Ray menoleh, menatap wajah ketakutan Laura, kemudian ia tersenyum smirk. "Tentu saja menghias malam kita, Sayang." jawabnya santai, namun mampu membuat Laura merasa merinding.
Laura makin merasa gugup, hingga ia meremas kuat pakaiannya sendiri. Ketakutan dan rasa bersalahnya membuatnya ingin menangis. Hingga tak ia sadari, Ray tengah berjalan menghampiri dan telah berdiri di hadapannya. Jarak yang begitu dekat di antara mereka membuat kegugupan luar biasa bagi Laura.
Dengan memegang lembut dagu Laura, Ray justru tersenyum menatap gadis yang mulai terisak di depannya itu. "Kita bahkan belum memulainya dan kau sudah menangis?" tanyanya, dengan sudut bibirnya yang terangkat ke atas.
Laura menggeleng lemah, kemudian menunduk dengan matanya yang terpejam. "Aku merasa tak mampu melakukan semua ini. Aku sama saja mengkhianati Kak Alin." jelasnya sembari terisak.
Ray justru tetap bersikap santai dan mengusap rambut Laura dengan lembut. "Kau tak sedang mengkhianati siapa pun, Laura. Kau sedang membantu masalah ayahmu. Bukankah kau ingin agar semua masalah ini cepat selesai? Aku sudah membantu sebagian masalah itu, sebagai bukti bahwa aku tak main-main. Jadi, aku tak suka kalau kau pun main-main denganku."
Laura menatap Ray dengan nanar, sementara Ray justru menyeringaikan senyumnya.
"Aku tak ingin kau terlalu tertekan saat ini. Karena itu, mari kita berdansa terlebih dulu," ujar Ray dengan mengulurkan tangannya.
Laura masih diam, kemudian menerima uluran tangan tersebut. Keduanya berjalan menuju balkon yang terhias indah. Senyuman lebar terpampang jelas di wajah Ray, namun tidak dengan ekspresi Laura. Ia justru merasa tegang dan juga takut saat Ray tiba-tiba merengkuh pinggangnya.
"Aku sudah menunggu saat-saat seperti ini sejak bertahun-tahun, Laura. Kau adalah milikku malam ini dan aku tak akan melepasmu setelah ini." ucap Ray dalam hati, dengan tatapannya yang begitu mendalam pada Laura.
Laura sendiri masih diam, dengan keadaannya yang kaku dalam mengikuti gerakan dansa Ray. Hingga tiba-tiba, ia terkejut kala Ray menghentakkan tubuhnya dan membuatnya berada dalam dekapan erat pria itu.
Keduanya hanya diam, dalam peraduan tatapan mereka. Ray sendiri masih menatap intens wajah Laura, mengusap lembut bibirnya, kemudian langsung menyambar bibir itu begitu saja. Hal itu jelas membuat Laura terkejut, sebab baru kali itulah ia mendapat ciuman.
*
Sementara di sisi lain, Alin merasa heran sebab Ray tak kunjung mengangkat panggilan teleponnya. Tak hanya sekali, namun sudah berkali-kali Alin menghubungi Ray. Namun sayangnya, pria itu tak kunjung mengangkat panggilannya.
"Mungkinkah dia lembur di kantor?" gumamnya seraya menerka-nerka.
Alin yang baru menyelesaikan pemotretannya pun langsung memutar arah mobilnya untuk menuju ke perusahaan milik Ray. Namun, setelah ia sampai di lokasi tersebut, Alin justru mendapati fakta yang tak ia duga sebelumnya.
"Apa? Ray tak ada di kantor?"
Security di hadapannya langsung mengangguk. "Benar, Nona. Tuan Ray sudah meninggalkan perusahaan sejak pukul 05.00 sore tadi."
Rasa penasaran jelas terpampang di wajah Alin saat itu juga. Ia langsung berlalu tanpa sepatah kata pun, kemudian mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi.
