“Pandu, apa kamu sudah menemukan titik lokasi keberadaan Vinsensia?” Dewa memperhatikan asistennya melalui kaca spion dalam mobil. Alasannya, sudah lebih dari satu minggu paska Dewa memerintah Pandu mencari tahu semua rekam jejak peristiwa lima tahun lalu. “Menurut informasi pelayan di vilanya, Nona Meyer mengunjungi kampung halaman mendiang Tuan Meyer,” ucap Pandu. “Tidak biasanya kamu bekerja lambat,” sinis pria itu merasa tidak puas atas kinerja sang asisten. Pandu menghela napas, sembari menyetir mobil ia bergumam, “Itu karena Pak Dewa memberikan banyak tugas yang harus selesai dalam waktu bersamaan.” Sebelum menuju kampung halaman ayah Vinsensia, terlebih dahulu Dewa menjemput Givano—orang kepercayaan Arjuna. Dewa memberi salam hormat pada pria paruh baya itu kemudian menceritakan semua yang terjadi. Akan tetapi Givano telah mengetahuinya dari Arjuna. Bahkan asisten paruh baya itu menyerahkan map tipis ke tangan Dewa. “Bukalah! Semoga jantungmu baik-baik saja," t
“Pergi ke mana?” sentak Dewa pada pelayan paruh baya itu.“Maaf Tuan, saya tidak tahu.” Suasana hati Dewa kian berantakan, garis ketampanannya menegang sekaligus pucat di bawah cahaya lampu kristal. Ia hendak keluar dari mansion untuk mencari Rosalyn tetapi suara bariton dari lantai dua mencegah langkah kakinya.“Apa kamu lupa bagaimana kondismu?!”Seketika Dewa mendongak menatap sang ayah yang berdiri angkuh sembari menopang tangan pada railing. Senyum pilu terukir tipis pada bibir sensual pria itu. Ia berujar, “Kenapa Ayah mengizinkan Rosalyn pergi? Susah payah aku menaklukannya!” Bukannya menjawab atau menenangkan putra sulung, Arjuna malah melontarkan pertanyaan sinis, “Menurutmu kenapa Rosalyn memilih pergi?”“Ayah!” teriak Dewa.“Perbaiki dirimu, Dewa!” tegas pria paruh baya itu.Diam dan hening, Dewa tidak mendebat lagi sebab menyadari betapa banyak kesalahannya. Ia menengadahkan kepala sembari menghirup udara, tetapi dadanya terasa sesak. Pelan-pelan ia melangkah gontai mema
“Tentu saja melalui jalur hukum. Perbuatannya sudah membahayakan nyawa!” ucap Dewa sembari memandangi pintu pondok. Fabian mengangguk paham. Keduanya turun dari mobil lalu mengetuk pintu pondok. Sayup-sayup mereka mendengar suara tangis serta jeritan dua perempuan. Seketika Fabian dan Dewa beradu pandang dengan bingung. Sepuluh menit menunggu, pintu pondok itu terbuka lebar. Tampak seorang wanita paruh baya bercucuran keringat dan kening berdarah. Hanya saja tubuh perempuan sepuh itu mematung tatkala melihat Dewa. “Menantu?!” pekik wanita itu. “Bibi Mathilda?” sahut Dewa dan Fabian. “Terima kasih sudah datang, kalian menolongku dari perempuan iblis itu!” Mathilda menengok ke belakang. Dewa berdeham kecil dan sorot matanya menerobos ke dalam pondok. Ia mencari-cari sosok Vinsensia. “Sebenarnya kami ke sini mau bertemu Vinsensia. Bibi, dia telah membunuh Rosalyn.” Dewa tak bisa menahan kata-katanya lagi. Seketika Mathilda membeliak lantas limbung di ambang pintu. Sigap
“Selamat Vin. Kamu berhasil menipu!” sentak Dewa, suaranya menggelegar di bangsal gawat darurat. Seketika petugas keamanan berdatangan, mereka hendak menggiring Dewa keluar sebab mengganggu pasien lain. Saking marahnya pria itu menepis kasar tangan dua orang petugas. Menyadari situasi dan kondisi tidak mendukung. Fabian memegangi Dewa berupaya menenangkan pria itu tetapi tatapan setajam belati masih terkunci pada Vinsensia. “Jawab!” bentak Dewa lagi diakhiri menggosok kasar wajah tampannya. “A-aku … i-ini karena a-aku tidak mau kehilanganmu, Dewa. Aku mencintaimu.” Vinsensia menunduk dalam tidak berani menatap wajah garang mantan kekasihnya. Dewa menyindir, “Dengan berbohong?!” Kemudian ia berlalu dari instalasi gawat darurat. Bahkan ia meninggalkan dan melupakan Fabian yang sedari tadi berada di sampingnya. Dewa mengendarai mobil dengan kecepatan sedang. Bukan pulang ke vila atau mansion melainkan mengunjungi salah satu rumah ibadah, di mana tempat itu menjadi saksi diu
