Hati Arni tak karuan.
Ia segera masuk ke dalam rumah diikuti oleh Natasha. "Assalamu'alaikum!" seru mereka berdua. Namun dari dalam tak ada jawaban salam.Ardan keluar dari arah dapur. "Arni! Di mana kemeja biru muda yang semalam ku kenakan?" tanya Ardan tak mengindahkan salam yang tadi diucapkan oleh istri serta anaknya."Ayah tumben sekali siang-siang seperti ini sudah pulang? Ayah tidak bekerja?" tanya Natasha dengan lugunya. Namun Ardan malah menatap datar kearahnya tanpa menjawab pertanyaan putrinya itu."Iya Mas, tumben sekali tengah hari begini kamu sudah pulang?" Arni menanyakan hal yang sama. Membuat Ardan menampakkan rasa tidak suka. "Alah! Kamu tidak usah banyak tanya, Arni! Dimana kemeja biru muda yang semalam ku kenakan?" Ardan kembali bertanya, namun kali ini terdengar lebih kasar dan penuh penekanan."Ada, Mas. Ku taruh didalam mesin cuci tadi pagi." jawab Arni membuat Ardan langsung melotot. Arni tahu apa yang dipikirkan oleh Ardan, ia pasti merasa takut kalau kemeja itu sudah dicuci sehingga kertas tisu lusuh itu rusak."Ah, sial!" umpat Ardan. Lalu segera pergi ruang mencuci untuk mencari kemejanya itu. Ardan terlihat tergesa-gesa dan tidak sabar. Sesampainya diruang mencuci, ia mengeluarkan seluruh pakaian kotor didalam mesin cuci. Ia buang begitu saja dilantai. Setelah menemukan kemeja yang ia cari-cari di bagian paling bawah, Ardan membiarkan pakaian kotor lainnya teronggok begitu saja. Tidak memasukkannya kembali kedalam mesin cuci.Sementara itu, tanpa sepengetahuan Ardan, Arni tengah mengintip dari balik dinding. Benar saja dugaannya, Ardan tengah mencari kertas tisu kumal yang pagi tadi ia temukan.Bahkan wajah Ardan tampak tersenyum puas saat berhasil menemukannya.Setelah itu, Ardan membiarkan kemeja biru muda itu teronggok menyedihkan dilantai. Sama seperti pakaian kotor lainnya."Gimana Mas, ketemu?" tanya Arni yang tiba-tiba muncul dan membuat Ardan terlonjak kaget. Dengan terburu-buru Ardan memasukkan kertas tisu kumal itu kedalam saku celananya. Sementara Arni berpura-pura tidak tahu. "Iya, ketemu!" jawab Ardan cepat."Memang ada apa didalam kemeja itu Mas? Sepertinya penting sekali untukmu." tanya Arni berpura-pura tidak tahu. "E, semalam aku lupa menaruh uang untuk membeli bensin didalam saku kemeja ini," jawab Ardan berbohong. Setelah itu, ia langsung pergi. Meninggalkan Arni yang sedang memunguti pakaian kotor untuk dimasukkan kedalam mesin cuci kembali.Terdengar suara motor Ardan dinyalakan, Arni buru-buru meninggalkan pekerjaannya untuk mengejar suaminya. "Mas! Mas Ardan! Mau kemana lagi?" tanya Arni setengah berteriak setelah sampai di teras. Namun Ardan keburu berbelok ke jalan dan menghilang.Bahu Arni melorot, ternyata suaminya pulang hanya untuk mengambil tisu lusuh itu. Sementara dirinya berharap, Ardan pulang untuk makan siang bersamanya atau sekadar duduk di rumah menghabiskan waktu dengan keluarga kecilnya. Namun Arni sadar, sejak pertengkarannya dengan mereka dulu, Ardan sering kali tak memiliki waktu di rumah.