*
Sementara di hunian Ray, Laura mendorong kuat dada pria itu hingga ciuman mereka berakhir.
"Ada apa, hm?" tanya Ray seraya menyeringaikan senyumnya.
Laura yang baru saja menyeka sisa saliva di bibirnya pun langsung menunjuk ke arah ponsel Ray. "Sejak tadi ponselmu berbunyi. Aku yakin, itu pasti dari Kak Alin."
Ray hanya menoleh sekilas dan terkesan tak peduli. "Apa itu penting? Aku tak ingin ada pengganggu untuk kita malam ini, bahkan meski itu kakakmu sendiri." balasnya santai.
Tiba-tiba, ponsel itu kembali berdering dan membuat Ray berdecak kesal. Ia berjalan dan meraih ponsel yang mulanya tergeletak di atas meja tersebut. Ray tersenyum dan menunjukkan nama yang tertera di ponselnya pada Laura.
"Kali ini Vian, bukan Alin." ujarnya dengan langsung menerima panggilan itu.
Laura hanya diam, meski sebenarnya ia penasaran apa yang dibicarakan Vian dari telepon itu. Ekspresi wajah Ray yang begitu serius membuat Laura yakin bahwa ada sesuatu yang tak menyenangkan.
"Katakan saja aku pergi ke luar kota dan jangan sampai dia ke hunianku!" titah tegas Ray, dengan ia yang langsung mengakhiri panggilan telepon tersebut.
"Apa ada masalah?" tanya Laura yang dibalas gelengan kepala oleh Ray.
"Tak ada, Laura." jawab Ray, dengan ia yang mulai menarik kursi. "Kemarilah dan ayo kita nikmati hidangan ini dulu!" ajaknya lembut.
Laura dengan canggung mendekat dan duduk di kursi yang disiapkan oleh Ray. Ray pula kemudian duduk tepat di hadapan Laura. Tak hanya sampai di sana, Ray pula yang memotongkan steak untuk gadis di hadapannya itu.
"Makanlah," ujarnya sembari tersenyum.
Laura hanya tersenyum tipis, kemudian terpaksa menikmati makan malam itu, bersama sosok pria yang nyatanya adalah calon kakak iparnya.
"Bagaimana, enak?"
Pertanyaan dari Ray itu langsung direspon anggukan dan senyuman kecil oleh Laura.
"Semua ini, aku yang membuatnya sendiri. Meski aku tak tahu kau akan datang atau tidak, tapi aku sudah yakin kalau kau pasti datang." ujar Ray sembari menyeringaikan senyumnya.
Laura makin merasa gelisah saat ponsel Ray kembali berdering. Lebih parahnya lagi, Laura dapat melihat nama "Alin" yang tertera di sana. Namun dengan segera, Ray justru mematikan ponselnya tersebut. Seolah-olah, ia tak berselera menanggapi calon istrinya sendiri.
"Kalau kau begitu, Kak Alin bisa saja malah kemari." ujar Laura.
Ray menggeleng dan kembali melahap makanannya dengan santai. "Vian akan mengatasi jika itu sampai terjadi. Tenang saja dan habiskan makananmu!" balasnya dengan begitu meyakinkan.
*
Hingga pada pagi harinya, Alin terkejut karena ia tak sadar telah tertidur di ruang tamu untuk menunggu kepulangan Laura. Ia menoleh ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 07.00. Sontak ia langsung terduduk dengan rasa terkejut, sebab ia bangun kesiangan.
"Astaga, aku terlambat! Ah iya, apa Laura masih belum juga pulang?" gumamnya sembari mengusap-usap matanya.
Alin sontak bangkit dari tempat itu dan segera menuju ke kamar Laura. Dengan langsung membuka pintu kamar begitu saja, Alin merasa lega sebab gadis yang ia cari ternyata terbaring lelap di atas ranjang.
Dengan menepuk-nepuk pelan bahu Laura, "Laura! Laura, bangun, Laura!" panggilnya pelan.
