Saat petang, Ardan pulang dengan wajah letih. Sementara Arni yang sejak tadi sudah menunggu kepulangan suaminya di ruang tamu, langsung berdiri untuk menyambut Ardan sekaligus menyuarakan seluruh pertanyaan yang berdesakan dalam pikirannya.
"Mas Ardan," panggil Arni agak keras."Apa!" jawab Ardan dengan nada agak tinggi. Terlihat jelas di wajah Arni, bahwa ia akan menanyakan ini itu tentang kejadian siang tadi. Sehingga Ardan berusaha menghindar dengan memasang wajah masam dan berjalan terburu-buru ke ruang kerjanya."Mas, tunggu dulu! Ada yang mau aku tanyakan," ujar Arni sambil mengekor suaminya yang berjalan dengan langkah lebar.Namun Ardan tak menghiraukannya. "Nggak ada yang perlu kamu tanyakan!" kata Ardan ketus sambil berdiri pada mulut pintu ruang kerjanya."Tapi Mas, aku butuh penjelasan," ujar Arni ngeyel.Blam!Bukannya menjawab atau menanggapinya, Ardan lebih memilih membanting pintu ruang kerjanya. Sehingga membuat Arni yang berada tepat didepan daun pintu jadi terlonjak kaget."Astaghfirullah," ucap Arni sambil mengelus dadanya. "Semakin hari, sikap Mas Ardan semakin semena-mena. Ia bahkan sangat cuek sama aku dan anak-anak. Mas Ardan benar-benar sudah berubah!" lanjut Arni pada dirinya sendiri.Arni masuk ke kamar. Kedua anaknya sedang bermain dipojok ruang kamar."Bu, ibu, ayah lagi marah ya?" tanya anak sulungnya.Hati Arni bagai teriris mendengar pertanyaan dari bocah berusia lima tahun itu. Arni memaksakan sebuah senyum sambil menahan air mata yang masih berusaha keluar. "Nggak kok! Mungkin ayah sedang kecapekan saja, karena akhir-akhir ini ayah sering lembur." tutur Arni dengan lembut. Anak sulungnya hanya mengangguk, tidak berkata apa-apa lagi dan melanjutkan bermain bersama adiknya."Ah, kasihan anak-anakku, keadaan ini membuat mereka terlalu dewasa dibandingkan anak-anak seusianya. Aku tahu, mereka pasti merindukan perhatian dan kasih sayang dari ayahnya, namun Mas Ardan terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Dia bahkan jarang ada di rumah, sekalinya di rumah, tak pernah ada waktu untuk kami. Karena dia sering kali mengurung diri dalam ruang kerjanya untuk mengerjakan pekerjaannya yang belum selesai atau hanya tidur." batin Arni.Arni menengok jam dinding, jarum jam itu menunjukkan angka tujuh. Tapi diluar rumah terlalu sepi, biasanya pukul segini masih ada orang atau kendaraan yang lewat didepan rumahnya. Dalam keadaan sepi seperti ini membuat indra pendengaran Arni semakin tajam, sehingga saat ada suara sekecil apapun, Arni dapat mendengarnya dengan sangat jelas.Ia mendengar derit pelan suara pintu depan yang dibuka, lalu perlahan berjalan mendekat untuk melihat apakah Ardan yang membukanya. Benar saja, Ardan ada di teras. Dia sudah berpakaian rapi dan memakai jaket kulit, bau harum menguar keluar dari tubuhnya. Ponsel menempel pada telinga Ardan, sepertinya dia hendak menelepon seseorang."Mas Ardan! Jam segini kamu mau kemana? Inikan sudah malam?" tanya Arni yang tidak bisa membendung rasa penasarannya lagi.Ardan menoleh, namun ponsel yang semula menempel pada telinganya, kini telah ia simpan kedalam saku jaket kulit. "Bu Amy meneleponku, katanya malam ini harus menemani dia keluar kota. Karena besok pagi-pagi sekali ada rapat di kota sebelah," jelas Ardan tanpa secuilpun