***Ardan masuk ke taman kota. Dia memilih tempat duduk yang tertutup semak bunga, lalu mengeluarkan tisu kumal tadi. Setelah dibuka, ia menyalin nomor telepon dalam tisu kumal itu ke ponselnya. Kemudian mengirim pesan ke nomor tersebut."Hai tante, ini aku Ardan. Yang kemarin minta nomor tante di kafe."Agak lama, Ardan berharap dengan cemas. Meragukan apakah pesannya akan dibalas. Namun pada menit berikutnya, Ardan bersorak senang karena sebuah pesan masuk dari nomor yang baru saja ia hubungi."Oh, si ganteng yang kemarin ya? Gimana sayang? Mau, temani tante jalan-jalan? Nanti tante kasih hadiah deh!"Balasan pesan singkat itu membuat Ardan sumringah. Lalu tanpa berpikir panjang, Ardan menekan tombol hijau untuk menelepon nomor tersebut. Tak perlu menunggu lama, karena pada dering pertama panggilannya langsung dijawab."Halo sayang," sapa suara perempuan di seberang sana dengan manja. "Iya tante, kita mau jalan-jalan kemana nih?" tanya Ardan tanpa basa-basi. Membuat perempuan yang berusia lebih tua dari Ardan itu terkikik."Kamu semangat banget sih sayang mau diajak jalan-jalan. Tante suka deh!" kata perempuan itu dengan suara manja yang dibuat-buat. "Kita jalan-jalan ke kota sebelah yuk, sayang! Di sana kan dingin, nanti tante kasih yang anget-anget." lanjut perempuan itu."Oh, boleh tante, aku nurut saja sama tante." jawab Ardan sambil tersenyum. "Oh iya tante, sekarang kita ketemuan yuk! Aku pingin ketemu lagi sama tante." ucapan Ardan barusan sengaja dibuat semenggoda mungkin. Berharap perempuan itu mau diajak bertemu."Kenapa pingin ketemu lagi?""Habis tante cantik banget! Jadi kebayang-bayang terus sama tante," jawab Ardan."Ah, gombal!" sanggah perempuan itu. Membuat Ardan tertawa kecil. "Nggak tante, aku serius kok!" kata Ardan berusaha meyakinkan perempuan itu. "Tante cantik, kita ketemuan yuk sekarang! Aku sudah kangen banget nih sama tante, pingin lihat wajah cantiknya tante lagi." ulang Ardan."Ah, ya. Baiklah. Mau ketemu dimana?" tanya perempuan itu."Hm, enaknya ketemu dimana ya tante? Aku nurut saja deh. Atau sekarang tante mau menyusulku? Aku sedang ada di taman kota.""Baiklah. Kalau begitu, tunggu ya. Sekitar tiga puluh menit lagi aku sampai disitu." kata perempuan itu, lalu memutuskan teleponnya.Ardan bangkit dari duduknya. Berjalan menuju ke toilet umum untuk membasuh wajahnya, kemudian bersisir untuk merapikan rambutnya yang sudah ia basahi sebelumnya. Tak lupa ia menyemprotkan minyak wangi ke sekujur tubuhnya, dan bersiap jalan ke tempat parkir untuk menunggu kedatangan perempuan yang tadi di teleponnya.Hampir tiga puluh menit, Ardan yang sudah bersiap sejak tadi merasa berdebar. Takut kalau pertemuan mereka akan gagal. Ia bahkan merasa gelisah, karena jika pertemuan ini gagal, maka satu mangsa barunya akan lolos. Dengan kata lain, tak ada tambahan pemasukan untuk keuangannya.Tak lama kemudian, sebuah mobil sedan berwarna hitam metalik memasuki area parkir. Mobil itu memilih mendekati Ardan, lalu berhenti didekat motor Ardan terparkir. Hal itu sempat membuat Ardan kesal, karena mobil itu mengganggu jarak pandangnya dari pintu masuk area parkir. Namun saat kaca mobil depan diturunkan, Ardan senang bukan kepalang. Ternyata mobil itu milik orang yang sedang ditunggu-tunggu olehnya.Perempuan itu menyapa Ardan sambil tersenyum genit."Hai juga, Tante Amy!" balas Ardan sambil berjalan mendekati mobil perempuan itu."Masuk saja sini! Kita jangan ngobrol disini. Terlalu ramai." kata Tante Amy sambil membuka pintu penumpang depan dari dalam. Ardan menurut, ia langsung melesak masuk kedalam mobil sedan mewah itu dan menutup pintu serta kacanya. "Kita cari tempat yang nyaman untuk mengobrol ya!" kata Tante Amy sambil menjalankan mobilnya agar keluar dari tempat parkir."Tapi Tante," sanggah Ardan, "bagaimana dengan sepeda motorku?" tanya Ardan."Ah, tidak apa. Kamu tidak usah khawatir. Tempat parkir ini aman kok, lagian dijaga selama dua puluh empat