah di jalan, Ma. Sebentar lagi pasti sampai dan Papa akan baik-bai

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status