Semangat Pagi GoodReaders \(^o^)/ Terima kasih banyak untuk komentar, ulasan dan gem-nya
“Apa makanan di sini tidak enak?” tanya Dewa sambil menyodorkan botol minum pada Rosalyn.Sedari tadi Rosalyn hanya mengaduk-aduk makanan tanpa berniat menyantap. Bahkan ia sedanng terkurung bersama kata-kata dalam benaknya.“Apa yang kamu pikirkan?” sambung Dewa. Ia meraih sendok dari tangan Rosalyn sehingga wanita itu mengangkat pandangan.Dalam keadaan bibir tertutup rapat, Rosalyn memandangi paras rupawan sang suami. Bukan terpesona melainkan teringat percakapan antara Dewa dan Pandu.Hati wanita itu berkata, ‘Aku ingin tahu tindakanmu.’Di saat bersamaan telepon genggam Dewa bergetar. Sigap pria itu memeriksa lalu melayangkan senyum hangat kepada Rosalyn.“Aku harus pergi. Habiskan makanan ya,” kata pria itu. Sebelum melangkahkan kaki, Dewa membelai lembut puncak rambut Rosalyn. Bahkan ia berani melabuhkan kecupan ringan.Rosalyn tertegun … ini pertama kalinya sikap Dewa teramat lembut serta penuh kasih sayang. Ia tidak mengerti mengapa suaminya bertingkah seperti ini. Padahal ia
“Tidak.” Satu kata tegas itu keluar dari bibir Dewa.Garis tegas ketampanannya menunjukkan bahwa keputusannya tidak bisa diganggu gugat. Dewa menatap dingin pada Vinsensia tetapi ia enggan mengusir gadis itu dari ruangannya.“Kenapa tidak? Dewa, aku membutuhkanmu!” protes gadis itu diiringi tangisan.“Kamu harus mandiri, Vin. Jangan ketergantungan lagi padaku. Percayalah, kamu pasti bisa.” Dewa hendak melangkah keluar ruangan, tetapi Vinsensia langsung menjatuhkan tubuhnya di atas lantai berlapis permadani.“Aku mencintaimu Dewa. Lebih dari sepuluh tahun kebersamaan kita, sekarang kamu mencampakkan aku begitu saja. Aku tidak mau!” Vinsensia bersungut-sungut sambil meremas dada.Dewa menolehkan kepala dan menatap mantan kekasihnya. Ia mengulurkan satu tangan tetapi gadis itu urung menerima seakan-akan menantikan hal lebih.Helaan napas panjang keluar dari sela bibir Dewa. Sejujurnya ia merasa bersalah pada Vinsensia karena mengingat betapa menderitanya gadis itu di masa lalu.“Aku pria
“Bisa!” Dewa menyahut dengan suara lantang.Rosalyn menundukkan pandangan lalu mengamati cincin yang melingkar elok di jari manisnya. Ia menjadi teringat kala itu tanpa sengaja membaca pesan singkat di ponsel sang suami. Pria di hadapannya ini seakan-akan selalu meluluhkan wanita menggunakan benda berkilau, Rosalyn yakin itu.Alih-alih meminta bukti, justru Rosalyn mlontarkan pertanyaan, “Apa kamu selalu membujuk wanita dengan cara ini?”Seketika Dewa terbelalak lalu menggeleng kepala. Bahkan ia sempat menautkan alisnya dan memutar bola mata. Setelah berhasil mengingat sesuatu, Dewa manggut-manggut.“Kamu masih ingat cincin Vinsensia?” Pertanyaan Dewa mengoyak luka masa lalu.Senyum kecut terukir pada bibir tipis berwarna merah, Rosalyn mengangguk pelan.“Sebenarnya … itu bukan cincin dariku. Tapi dia pesan sendiri dari toko perhiasan, dan aku hanya membantu mengambilnya saja. Aku tidak bohong,” tutur Dewa panjang lebar.Rosalyn menganga sebab suaminya jarang sekali memberi penjelasan
“Ada apa?” Dewa merangkul tubuh Rosalyn dan membawanya duduk di sofa.Diam-diam pria itu melirik ponsel di atas lantai. Pikiran Dewa menjadi gelisah sebab mengetahui Feli menghubungi Rosalyn. Sudah pasti hal itu berhubungan dengan putrinya.“Arimbi pingsan. Tolong temui Bibi Feli dan Arimbi … badanku lemas,” tutur Rosalyn.Dewa mengangguk tanpa mendebat. Ia memberi saran, “Kalau begitu kamu istirahat saja di kamar rawat. Mau?”Rosalyn melemah dan mengiakan permintaan sang suami. Ia memerlukan waktu sendirian untuk menenangkan diri. Rasanya tidak sanggup menemui Arimbi dalam kondisi seperti ini.Gegas Dewa memesan kamar rawat, lalu memastikan Rosalyn beristirahat dengan nyaman. Kemudian ia menuju bangsal gawat darurat, menanti Arimbi dan Feli. Tidak lama kemudian ambulan tiba, iris abu-abu Dewa menangkap tubuh lemas putrinya dalam gendongan petugas medis.Dewa menemani Feli instalasi gawat darurat. Di sana, Arimbi diberikan pertolongan pertama. Setelahnya dokter memutuskan gadis kecil
