Arni tertidur setelah kelelahan menangis usai bertengkar dengan Ardan. Sedangkan Ardan, dia pergi begitu saja tanpa menghiraukan Arni yang terus menangis hingga tersengal-sengal. Subuh, Arni terbangun. Lalu menyiapkan adonan untuk membuat gorengan. Setelah semuanya matang, dia langsung mengantarkannya ke warung pelanggannya dalam keadaan hangat. Terakhir, Arni mengantarkannya ke warung Pak Nanang yang berada didepan TK tempat anak-anaknya bersekolah. "Wah, Mbak Arni pagi sekali!" sapa Pak Nanang yang sedang menyapu didepan warung saat Arni datang. Arni tersenyum. "Iya Pak, kebetulan anak-anak semalam menginap di rumah simbahnya. Jadi aku bisa menyelesaikan pekerjaan lebih cepat." jawab Arni. "Ya sudah, duduk dulu Mbak Arni! Biar tak buatkan teh hangat, sekali-kali mumpung Mbak Arni sedang tidak terburu-buru." "Terima kasih, Pak. Oh ya, ibu kemana? Kok tumben jam segini belum kelihatan?" "Sebentar lagi juga datang, tadi katanya mau menjemur pakaian dulu. Mumpung di warung belum m
Bab 1"Mas! Kamu baru pulang?" tanya Arni yang baru saja selesai shalat subuh. Namun Ardan hanya menatapnya malas sambil melengos tak suka karena tiba-tiba ditanya."Jadi benar, Mas? Kata para tetangga selama ini, kalau kamu sering pulang pagi. Memangnya kamu sedang ada proyek penting di kantor sampai lembur terus seperti ini?" Sekali lagi, pertanyaan Arni membuat Ardan merasa kesal. "Kamu tidak usah banyak tanya! Mending sekarang siapkan makanan, aku lapar!" ujar Ardan dengan ketus dan berlalu begitu saja. Pri itu meninggalkan Arni yang sedang melipat mukenanya di ruang tengah.Tanpa berkata apa-apa lagi, Arni segera ke dapur dan membuatkan mie instan kuah pedas kesukaan suaminya. Tak lupa ia menambahkan sayur, telur, dan sosis untuk campurannya. Arni juga membuatkan teh hangat untuk menemani mie rebus pedas itu. Setelah semuanya siap, ia segera mengantarnya ke ruang kerja Ardan di ruangan sebelah kamar tidurnya.Setelah mereka memiliki dua anak, yang saat ini berusia lima dan tiga
"Halo, selamat pagi..." sapa Ardan dengan manis. Membuat Arni yang berdiri tidak jauh darinya mengerutkan kening penuh rasa curiga. Tidak biasanya suaminya bersikap seperti itu. Bahkan kepada dirinya, anak-anaknya, anggota keluarga yang lain, atau para tetangga sekalipun tak pernah Ardan tersenyum semanis itu. Tapi setahu Arni, suaminya sering kali bersikap semanis itu saat bertegur sapa dengan orang-orang kampung sebelah, kenalannya atau teman kerjanya."Itu telepon dari siapa Mas?" tanya Arni yang dipenuhi rasa ingin tahu. Namun Ardan hanya melirik dengan tajam kearah Arni, seolah mengingatkannya untuk tidak banyak bertanya.Ah, Arni ingat. Mungkin dulu Ardan pernah tersenyum semanis itu kepadanya. Tapi itu dulu sekali saat mereka masih berpacaran hingga awal mereka memiliki anak pertama. Bahkan saat anak pertama mereka baru berusia lima bulan, mereka pernah bertengkar hebat."Sana pulang saja! Tapi jangan bawa anakku!" teriak Ardan dulu saat mereka bertengkar. Namun Arni tak tega b