keraguan.Namun Arni malah menaikkan sebelah alisnya, "memangnya tidak bisa orang lain saja Mas?" tanya Arni mencoba mencegah agar suaminya tidak pergi."Tidak bisalah Ar! Bu Amy kan atasanku langsung, aku sekretarisnya. Jadi wajar kalau beliau mengajakku pergi, bukan orang lain." jelas Ardan."Tapi Mas, memangnya rapatnya tidak bisa diundur? Biar berangkatnya pagi saja. Apa lagi, ini sudah diluar jam kerja dan terkesan mendadak sekali."Ardan mulai tak sabar meladeni Arni yang sedang berusaha menghalanginya agar tidak pergi. "Arni! Kamu itu tidak usah cerewet! Tinggal nurut saja kenapa si? Lagi pula, aku itu pergi untuk bekerja. Untuk mencari uang buat kasih makan kamu sama anak-anak!" suara Ardan mulai meninggi.Anak-anak mengintip dari jendela kamar, untuk melihat ribut-ribut yang terdengar dari luar."Mas, tolong kecilkan suaramu. Anak-anak belum tidur, mereka bisa mendengar suara ribut ini nanti." ucap Arni agak khawatir. Karena dia tidak mau anak-anaknya melihat mereka sedang bertengkar, walaupun hanya pertengkaran kecil seperti ini."Makanya Arni, kamu itu jangan menghalangiku! Kamu itu cukup menuruti saja ucapanku, jaga rumah sama anak-anak," ucap Ardan dengan suara yang sudah berubah jadi lebih lirih, namun penuh penekanan.Setelah berkata demikian, Ardan langsung pergi. Meninggalkan Arni yang masih berdiri di teras menatap kepergian sang suami dengan hati kesakitan.Lalu, kedua anaknya menyusul keluar. "Bu, ayah mau kemana?" tanya si bungsu."Ayah mau kerja nak," jawab Arni."Tapi inikan sudah malam bu," sahut anak sulung Arni. Dia tidak tahu harus beralasan apa, karena yang dikatakan oleh anaknya benar. Arni hanya bisa memaksakan sebuah senyum yang getir, kemudian memeluk kedua buah hatinya. "Ayah ada rapat yang sangat penting besok, pagi-pagi sekali. Makanya malam ini ayah mau menginap ditempat kerjanya." Arni tahu, tidak seharusnya dia berkata bohong kepada anak-anaknya. Namun, tidak mungkin juga kalau ia harus berkata jujur kepada mereka tentang perilaku sang ayah.***Ardan menepikan motornya, lalu merogoh saku jaket kulit yang ia kenakan untuk mengambil ponselnya.Ia menelepon Tante Amy, tak membutuhkan waktu lama, karena panggilannya langsung dijawab."Tante, ini aku lagi jalan kesitu. Tante sudah siapkan?" tanya Ardan tanpa basa-basi."Iya sayang, ini sudah siap kok. Sekarang lagi jalan ke tempat kita janjian." jawab Tante Amy dari seberang telepon. "Ah iya, tapi nanti bagaimana sama motor kamu?""Nanti biar aku titipkan di rumah temanku Tante, rumahnya dekat kok sama tempat kita janjian.""Baguslah kalau begitu. Ya sudah, Tante matikan ya teleponnya?""Jangan Tante, tunggu dulu. Aku masih kangen sama suara sexinya Tante," rayu Ardan dengan suara manja."Ah, kamu bisa saja!" ujar Tante Amy terdengar malu-malu. "Lagi pula, setelah inikan kita mau ketemu sayang.""Baiklah Tante, kalau begitu sampai ketemu," ucap Ardan. Lalu ia menyempatkan memberi ciuman manja sebelum mematikan panggilannya.Ardan kembali menyimpan ponsel itu kedalam saku jaket kulitnya, lalu melajukan motor menuju ke tempat ia janjian untuk bertemu dengan Tante Amy.Tanpa Ardan ketahui, dibelakangnya ada motor yang terus mengikuti Ardan."Maafkan ibu, nak!" bisik Arni sambil mencium kening kedua buah hatinya yang sudah tertidur lelap.Ia segera mengenakan jilbab