Share

5

Penulis: BARIZTI
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-02 21:22:48

Dengan menggenggam erat ponselnya, ekspresi Laura menjadi resah.

"Jadi anting itu jatuh dikamar Kak Ray? Aku tak mungkin ke sana lagi. Tapi jika Kak Alin ke sana dan menemukan anting itu, dia pasti akan curiga. Bagaimana ini?" ujarnya dalam hati.

Laura terdiam sejenak, kemudian ia terkejut kala mendengar suara ketukan di pintu. Dengan segera, ia membuka pintu dan terkejut bukan kepalang mendapati Ray berdiri dengan santainya di ambang pintu.

"Kak Ray? Kau untuk apa di sini?" suara Laura bergetar, dengan matanya mencari-cari tanda-tanda ada orang lain atau tidaknya di sekitar.

Ray hanya menatap datar padanya, seolah-olah kehadirannya adalah hal yang biasa. Dengan segera, ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya dan menyerahkannya pada Laura. "Minum ini! Itu akan mengurangi rasa sakitmu dan mencegahmu hamil." ucap Ray dengan nada serius dan juga dengan tatapan dingin.

Laura menatap kesal ke arah Ray, dengan jantungnya yang berdegup kencang merasakan amarah. Dengan gerakan kasar, ia merebut benda yang Ray sodorkan. "Kalau begitu, kembalikan antingku!"

Ray tersenyum sinis, "Datanglah lagi ke hunianku dan akan kuberikan anting itu." balas Ray dengan nada menggoda.

"Tak akan! Aku tahu isi pikiranmu, pria mesum!" tolak keras Laura.

Ray tertawa kecil, sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. "Wajar jika aku berpikir mesum pada wanita yang kucintai, 'kan?" ujarnya dengan nada menggoda.

Ucapan Ray itu membuat Laura menatapnya tajam. "Tidak! Itu tak wajar, karena aku tak mau dicintai olehmu. Kak Alin adalah calon istrimu, jadi cintai saja dirinya! Dan soal anting itu, simpan atau buang saja sesukamu." balasnya ketus dengan akan menutup pintu.

Ray menahan pintu itu dan membuat Laura terkejut. "Baiklah, kalau kau mau kakakmu yang menemukannya di sana. Kebetulan, malam nanti kami akan makan bersama. Mungkin, aku akan mengatakan yang sejujurnya." ujarnya dengan senyuman smirk, kemudian langsung berlalu.

Laura tercengang dan menatap kesal pada pria yang telah menjauh itu. Dengan cepat, ia menutup pintu dan menyandarkan tubuhnya di sana. Ia berusaha meredam gemetar di seluruh tubuhnya, juga kegelisahan yang menghantui pikirannya.

*

Setelah membeli cincin dan juga menyusun rancangan pernikahan, Alin dan Ray tengah menikmati makan malam di balkon kamar Ray. Sementara itu, Ray justru makin tak fokus pada makan malam itu setelah mendapat notifikasi di ponselnya.

"Aku melihat mobil Laura sempat berhenti sejenak di depan hunianmu. Tapi, sekarang ia sudah pergi."

Wajah Ray berubah serius setelah membaca pesan dari Vian. Hingga, Alin merasa heran akan perubahan ekspresinya tersebut.

"Laura pasti mengurungkan niatnya kemari setelah melihat mobil Alin masih di sini." batin Ray dengan tangan mengepal.

"Sayang, apa yang kau pikirkan? Apa ada masalah?" tanya Alin seraya memegang lembut tangan Ray.

Ray spontan tersenyum sembari menggeleng pelan. "Tak ada, Sayang. Aku hanya kesal dengan laporan Vian." jawabnya sembari melanjutkan menyantap makanannya.

"Oh iya? Memangnya laporan apa itu?" tanya Alin penasaran.

"Biasa, hanya masalah tikus kecil. Security pun sudah menanganinya, tapi Vian begitu heboh akan hal ini." jawab Ray yang diangguki dengan paham oleh Alin.

