“Boleh ‘kan Ma?” desak Arimbi. Anak itu mengedip-ngedipkan kelopak mata, dan iris abu-abunya berubah berkaca-kaca.Rosalyn menatap Feli—memohon bantuan. Ia juga tidak bisa memutuskan sebab mansion ini milik keluarga Arnold. Akhirnya, Rosalyn terdiam dan menurunkan pandangannya.Tiba-tiba suara lantang menyahut di tengah kecanggungan orang dewasa.“Engga boleh!”“Kak Brahma, ini Papa kita loh.” Arimbi menekuk bibirnya dan bergelayut manja di lengan Dewa.Sekarang semua pasang mata menatap Brahma. Tangan kecil itu gemetaran memegang bola basket. Brahma juga enggan memandang ke arah Dewa.Sebagai pemilik mansion yang baik, Feli menengahi konflik antara ayah dan anak. “Masih ada kamar kosong, silakan Tuan Caldwell bermalam di sini,” ujar Feli dengan canggung.“Asyik, terima kasih Oma.” Arimbi melompat riang. “Tapi Papa jangan tidur di kamar lain. Arimbi mau tidur sama Papa dan Mama,” ucap anak itu dengan polosnya.Seketika Rosalyn membeliak dan menggeleng kecil. Mana mungkin ia bersedia be
“Tapi apa?!” tanya Rosalyn tidak sabaran. Mengingat betapa liciknya Dewa, menjadikan ia khawatir suaminya memanfaatkan situasi.Seketika Dewa mengulum senyum dan mengkerling sebelah matanya pada Rosalyn. Walaupun canggung, pria itu menyukai suasana seperti ini. “Lihat, Mama tidak sabar mau tidur,” seloroh Dewa mencairkan atmosfer tegang di atas tempat tidur.Brahma dan Arimbi kompak mengiakan, kini keduanya bersiap berbaring di posisi masing-masing. Tiba-tiba Dewa menggenggam tangan mungil putranya. “Brahma tidur sama Papa. Biarkan Arimbi dan Mama berdua di sini,” kata Dewa membuat bibir Arimbi menekuk dan mata jernihnya merambang. “Baiklah begini saja, Brahma di tengah, jadi … dekat Papa dan Mama, Arimbi setuju?” Arimbi mengangguk lalu memeluk Rosalyn dan berbaring di samping ibunya. Sedangkan Brahma tercengang sebab berada di tengah-tengah orang tuanya. Anak itu langsung memunggungi Dewa dan melingkarkan tangan di atas perut Rosalyn.Meskipun menolak, faktanya Brahma terlelap den
“Halo Sayang. Akhirnya kita ketemu lagi. Maafkan aku ya.”Vinsensia langsung melepaskan rangkulan dari tangan Dewa. Gadis itu menghampiri Arimbi dan berjongkok di depannya. Bahkan Vinsensia meraih kedua tangan mungil nan hangat. “Sebenarnya aku sudah maafkan Tante. Malahan mau bilang terima kasih. Tapi maafnya engga jadi.” Bibir Arimbi begitu lancar mengucapkan kata-kata menyebalkan bagi Vinsensia.Seketika ekspresi Vinsensia berubah garang. Gadis itu hendak mencengkeram Pundak ringkih Arimbi.Tiba-tiba saja satu tangan mungil menepis dengan kuat. Vinsensia mendelik tajam ke arah anak laki-laki yang berdiri tepat di belakang Arimbi.“Jangan sentuh adikku! Kamu perempuan jahat!” tegas Brahma.Meskipun semalam kesal pada adiknya, tetapi hari ini ia menjadi kakak yang baik. Brahma langsung memeriksa kondisi Arimbi dan memeluknya dengan erat. “Ada aku. Kamu jangan takut lagi ya,” ucap Brahma lembut sambil melirik tajam Vinsensia.“Ka-kamu ….” Vinsensia tergagap, bahkan kembali menelan
“Jangan salah paham lagi,” tegur Dewa. Pria itu dirundung kegusaran, pasalnya setelah percakapan mereka di restoran membuat Rosalyn terdiam. Bahkan wanita cantik bersurai hitam enggan menatap ke arah Dewa. Sekarang mereka tiba di kediaman Arnold. “Rosalyn, aku minta maaf,” sambung Dewa dengan lirih. Sedangkan Rosalyn bersama anak kembarnya keluar dari mobil. Ia tak mengindahkan bujuk rayu sang suami. Lagi pula untuk apa memedulikan tindakan Dewa terhadap Vinsensia?Setelah Rosalyn masuk ke dalam mansion, Dewa tidak melajukan mobil. Tatapan pria itu masih tertuju pada pintu, ia berharap Rosalyn menolehkan kepala dan mengatakan sesuatu padanya—bukan diam seperti ini.**Malam harinya Dewa tidak datang ke Mansion Arnold. Pria itu sempat mengirimkan pesan jika saat ini sedang mengunjungi Kota Jenewa untuk menyelesaikan masalah perusahaan cabang. Informasi itu disampaikan melalui Fabian.Rosalyn hanya mengangguk saja tanpa berniat menanggapi. Kemudian, ia memberitahukan kepada anak-ana