Laura sontak membuka matanya dan menoleh menatap sosok kakaknya itu.
"Kau pulang jam berapa? Aku menunggumu di ruang tamu sampai tertidur. Kenapa kau tak membangunkanku?" tanya Alin dengan lembut.
Dengan senyum kikuk, "Mm... maaf Kak, aku sampai tak melihatmu karena aku begitu mengantuk. Aku tak ingat sampai di rumah jam berapa, karena aku langsung ke kamar dan tidur." jawab Laura dengan suara parau dan sedikit gugup.
Pasalnya, bukan itu fakta yang sebenarnya. Sebab, Laura sampai di rumah saat sudah menjelang pagi. Ia sebenarnya tahu keberadaan Alin, namun sengaja tak membangunkannya. Keadaannya yang saat itu kesulitan berjalan, membuatnya tak mau Alin curiga akan keadaannya.
Alin pun mengangguk dan tersenyum. "Baiklah kalau begitu. Aku akan siap-siap untuk pemotretan lagi hari ini. Kau cepatlah mandi dan aku akan mengantarmu ke kantor nanti."
Laura mengangguk kecil sembari tersenyum. "Iya Kak," balasnya lembut.
Alin pun berlalu dari kamar itu, dengan Laura yang menatap penuh rasa bersalah padanya.
*
Sementara di tempat lain, seorang pria dengan dada bidangnya yang tak tertutup sehelai benang pun, baru terbangun. Bahkan, pesona wajah bangun tidurnya saja sudah cukup menawan. Ditambah lagi, ia juga tersenyum saat itu.
Ingatannya akan semalam membuatnya benar-benar merasa makin bergairah dan lebih bersemangat. Hingga tiba-tiba, tatapannya teralihkan pada bercak merah di sprei miliknya.
Ia masih menatap datar bercak itu untuk beberapa saat, hingga kemudian ia meraih ponselnya dan menghubungi seseorang. "Cabut tuntutan itu dan buat nama baik perusahaan Niko kembali secepatnya!"
Di hadapan cermin itu, Ray tengah mengaitkan kancing kemejanya dengan gerak yang mekanis. Hingga tiba-tiba, ponselnya berdering, menyela keheningan paginya. Tertera nama "Alin" di layar tersebut, membuat Ray dengan malas menjawabnya.Dengan napas berat, Ray terpaksa mengangkat panggilan itu. "Ya, Sayang?""Kenapa semalaman kau sulit dihubungi?" Suara Alin terdengar cemas dan kecewa.Ray menghimpit ponselnya menggunakan bahu dan telinga, sembari ia melingkarkan jam tangan mewah di pergelangan tangannya. "Bukankah Vian sudah memberitahumu jika aku keluar kota? Aku rapat dan ponselku tertinggal di mobil malam itu. Jadi, aku tak tahu kau menghubungiku." jawab Ray dengan suaranya yang datar.Alin menghela napas kasar dan merasa frustrasi. "Kau tak pernah seceroboh ini, Ray. Apa yang sebenarnya terjadi?"Ray menahan kesabaran, dengan tatapannya yang begitu tajam ke arah cermin. "Sudahlah, apa maumu sekarang? Aku sedang terburu-buru.""Kau melupakan hal penting bahwa seharusnya semalam kita
Dengan menggenggam erat ponselnya, ekspresi Laura menjadi resah."Jadi anting itu jatuh dikamar Kak Ray? Aku tak mungkin ke sana lagi. Tapi jika Kak Alin ke sana dan menemukan anting itu, dia pasti akan curiga. Bagaimana ini?" ujarnya dalam hati.Laura terdiam sejenak, kemudian ia terkejut kala mendengar suara ketukan di pintu. Dengan segera, ia membuka pintu dan terkejut bukan kepalang mendapati Ray berdiri dengan santainya di ambang pintu."Kak Ray? Kau untuk apa di sini?" suara Laura bergetar, dengan matanya mencari-cari tanda-tanda ada orang lain atau tidaknya di sekitar.Ray hanya menatap datar padanya, seolah-olah kehadirannya adalah hal yang biasa. Dengan segera, ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya dan menyerahkannya pada Laura. "Minum ini! Itu akan mengurangi rasa sakitmu dan mencegahmu hamil." ucap Ray dengan nada serius dan juga dengan tatapan dingin.Laura menatap kesal ke arah Ray, dengan jantungnya yang berdegup kencang merasakan amarah. Dengan gerakan kasar, ia merebut