"Sama seperti di perusahaan Mama. Beberapa hari lalu, security kami tiba-tiba tak sadarkan diri dan pelaku berhasil memasuki gedung itu. Entah apa yang diincarnya, tapi tak ada barang dan aksesoris berharga kami yang dicuri. Mungkin yang ia butuhkan uang, dan ia tak tahu kalau barang-barang itu bernilai ratusan juta." ujar Alin dengan tawa kecil.

Ray yang mendengarkan itu hanya tersenyum tipis, dengan kemudian meneguk minumannya.

"Setelah aku berhasil merebut saham itu, aku akan melemparmu, seperti yang dilakukan ibumu dulu." batinnya dengan menatap tajam Alin.

"Ray, kenapa kau menatapku begitu?" pertanyaan Alin sontak mengejutkan Ray.

Dengan senyum lebar, "Tak apa, Sayang. Aku hanya terpana denganmu yang makin cantik." jelasnya dengan lembut.

Alin menunduk dan tersipu malu. "Kau bisa saja, Ray. Ah iya, aku akan ke kamar mandi sebentar." ujar Alin yang diangguki oleh Ray.

Alin pun melangkah ke dalam kamar Ray untuk menuju kamar mandinya. Namun tiba-tiba, pandangannya tertuju pada sebuah benda yang tak asing baginya. Ia meraih benda tersebut dan terkejut saat melihat detailnya. Namun baru saja memegang anting itu, Ray tiba-tiba datang dan langsung merebutnya.

"Kau menemukan anting ini? Ini anting milik mendiang ibuku. Tadi aku merindukannya dan menatap anting yang hanya tinggal sebelah ini." ujar Ray yang diangguki oleh Alin.

"Oh... ternyata milik ibumu. Anting itu juga mirip seperti milik Laura." balas Alin yang membuat Ray tertawa kecil.

Dengan mencubit gemas pipi Alin, "Tak hanya Laura saja, Sayang. Model seperti ini memang sangat keren-kerennya pada masa itu." ujar Ray meyakinkan.

Alin hanya tersenyum kecil, merasa masih tak percaya pada ucapan Ray. Namun, terlalu curiga juga tak baik. Ia pun membuang pikiran buruknya dan memilih fokus pada pernikahannya yang hanya tinggal hitungan hari.

*

Beberapa hari berikutnya, perusahaan Niko yang telah melewati masa sulitnya, akhirnya kembali bersinar. Hal yang menjadi keceriaan itu membuat Niko mengadakan pesta kecil, sebagai upaya untuk menghargai para pekerjanya yang sangat berdedikasi.

Niko yang sudah membaik pun menghampiri sosok pria yang menjadi dasar keberhasilan perusahaannya. Ia menepuk bahu pria itu dan tersenyum, "Semua pencapaian ini berkat dukunganmu juga, Ray. Terima kasih banyak," ucap Niko dengan tulus.

Ray mengangguk dan balas tersenyum, "Tak masalah, Om. Kita akan jadi keluarga sebentar lagi. Jadi, ini juga sudah menjadi tugasku. Selamat atas kembalinya kesuksesan perusahaan ini," balasnya dengan menjabat tangan Niko.

Niko mengangguk dan merasa lega bahwa Ray benar-benar bisa diandalkan. Tak hanya pada Ray, Niko juga berterimakasih pada Laura yang banyak berjuang demi menyelamatkan perusahaan. Ia tak tahu bahwa sebenarnya ada kaitan rahasia antara Laura dan Ray dalam pencapaian itu.

Seorang pelayan pun datang dengan membawa nampan berisi gelas-gelas minuman segar. Laura yang hendak mengambil salah satu gelas itu tiba-tiba ditahan oleh Ray.

Dengan cepat Ray mengambil alih gelas tersebut, "Yang ini untuk kakakmu saja ya Laura, karena dia suka mangga."

Laura hanya menatap Ray datar, meski ia merasa aneh akan hal itu.

"Terima kasih, Sayangku," ucap Alin setelah menerima gelas minuman dari Ray.

Ray balas dengan senyuman lembut, "Sama-sama, Sayang."

Nera dan Niko sama-sama tersenyum menatap pasangan itu. Hingga kemudian, tatapan Niko terarah pada Laura.

"Laura, kau pun nantinya juga harus dapatkan pria seperti Ray ini. Dia akan menyayangi dan memberikan yang terbaik untukmu, sama seperti yang dilakukan Ray pada kakakmu." ujar Niko yang membuat Laura terdiam.

