Ray mendekat, menatap Laura dengan senyuman sinis. "Menurutmu apa? Aku tak mungkin melakukan sesuatu hal tanpa sebab. Harusnya, kau sedikit berterima kasih karena aku membantu keadilan untuk ibumu." jelasnya dengan kemudian langsung meninggalkan Laura begitu saja.
Dalam kebingungan dan kekhawatiran yang mendalam tentang apa yang sebenarnya terjadi, Laura pun menyusul langkah cepat Ray. Hingga saat sampai di depan ruang Alin, Laura mencekal tangan pria itu, hingga membuatnya terkejut dan menatap intens padanya. "Ada apa?" "Apa yang sebenarnya kau ketahui?" Tatapan Laura benar-benar tajam, seolah penuh penuntutan. Ray tersenyum tipis, kemudian memegang tangannya. "Aku tak bisa mengatakannya." "Kenapa tak bisa? Kau harus mengatakannya!" tuntut tegas Laura. Ray hanya diam, kemudian tiba-tiba melepas jasnya dan ia gunakan itu untuk menutup punggung Laura. Laura sendiri terkejut dengan tindakan Ray, dengan tatapannya yang masih tajam. "Aku memintamu menjawab pertanyaanku, bukan meminta jasmu." tegas Laura. Ray hanya tersenyum kecil, "Karena aku tahu kau pasti kedinginan." jawabnya singkat. Laura hendak melepas jas tersebut, namun Ray mencegahnya. "Aku tak mau tertular gila sepertimu." ujar Laura. "Kau harus tetap memakainya atau kau kupeluk!" paksa Ray dengan nada mengancam. Laura terpaku mendengar hal itu, dengan ia dan Ray yang sama-sama saling menatap. "Ada apa ini?" Sontak suara itu membuat Laura dan Ray sama-sama terkejut. "Mama?" ucap Laura dengan senyum kikuk dan langsung menjauhkan dirinya dari Ray. Ray sendiri tersenyum santai pada Nera yang mulai mendekati mereka. "Tante untuk apa malam-malam kemari? Biar aku saja yang menjaga Alin," ujarnya lembut. "Tante kesini karena mengkhawatirkan Alin." jawab Nera seraya menatap tak suka pada Laura. Laura pun teringat akan ayahnya dan langsung menatap Nera intens. "Terus Papa sekarang gimana, Ma?" Dengan senyum tipis, "Papa udah tidur. Dia udah cukup tenang pas tahu kalau Alin baik-baik aja." jawab Nera yang membuat Laura mengangguk lega. Nera pun menatap Laura dan Ray bergantian. "Kalian kenapa tadi kaya debat? Terus, ini Laura kenapa pakai jasnya Ray?" Laura hendak menjelaskan, namun didahului oleh Ray. "Mm...jadi begini, Tante. Tadi, Laura keras kepala ingin tetap di sini, padahal dia katanya lagi ga enak badan. Aku menyuruhnya untuk pulang, tapi dia gamau. Lalu, aku memaksanya memakai jasku agar tak kedinginan, tapi dia justru mengamuk. Hanya itu saja sebenarnya, Tante." jelas Ray dengan tawa kecil yang membuat Laura tercengang. "Ngamuk? Kapan aku ngamuk? Dasar mengada-ada!" batin Laura dengan kesal. Nera pun menepuk bahu Laura dengan lembut, "Kau tak boleh seperti itu, Laura. Kau harusnya merasa beruntung karena Ray peduli padamu. Jarang sekali ada pria yang mau peduli pada semua anggota keluarga calon istrinya." ujarnya menasihati. Laura spontan menggeleng dan menatap tajam pada Ray yang justru menahan tawa itu. "Ma, aku tak mengamuk sama sekali. Kak Ray yang mengada-ada." balasnya, mencoba membela diri. "Sudah-sudah! Sekarang, lebih baik kau pulang, karena besok kau harus kuliah, 'kan?" ucap Nera pada Laura, yang membuat Ray mengangguk setuju. "Iya sih, Ma. Tapi aku masih ingin di sini." jelas Laura. "Gausah, biar Mama aja yang di sini. Kau pulang dan istirahat," balas Nera. "Atau gini aja, Tante, biar Laura pulang sama aku. Sebenarnya, aku ada agenda besok pagi. Aku juga harus pulang dan menyiapkannya." ujar Ray dengan melirik pada Laura. "Bukankah tadi ia ingin jaga Kak Alin di