dan jaket, lalu mengeluarkan motor yang tadi sore ia pinjam dari paman suaminya. Tak lupa, Arni memakai helm untuk keselamatan, sekaligus guna menutupi wajahnya agar tidak ketahuan. Ia segera keluar dari rumah, tak lupa mengunci pintunya dari luar. Meskipun sebenarnya hatinya terasa berat harus meninggalkan kedua anaknya yang sedang terlelap.Arni agak cepat melajukan motornya, karena ia tidak mau tertinggal jauh oleh Ardan. Namun Dewi Fortuna seakan berpihak padanya, Arni melihat Ardan yang berhenti ditepi jalan tidak jauh dari gang kampung mereka.Arni menjaga jarak sekitar dua meter dari tempat Ardan berhenti, dan ia agak memepetkan motornya ketepian agar tertutup pohon besar dibelakang Ardan. Samar-samar Arni dapat mendengar suaminya tengah berteleponan dengan menyebut nama Tante Amy. Namun suaranya terdengar manja, membuat kening Arni berkerut."Apa begit
"Mas Ardan!" jerit Arni spontan, karena melihat apa yang sedang suaminya lakukan bersama perempuan yang hampir seusia ibunya itu."Arni," ucap Ardan lirih bercampur kaget, melihat istrinya tengah mengintip dari jendela mobil.Sementara Tante Amy hanya tersenyum nakal, karena pemanasannya bersama Ardan yang sedang tanggung malah ketahuan oleh Arni.Dengan wajah marah, Ardan keluar dari mobil tanpa membenarkan kemejanya yang sudah terbuka sebagian. Begitu pula Tante Amy, dadanya yang mulai mengendur hampir terekspos sepenuhnya."Apa yang kamu lakukan disini Arni?" tanya Ardan dengan marah."Mas, seharusnya aku yang bertanya seperti itu. Kenapa Mas Ardan ada disini? Bersama perempuan yang hampir seusia ibumu itu Mas?""Hah! Enak saja kamu mengataiku hampir seusia dengan ibunya Ardan, memangnya aku terlihat setua itu?" gerutu Tante Amy yang merasa tersinggung dengan ucapan Arni.Arni melirik marah kearah perempuan hampir berusia paruh baya itu, sudut matanya berair karena rasa sakit yang
"Arni, kamu yakin mau menerima lamaran Ardan? Tidak mau dipikir-pikir dulu?" tanya kakak Arni kala itu."Nggak, Mbak. Aku mantap mau menerimanya. Mbak lihat, kan? Bahkan saat motornya disita sama bapak dan ibunya, dia berusaha meminjam motor teman atau kerabatnya untuk menemuiku. Itukan bukti kalau Mas Ardan serius sama aku." jawab Arni sambil tersenyum membayangkan sebelumnya habis diapeli oleh Ardan."Ar, tapi itu sudah jelas dia melawan orang tuanya. Dia bukan laki-laki yang patuh sama bapak dan ibunya."Arni termenung.Memikirkan bahwa kata-kata yang kakaknya ucapkan ada benarnya. Tapi dia juga sudah terlanjur menerima lamaran pribadi itu, dan lagi, rasa sayangnya untuk Ardan sudah terlanjur sangat besar.Arni semakin tersedu-sedu. Bagaimana dia harus mengatakan kepada kakak serta pamannya, bahwa Ardan yang dulu mereka tentang, kini telah mengkhianatinya.***"Ah, permainan kamu hebat banget sayang! Tante sampe kewalahan ngadepin kamu lo!" ujar Tante Amy sambil tersenyum puas.Ard