Ray berdehem dan menatap Niko sembari tersenyum. "Maaf Om, tapi ada baiknya Laura lebih terfokus pada kariernya. Dia akan menemukan pria berkelas itu, setelah dia puas dengan masa kerjanya."

Laura menaikkan sebelah alisnya, "Hih, kenapa dia jadi mengatur?" batinnya kesal.

Niko justru tertawa kecil dan mengangguk, "Ya, kau benar juga, Ray. Laura harus lebih banyak meraih pengalamannya lebih dulu sebelum akhirnya menjadi ibu rumah tangga nantinya."

"Ya, itu benar. Karena menjadi ibu rumah tangga jauh lebih membutuhkan tenaga ekstra. Selain menjaga kerukunan keluarga, istri juga harus bisa banyak belajar sabar setelah punya anak." timpal Nera yang diangguki oleh Ray dan Niko.

Laura hanya menghela napas panjang sembari tersenyum kecil, meski dalam hatinya ia benar-benar malas akan percakapan seperti itu.

"Sayang, ayo kita dansa," ajak Ray pada Alin.

"Ya sayang, ayo," balas Alin dengan langsung menuju lantai dansa bersama Ray.

Laura pun mengambil gelas minuman dengan rasa yang lain, kemudian menatap geli akan gerak-gerik Ray yang kembali bermesraan di depan umum bersama Alin itu. Belum lagi, tatapan intens Ray justru tertuju padanya, padahal sudah ada Alin yang ia dekap mesra.

Laura pun memilih berlalu dan kemudian duduk santai di kursi yang cukup jauh dari lantai dansa itu. Hingga tak lama kemudian, Laura terkejut mendapati suasana gaduh dan dengan matanya yang seketika membulat melihat Alin yang tak sadarkan diri dalam gendongan Ray.

"Kak Alin! Apa yang terjadi?" ujarnya panik dan langsung mengikuti Ray yang membawa Alin ke rumah sakit.

*

Di rumah sakit, Laura merasa ada yang aneh dan semakin yakin bahwa ada sesuatu yang tak beres. Ia menatap Ray dengan tajam. "Apa yang kau bubuhkan dalam minuman Kak Alin?" tanyanya dengan suara yang terdengar menginterogasi.

Ray tercengang, namun ia masih bersikap santai. "Kau menuduhku?"

"Aku tak menuduh, tapi kau memang mencurigakan. Keadaan Kak Alin baik-baik saja sebelumnya, sampai akhirnya ia begini setelah meminum minuman yang awalnya ingin kuambil. Kau pasti sengaja meracuninya, 'kan?" balas Laura dengan tatapan curiga.

Ray hanya tersenyum dengan santai, seolah tidak merasa bersalah. "Aku memang sengaja. Memangnya kenapa?"

Sontak Laura terpaku dengan mulut menganga, sebab tak menyangka bahwa Ray bisa-bisanya melakukan hal itu dan mengakuinya dengan santai. "Kau tega, Kak. Kak Alin itu benar-benar mencintaimu dan kau malah meracuninya?"

Ray hanya mengangguk santai. "Tenang saja, Laura. Aku juga tak sampai membunuhnya, 'kan?" balasnya dengan nada yang tenang.

Laura hanya geleng-geleng tak menyangka, seraya menunjuk Ray, namun tak bisa lagi berkata apa pun. Ia sudah kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan kekesalannya pada pria tersebut. Laura pun memalingkan wajahnya dengan menghela napas kasar.

Ray dengan santai mengangkat bahu, masih dengan senyuman yang tak lepas dari bibirnya. "Bukankah itu artinya kita ditakdirkan untuk menikmati waktu bersama?" ujarnya, mencoba merayu dengan kata-katanya yang licik.

Laura kembali menatapnya tajam, dengan rasa jijik bercampur amarah memenuhi hatinya. "Kau benar-benar gila, Kak."

Ray justru tertawa, "Aku memang tergila-gila padamu, Laura."

Laura mengepalkan tangannya, berusaha menahan amarahnya. "Kau calon suami Kak Alin, jadi tergila-gila saja padanya." balasnya ketus.