sini? Apa maksudnya langsung ingin pulang di saat aku juga akan pulang?" kesal Laura dalam hati. Sontak Laura menggeleng dan tentu ia tak mau pulang bersama pria menyebalkan itu. Sebenarnya, Nera pun tak suka jika Laura terlalu dekat dengan Ray. Namun jika ia menolak tawaran Ray, rasanya ia terlalu berlebihan. "Ya, Ray, kau bisa pulang bersama Laura. Aku juga khawatir jika ia mengendarai mobil di malam yang larut seperti ini." balas Nera yang akhirnya setuju. Dengan ekspresi terkejut, "Aku bisa pulang sendiri kok, Ma. Lagi pula, tadi Kak Ray sendiri yang bilang jika ia akan jaga Kak Alin, meski tugas negaranya segunung. Jika sampai Kak Alin sadar dan Kak Ray tak ada, aku yakin dia akan kecewa." Laura berkata santai seraya menatap sinis Ray. "Eh, kau tak boleh memanfaatkan kebaikan orang lain! Ray adalah pria yang sibuk dan Mama yakin kalau Kak Alinmu pasti mengerti." balas Nera menasihati Laura. Laura hanya tersenyum kecut, sementara Nera beralih menatap Ray. "Tak apa, Ray, kau pulang dan istirahatlah," ucapnya sembari tersenyum. "Iya, Tante. Kalau gitu, aku akan pulang sama Laura dan agar supaya lebih aman." balas Ray yang diangguki oleh Nera. Setelah pamit pada Nera, Laura dan Ray pun berlalu pergi. Sementara itu, Nera segera memasuki ruang Alin dan menemaninya. Di sisi lain, Laura yang telah berada dalam mobil Ray, ia masih menatap kesal pada pria tersebut. "Mau makan dulu?" tawar Ray. "Tidak, aku sudah kenyang." jawab datar Laura. Ray pun tertawa kecil, membuat Laura menatap aneh padanya. "Kenyang makan apa? Aku tak lihat kau makan sejak tadi. Dan iya, kebetulan di dekat sini masih ada restoran yang buka. Kita kesana sekarang, oke?" Laura berdecak kesal, seraya menatap jalanan. "Ini udah jam 11 malem, Kak. Masihkah kau berselera makan? Lagi pula, aku tak mau gemuk." protes Laura yang kembali membuat Ray tertawa. "Segemuk apa pun dirimu, aku tetep sayang kok. Tenang aja!" jelas Ray dengan mengedipkan sebelah matanya. Laura menatapnya tajam, kemudian berdecak kesal. "Tak disayang kau pun, itu bukan masalah bagiku. Lagi pula, yang harusnya kau sayang itu Kak Alin, bukan aku!" ujarnya ketus. Ray menghela napas seraya tetap fokus mengemudi. "Aku tak mau menyayanginya lebih dari aku menyayangimu." Laura menoleh, masih menatap pria itu tajam, kemudian memalingkan wajahnya. "Jelaskan maksud dari ucapanmu tadi, Kak! Kenapa kau mengatakan Kak Alin meracuni ibuku?" "Aku tak bisa menjelaskannya untuk sekarang. Kau pun belum tentu akan percaya." terang Ray seraya menyeringaikan senyumnya. "Jadi, kau menuduh Kak Alin?" ucap Laura tak terima. Dengan senyum tipis, "Aku tak pernah buang-buang waktu hanya untuk omong kosong, Laura. Sembari aku mengumpulkan bukti, kau harus tetap diam akan hal yang kulakukan pada keluargamu!" balas Ray yang membuat Laura spontan menggeleng. "Sayangnya, aku akan menjadi garda terdepan untuk keluargaku dan aku akan segera mengungkap bahwa kaulah yang meracuni Kak Alin." balas tegas Laura, dengan tatapannya yang begitu bersaing pada Ray.Pagi itu, Laura terkejut mendengar suara teriakan dari kamar orang tuanya. Spontan ia keluar dari kamarnya dengan terburu-buru untuk menuju sumber suara tersebut. Namun, alangkah terkejutnya ia kala mendapati keadaan ayahnya yang di luar dugaannya."Papa!" teriaknya panik.Laura mendekati sosok pria yang tak lagi muda itu dan yang tengah meringis menahan sakit pada area dadanya."Papa kenapa, Pa?" tanya Laura panik. Namun sang ayah tak mampu mengucapkan sepatah kata pun dan membuat Laura semakin takut."Ma, ini Papa kenapa, Ma?" tanya Laura dengan mata yang berkaca-kaca pada sosok wanita yang juga masih berdiri dengan raut wajah cemas.Nera hanya menatap sendu Laura seraya menggeleng lemah. "Mama tak tahu, Ra. Saat papamu bangun tadi, tiba-tiba ia langsung melenguh sakit seperti ini. Katanya, dadanya sesak." jawabnya dengan suara bergetar.Tiba-tiba, suara dari hentakan kaki yang cepat mengeruhkan suasana."Dokternya udah di jalan, Ma. Sebentar lagi pasti sampai dan Papa akan baik-bai