“Kenapa Pandu juga menghilang?” desah Rosalyn. Setelah panggilan masuk dari Dewa terputus, Rosalyn langsung meminta pertolongan Fabian untuk menghubungi Pandu. Kini ia dan teman kecilnya berdiri bersisian. Kedua orang itu dilanda kebingungan. “Jangan panik, Rosalyn. Aku akan mencari tahu.” Fabian mengelus bahu Rosalyn. Beberapa saat kemudian tubuh Rosalyn menegang, kala Fabian menyampaikan kendaraan milik Dewa mengalami kecelakaan. Seketika ia menjadi panik, dan sibuk memesan tiket pesawat menuju Kota Jenewa. “Aku ikut!” seru Fabian melihat kegusaran wanita itu. Rosalyn mengangguk pelan. ** Setelah menempuh perjalanan udara yang tidak sebentar, Rosalyn dan Fabian tiba di Kota Jenewa. Mereka langsung mengunjungi rumah sakit terdekat dari R&B Hotel. Sayangnya di sana tidak terdaftar pasien atas nama Antakadewa Caldwell. Rosalyn termangu merasa peristiwa ini terjadi sangat cepat dan janggal. Lubuk hatinya tidak memercayai jika Dewa seceroboh itu mengemudikan mobil hingga menyeba
“Apa makanan di sini tidak enak?” tanya Dewa sambil menyodorkan botol minum pada Rosalyn.Sedari tadi Rosalyn hanya mengaduk-aduk makanan tanpa berniat menyantap. Bahkan ia sedanng terkurung bersama kata-kata dalam benaknya.“Apa yang kamu pikirkan?” sambung Dewa. Ia meraih sendok dari tangan Rosalyn sehingga wanita itu mengangkat pandangan.Dalam keadaan bibir tertutup rapat, Rosalyn memandangi paras rupawan sang suami. Bukan terpesona melainkan teringat percakapan antara Dewa dan Pandu.Hati wanita itu berkata, ‘Aku ingin tahu tindakanmu.’Di saat bersamaan telepon genggam Dewa bergetar. Sigap pria itu memeriksa lalu melayangkan senyum hangat kepada Rosalyn.“Aku harus pergi. Habiskan makanan ya,” kata pria itu. Sebelum melangkahkan kaki, Dewa membelai lembut puncak rambut Rosalyn. Bahkan ia berani melabuhkan kecupan ringan.Rosalyn tertegun … ini pertama kalinya sikap Dewa teramat lembut serta penuh kasih sayang. Ia tidak mengerti mengapa suaminya bertingkah seperti ini. Padahal ia
“Tidak.” Satu kata tegas itu keluar dari bibir Dewa.Garis tegas ketampanannya menunjukkan bahwa keputusannya tidak bisa diganggu gugat. Dewa menatap dingin pada Vinsensia tetapi ia enggan mengusir gadis itu dari ruangannya.“Kenapa tidak? Dewa, aku membutuhkanmu!” protes gadis itu diiringi tangisan.“Kamu harus mandiri, Vin. Jangan ketergantungan lagi padaku. Percayalah, kamu pasti bisa.” Dewa hendak melangkah keluar ruangan, tetapi Vinsensia langsung menjatuhkan tubuhnya di atas lantai berlapis permadani.“Aku mencintaimu Dewa. Lebih dari sepuluh tahun kebersamaan kita, sekarang kamu mencampakkan aku begitu saja. Aku tidak mau!” Vinsensia bersungut-sungut sambil meremas dada.Dewa menolehkan kepala dan menatap mantan kekasihnya. Ia mengulurkan satu tangan tetapi gadis itu urung menerima seakan-akan menantikan hal lebih.Helaan napas panjang keluar dari sela bibir Dewa. Sejujurnya ia merasa bersalah pada Vinsensia karena mengingat betapa menderitanya gadis itu di masa lalu.“Aku pria
“Bisa!” Dewa menyahut dengan suara lantang.Rosalyn menundukkan pandangan lalu mengamati cincin yang melingkar elok di jari manisnya. Ia menjadi teringat kala itu tanpa sengaja membaca pesan singkat di ponsel sang suami. Pria di hadapannya ini seakan-akan selalu meluluhkan wanita menggunakan benda berkilau, Rosalyn yakin itu.Alih-alih meminta bukti, justru Rosalyn mlontarkan pertanyaan, “Apa kamu selalu membujuk wanita dengan cara ini?”Seketika Dewa terbelalak lalu menggeleng kepala. Bahkan ia sempat menautkan alisnya dan memutar bola mata. Setelah berhasil mengingat sesuatu, Dewa manggut-manggut.“Kamu masih ingat cincin Vinsensia?” Pertanyaan Dewa mengoyak luka masa lalu.Senyum kecut terukir pada bibir tipis berwarna merah, Rosalyn mengangguk pelan.“Sebenarnya … itu bukan cincin dariku. Tapi dia pesan sendiri dari toko perhiasan, dan aku hanya membantu mengambilnya saja. Aku tidak bohong,” tutur Dewa panjang lebar.Rosalyn menganga sebab suaminya jarang sekali memberi penjelasan