Dengan kasar, Arni menghapus air matanya. Lalu segera berdiri dan berjalan dengan cepat. Ia tak mau anak-anaknya harus menunggu terlalu lama.Selama berjalan menuju ke sekolah, Arni terus berpikir, siapa perempuan itu. Ia merasa familiar tapi tidak bisa mengingat dengan jelas wajah yang hanya di lihatnya dengan sekilas.Ia juga terus merutuki dirinya sendiri yang tidak memiliki ponsel. Karena dulu lebih memilih menjualnya untuk mendaftarkan sekolah anaknya.***Usai menjemput anak-anaknya, Arni mengajak mereka mampir sebentar ke pertokoan untuk membeli ponsel seperti rencananya tadi. Meskipun sayang uangnya, tapi Arni berpikir bahwa ia harus memilikinya. Siapa tahu, ia akan mendapatkan bukti lain tentang perselingkuhan suaminya."Nggak ada yang lebih murah lagi mas? Tapi kualitasnya sama seperti yang putih ini," tanya Arni pada penjaga toko ponsel itu."Ada sih mbak. Tapi bekas, masih bagus dan mulus kok!" jawab penjaga toko sambil mengeluarkan sebuah ponsel berwarna hitam untuk di tu
Hati Arni tak karuan.Ia segera masuk ke dalam rumah diikuti oleh Natasha. "Assalamu'alaikum!" seru mereka berdua. Namun dari dalam tak ada jawaban salam.Ardan keluar dari arah dapur. "Arni! Di mana kemeja biru muda yang semalam ku kenakan?" tanya Ardan tak mengindahkan salam yang tadi diucapkan oleh istri serta anaknya."Ayah tumben sekali siang-siang seperti ini sudah pulang? Ayah tidak bekerja?" tanya Natasha dengan lugunya. Namun Ardan malah menatap datar kearahnya tanpa menjawab pertanyaan putrinya itu."Iya Mas, tumben sekali tengah hari begini kamu sudah pulang?" Arni menanyakan hal yang sama. Membuat Ardan menampakkan rasa tidak suka. "Alah! Kamu tidak usah banyak tanya, Arni! Dimana kemeja biru muda yang semalam ku kenakan?" Ardan kembali bertanya, namun kali ini terdengar lebih kasar dan penuh penekanan."Ada, Mas. Ku taruh didalam mesin cuci tadi pagi." jawab Arni membuat Ardan langsung melotot. Arni tahu apa yang dipikirkan oleh Ardan, ia pasti merasa takut kalau kemeja i
Ardan meraih tangan kiri Tante Amy yang masih meremas pahanya. Lalu mengecupnya.Hal itu membuat Tante Amy langsung mendekatkan wajahnya, bersiap untuk mencium Ardan. Namun Ardan malah menghindar, kemudian membisikkan sesuatu pada telinga Tante Amy. "Sabar ya, Tante. Sekarang kita jalan dulu, tuh lihat, lampunya sudah hijau lagi." ucap Ardan sambil menunjuk lampu lalu lintas yang sudah berubah menjadi hijau. Membuat Tante Amy tertawa kecil."Aku benar-benar menantikan permainanmu, Ardan!" ucap Tante Amy masih sambil tertawa dan kembali menjalankan mobilnya. Melesat membelah hiruk pikuk jalanan yang padat pada jam istirahat makan siang.Sepanjang jalan, Ardan merangkulkan lengan kanannya pada bahu Tante Amy. Sesekali ia akan mencium wangi yang menguar dari rambut Tante Amy. "Tante harum sekali rambutnya, aku suka!" kata Ardan sambil membelai rambut panjang dan lembut milik Tante Amy."Sudah dong sayang!" ucap Tante Amy dengan manja. "Kamu bikin tante nggak tahan ah! Nanti kita lanjutka
Saat petang, Ardan pulang dengan wajah letih. Sementara Arni yang sejak tadi sudah menunggu kepulangan suaminya di ruang tamu, langsung berdiri untuk menyambut Ardan sekaligus menyuarakan seluruh pertanyaan yang berdesakan dalam pikirannya."Mas Ardan," panggil Arni agak keras."Apa!" jawab Ardan dengan nada agak tinggi. Terlihat jelas di wajah Arni, bahwa ia akan menanyakan ini itu tentang kejadian siang tadi. Sehingga Ardan berusaha menghindar dengan memasang wajah masam dan berjalan terburu-buru ke ruang kerjanya."Mas, tunggu dulu! Ada yang mau aku tanyakan," ujar Arni sambil mengekor suaminya yang berjalan dengan langkah lebar.Namun Ardan tak menghiraukannya. "Nggak ada yang perlu kamu tanyakan!" kata Ardan ketus sambil berdiri pada mulut pintu ruang kerjanya."Tapi Mas, aku butuh penjelasan," ujar Arni ngeyel.Blam!Bukannya menjawab atau menanggapinya, Ardan lebih memilih membanting pintu ruang kerjanya. Sehingga membuat Arni yang berada tepat didepan daun pintu jadi terlonjak