"Kenapa kau melihatku begitu?"Ucapan yang terdengar sedikit tegas itu membuyarkan kebingungan Laura. Bahkan, Laura sampai tak sadar jika pria tersebut telah duduk di hadapannya.Dengan suara terbata, "Bukankah anda sedang ada keperluan di luar?" tanya Laura gugup.Pria itu mengangguk sembari membolak-balikan berkas di mejanya. "Tadinya iya. Tapi setelah aku mendapat laporan bahwa kau datang ke kantorku, tentu saja aku harus kembali secepat mungkin." jawabnya dengan nada santai.Laura masih diam, sementara pria itu beralih menatap Laura dengan serius."Ada apa? Kau tak suka jika aku yang ada di sini? Aku akan panggilkan asistenku kalau begitu," ujarnya seraya meraih gagang telepon.Laura spontan menggeleng dengan cepat. "Bukan begitu, Kak. Um, maaf! Maksudku, Tuan Ray." terangnya dengan sedikit terbata.Ray kembali meletakkan gagang telepon tersebut, kemudian menatap Laura dengan tatapan intens. Hal itu membuat Laura langsung memalingkan pandangannya ke arah lain."Kau bisa panggil ak
Ray menoleh, menatap wajah ketakutan Laura, kemudian ia tersenyum smirk. "Tentu saja menghias malam kita, Sayang." jawabnya santai, namun mampu membuat Laura merasa merinding.Laura makin merasa gugup, hingga ia meremas kuat pakaiannya sendiri. Ketakutan dan rasa bersalahnya membuatnya ingin menangis. Hingga tak ia sadari, Ray tengah berjalan menghampiri dan telah berdiri di hadapannya. Jarak yang begitu dekat di antara mereka membuat kegugupan luar biasa bagi Laura.Dengan memegang lembut dagu Laura, Ray justru tersenyum menatap gadis yang mulai terisak di depannya itu. "Kita bahkan belum memulainya dan kau sudah menangis?" tanyanya, dengan sudut bibirnya yang terangkat ke atas.Laura menggeleng lemah, kemudian menunduk dengan matanya yang terpejam. "Aku merasa tak mampu melakukan semua ini. Aku sama saja mengkhianati Kak Alin." jelasnya sembari terisak.Ray justru tetap bersikap santai dan mengusap rambut Laura dengan lembut. "Kau tak sedang mengkhianati siapa pun, Laura. Kau sedang
Di hadapan cermin itu, Ray tengah mengaitkan kancing kemejanya dengan gerak yang mekanis. Hingga tiba-tiba, ponselnya berdering, menyela keheningan paginya. Tertera nama "Alin" di layar tersebut, membuat Ray dengan malas menjawabnya.Dengan napas berat, Ray terpaksa mengangkat panggilan itu. "Ya, Sayang?""Kenapa semalaman kau sulit dihubungi?" Suara Alin terdengar cemas dan kecewa.Ray menghimpit ponselnya menggunakan bahu dan telinga, sembari ia melingkarkan jam tangan mewah di pergelangan tangannya. "Bukankah Vian sudah memberitahumu jika aku keluar kota? Aku rapat dan ponselku tertinggal di mobil malam itu. Jadi, aku tak tahu kau menghubungiku." jawab Ray dengan suaranya yang datar.Alin menghela napas kasar dan merasa frustrasi. "Kau tak pernah seceroboh ini, Ray. Apa yang sebenarnya terjadi?"Ray menahan kesabaran, dengan tatapannya yang begitu tajam ke arah cermin. "Sudahlah, apa maumu sekarang? Aku sedang terburu-buru.""Kau melupakan hal penting bahwa seharusnya semalam kita