Ray tertawa kecil, "Aku tak bisa, karena hanya kaulah canduku." ujarnya dengan pengakuan yang membuat Laura semakin kesal.

Dengan langkah cepat dan penuh amarah, Laura berlalu pergi, meninggalkan Ray yang masih berdiri dengan senyuman liciknya. Hatinya berkecamuk, antara takut dan marah, juga tak mengetahui apa yang harus dilakukan selanjutnya. Ia tak mungkin membiarkan Alin mendapatkan pria yang sangat aneh seperti Ray itu.

Hingga beberapa saat kemudian, Laura berdiri tegang di ruang tunggu laboratorium. Matanya fokus pada dokter yang sedang memegang sampel minuman. "Dokter, aku ingin hasil tes ini segera keluar." ucap Laura dengan nada yang berat.

Dokter itu dengan ekspresi tenang, memandang ke belakang Laura dan mengangguk perlahan, seolah mendapat isyarat dari seseorang. Ia pun kembali menatap Laura sembari tersenyum kecil. "Saya pastikan, anda tak akan menunggu terlalu lama."

"Terima kasih, Dok," ujar Laura yang diangguki oleh dokter itu.

Setelah dokter itu berlalu, Laura menoleh dan terkejut melihat Ray berdiri di belakangnya dengan senyum tipis di bibirnya. "Kau lagi?"

Ray melangkah, mendekati Laura yang masih saja menatapnya tajam. "Kau mau melakukan apa lagi, Laura?" tanyanya santai.

"Untuk apa kau mengikutiku? Kau mau memanipulasi hasil tes yang kulakukan di sini, iya?" ujar Laura dengan suara yang tegas.

Ray menahan tawa, "Aku tak merasa yang kau lakukan ini bermanfaat. Ayolah, kembali ke ruang kakakmu dan istirahatlah di sana," ajaknya lembut yang langsung dibalas gelengan oleh Laura.

"Pergilah ke sana sendiri! Aku tak mau pergi bersamamu. Aku ingin membuktikan kebusukan dan tindakan kejammu pada Kak Alin dan juga pada Papa. Kau telah meracuni Kak Alin dan semua orang harus tahu itu."

Ray melangkah dan makin mendekati Laura yang terus mundur. Tatapan dan ekspresi Ray begitu datar, membuat Laura merasa sedikit takut. "Kenapa juga kau peduli pada orang yang telah meracuni ibumu sendiri?"

Laura terkejut, dengan matanya yang membelalak tak percaya, "Apa maksudmu?" suaranya bergetar dan ia merasa bingung akan maksud di balik kata-kata Ray tersebut. 

Bab terkait

  • Pelabuhan Kedua   6

    Ray mendekat, menatap Laura dengan senyuman sinis. "Menurutmu apa? Aku tak mungkin melakukan sesuatu hal tanpa sebab. Harusnya, kau sedikit berterima kasih karena aku membantu keadilan untuk ibumu." jelasnya dengan kemudian langsung meninggalkan Laura begitu saja.Dalam kebingungan dan kekhawatiran yang mendalam tentang apa yang sebenarnya terjadi, Laura pun menyusul langkah cepat Ray. Hingga saat sampai di depan ruang Alin, Laura mencekal tangan pria itu, hingga membuatnya terkejut dan menatap intens padanya. "Ada apa?""Apa yang sebenarnya kau ketahui?" Tatapan Laura benar-benar tajam, seolah penuh penuntutan. Ray tersenyum tipis, kemudian memegang tangannya. "Aku tak bisa mengatakannya.""Kenapa tak bisa? Kau harus mengatakannya!" tuntut tegas Laura.Ray hanya diam, kemudian tiba-tiba melepas jasnya dan ia gunakan itu untuk menutup punggung Laura. Laura sendiri terkejut dengan tindakan Ray, dengan tatapannya yang masih tajam. "Aku memintamu menjawab pertanyaanku, bukan meminta