Tok! Tok!Ardan mengetuk pintu samping sebuah rumah yang berada didepan sekolah TK dengan perlahan. Tak membutuhkan waktu lama, pintu dibuka dari dalam."Ayo, masuk! Motornya simpan saja dibelakang warung," perintah orang yang membukakan pintu itu sambil menunjuk warung yang berada tepat disebelah rumahnya.Tanpa membantah, Ardan mengikuti perintah itu. Lalu segera masuk kedalam rumah bergaya modern minimalis itu. "Anak-anak kemana? Sudah tidur semua?" tanya Ardan dengan penuh perhatian."Iya," jawab sang pemilik rumah yang ternyata seorang wanita berusia tujuh tahun diatas Ardan."Kita langsung kebawah saja yuk!" ajak wanita itu sambil menuntun Ardan menuju dapur yang berada dilantai bawah."Sayang, kamu kok kelihatannya berkeringat sekali. Habis ngapain?" tanya wanita itu dengan penuh rasa curiga."Iya, tadi pas kesini ban motornya bocor. Jadi aku tuntun cari tambal ban yang masih buka. Makanya keringatnya banyak." jawab Ardan asal.Namun wanita itu seolah tak peduli dengan jawaban
Pagi itu, seperti biasa. Arni mengantar kedua anaknya bersekolah sambil membawa jajan untuk ia titipkan pada warung-warung kecil yang ia lewati serta kantin sekolah anaknya dan mengambil hasil penjualan sebelumnya.Sebuah senyum penuh rasa syukur mengembang pada wajah ayu Arni. "Terima kasih banyak, Pak!" ujar Arni pada pemilik warung yang tepat berada di seberang sekolah TK."Iya, Mbak Arni! Sama-sama! Kalau bisa, besok bawa keripik sama gorengannya agak banyakan ya? Kebetulan besok anak-anak libur sekolah, tapi disini mau dipakai untuk acara. Untuk lomba mewarnai anak TK tingkat kecamatan. Bawa jajan yang lain juga boleh, biar lengkap warung saya!" ujar Pak Nanang, pemilik warung diseberang TK tempat anak Arni bersekolah."Iya, Pak! Siap! Besok pagi-pagi sekali aku bawakan kesini. Nanti malam biar aku lembur!" jawab Arni dengan riang. Baginya, pagi ini adalah pagi yang indah. Seluruh dagangan yang ia titipkan habis tak bersisa. Bahkan beberapa warung tempat biasa Arni menitipkannya
"Pagi, sayang!" sapa Nira sambil membawa nampan berisi kopi panas dan sepiring gorengan.Menilik dari penampilannya, Ardan tahu betul kalau gorengan tersebut dibeli oleh Nira di warung samping rumahnya. Yang tak lain, itu adalah gorengan titipan Arni. Ironis memang, di rumah Ardan tak pernah sudi memakan gorengan yang istrinya suguhkan. Padahal gorengan Arni sudah terkenal disekitar tempat tinggal mereka. Namun saat Nira yang menyajikan gorengan tersebut, Ardan akan dengan lahap memakannya sambil menggigit cabai rawit hijau.Ardan membalas sapaan Nira, lalu mengecupnya dengan mesra."Sayang, aku sudah selesai lo!" bisik Nira dengan nakal.Ardan tersenyum mendengarnya. Ia tahu betul maksud perkataan Nira. "Sabar ya, malam ini aku tidak bisa menginap disini. Kebetulan malam ini aku ada pekerjaan sampingan selama akhir pekan."Bibir Nira mengerucut, tanda bahwa ia tidak suka mendengar jawaban Ardan. "Memang tidak bisa ditinggal, ya?"Ardan tersenyum gemas melihat tingkah Nira yang sepert
Siang hari, waktunya menjemput anak-anak pulang sekolah, Arni membawa pesanan keripik yang sudah jadi untuk warung didepan TK. Ia menyempatkan melongok ke belakang warung, apakah motor Ardan masih ada disana atau tidak.Keningnya berkerut karena tidak menemukan motor suaminya."Pak Nanang! Itu motor dibelakang warung kemana?" tanya Arni setelah menghitung jumlah keripik yang ia setorkan."Oh, itu tadi dibawa pergi sama temannya Mbak Nira." jawab Pak Nanang."Siapa Pak? Laki-laki atau perempuan?" Arni bertanya penuh selidik."Laki-laki Mbak, orang itu memang sering mampir ke rumah Mbak Nira. Sering juga bawa motor tersebut."Arni menegang mendengar penjelasan singkat Pak Nanang. "Ya sudah Pak kalau begitu, saya pamit dulu ya? Itu anak-anak saya sudah pada keluar.""Iya Mbak Arni, hati-hati dijalan ya! Besok jangan lupa, jajannya yang komplit!" ujar Pak Nanang."Baik Pak!" teriak Arni dari seberang jalan.Arni menuntun kedua anaknya untuk pulang, sepanjang perjalanan mereka saling mengo