"Maafkan ibu, nak!" bisik Arni sambil mencium kening kedua buah hatinya yang sudah tertidur lelap.Ia segera mengenakan jilbab dan jaket, lalu mengeluarkan motor yang tadi sore ia pinjam dari paman suaminya. Tak lupa, Arni memakai helm untuk keselamatan, sekaligus guna menutupi wajahnya agar tidak ketahuan. Ia segera keluar dari rumah, tak lupa mengunci pintunya dari luar. Meskipun sebenarnya hatinya terasa berat harus meninggalkan kedua anaknya yang sedang terlelap.Arni agak cepat melajukan motornya, karena ia tidak mau tertinggal jauh oleh Ardan. Namun Dewi Fortuna seakan berpihak padanya, Arni melihat Ardan yang berhenti ditepi jalan tidak jauh dari gang kampung mereka.Arni menjaga jarak sekitar dua meter dari tempat Ardan berhenti, dan ia agak memepetkan motornya ketepian agar tertutup pohon besar dibelakang Ardan. Samar-samar Arni dapat mendengar suaminya tengah berteleponan dengan menyebut nama Tante Amy. Namun suaranya terdengar manja, membuat kening Arni berkerut."Apa begit
Arni tertidur setelah kelelahan menangis usai bertengkar dengan Ardan. Sedangkan Ardan, dia pergi begitu saja tanpa menghiraukan Arni yang terus menangis hingga tersengal-sengal. Subuh, Arni terbangun. Lalu menyiapkan adonan untuk membuat gorengan. Setelah semuanya matang, dia langsung mengantarkannya ke warung pelanggannya dalam keadaan hangat. Terakhir, Arni mengantarkannya ke warung Pak Nanang yang berada didepan TK tempat anak-anaknya bersekolah. "Wah, Mbak Arni pagi sekali!" sapa Pak Nanang yang sedang menyapu didepan warung saat Arni datang. Arni tersenyum. "Iya Pak, kebetulan anak-anak semalam menginap di rumah simbahnya. Jadi aku bisa menyelesaikan pekerjaan lebih cepat." jawab Arni. "Ya sudah, duduk dulu Mbak Arni! Biar tak buatkan teh hangat, sekali-kali mumpung Mbak Arni sedang tidak terburu-buru." "Terima kasih, Pak. Oh ya, ibu kemana? Kok tumben jam segini belum kelihatan?" "Sebentar lagi juga datang, tadi katanya mau menjemur pakaian dulu. Mumpung di warung belum m
Setelah pergi kemarin malam, Ardan baru pulang keesokan harinya. Malam hari, setelah Arni selesai membuat serta mengemas semua pesanan dari pelanggannya. Nanik juga sudah pulang, Arni sendirian di rumah karena Rafa dan Natasya menginap di tempat simbahnya. "Arni! Buatkan aku mie kuah yang pedas!" teriak Ardan setelah menjatuhkan pantatnya pada sofa ruang tamu. Sementara Arni yang berdiri didekat Ardan hanya menatapnya dengan sengit. "Minta saja sama Tante Amy mu itu!" jawab Arni ketus lalu masuk kedalam kamar. Ia mengunci pintunya dari dalam, lalu jatuh terduduk ditepi ranjang sambil menangis. "Hei! Berani-beraninya seorang istri menolak perintah suaminya! Keluar kamu Arni! Sini! Biar ku beri kamu pelajaran!" teriak Ardan marah sambil menggedor-gedor pintu kamar dengan kasar. Tangis Arni semakin menjadi-jadi. "Bagaimana bisa tanpa merasa bersalah Mas Ardan pulang dan langsung memintanya untuk membuat mie pedas? Memangnya aku ini istri atau babunya?" tanya Arni dalam hati. "Arni!