Dengan menggenggam erat ponselnya, ekspresi Laura menjadi resah."Jadi anting itu jatuh dikamar Kak Ray? Aku tak mungkin ke sana lagi. Tapi jika Kak Alin ke sana dan menemukan anting itu, dia pasti akan curiga. Bagaimana ini?" ujarnya dalam hati.Laura terdiam sejenak, kemudian ia terkejut kala mendengar suara ketukan di pintu. Dengan segera, ia membuka pintu dan terkejut bukan kepalang mendapati Ray berdiri dengan santainya di ambang pintu."Kak Ray? Kau untuk apa di sini?" suara Laura bergetar, dengan matanya mencari-cari tanda-tanda ada orang lain atau tidaknya di sekitar.Ray hanya menatap datar padanya, seolah-olah kehadirannya adalah hal yang biasa. Dengan segera, ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya dan menyerahkannya pada Laura. "Minum ini! Itu akan mengurangi rasa sakitmu dan mencegahmu hamil." ucap Ray dengan nada serius dan juga dengan tatapan dingin.Laura menatap kesal ke arah Ray, dengan jantungnya yang berdegup kencang merasakan amarah. Dengan gerakan kasar, ia merebut
Ray mendekat, menatap Laura dengan senyuman sinis. "Menurutmu apa? Aku tak mungkin melakukan sesuatu hal tanpa sebab. Harusnya, kau sedikit berterima kasih karena aku membantu keadilan untuk ibumu." jelasnya dengan kemudian langsung meninggalkan Laura begitu saja.Dalam kebingungan dan kekhawatiran yang mendalam tentang apa yang sebenarnya terjadi, Laura pun menyusul langkah cepat Ray. Hingga saat sampai di depan ruang Alin, Laura mencekal tangan pria itu, hingga membuatnya terkejut dan menatap intens padanya. "Ada apa?""Apa yang sebenarnya kau ketahui?" Tatapan Laura benar-benar tajam, seolah penuh penuntutan. Ray tersenyum tipis, kemudian memegang tangannya. "Aku tak bisa mengatakannya.""Kenapa tak bisa? Kau harus mengatakannya!" tuntut tegas Laura.Ray hanya diam, kemudian tiba-tiba melepas jasnya dan ia gunakan itu untuk menutup punggung Laura. Laura sendiri terkejut dengan tindakan Ray, dengan tatapannya yang masih tajam. "Aku memintamu menjawab pertanyaanku, bukan meminta
Dengan menggenggam erat ponselnya, ekspresi Laura menjadi resah."Jadi anting itu jatuh dikamar Kak Ray? Aku tak mungkin ke sana lagi. Tapi jika Kak Alin ke sana dan menemukan anting itu, dia pasti akan curiga. Bagaimana ini?" ujarnya dalam hati.Laura terdiam sejenak, kemudian ia terkejut kala mendengar suara ketukan di pintu. Dengan segera, ia membuka pintu dan terkejut bukan kepalang mendapati Ray berdiri dengan santainya di ambang pintu."Kak Ray? Kau untuk apa di sini?" suara Laura bergetar, dengan matanya mencari-cari tanda-tanda ada orang lain atau tidaknya di sekitar.Ray hanya menatap datar padanya, seolah-olah kehadirannya adalah hal yang biasa. Dengan segera, ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya dan menyerahkannya pada Laura. "Minum ini! Itu akan mengurangi rasa sakitmu dan mencegahmu hamil." ucap Ray dengan nada serius dan juga dengan tatapan dingin.Laura menatap kesal ke arah Ray, dengan jantungnya yang berdegup kencang merasakan amarah. Dengan gerakan kasar, ia merebut