jam. Jadi tidak masalah kalau harus ditinggal selama dua atau tiga jam." jelas Tante Amy dengan tatapan yang masih fokus pada jalanan."Ya, baiklah Tante. Sekarang kita mau kemana?" tanya Ardan lagi yang merasa penasaran.Mobil yang mereka naiki berhenti karena lampu merah. Tante Amy langsung menoleh sambil tersenyum nakal, tangan kirinya meraba paha Ardan dan meremasnya dengan gemas. "Ada deh! Yang jelas, kita akan bersenang-senang!"Ardan meraih tangan kiri Tante Amy yang masih meremas pahanya. Lalu mengecupnya.Hal itu membuat Tante Amy langsung mendekatkan wajahnya, bersiap untuk mencium Ardan. Namun Ardan malah menghindar, kemudian membisikkan sesuatu pada telinga Tante Amy. "Sabar ya, Tante. Sekarang kita jalan dulu, tuh lihat, lampunya sudah hijau lagi." ucap Ardan sambil menunjuk lampu lalu lintas yang sudah berubah menjadi hijau. Membuat Tante Amy tertawa kecil."Aku benar-benar menantikan permainanmu, Ardan!" ucap Tante Amy masih sambil tertawa dan kembali menjalankan mobilnya. Melesat membelah hiruk pikuk jalanan yang padat pada jam istirahat makan siang.Sepanjang jalan, Ardan merangkulkan lengan kanannya pada bahu Tante Amy. Sesekali ia akan mencium wangi yang menguar dari rambut Tante Amy. "Tante harum sekali rambutnya, aku suka!" kata Ardan sambil membelai rambut panjang dan lembut milik Tante Amy."Sudah dong sayang!" ucap Tante Amy dengan manja. "Kamu bikin tante nggak tahan ah! Nanti kita lanjutka
Saat petang, Ardan pulang dengan wajah letih. Sementara Arni yang sejak tadi sudah menunggu kepulangan suaminya di ruang tamu, langsung berdiri untuk menyambut Ardan sekaligus menyuarakan seluruh pertanyaan yang berdesakan dalam pikirannya."Mas Ardan," panggil Arni agak keras."Apa!" jawab Ardan dengan nada agak tinggi. Terlihat jelas di wajah Arni, bahwa ia akan menanyakan ini itu tentang kejadian siang tadi. Sehingga Ardan berusaha menghindar dengan memasang wajah masam dan berjalan terburu-buru ke ruang kerjanya."Mas, tunggu dulu! Ada yang mau aku tanyakan," ujar Arni sambil mengekor suaminya yang berjalan dengan langkah lebar.Namun Ardan tak menghiraukannya. "Nggak ada yang perlu kamu tanyakan!" kata Ardan ketus sambil berdiri pada mulut pintu ruang kerjanya."Tapi Mas, aku butuh penjelasan," ujar Arni ngeyel.Blam!Bukannya menjawab atau menanggapinya, Ardan lebih memilih membanting pintu ruang kerjanya. Sehingga membuat Arni yang berada tepat didepan daun pintu jadi terlonjak
"Maafkan ibu, nak!" bisik Arni sambil mencium kening kedua buah hatinya yang sudah tertidur lelap.Ia segera mengenakan jilbab dan jaket, lalu mengeluarkan motor yang tadi sore ia pinjam dari paman suaminya. Tak lupa, Arni memakai helm untuk keselamatan, sekaligus guna menutupi wajahnya agar tidak ketahuan. Ia segera keluar dari rumah, tak lupa mengunci pintunya dari luar. Meskipun sebenarnya hatinya terasa berat harus meninggalkan kedua anaknya yang sedang terlelap.Arni agak cepat melajukan motornya, karena ia tidak mau tertinggal jauh oleh Ardan. Namun Dewi Fortuna seakan berpihak padanya, Arni melihat Ardan yang berhenti ditepi jalan tidak jauh dari gang kampung mereka.Arni menjaga jarak sekitar dua meter dari tempat Ardan berhenti, dan ia agak memepetkan motornya ketepian agar tertutup pohon besar dibelakang Ardan. Samar-samar Arni dapat mendengar suaminya tengah berteleponan dengan menyebut nama Tante Amy. Namun suaranya terdengar manja, membuat kening Arni berkerut."Apa begit