Siang hari, waktunya menjemput anak-anak pulang sekolah, Arni membawa pesanan keripik yang sudah jadi untuk warung didepan TK. Ia menyempatkan melongok ke belakang warung, apakah motor Ardan masih ada disana atau tidak.Keningnya berkerut karena tidak menemukan motor suaminya."Pak Nanang! Itu motor dibelakang warung kemana?" tanya Arni setelah menghitung jumlah keripik yang ia setorkan."Oh, itu tadi dibawa pergi sama temannya Mbak Nira." jawab Pak Nanang."Siapa Pak? Laki-laki atau perempuan?" Arni bertanya penuh selidik."Laki-laki Mbak, orang itu memang sering mampir ke rumah Mbak Nira. Sering juga bawa motor tersebut."Arni menegang mendengar penjelasan singkat Pak Nanang. "Ya sudah Pak kalau begitu, saya pamit dulu ya? Itu anak-anak saya sudah pada keluar.""Iya Mbak Arni, hati-hati dijalan ya! Besok jangan lupa, jajannya yang komplit!" ujar Pak Nanang."Baik Pak!" teriak Arni dari seberang jalan.Arni menuntun kedua anaknya untuk pulang, sepanjang perjalanan mereka saling mengo
"Pagi, sayang!" sapa Nira sambil membawa nampan berisi kopi panas dan sepiring gorengan.Menilik dari penampilannya, Ardan tahu betul kalau gorengan tersebut dibeli oleh Nira di warung samping rumahnya. Yang tak lain, itu adalah gorengan titipan Arni. Ironis memang, di rumah Ardan tak pernah sudi memakan gorengan yang istrinya suguhkan. Padahal gorengan Arni sudah terkenal disekitar tempat tinggal mereka. Namun saat Nira yang menyajikan gorengan tersebut, Ardan akan dengan lahap memakannya sambil menggigit cabai rawit hijau.Ardan membalas sapaan Nira, lalu mengecupnya dengan mesra."Sayang, aku sudah selesai lo!" bisik Nira dengan nakal.Ardan tersenyum mendengarnya. Ia tahu betul maksud perkataan Nira. "Sabar ya, malam ini aku tidak bisa menginap disini. Kebetulan malam ini aku ada pekerjaan sampingan selama akhir pekan."Bibir Nira mengerucut, tanda bahwa ia tidak suka mendengar jawaban Ardan. "Memang tidak bisa ditinggal, ya?"Ardan tersenyum gemas melihat tingkah Nira yang sepert
Pagi itu, seperti biasa. Arni mengantar kedua anaknya bersekolah sambil membawa jajan untuk ia titipkan pada warung-warung kecil yang ia lewati serta kantin sekolah anaknya dan mengambil hasil penjualan sebelumnya.Sebuah senyum penuh rasa syukur mengembang pada wajah ayu Arni. "Terima kasih banyak, Pak!" ujar Arni pada pemilik warung yang tepat berada di seberang sekolah TK."Iya, Mbak Arni! Sama-sama! Kalau bisa, besok bawa keripik sama gorengannya agak banyakan ya? Kebetulan besok anak-anak libur sekolah, tapi disini mau dipakai untuk acara. Untuk lomba mewarnai anak TK tingkat kecamatan. Bawa jajan yang lain juga boleh, biar lengkap warung saya!" ujar Pak Nanang, pemilik warung diseberang TK tempat anak Arni bersekolah."Iya, Pak! Siap! Besok pagi-pagi sekali aku bawakan kesini. Nanti malam biar aku lembur!" jawab Arni dengan riang. Baginya, pagi ini adalah pagi yang indah. Seluruh dagangan yang ia titipkan habis tak bersisa. Bahkan beberapa warung tempat biasa Arni menitipkannya