Di hadapan cermin itu, Ray tengah mengaitkan kancing kemejanya dengan gerak yang mekanis. Hingga tiba-tiba, ponselnya berdering, menyela keheningan paginya. Tertera nama "Alin" di layar tersebut, membuat Ray dengan malas menjawabnya.Dengan napas berat, Ray terpaksa mengangkat panggilan itu. "Ya, Sayang?""Kenapa semalaman kau sulit dihubungi?" Suara Alin terdengar cemas dan kecewa.Ray menghimpit ponselnya menggunakan bahu dan telinga, sembari ia melingkarkan jam tangan mewah di pergelangan tangannya. "Bukankah Vian sudah memberitahumu jika aku keluar kota? Aku rapat dan ponselku tertinggal di mobil malam itu. Jadi, aku tak tahu kau menghubungiku." jawab Ray dengan suaranya yang datar.Alin menghela napas kasar dan merasa frustrasi. "Kau tak pernah seceroboh ini, Ray. Apa yang sebenarnya terjadi?"Ray menahan kesabaran, dengan tatapannya yang begitu tajam ke arah cermin. "Sudahlah, apa maumu sekarang? Aku sedang terburu-buru.""Kau melupakan hal penting bahwa seharusnya semalam kita
Ray menoleh, menatap wajah ketakutan Laura, kemudian ia tersenyum smirk. "Tentu saja menghias malam kita, Sayang." jawabnya santai, namun mampu membuat Laura merasa merinding.Laura makin merasa gugup, hingga ia meremas kuat pakaiannya sendiri. Ketakutan dan rasa bersalahnya membuatnya ingin menangis. Hingga tak ia sadari, Ray tengah berjalan menghampiri dan telah berdiri di hadapannya. Jarak yang begitu dekat di antara mereka membuat kegugupan luar biasa bagi Laura.Dengan memegang lembut dagu Laura, Ray justru tersenyum menatap gadis yang mulai terisak di depannya itu. "Kita bahkan belum memulainya dan kau sudah menangis?" tanyanya, dengan sudut bibirnya yang terangkat ke atas.Laura menggeleng lemah, kemudian menunduk dengan matanya yang terpejam. "Aku merasa tak mampu melakukan semua ini. Aku sama saja mengkhianati Kak Alin." jelasnya sembari terisak.Ray justru tetap bersikap santai dan mengusap rambut Laura dengan lembut. "Kau tak sedang mengkhianati siapa pun, Laura. Kau sedang
"Kenapa kau melihatku begitu?"Ucapan yang terdengar sedikit tegas itu membuyarkan kebingungan Laura. Bahkan, Laura sampai tak sadar jika pria tersebut telah duduk di hadapannya.Dengan suara terbata, "Bukankah anda sedang ada keperluan di luar?" tanya Laura gugup.Pria itu mengangguk sembari membolak-balikan berkas di mejanya. "Tadinya iya. Tapi setelah aku mendapat laporan bahwa kau datang ke kantorku, tentu saja aku harus kembali secepat mungkin." jawabnya dengan nada santai.Laura masih diam, sementara pria itu beralih menatap Laura dengan serius."Ada apa? Kau tak suka jika aku yang ada di sini? Aku akan panggilkan asistenku kalau begitu," ujarnya seraya meraih gagang telepon.Laura spontan menggeleng dengan cepat. "Bukan begitu, Kak. Um, maaf! Maksudku, Tuan Ray." terangnya dengan sedikit terbata.Ray kembali meletakkan gagang telepon tersebut, kemudian menatap Laura dengan tatapan intens. Hal itu membuat Laura langsung memalingkan pandangannya ke arah lain."Kau bisa panggil ak
Pagi itu, Laura terkejut mendengar suara teriakan dari kamar orang tuanya. Spontan ia keluar dari kamarnya dengan terburu-buru untuk menuju sumber suara tersebut. Namun, alangkah terkejutnya ia kala mendapati keadaan ayahnya yang di luar dugaannya."Papa!" teriaknya panik.Laura mendekati sosok pria yang tak lagi muda itu dan yang tengah meringis menahan sakit pada area dadanya."Papa kenapa, Pa?" tanya Laura panik. Namun sang ayah tak mampu mengucapkan sepatah kata pun dan membuat Laura semakin takut."Ma, ini Papa kenapa, Ma?" tanya Laura dengan mata yang berkaca-kaca pada sosok wanita yang juga masih berdiri dengan raut wajah cemas.Nera hanya menatap sendu Laura seraya menggeleng lemah. "Mama tak tahu, Ra. Saat papamu bangun tadi, tiba-tiba ia langsung melenguh sakit seperti ini. Katanya, dadanya sesak." jawabnya dengan suara bergetar.Tiba-tiba, suara dari hentakan kaki yang cepat mengeruhkan suasana."Dokternya udah di jalan, Ma. Sebentar lagi pasti sampai dan Papa akan baik-bai