"Mas Ardan!" jerit Arni spontan, karena melihat apa yang sedang suaminya lakukan bersama perempuan yang hampir seusia ibunya itu."Arni," ucap Ardan lirih bercampur kaget, melihat istrinya tengah mengintip dari jendela mobil.Sementara Tante Amy hanya tersenyum nakal, karena pemanasannya bersama Ardan yang sedang tanggung malah ketahuan oleh Arni.Dengan wajah marah, Ardan keluar dari mobil tanpa membenarkan kemejanya yang sudah terbuka sebagian. Begitu pula Tante Amy, dadanya yang mulai mengendur hampir terekspos sepenuhnya."Apa yang kamu lakukan disini Arni?" tanya Ardan dengan marah."Mas, seharusnya aku yang bertanya seperti itu. Kenapa Mas Ardan ada disini? Bersama perempuan yang hampir seusia ibumu itu Mas?""Hah! Enak saja kamu mengataiku hampir seusia dengan ibunya Ardan, memangnya aku terlihat setua itu?" gerutu Tante Amy yang merasa tersinggung dengan ucapan Arni.Arni melirik marah kearah perempuan hampir berusia paruh baya itu, sudut matanya berair karena rasa sakit yang
"Arni, kamu yakin mau menerima lamaran Ardan? Tidak mau dipikir-pikir dulu?" tanya kakak Arni kala itu."Nggak, Mbak. Aku mantap mau menerimanya. Mbak lihat, kan? Bahkan saat motornya disita sama bapak dan ibunya, dia berusaha meminjam motor teman atau kerabatnya untuk menemuiku. Itukan bukti kalau Mas Ardan serius sama aku." jawab Arni sambil tersenyum membayangkan sebelumnya habis diapeli oleh Ardan."Ar, tapi itu sudah jelas dia melawan orang tuanya. Dia bukan laki-laki yang patuh sama bapak dan ibunya."Arni termenung.Memikirkan bahwa kata-kata yang kakaknya ucapkan ada benarnya. Tapi dia juga sudah terlanjur menerima lamaran pribadi itu, dan lagi, rasa sayangnya untuk Ardan sudah terlanjur sangat besar.Arni semakin tersedu-sedu. Bagaimana dia harus mengatakan kepada kakak serta pamannya, bahwa Ardan yang dulu mereka tentang, kini telah mengkhianatinya.***"Ah, permainan kamu hebat banget sayang! Tante sampe kewalahan ngadepin kamu lo!" ujar Tante Amy sambil tersenyum puas.Ard
Tok! Tok!Ardan mengetuk pintu samping sebuah rumah yang berada didepan sekolah TK dengan perlahan. Tak membutuhkan waktu lama, pintu dibuka dari dalam."Ayo, masuk! Motornya simpan saja dibelakang warung," perintah orang yang membukakan pintu itu sambil menunjuk warung yang berada tepat disebelah rumahnya.Tanpa membantah, Ardan mengikuti perintah itu. Lalu segera masuk kedalam rumah bergaya modern minimalis itu. "Anak-anak kemana? Sudah tidur semua?" tanya Ardan dengan penuh perhatian."Iya," jawab sang pemilik rumah yang ternyata seorang wanita berusia tujuh tahun diatas Ardan."Kita langsung kebawah saja yuk!" ajak wanita itu sambil menuntun Ardan menuju dapur yang berada dilantai bawah."Sayang, kamu kok kelihatannya berkeringat sekali. Habis ngapain?" tanya wanita itu dengan penuh rasa curiga."Iya, tadi pas kesini ban motornya bocor. Jadi aku tuntun cari tambal ban yang masih buka. Makanya keringatnya banyak." jawab Ardan asal.Namun wanita itu seolah tak peduli dengan jawaban
Pagi itu, seperti biasa. Arni mengantar kedua anaknya bersekolah sambil membawa jajan untuk ia titipkan pada warung-warung kecil yang ia lewati serta kantin sekolah anaknya dan mengambil hasil penjualan sebelumnya.Sebuah senyum penuh rasa syukur mengembang pada wajah ayu Arni. "Terima kasih banyak, Pak!" ujar Arni pada pemilik warung yang tepat berada di seberang sekolah TK."Iya, Mbak Arni! Sama-sama! Kalau bisa, besok bawa keripik sama gorengannya agak banyakan ya? Kebetulan besok anak-anak libur sekolah, tapi disini mau dipakai untuk acara. Untuk lomba mewarnai anak TK tingkat kecamatan. Bawa jajan yang lain juga boleh, biar lengkap warung saya!" ujar Pak Nanang, pemilik warung diseberang TK tempat anak Arni bersekolah."Iya, Pak! Siap! Besok pagi-pagi sekali aku bawakan kesini. Nanti malam biar aku lembur!" jawab Arni dengan riang. Baginya, pagi ini adalah pagi yang indah. Seluruh dagangan yang ia titipkan habis tak bersisa. Bahkan beberapa warung tempat biasa Arni menitipkannya