Tok! Tok!Ardan mengetuk pintu samping sebuah rumah yang berada didepan sekolah TK dengan perlahan. Tak membutuhkan waktu lama, pintu dibuka dari dalam."Ayo, masuk! Motornya simpan saja dibelakang warung," perintah orang yang membukakan pintu itu sambil menunjuk warung yang berada tepat disebelah rumahnya.Tanpa membantah, Ardan mengikuti perintah itu. Lalu segera masuk kedalam rumah bergaya modern minimalis itu. "Anak-anak kemana? Sudah tidur semua?" tanya Ardan dengan penuh perhatian."Iya," jawab sang pemilik rumah yang ternyata seorang wanita berusia tujuh tahun diatas Ardan."Kita langsung kebawah saja yuk!" ajak wanita itu sambil menuntun Ardan menuju dapur yang berada dilantai bawah."Sayang, kamu kok kelihatannya berkeringat sekali. Habis ngapain?" tanya wanita itu dengan penuh rasa curiga."Iya, tadi pas kesini ban motornya bocor. Jadi aku tuntun cari tambal ban yang masih buka. Makanya keringatnya banyak." jawab Ardan asal.Namun wanita itu seolah tak peduli dengan jawaban
"Arni, kamu yakin mau menerima lamaran Ardan? Tidak mau dipikir-pikir dulu?" tanya kakak Arni kala itu."Nggak, Mbak. Aku mantap mau menerimanya. Mbak lihat, kan? Bahkan saat motornya disita sama bapak dan ibunya, dia berusaha meminjam motor teman atau kerabatnya untuk menemuiku. Itukan bukti kalau Mas Ardan serius sama aku." jawab Arni sambil tersenyum membayangkan sebelumnya habis diapeli oleh Ardan."Ar, tapi itu sudah jelas dia melawan orang tuanya. Dia bukan laki-laki yang patuh sama bapak dan ibunya."Arni termenung.Memikirkan bahwa kata-kata yang kakaknya ucapkan ada benarnya. Tapi dia juga sudah terlanjur menerima lamaran pribadi itu, dan lagi, rasa sayangnya untuk Ardan sudah terlanjur sangat besar.Arni semakin tersedu-sedu. Bagaimana dia harus mengatakan kepada kakak serta pamannya, bahwa Ardan yang dulu mereka tentang, kini telah mengkhianatinya.***"Ah, permainan kamu hebat banget sayang! Tante sampe kewalahan ngadepin kamu lo!" ujar Tante Amy sambil tersenyum puas.Ard
"Mas Ardan!" jerit Arni spontan, karena melihat apa yang sedang suaminya lakukan bersama perempuan yang hampir seusia ibunya itu."Arni," ucap Ardan lirih bercampur kaget, melihat istrinya tengah mengintip dari jendela mobil.Sementara Tante Amy hanya tersenyum nakal, karena pemanasannya bersama Ardan yang sedang tanggung malah ketahuan oleh Arni.Dengan wajah marah, Ardan keluar dari mobil tanpa membenarkan kemejanya yang sudah terbuka sebagian. Begitu pula Tante Amy, dadanya yang mulai mengendur hampir terekspos sepenuhnya."Apa yang kamu lakukan disini Arni?" tanya Ardan dengan marah."Mas, seharusnya aku yang bertanya seperti itu. Kenapa Mas Ardan ada disini? Bersama perempuan yang hampir seusia ibumu itu Mas?""Hah! Enak saja kamu mengataiku hampir seusia dengan ibunya Ardan, memangnya aku terlihat setua itu?" gerutu Tante Amy yang merasa tersinggung dengan ucapan Arni.Arni melirik marah kearah perempuan hampir berusia paruh baya itu, sudut matanya berair karena rasa sakit yang
"Maafkan ibu, nak!" bisik Arni sambil mencium kening kedua buah hatinya yang sudah tertidur lelap.Ia segera mengenakan jilbab dan jaket, lalu mengeluarkan motor yang tadi sore ia pinjam dari paman suaminya. Tak lupa, Arni memakai helm untuk keselamatan, sekaligus guna menutupi wajahnya agar tidak ketahuan. Ia segera keluar dari rumah, tak lupa mengunci pintunya dari luar. Meskipun sebenarnya hatinya terasa berat harus meninggalkan kedua anaknya yang sedang terlelap.Arni agak cepat melajukan motornya, karena ia tidak mau tertinggal jauh oleh Ardan. Namun Dewi Fortuna seakan berpihak padanya, Arni melihat Ardan yang berhenti ditepi jalan tidak jauh dari gang kampung mereka.Arni menjaga jarak sekitar dua meter dari tempat Ardan berhenti, dan ia agak memepetkan motornya ketepian agar tertutup pohon besar dibelakang Ardan. Samar-samar Arni dapat mendengar suaminya tengah berteleponan dengan menyebut nama Tante Amy. Namun suaranya terdengar manja, membuat kening Arni berkerut."Apa begit