Ray mendekat, menatap Laura dengan senyuman sinis. "Menurutmu apa? Aku tak mungkin melakukan sesuatu hal tanpa sebab. Harusnya, kau sedikit berterima kasih karena aku membantu keadilan untuk ibumu." jelasnya dengan kemudian langsung meninggalkan Laura begitu saja.Dalam kebingungan dan kekhawatiran yang mendalam tentang apa yang sebenarnya terjadi, Laura pun menyusul langkah cepat Ray. Hingga saat sampai di depan ruang Alin, Laura mencekal tangan pria itu, hingga membuatnya terkejut dan menatap intens padanya. "Ada apa?""Apa yang sebenarnya kau ketahui?" Tatapan Laura benar-benar tajam, seolah penuh penuntutan. Ray tersenyum tipis, kemudian memegang tangannya. "Aku tak bisa mengatakannya.""Kenapa tak bisa? Kau harus mengatakannya!" tuntut tegas Laura.Ray hanya diam, kemudian tiba-tiba melepas jasnya dan ia gunakan itu untuk menutup punggung Laura. Laura sendiri terkejut dengan tindakan Ray, dengan tatapannya yang masih tajam. "Aku memintamu menjawab pertanyaanku, bukan meminta
Pagi itu, Laura terkejut mendengar suara teriakan dari kamar orang tuanya. Spontan ia keluar dari kamarnya dengan terburu-buru untuk menuju sumber suara tersebut. Namun, alangkah terkejutnya ia kala mendapati keadaan ayahnya yang di luar dugaannya."Papa!" teriaknya panik.Laura mendekati sosok pria yang tak lagi muda itu dan yang tengah meringis menahan sakit pada area dadanya."Papa kenapa, Pa?" tanya Laura panik. Namun sang ayah tak mampu mengucapkan sepatah kata pun dan membuat Laura semakin takut."Ma, ini Papa kenapa, Ma?" tanya Laura dengan mata yang berkaca-kaca pada sosok wanita yang juga masih berdiri dengan raut wajah cemas.Nera hanya menatap sendu Laura seraya menggeleng lemah. "Mama tak tahu, Ra. Saat papamu bangun tadi, tiba-tiba ia langsung melenguh sakit seperti ini. Katanya, dadanya sesak." jawabnya dengan suara bergetar.Tiba-tiba, suara dari hentakan kaki yang cepat mengeruhkan suasana."Dokternya udah di jalan, Ma. Sebentar lagi pasti sampai dan Papa akan baik-bai
"Kenapa kau melihatku begitu?"Ucapan yang terdengar sedikit tegas itu membuyarkan kebingungan Laura. Bahkan, Laura sampai tak sadar jika pria tersebut telah duduk di hadapannya.Dengan suara terbata, "Bukankah anda sedang ada keperluan di luar?" tanya Laura gugup.Pria itu mengangguk sembari membolak-balikan berkas di mejanya. "Tadinya iya. Tapi setelah aku mendapat laporan bahwa kau datang ke kantorku, tentu saja aku harus kembali secepat mungkin." jawabnya dengan nada santai.Laura masih diam, sementara pria itu beralih menatap Laura dengan serius."Ada apa? Kau tak suka jika aku yang ada di sini? Aku akan panggilkan asistenku kalau begitu," ujarnya seraya meraih gagang telepon.Laura spontan menggeleng dengan cepat. "Bukan begitu, Kak. Um, maaf! Maksudku, Tuan Ray." terangnya dengan sedikit terbata.Ray kembali meletakkan gagang telepon tersebut, kemudian menatap Laura dengan tatapan intens. Hal itu membuat Laura langsung memalingkan pandangannya ke arah lain."Kau bisa panggil ak