"Pagi, sayang!" sapa Nira sambil membawa nampan berisi kopi panas dan sepiring gorengan.Menilik dari penampilannya, Ardan tahu betul kalau gorengan tersebut dibeli oleh Nira di warung samping rumahnya. Yang tak lain, itu adalah gorengan titipan Arni. Ironis memang, di rumah Ardan tak pernah sudi memakan gorengan yang istrinya suguhkan. Padahal gorengan Arni sudah terkenal disekitar tempat tinggal mereka. Namun saat Nira yang menyajikan gorengan tersebut, Ardan akan dengan lahap memakannya sambil menggigit cabai rawit hijau.Ardan membalas sapaan Nira, lalu mengecupnya dengan mesra."Sayang, aku sudah selesai lo!" bisik Nira dengan nakal.Ardan tersenyum mendengarnya. Ia tahu betul maksud perkataan Nira. "Sabar ya, malam ini aku tidak bisa menginap disini. Kebetulan malam ini aku ada pekerjaan sampingan selama akhir pekan."Bibir Nira mengerucut, tanda bahwa ia tidak suka mendengar jawaban Ardan. "Memang tidak bisa ditinggal, ya?"Ardan tersenyum gemas melihat tingkah Nira yang sepert
Arni tertidur setelah kelelahan menangis usai bertengkar dengan Ardan. Sedangkan Ardan, dia pergi begitu saja tanpa menghiraukan Arni yang terus menangis hingga tersengal-sengal. Subuh, Arni terbangun. Lalu menyiapkan adonan untuk membuat gorengan. Setelah semuanya matang, dia langsung mengantarkannya ke warung pelanggannya dalam keadaan hangat. Terakhir, Arni mengantarkannya ke warung Pak Nanang yang berada didepan TK tempat anak-anaknya bersekolah. "Wah, Mbak Arni pagi sekali!" sapa Pak Nanang yang sedang menyapu didepan warung saat Arni datang. Arni tersenyum. "Iya Pak, kebetulan anak-anak semalam menginap di rumah simbahnya. Jadi aku bisa menyelesaikan pekerjaan lebih cepat." jawab Arni. "Ya sudah, duduk dulu Mbak Arni! Biar tak buatkan teh hangat, sekali-kali mumpung Mbak Arni sedang tidak terburu-buru." "Terima kasih, Pak. Oh ya, ibu kemana? Kok tumben jam segini belum kelihatan?" "Sebentar lagi juga datang, tadi katanya mau menjemur pakaian dulu. Mumpung di warung belum m
Setelah pergi kemarin malam, Ardan baru pulang keesokan harinya. Malam hari, setelah Arni selesai membuat serta mengemas semua pesanan dari pelanggannya. Nanik juga sudah pulang, Arni sendirian di rumah karena Rafa dan Natasya menginap di tempat simbahnya. "Arni! Buatkan aku mie kuah yang pedas!" teriak Ardan setelah menjatuhkan pantatnya pada sofa ruang tamu. Sementara Arni yang berdiri didekat Ardan hanya menatapnya dengan sengit. "Minta saja sama Tante Amy mu itu!" jawab Arni ketus lalu masuk kedalam kamar. Ia mengunci pintunya dari dalam, lalu jatuh terduduk ditepi ranjang sambil menangis. "Hei! Berani-beraninya seorang istri menolak perintah suaminya! Keluar kamu Arni! Sini! Biar ku beri kamu pelajaran!" teriak Ardan marah sambil menggedor-gedor pintu kamar dengan kasar. Tangis Arni semakin menjadi-jadi. "Bagaimana bisa tanpa merasa bersalah Mas Ardan pulang dan langsung memintanya untuk membuat mie pedas? Memangnya aku ini istri atau babunya?" tanya Arni dalam hati. "Arni!