Setelah pergi kemarin malam, Ardan baru pulang keesokan harinya. Malam hari, setelah Arni selesai membuat serta mengemas semua pesanan dari pelanggannya. Nanik juga sudah pulang, Arni sendirian di rumah karena Rafa dan Natasya menginap di tempat simbahnya. "Arni! Buatkan aku mie kuah yang pedas!" teriak Ardan setelah menjatuhkan pantatnya pada sofa ruang tamu. Sementara Arni yang berdiri didekat Ardan hanya menatapnya dengan sengit. "Minta saja sama Tante Amy mu itu!" jawab Arni ketus lalu masuk kedalam kamar. Ia mengunci pintunya dari dalam, lalu jatuh terduduk ditepi ranjang sambil menangis. "Hei! Berani-beraninya seorang istri menolak perintah suaminya! Keluar kamu Arni! Sini! Biar ku beri kamu pelajaran!" teriak Ardan marah sambil menggedor-gedor pintu kamar dengan kasar. Tangis Arni semakin menjadi-jadi. "Bagaimana bisa tanpa merasa bersalah Mas Ardan pulang dan langsung memintanya untuk membuat mie pedas? Memangnya aku ini istri atau babunya?" tanya Arni dalam hati. "Arni!
Arni tertidur setelah kelelahan menangis usai bertengkar dengan Ardan. Sedangkan Ardan, dia pergi begitu saja tanpa menghiraukan Arni yang terus menangis hingga tersengal-sengal. Subuh, Arni terbangun. Lalu menyiapkan adonan untuk membuat gorengan. Setelah semuanya matang, dia langsung mengantarkannya ke warung pelanggannya dalam keadaan hangat. Terakhir, Arni mengantarkannya ke warung Pak Nanang yang berada didepan TK tempat anak-anaknya bersekolah. "Wah, Mbak Arni pagi sekali!" sapa Pak Nanang yang sedang menyapu didepan warung saat Arni datang. Arni tersenyum. "Iya Pak, kebetulan anak-anak semalam menginap di rumah simbahnya. Jadi aku bisa menyelesaikan pekerjaan lebih cepat." jawab Arni. "Ya sudah, duduk dulu Mbak Arni! Biar tak buatkan teh hangat, sekali-kali mumpung Mbak Arni sedang tidak terburu-buru." "Terima kasih, Pak. Oh ya, ibu kemana? Kok tumben jam segini belum kelihatan?" "Sebentar lagi juga datang, tadi katanya mau menjemur pakaian dulu. Mumpung di warung belum m
Setelah pergi kemarin malam, Ardan baru pulang keesokan harinya. Malam hari, setelah Arni selesai membuat serta mengemas semua pesanan dari pelanggannya. Nanik juga sudah pulang, Arni sendirian di rumah karena Rafa dan Natasya menginap di tempat simbahnya. "Arni! Buatkan aku mie kuah yang pedas!" teriak Ardan setelah menjatuhkan pantatnya pada sofa ruang tamu. Sementara Arni yang berdiri didekat Ardan hanya menatapnya dengan sengit. "Minta saja sama Tante Amy mu itu!" jawab Arni ketus lalu masuk kedalam kamar. Ia mengunci pintunya dari dalam, lalu jatuh terduduk ditepi ranjang sambil menangis. "Hei! Berani-beraninya seorang istri menolak perintah suaminya! Keluar kamu Arni! Sini! Biar ku beri kamu pelajaran!" teriak Ardan marah sambil menggedor-gedor pintu kamar dengan kasar. Tangis Arni semakin menjadi-jadi. "Bagaimana bisa tanpa merasa bersalah Mas Ardan pulang dan langsung memintanya untuk membuat mie pedas? Memangnya aku ini istri atau babunya?" tanya Arni dalam hati. "Arni!