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-25
  • Pelabuhan Kedua   1

    Pagi itu, Laura terkejut mendengar suara teriakan dari kamar orang tuanya. Spontan ia keluar dari kamarnya dengan terburu-buru untuk menuju sumber suara tersebut. Namun, alangkah terkejutnya ia kala mendapati keadaan ayahnya yang di luar dugaannya."Papa!" teriaknya panik.Laura mendekati sosok pria yang tak lagi muda itu dan yang tengah meringis menahan sakit pada area dadanya."Papa kenapa, Pa?" tanya Laura panik. Namun sang ayah tak mampu mengucapkan sepatah kata pun dan membuat Laura semakin takut."Ma, ini Papa kenapa, Ma?" tanya Laura dengan mata yang berkaca-kaca pada sosok wanita yang juga masih berdiri dengan raut wajah cemas.Nera hanya menatap sendu Laura seraya menggeleng lemah. "Mama tak tahu, Ra. Saat papamu bangun tadi, tiba-tiba ia langsung melenguh sakit seperti ini. Katanya, dadanya sesak." jawabnya dengan suara bergetar.Tiba-tiba, suara dari hentakan kaki yang cepat mengeruhkan suasana."Dokternya udah di jalan, Ma. Sebentar lagi pasti sampai dan Papa akan baik-bai

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-02
  • Pelabuhan Kedua   2

    "Kenapa kau melihatku begitu?"Ucapan yang terdengar sedikit tegas itu membuyarkan kebingungan Laura. Bahkan, Laura sampai tak sadar jika pria tersebut telah duduk di hadapannya.Dengan suara terbata, "Bukankah anda sedang ada keperluan di luar?" tanya Laura gugup.Pria itu mengangguk sembari membolak-balikan berkas di mejanya. "Tadinya iya. Tapi setelah aku mendapat laporan bahwa kau datang ke kantorku, tentu saja aku harus kembali secepat mungkin." jawabnya dengan nada santai.Laura masih diam, sementara pria itu beralih menatap Laura dengan serius."Ada apa? Kau tak suka jika aku yang ada di sini? Aku akan panggilkan asistenku kalau begitu," ujarnya seraya meraih gagang telepon.Laura spontan menggeleng dengan cepat. "Bukan begitu, Kak. Um, maaf! Maksudku, Tuan Ray." terangnya dengan sedikit terbata.Ray kembali meletakkan gagang telepon tersebut, kemudian menatap Laura dengan tatapan intens. Hal itu membuat Laura langsung memalingkan pandangannya ke arah lain."Kau bisa panggil ak

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-02
  • Pelabuhan Kedua   3

    Ray menoleh, menatap wajah ketakutan Laura, kemudian ia tersenyum smirk. "Tentu saja menghias malam kita, Sayang." jawabnya santai, namun mampu membuat Laura merasa merinding.Laura makin merasa gugup, hingga ia meremas kuat pakaiannya sendiri. Ketakutan dan rasa bersalahnya membuatnya ingin menangis. Hingga tak ia sadari, Ray tengah berjalan menghampiri dan telah berdiri di hadapannya. Jarak yang begitu dekat di antara mereka membuat kegugupan luar biasa bagi Laura.Dengan memegang lembut dagu Laura, Ray justru tersenyum menatap gadis yang mulai terisak di depannya itu. "Kita bahkan belum memulainya dan kau sudah menangis?" tanyanya, dengan sudut bibirnya yang terangkat ke atas.Laura menggeleng lemah, kemudian menunduk dengan matanya yang terpejam. "Aku merasa tak mampu melakukan semua ini. Aku sama saja mengkhianati Kak Alin." jelasnya sembari terisak.Ray justru tetap bersikap santai dan mengusap rambut Laura dengan lembut. "Kau tak sedang mengkhianati siapa pun, Laura. Kau sedang