Siang hari, waktunya menjemput anak-anak pulang sekolah, Arni membawa pesanan keripik yang sudah jadi untuk warung didepan TK. Ia menyempatkan melongok ke belakang warung, apakah motor Ardan masih ada disana atau tidak.Keningnya berkerut karena tidak menemukan motor suaminya."Pak Nanang! Itu motor dibelakang warung kemana?" tanya Arni setelah menghitung jumlah keripik yang ia setorkan."Oh, itu tadi dibawa pergi sama temannya Mbak Nira." jawab Pak Nanang."Siapa Pak? Laki-laki atau perempuan?" Arni bertanya penuh selidik."Laki-laki Mbak, orang itu memang sering mampir ke rumah Mbak Nira. Sering juga bawa motor tersebut."Arni menegang mendengar penjelasan singkat Pak Nanang. "Ya sudah Pak kalau begitu, saya pamit dulu ya? Itu anak-anak saya sudah pada keluar.""Iya Mbak Arni, hati-hati dijalan ya! Besok jangan lupa, jajannya yang komplit!" ujar Pak Nanang."Baik Pak!" teriak Arni dari seberang jalan.Arni menuntun kedua anaknya untuk pulang, sepanjang perjalanan mereka saling mengo
"Pagi, sayang!" sapa Nira sambil membawa nampan berisi kopi panas dan sepiring gorengan.Menilik dari penampilannya, Ardan tahu betul kalau gorengan tersebut dibeli oleh Nira di warung samping rumahnya. Yang tak lain, itu adalah gorengan titipan Arni. Ironis memang, di rumah Ardan tak pernah sudi memakan gorengan yang istrinya suguhkan. Padahal gorengan Arni sudah terkenal disekitar tempat tinggal mereka. Namun saat Nira yang menyajikan gorengan tersebut, Ardan akan dengan lahap memakannya sambil menggigit cabai rawit hijau.Ardan membalas sapaan Nira, lalu mengecupnya dengan mesra."Sayang, aku sudah selesai lo!" bisik Nira dengan nakal.Ardan tersenyum mendengarnya. Ia tahu betul maksud perkataan Nira. "Sabar ya, malam ini aku tidak bisa menginap disini. Kebetulan malam ini aku ada pekerjaan sampingan selama akhir pekan."Bibir Nira mengerucut, tanda bahwa ia tidak suka mendengar jawaban Ardan. "Memang tidak bisa ditinggal, ya?"Ardan tersenyum gemas melihat tingkah Nira yang sepert
Pagi itu, seperti biasa. Arni mengantar kedua anaknya bersekolah sambil membawa jajan untuk ia titipkan pada warung-warung kecil yang ia lewati serta kantin sekolah anaknya dan mengambil hasil penjualan sebelumnya.Sebuah senyum penuh rasa syukur mengembang pada wajah ayu Arni. "Terima kasih banyak, Pak!" ujar Arni pada pemilik warung yang tepat berada di seberang sekolah TK."Iya, Mbak Arni! Sama-sama! Kalau bisa, besok bawa keripik sama gorengannya agak banyakan ya? Kebetulan besok anak-anak libur sekolah, tapi disini mau dipakai untuk acara. Untuk lomba mewarnai anak TK tingkat kecamatan. Bawa jajan yang lain juga boleh, biar lengkap warung saya!" ujar Pak Nanang, pemilik warung diseberang TK tempat anak Arni bersekolah."Iya, Pak! Siap! Besok pagi-pagi sekali aku bawakan kesini. Nanti malam biar aku lembur!" jawab Arni dengan riang. Baginya, pagi ini adalah pagi yang indah. Seluruh dagangan yang ia titipkan habis tak bersisa. Bahkan beberapa warung tempat biasa Arni menitipkannya