Setelah berbincang dengan sang ayah, Brahma bergegas menemui adiknya di dapur. Ia melihat Arimbi asyik menyantap kue kering. Anak laki-laki itu juga berbisik pada adiknya, “Dewasa nanti kamu jadi artis saja ya.”Arimbi tertawa pelan mendengar ucapan sang kakak. Lantas keduanya saling menepuk tangan di bawa meja. “Kerja sama yang bagus ya, Kak,” sahutnya.Brahma mengembalikan telepon genggam pada Rosalyn. “Ma, ponselnya aku taruh di atas meja ya.”Rosalyn menolehkan kepala lalu menjentikkan ibu jari sembari tersenyum.Meskipun musim dingin, hunian ini terasa hangat sebab Tuan Jack dan Feli selalu menemani Rosalyn. Sekarang Feli membantu wanita itu memasukkan adonan kue ke dalam oven. Sedangkan Tuan Jack duduk di depan Brahma dan Arimbi.“Kamu serius mau melakukan itu?” bisik Feli.“Ya Bibi. Aku harus memanfaatkan waktu selagi Dewa tidak ada di sini.” Rosalyn menatap dalam kekhawatiran yang terlukis pada wajah Feli. Ia melanjutkan, “Bibi jangan mencemaskan apa pun ya.”Feli terdiam engga
“Aku bukan dermawan, Kevin!” tolak Dewa. Ia tidak mau menerima usulan atau alasan apa pun.Kevin Keller memandang bengis kepada Dewa. Pria itu mengepalkan tangan dengan kuat hingga buku jarinya memutih … tetapi mendadak mengeluarkan air mata. Dengan suara nyaris tenggelam, Kevin mengungkapkan keinginannya, “Izinkan anakku lahir ke dunia.”Seketika Dewa bertukar pandang bersama Fabian. Sorot mata keduanya menyiratkan banyak makna.Dewa mengangguk. “Baiklah. Tapi dia dalam pengawasanku!”Terpaksa Kevin mengiakan dan tidak mendebat lagi. Bagi pria itu paling penting buah hatinya lahir dengan selamat. Mengingat pengkhianat Vinsensia, Kevin tidak peduli lagi pada masalah yang menimpa perempuan itu.**Kala ini Rosalyn sedang berbaring di atas brankar. Ia menjalani pemeriksaan ulang guna mendonorkan sel sehat untuk Arimbi. Sepasang manik hazel memandangi jarum suntik yang menusuk kulit.Paska kembalinya ia ke Kota Milan beberapa hari lalu, sejumlah rencana telah tersusun rapi. Rosalyn bersi
“Anak-anak pintar,” puji Dewa diikuti senyum lebar. Ia merasa beruntung didukung oleh kedua anaknya.Ruangdi hatinya tidak lagi kosong sebab ia yakin bisa mendapatkan Rosalyn. Dewa bergegas menemui Pandu untuk memberikan perintah khusus.Setelahnya Dewa tidak jera menghubungi Fabian. Bahkan meneror pria itu agar memberitahu di mana keberadaan Rosalyn. Sayang kali ini Fabian tidak bersikap kooperatif.“Cari saja sendiri, Dewa! Walaupun tahu, aku tidak mau kamu bertemu Rosalyn. Kalian sudah cerai ‘kan? Itu artinya aku punya peluang besar.” Fabian tertawa mengejek.Dewa menyahut dengan suara lantang, “Sampai kapan pun Rosalyn adalah istriku. Sebaiknya kamu cari saja perempuan lain!”Fabian menggelengkan kepala lalu berujar dengan gaya angkuh, “Aku lebih dulu mengenal dan mencintai Rosalyn. Jadi .. relakan saja dia untukku.”Kelopak mata Dewa melebar sempurna, pria itu merangsek maju lantas mencengkeram kerah kemeja putih Fabian.“Aku suaminya!” teriak Dewa.Pada akhirnya kedua presdir ta
Rosalyn termangu di tempat. Tanpa sadar lelehan hangat telah menganak sungai. Ia tersenyum simpul sembari menyeka air mata. Perlahan kedua tungkai wanita itu bergerak maju.“Kamu ada di sini?” tanyanya pada perempuan itu.“Ya, Rosalyn … aku merindukanmu. Kamu ke mana saja?”“Anna, aku senang kita bisa bertemu lagi.” Rosalyn langsung memeluk erat tubuh temannya.Bahkan keduanya sesenggukan bersama lalu tertawa di sela isak tangis. Rosalyn tidak habis pikir bagaimana caranya Anna mengetahui tempat tinggalnya.Setelah menenangkan diri sejenak, keduanya duduk di ruang tamu. Kali ini Feli sengaja meninggalkan Rosalyn, supaya mereka memiliki waktu melepas rindu.“Anna … bagaimana bisa kamu ada di sini?” Mata Rosalyn masih digenangi air mata.“Itu karena Pak Fabian. Beliau memberitahu dengan syarat aku merahasiakan alamatmu dari Pak Dewa.” Anna tersenyum kikuk.Mantan rekan kerja Rosalyn itu juga membeberkan apa yang didengar telinganya beberapa jam lalu. Ketika Dewa dan Fabian bertengkar, k