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-02
  • Pelabuhan Kedua   4

    Di hadapan cermin itu, Ray tengah mengaitkan kancing kemejanya dengan gerak yang mekanis. Hingga tiba-tiba, ponselnya berdering, menyela keheningan paginya. Tertera nama "Alin" di layar tersebut, membuat Ray dengan malas menjawabnya.Dengan napas berat, Ray terpaksa mengangkat panggilan itu. "Ya, Sayang?""Kenapa semalaman kau sulit dihubungi?" Suara Alin terdengar cemas dan kecewa.Ray menghimpit ponselnya menggunakan bahu dan telinga, sembari ia melingkarkan jam tangan mewah di pergelangan tangannya. "Bukankah Vian sudah memberitahumu jika aku keluar kota? Aku rapat dan ponselku tertinggal di mobil malam itu. Jadi, aku tak tahu kau menghubungiku." jawab Ray dengan suaranya yang datar.Alin menghela napas kasar dan merasa frustrasi. "Kau tak pernah seceroboh ini, Ray. Apa yang sebenarnya terjadi?"Ray menahan kesabaran, dengan tatapannya yang begitu tajam ke arah cermin. "Sudahlah, apa maumu sekarang? Aku sedang terburu-buru.""Kau melupakan hal penting bahwa seharusnya semalam kita

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-02

Bab terbaru

  • Pelabuhan Kedua   6

    Ray mendekat, menatap Laura dengan senyuman sinis. "Menurutmu apa? Aku tak mungkin melakukan sesuatu hal tanpa sebab. Harusnya, kau sedikit berterima kasih karena aku membantu keadilan untuk ibumu." jelasnya dengan kemudian langsung meninggalkan Laura begitu saja.Dalam kebingungan dan kekhawatiran yang mendalam tentang apa yang sebenarnya terjadi, Laura pun menyusul langkah cepat Ray. Hingga saat sampai di depan ruang Alin, Laura mencekal tangan pria itu, hingga membuatnya terkejut dan menatap intens padanya. "Ada apa?""Apa yang sebenarnya kau ketahui?" Tatapan Laura benar-benar tajam, seolah penuh penuntutan. Ray tersenyum tipis, kemudian memegang tangannya. "Aku tak bisa mengatakannya.""Kenapa tak bisa? Kau harus mengatakannya!" tuntut tegas Laura.Ray hanya diam, kemudian tiba-tiba melepas jasnya dan ia gunakan itu untuk menutup punggung Laura. Laura sendiri terkejut dengan tindakan Ray, dengan tatapannya yang masih tajam. "Aku memintamu menjawab pertanyaanku, bukan meminta

  • Pelabuhan Kedua   5

    Dengan menggenggam erat ponselnya, ekspresi Laura menjadi resah."Jadi anting itu jatuh dikamar Kak Ray? Aku tak mungkin ke sana lagi. Tapi jika Kak Alin ke sana dan menemukan anting itu, dia pasti akan curiga. Bagaimana ini?" ujarnya dalam hati.Laura terdiam sejenak, kemudian ia terkejut kala mendengar suara ketukan di pintu. Dengan segera, ia membuka pintu dan terkejut bukan kepalang mendapati Ray berdiri dengan santainya di ambang pintu."Kak Ray? Kau untuk apa di sini?" suara Laura bergetar, dengan matanya mencari-cari tanda-tanda ada orang lain atau tidaknya di sekitar.Ray hanya menatap datar padanya, seolah-olah kehadirannya adalah hal yang biasa. Dengan segera, ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya dan menyerahkannya pada Laura. "Minum ini! Itu akan mengurangi rasa sakitmu dan mencegahmu hamil." ucap Ray dengan nada serius dan juga dengan tatapan dingin.Laura menatap kesal ke arah Ray, dengan jantungnya yang berdegup kencang merasakan amarah. Dengan gerakan kasar, ia merebut

  • Pelabuhan Kedua   4

    Di hadapan cermin itu, Ray tengah mengaitkan kancing kemejanya dengan gerak yang mekanis. Hingga tiba-tiba, ponselnya berdering, menyela keheningan paginya. Tertera nama "Alin" di layar tersebut, membuat Ray dengan malas menjawabnya.Dengan napas berat, Ray terpaksa mengangkat panggilan itu. "Ya, Sayang?""Kenapa semalaman kau sulit dihubungi?" Suara Alin terdengar cemas dan kecewa.Ray menghimpit ponselnya menggunakan bahu dan telinga, sembari ia melingkarkan jam tangan mewah di pergelangan tangannya. "Bukankah Vian sudah memberitahumu jika aku keluar kota? Aku rapat dan ponselku tertinggal di mobil malam itu. Jadi, aku tak tahu kau menghubungiku." jawab Ray dengan suaranya yang datar.Alin menghela napas kasar dan merasa frustrasi. "Kau tak pernah seceroboh ini, Ray. Apa yang sebenarnya terjadi?"Ray menahan kesabaran, dengan tatapannya yang begitu tajam ke arah cermin. "Sudahlah, apa maumu sekarang? Aku sedang terburu-buru.""Kau melupakan hal penting bahwa seharusnya semalam kita