Siang hari, waktunya menjemput anak-anak pulang sekolah, Arni membawa pesanan keripik yang sudah jadi untuk warung didepan TK. Ia menyempatkan melongok ke belakang warung, apakah motor Ardan masih ada disana atau tidak.Keningnya berkerut karena tidak menemukan motor suaminya."Pak Nanang! Itu motor dibelakang warung kemana?" tanya Arni setelah menghitung jumlah keripik yang ia setorkan."Oh, itu tadi dibawa pergi sama temannya Mbak Nira." jawab Pak Nanang."Siapa Pak? Laki-laki atau perempuan?" Arni bertanya penuh selidik."Laki-laki Mbak, orang itu memang sering mampir ke rumah Mbak Nira. Sering juga bawa motor tersebut."Arni menegang mendengar penjelasan singkat Pak Nanang. "Ya sudah Pak kalau begitu, saya pamit dulu ya? Itu anak-anak saya sudah pada keluar.""Iya Mbak Arni, hati-hati dijalan ya! Besok jangan lupa, jajannya yang komplit!" ujar Pak Nanang."Baik Pak!" teriak Arni dari seberang jalan.Arni menuntun kedua anaknya untuk pulang, sepanjang perjalanan mereka saling mengo
"Pagi, sayang!" sapa Nira sambil membawa nampan berisi kopi panas dan sepiring gorengan.Menilik dari penampilannya, Ardan tahu betul kalau gorengan tersebut dibeli oleh Nira di warung samping rumahnya. Yang tak lain, itu adalah gorengan titipan Arni. Ironis memang, di rumah Ardan tak pernah sudi memakan gorengan yang istrinya suguhkan. Padahal gorengan Arni sudah terkenal disekitar tempat tinggal mereka. Namun saat Nira yang menyajikan gorengan tersebut, Ardan akan dengan lahap memakannya sambil menggigit cabai rawit hijau.Ardan membalas sapaan Nira, lalu mengecupnya dengan mesra."Sayang, aku sudah selesai lo!" bisik Nira dengan nakal.Ardan tersenyum mendengarnya. Ia tahu betul maksud perkataan Nira. "Sabar ya, malam ini aku tidak bisa menginap disini. Kebetulan malam ini aku ada pekerjaan sampingan selama akhir pekan."Bibir Nira mengerucut, tanda bahwa ia tidak suka mendengar jawaban Ardan. "Memang tidak bisa ditinggal, ya?"Ardan tersenyum gemas melihat tingkah Nira yang sepert
Pagi itu, seperti biasa. Arni mengantar kedua anaknya bersekolah sambil membawa jajan untuk ia titipkan pada warung-warung kecil yang ia lewati serta kantin sekolah anaknya dan mengambil hasil penjualan sebelumnya.Sebuah senyum penuh rasa syukur mengembang pada wajah ayu Arni. "Terima kasih banyak, Pak!" ujar Arni pada pemilik warung yang tepat berada di seberang sekolah TK."Iya, Mbak Arni! Sama-sama! Kalau bisa, besok bawa keripik sama gorengannya agak banyakan ya? Kebetulan besok anak-anak libur sekolah, tapi disini mau dipakai untuk acara. Untuk lomba mewarnai anak TK tingkat kecamatan. Bawa jajan yang lain juga boleh, biar lengkap warung saya!" ujar Pak Nanang, pemilik warung diseberang TK tempat anak Arni bersekolah."Iya, Pak! Siap! Besok pagi-pagi sekali aku bawakan kesini. Nanti malam biar aku lembur!" jawab Arni dengan riang. Baginya, pagi ini adalah pagi yang indah. Seluruh dagangan yang ia titipkan habis tak bersisa. Bahkan beberapa warung tempat biasa Arni menitipkannya