Ray mendekat, menatap Laura dengan senyuman sinis. "Menurutmu apa? Aku tak mungkin melakukan sesuatu hal tanpa sebab. Harusnya, kau sedikit berterima kasih karena aku membantu keadilan untuk ibumu." jelasnya dengan kemudian langsung meninggalkan Laura begitu saja.Dalam kebingungan dan kekhawatiran yang mendalam tentang apa yang sebenarnya terjadi, Laura pun menyusul langkah cepat Ray. Hingga saat sampai di depan ruang Alin, Laura mencekal tangan pria itu, hingga membuatnya terkejut dan menatap intens padanya. "Ada apa?""Apa yang sebenarnya kau ketahui?" Tatapan Laura benar-benar tajam, seolah penuh penuntutan. Ray tersenyum tipis, kemudian memegang tangannya. "Aku tak bisa mengatakannya.""Kenapa tak bisa? Kau harus mengatakannya!" tuntut tegas Laura.Ray hanya diam, kemudian tiba-tiba melepas jasnya dan ia gunakan itu untuk menutup punggung Laura. Laura sendiri terkejut dengan tindakan Ray, dengan tatapannya yang masih tajam. "Aku memintamu menjawab pertanyaanku, bukan meminta
Dengan menggenggam erat ponselnya, ekspresi Laura menjadi resah."Jadi anting itu jatuh dikamar Kak Ray? Aku tak mungkin ke sana lagi. Tapi jika Kak Alin ke sana dan menemukan anting itu, dia pasti akan curiga. Bagaimana ini?" ujarnya dalam hati.Laura terdiam sejenak, kemudian ia terkejut kala mendengar suara ketukan di pintu. Dengan segera, ia membuka pintu dan terkejut bukan kepalang mendapati Ray berdiri dengan santainya di ambang pintu."Kak Ray? Kau untuk apa di sini?" suara Laura bergetar, dengan matanya mencari-cari tanda-tanda ada orang lain atau tidaknya di sekitar.Ray hanya menatap datar padanya, seolah-olah kehadirannya adalah hal yang biasa. Dengan segera, ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya dan menyerahkannya pada Laura. "Minum ini! Itu akan mengurangi rasa sakitmu dan mencegahmu hamil." ucap Ray dengan nada serius dan juga dengan tatapan dingin.Laura menatap kesal ke arah Ray, dengan jantungnya yang berdegup kencang merasakan amarah. Dengan gerakan kasar, ia merebut
Di hadapan cermin itu, Ray tengah mengaitkan kancing kemejanya dengan gerak yang mekanis. Hingga tiba-tiba, ponselnya berdering, menyela keheningan paginya. Tertera nama "Alin" di layar tersebut, membuat Ray dengan malas menjawabnya.Dengan napas berat, Ray terpaksa mengangkat panggilan itu. "Ya, Sayang?""Kenapa semalaman kau sulit dihubungi?" Suara Alin terdengar cemas dan kecewa.Ray menghimpit ponselnya menggunakan bahu dan telinga, sembari ia melingkarkan jam tangan mewah di pergelangan tangannya. "Bukankah Vian sudah memberitahumu jika aku keluar kota? Aku rapat dan ponselku tertinggal di mobil malam itu. Jadi, aku tak tahu kau menghubungiku." jawab Ray dengan suaranya yang datar.Alin menghela napas kasar dan merasa frustrasi. "Kau tak pernah seceroboh ini, Ray. Apa yang sebenarnya terjadi?"Ray menahan kesabaran, dengan tatapannya yang begitu tajam ke arah cermin. "Sudahlah, apa maumu sekarang? Aku sedang terburu-buru.""Kau melupakan hal penting bahwa seharusnya semalam kita