  • Pelabuhan Kedua   3

    Ray menoleh, menatap wajah ketakutan Laura, kemudian ia tersenyum smirk. "Tentu saja menghias malam kita, Sayang." jawabnya santai, namun mampu membuat Laura merasa merinding.Laura makin merasa gugup, hingga ia meremas kuat pakaiannya sendiri. Ketakutan dan rasa bersalahnya membuatnya ingin menangis. Hingga tak ia sadari, Ray tengah berjalan menghampiri dan telah berdiri di hadapannya. Jarak yang begitu dekat di antara mereka membuat kegugupan luar biasa bagi Laura.Dengan memegang lembut dagu Laura, Ray justru tersenyum menatap gadis yang mulai terisak di depannya itu. "Kita bahkan belum memulainya dan kau sudah menangis?" tanyanya, dengan sudut bibirnya yang terangkat ke atas.Laura menggeleng lemah, kemudian menunduk dengan matanya yang terpejam. "Aku merasa tak mampu melakukan semua ini. Aku sama saja mengkhianati Kak Alin." jelasnya sembari terisak.Ray justru tetap bersikap santai dan mengusap rambut Laura dengan lembut. "Kau tak sedang mengkhianati siapa pun, Laura. Kau sedang

  • Pelabuhan Kedua   2

    "Kenapa kau melihatku begitu?"Ucapan yang terdengar sedikit tegas itu membuyarkan kebingungan Laura. Bahkan, Laura sampai tak sadar jika pria tersebut telah duduk di hadapannya.Dengan suara terbata, "Bukankah anda sedang ada keperluan di luar?" tanya Laura gugup.Pria itu mengangguk sembari membolak-balikan berkas di mejanya. "Tadinya iya. Tapi setelah aku mendapat laporan bahwa kau datang ke kantorku, tentu saja aku harus kembali secepat mungkin." jawabnya dengan nada santai.Laura masih diam, sementara pria itu beralih menatap Laura dengan serius."Ada apa? Kau tak suka jika aku yang ada di sini? Aku akan panggilkan asistenku kalau begitu," ujarnya seraya meraih gagang telepon.Laura spontan menggeleng dengan cepat. "Bukan begitu, Kak. Um, maaf! Maksudku, Tuan Ray." terangnya dengan sedikit terbata.Ray kembali meletakkan gagang telepon tersebut, kemudian menatap Laura dengan tatapan intens. Hal itu membuat Laura langsung memalingkan pandangannya ke arah lain."Kau bisa panggil ak

  • Pelabuhan Kedua   1

    Pagi itu, Laura terkejut mendengar suara teriakan dari kamar orang tuanya. Spontan ia keluar dari kamarnya dengan terburu-buru untuk menuju sumber suara tersebut. Namun, alangkah terkejutnya ia kala mendapati keadaan ayahnya yang di luar dugaannya."Papa!" teriaknya panik.Laura mendekati sosok pria yang tak lagi muda itu dan yang tengah meringis menahan sakit pada area dadanya."Papa kenapa, Pa?" tanya Laura panik. Namun sang ayah tak mampu mengucapkan sepatah kata pun dan membuat Laura semakin takut."Ma, ini Papa kenapa, Ma?" tanya Laura dengan mata yang berkaca-kaca pada sosok wanita yang juga masih berdiri dengan raut wajah cemas.Nera hanya menatap sendu Laura seraya menggeleng lemah. "Mama tak tahu, Ra. Saat papamu bangun tadi, tiba-tiba ia langsung melenguh sakit seperti ini. Katanya, dadanya sesak." jawabnya dengan suara bergetar.Tiba-tiba, suara dari hentakan kaki yang cepat mengeruhkan suasana."Dokternya udah di jalan, Ma. Sebentar lagi pasti sampai dan Papa akan baik-bai

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status