Tok! Tok!Ardan mengetuk pintu samping sebuah rumah yang berada didepan sekolah TK dengan perlahan. Tak membutuhkan waktu lama, pintu dibuka dari dalam."Ayo, masuk! Motornya simpan saja dibelakang warung," perintah orang yang membukakan pintu itu sambil menunjuk warung yang berada tepat disebelah rumahnya.Tanpa membantah, Ardan mengikuti perintah itu. Lalu segera masuk kedalam rumah bergaya modern minimalis itu. "Anak-anak kemana? Sudah tidur semua?" tanya Ardan dengan penuh perhatian."Iya," jawab sang pemilik rumah yang ternyata seorang wanita berusia tujuh tahun diatas Ardan."Kita langsung kebawah saja yuk!" ajak wanita itu sambil menuntun Ardan menuju dapur yang berada dilantai bawah."Sayang, kamu kok kelihatannya berkeringat sekali. Habis ngapain?" tanya wanita itu dengan penuh rasa curiga."Iya, tadi pas kesini ban motornya bocor. Jadi aku tuntun cari tambal ban yang masih buka. Makanya keringatnya banyak." jawab Ardan asal.Namun wanita itu seolah tak peduli dengan jawaban
"Arni, kamu yakin mau menerima lamaran Ardan? Tidak mau dipikir-pikir dulu?" tanya kakak Arni kala itu."Nggak, Mbak. Aku mantap mau menerimanya. Mbak lihat, kan? Bahkan saat motornya disita sama bapak dan ibunya, dia berusaha meminjam motor teman atau kerabatnya untuk menemuiku. Itukan bukti kalau Mas Ardan serius sama aku." jawab Arni sambil tersenyum membayangkan sebelumnya habis diapeli oleh Ardan."Ar, tapi itu sudah jelas dia melawan orang tuanya. Dia bukan laki-laki yang patuh sama bapak dan ibunya."Arni termenung.Memikirkan bahwa kata-kata yang kakaknya ucapkan ada benarnya. Tapi dia juga sudah terlanjur menerima lamaran pribadi itu, dan lagi, rasa sayangnya untuk Ardan sudah terlanjur sangat besar.Arni semakin tersedu-sedu. Bagaimana dia harus mengatakan kepada kakak serta pamannya, bahwa Ardan yang dulu mereka tentang, kini telah mengkhianatinya.***"Ah, permainan kamu hebat banget sayang! Tante sampe kewalahan ngadepin kamu lo!" ujar Tante Amy sambil tersenyum puas.Ard
"Mas Ardan!" jerit Arni spontan, karena melihat apa yang sedang suaminya lakukan bersama perempuan yang hampir seusia ibunya itu."Arni," ucap Ardan lirih bercampur kaget, melihat istrinya tengah mengintip dari jendela mobil.Sementara Tante Amy hanya tersenyum nakal, karena pemanasannya bersama Ardan yang sedang tanggung malah ketahuan oleh Arni.Dengan wajah marah, Ardan keluar dari mobil tanpa membenarkan kemejanya yang sudah terbuka sebagian. Begitu pula Tante Amy, dadanya yang mulai mengendur hampir terekspos sepenuhnya."Apa yang kamu lakukan disini Arni?" tanya Ardan dengan marah."Mas, seharusnya aku yang bertanya seperti itu. Kenapa Mas Ardan ada disini? Bersama perempuan yang hampir seusia ibumu itu Mas?""Hah! Enak saja kamu mengataiku hampir seusia dengan ibunya Ardan, memangnya aku terlihat setua itu?" gerutu Tante Amy yang merasa tersinggung dengan ucapan Arni.Arni melirik marah kearah perempuan hampir berusia paruh baya itu, sudut matanya berair karena rasa sakit yang
"Maafkan ibu, nak!" bisik Arni sambil mencium kening kedua buah hatinya yang sudah tertidur lelap.Ia segera mengenakan jilbab dan jaket, lalu mengeluarkan motor yang tadi sore ia pinjam dari paman suaminya. Tak lupa, Arni memakai helm untuk keselamatan, sekaligus guna menutupi wajahnya agar tidak ketahuan. Ia segera keluar dari rumah, tak lupa mengunci pintunya dari luar. Meskipun sebenarnya hatinya terasa berat harus meninggalkan kedua anaknya yang sedang terlelap.Arni agak cepat melajukan motornya, karena ia tidak mau tertinggal jauh oleh Ardan. Namun Dewi Fortuna seakan berpihak padanya, Arni melihat Ardan yang berhenti ditepi jalan tidak jauh dari gang kampung mereka.Arni menjaga jarak sekitar dua meter dari tempat Ardan berhenti, dan ia agak memepetkan motornya ketepian agar tertutup pohon besar dibelakang Ardan. Samar-samar Arni dapat mendengar suaminya tengah berteleponan dengan menyebut nama Tante Amy. Namun suaranya terdengar manja, membuat kening Arni berkerut."Apa begit