Ray menoleh, menatap wajah ketakutan Laura, kemudian ia tersenyum smirk. "Tentu saja menghias malam kita, Sayang." jawabnya santai, namun mampu membuat Laura merasa merinding.Laura makin merasa gugup, hingga ia meremas kuat pakaiannya sendiri. Ketakutan dan rasa bersalahnya membuatnya ingin menangis. Hingga tak ia sadari, Ray tengah berjalan menghampiri dan telah berdiri di hadapannya. Jarak yang begitu dekat di antara mereka membuat kegugupan luar biasa bagi Laura.Dengan memegang lembut dagu Laura, Ray justru tersenyum menatap gadis yang mulai terisak di depannya itu. "Kita bahkan belum memulainya dan kau sudah menangis?" tanyanya, dengan sudut bibirnya yang terangkat ke atas.Laura menggeleng lemah, kemudian menunduk dengan matanya yang terpejam. "Aku merasa tak mampu melakukan semua ini. Aku sama saja mengkhianati Kak Alin." jelasnya sembari terisak.Ray justru tetap bersikap santai dan mengusap rambut Laura dengan lembut. "Kau tak sedang mengkhianati siapa pun, Laura. Kau sedang
"Kenapa kau melihatku begitu?"Ucapan yang terdengar sedikit tegas itu membuyarkan kebingungan Laura. Bahkan, Laura sampai tak sadar jika pria tersebut telah duduk di hadapannya.Dengan suara terbata, "Bukankah anda sedang ada keperluan di luar?" tanya Laura gugup.Pria itu mengangguk sembari membolak-balikan berkas di mejanya. "Tadinya iya. Tapi setelah aku mendapat laporan bahwa kau datang ke kantorku, tentu saja aku harus kembali secepat mungkin." jawabnya dengan nada santai.Laura masih diam, sementara pria itu beralih menatap Laura dengan serius."Ada apa? Kau tak suka jika aku yang ada di sini? Aku akan panggilkan asistenku kalau begitu," ujarnya seraya meraih gagang telepon.Laura spontan menggeleng dengan cepat. "Bukan begitu, Kak. Um, maaf! Maksudku, Tuan Ray." terangnya dengan sedikit terbata.Ray kembali meletakkan gagang telepon tersebut, kemudian menatap Laura dengan tatapan intens. Hal itu membuat Laura langsung memalingkan pandangannya ke arah lain."Kau bisa panggil ak
Pagi itu, Laura terkejut mendengar suara teriakan dari kamar orang tuanya. Spontan ia keluar dari kamarnya dengan terburu-buru untuk menuju sumber suara tersebut. Namun, alangkah terkejutnya ia kala mendapati keadaan ayahnya yang di luar dugaannya."Papa!" teriaknya panik.Laura mendekati sosok pria yang tak lagi muda itu dan yang tengah meringis menahan sakit pada area dadanya."Papa kenapa, Pa?" tanya Laura panik. Namun sang ayah tak mampu mengucapkan sepatah kata pun dan membuat Laura semakin takut."Ma, ini Papa kenapa, Ma?" tanya Laura dengan mata yang berkaca-kaca pada sosok wanita yang juga masih berdiri dengan raut wajah cemas.Nera hanya menatap sendu Laura seraya menggeleng lemah. "Mama tak tahu, Ra. Saat papamu bangun tadi, tiba-tiba ia langsung melenguh sakit seperti ini. Katanya, dadanya sesak." jawabnya dengan suara bergetar.Tiba-tiba, suara dari hentakan kaki yang cepat mengeruhkan suasana."Dokternya udah di jalan, Ma. Sebentar lagi pasti sampai dan Papa akan baik-bai