Tok! Tok!Ardan mengetuk pintu samping sebuah rumah yang berada didepan sekolah TK dengan perlahan. Tak membutuhkan waktu lama, pintu dibuka dari dalam."Ayo, masuk! Motornya simpan saja dibelakang warung," perintah orang yang membukakan pintu itu sambil menunjuk warung yang berada tepat disebelah rumahnya.Tanpa membantah, Ardan mengikuti perintah itu. Lalu segera masuk kedalam rumah bergaya modern minimalis itu. "Anak-anak kemana? Sudah tidur semua?" tanya Ardan dengan penuh perhatian."Iya," jawab sang pemilik rumah yang ternyata seorang wanita berusia tujuh tahun diatas Ardan."Kita langsung kebawah saja yuk!" ajak wanita itu sambil menuntun Ardan menuju dapur yang berada dilantai bawah."Sayang, kamu kok kelihatannya berkeringat sekali. Habis ngapain?" tanya wanita itu dengan penuh rasa curiga."Iya, tadi pas kesini ban motornya bocor. Jadi aku tuntun cari tambal ban yang masih buka. Makanya keringatnya banyak." jawab Ardan asal.Namun wanita itu seolah tak peduli dengan jawaban
"Arni, kamu yakin mau menerima lamaran Ardan? Tidak mau dipikir-pikir dulu?" tanya kakak Arni kala itu."Nggak, Mbak. Aku mantap mau menerimanya. Mbak lihat, kan? Bahkan saat motornya disita sama bapak dan ibunya, dia berusaha meminjam motor teman atau kerabatnya untuk menemuiku. Itukan bukti kalau Mas Ardan serius sama aku." jawab Arni sambil tersenyum membayangkan sebelumnya habis diapeli oleh Ardan."Ar, tapi itu sudah jelas dia melawan orang tuanya. Dia bukan laki-laki yang patuh sama bapak dan ibunya."Arni termenung.Memikirkan bahwa kata-kata yang kakaknya ucapkan ada benarnya. Tapi dia juga sudah terlanjur menerima lamaran pribadi itu, dan lagi, rasa sayangnya untuk Ardan sudah terlanjur sangat besar.Arni semakin tersedu-sedu. Bagaimana dia harus mengatakan kepada kakak serta pamannya, bahwa Ardan yang dulu mereka tentang, kini telah mengkhianatinya.***"Ah, permainan kamu hebat banget sayang! Tante sampe kewalahan ngadepin kamu lo!" ujar Tante Amy sambil tersenyum puas.Ard
"Mas Ardan!" jerit Arni spontan, karena melihat apa yang sedang suaminya lakukan bersama perempuan yang hampir seusia ibunya itu."Arni," ucap Ardan lirih bercampur kaget, melihat istrinya tengah mengintip dari jendela mobil.Sementara Tante Amy hanya tersenyum nakal, karena pemanasannya bersama Ardan yang sedang tanggung malah ketahuan oleh Arni.Dengan wajah marah, Ardan keluar dari mobil tanpa membenarkan kemejanya yang sudah terbuka sebagian. Begitu pula Tante Amy, dadanya yang mulai mengendur hampir terekspos sepenuhnya."Apa yang kamu lakukan disini Arni?" tanya Ardan dengan marah."Mas, seharusnya aku yang bertanya seperti itu. Kenapa Mas Ardan ada disini? Bersama perempuan yang hampir seusia ibumu itu Mas?""Hah! Enak saja kamu mengataiku hampir seusia dengan ibunya Ardan, memangnya aku terlihat setua itu?" gerutu Tante Amy yang merasa tersinggung dengan ucapan Arni.Arni melirik marah kearah perempuan hampir berusia paruh baya itu, sudut matanya berair karena rasa sakit yang
"Maafkan ibu, nak!" bisik Arni sambil mencium kening kedua buah hatinya yang sudah tertidur lelap.Ia segera mengenakan jilbab dan jaket, lalu mengeluarkan motor yang tadi sore ia pinjam dari paman suaminya. Tak lupa, Arni memakai helm untuk keselamatan, sekaligus guna menutupi wajahnya agar tidak ketahuan. Ia segera keluar dari rumah, tak lupa mengunci pintunya dari luar. Meskipun sebenarnya hatinya terasa berat harus meninggalkan kedua anaknya yang sedang terlelap.Arni agak cepat melajukan motornya, karena ia tidak mau tertinggal jauh oleh Ardan. Namun Dewi Fortuna seakan berpihak padanya, Arni melihat Ardan yang berhenti ditepi jalan tidak jauh dari gang kampung mereka.Arni menjaga jarak sekitar dua meter dari tempat Ardan berhenti, dan ia agak memepetkan motornya ketepian agar tertutup pohon besar dibelakang Ardan. Samar-samar Arni dapat mendengar suaminya tengah berteleponan dengan menyebut nama Tante Amy. Namun suaranya terdengar manja, membuat kening Arni berkerut."Apa begit