“Kurang ajar!” bentak Kevin. Meskipun berada di ambang kesadaran Kevin tidak tinggal diam. Pria itu mengulurkan tangan ke leher Vinsensia dan mencengkeram dengan erat. Seketika wajah gadis itu menjadi pucat dan sedikit membiru. Tidak lama kemudian Kevin tergeletak di samping tubuh Vinsensia. Akibat ketakutan gadis itu langsung melarikan diri dan meninggalkan Kevin dalam keadaan terluka. ** Satu hari setelahnya, di tempat berbeda Dewa dan Rosalyn tampak tersenyum bahagia melihat keceriaan Arimbi. Gadis kecil itu bernyanyi dan tertawa riang. Bahkan Arimbi makan dengan lahap, padahal kemarin tubuhnya sangat lemas. “Lihatkan dia bahagia karena kita bersatu,” bisik Dewa. Ia juga mengambil kesempatan, mengecup pipi kenyal Rosalyn. Seketika Rosalyn memelotot dan menoleh. Tentu saja Dewa telah bersiap, pria itu mendekatkan kepala sehingga bibir kedunya menempel. Buru-buru Rosalyn menjauh kemudian berpindah posisi duduk di sofa. Ia merasa kesal lantaran sang suami berlagak seolah-olah mer
Sesaat Dewa tertegun mendengar ucapan Rosalyn. Pria itu mengangguk pelan lantas meraih tangan lembut wanita itu, lalu berkata, “Aku janji tidak mengecewakanmu lagi.” Namun Rosalyn menarik tangannya sambil mengamati lekat-lekat wajah sang suami. Ia menggelengkan kepala lalu menyahut, “Aku melakukan ini demi Arimbi, bukan jadi istrimu lagi.” Helaan napas panjang keluar dari sela bibir Dewa. Sebenarnya mendengar ucapan Rosalyn membuat jantung pria itu seakan diremas kuat. “Kamu istriku. Selamanya tetap istriku!” tegas Dewa kemudian berlalu pergi dari ruangan. ** Tiga hari setelahnya, Arimbi diizinkan pulang. Akan tetapi Rosalyn tidak kembali ke Vila Caldwell. Menurutnya terlalu banyak kenangan pahit dan menyakitkan di sana. Semula ia memilih tetap menginap di Mansion Arnold. Ternyata Dewa menolak dengan alasan pribadi, sekarang mereka tinggal di kediaman Keller. “Kamu menebusnya dari bank? Kapan?” tanya Rosalyn setelah menaruh pakaian kotor Arimbi ke dalam keranjang. Ia juga menga
Sementara di tempat berbeda tepatnya sebuah bangunan sederhana di sekitar pedesaan. Seorang perempuan sedang meremas ponsel. “Dewa kamu benar-benar keterlaluan. Kamu tidak peduli lagi sama aku!” jerit orang itu.Tidak lama telepon genggamnya berdenting lagu, pesan singkat diterima. Bukan dari pria pujaan tetapi orang lain.[Nona Vinsensia, Anda tidak bisa sembunyi. Sebaiknya kembali ke Kota Jenewa. Percuma Anda menunggu Pak Dewa, beliau sudah bersama Nyonya Rosalyn.]“Sialan!” pekik Vinsensia lantas membanting benda pipi hingga terbelah dua. “Musibah yang menimpaku karena Rosalyn dan anak-anaknya!”Vinsensia menatap bengis pemandangan perbukitan elok di depan mata. Gadis itu terpaksa bersembunyi di pedesaan sebab Kevin mencari bahkan menerornya beberapa kali. Hal itu terjadi karena Vinsensia tidak memiliki uang lagi. Kini gadis itu kesulitan materi paska Dewa menghentikan pengiriman dana. Hanya saja Dewa telah memberikan posisi cukup penting di perusahaan cabang, tetapi Vinsensia bu
“Dia tertawa bersama pria lain?!” Dewa menggeram dan mengepalkan tangan kala melihat Rosalyn tertawa lepas tepat di hadapan seorang lelaki tampan yang usianya beberapa tahun lebih muda.Rongga dada Dewa seketika membara. Bahkan kening serta tubuh pria itu menjadi berkeringat padahal sedang musim dingin.Jika mematuhi ego, ingin sekali Dewa menghampiri keduanya lalu membawa Rosalyn pulang. Hanya saja penampilannya jauh dari kata rapi. Diam-diam Dewa mengamati pantulan diri pada dinding cermin besar di depan restoran hotel. Seketika ia merasa seperti pria tua yang tidak cocok bersanding bersama Rosalyn.Saat ini juga Dewa menghubungi asistennya. “Pandu kirim penata rambut ke rumahku!” titah Dewa dengan nada menggebu.Setelahnya, Dewa tersentak manakala wanita pemilik paras ayu mendadak menghilang bersama Tuan Bradley. Detik itu juga pikiran pria itu menjadi buruk, sekarang ia berencana mencari Rosalyn di setiap kamar hotel.Ketika melewati taman hotel, Dewa tercengang melihat bagaimana c
“Bagaimana kondisi Lily, Kak?” tanya Rosalyn sesampainya di rumah sakit.“Air ketubannya pecah. Dia kesakitan.” Kevin tampak gelisah, pria itu masih mengenakan piama dan menutupi tubuh dengan selimut.Rosalyn menuntun Kevin supaya duduk di bangku logam depan ruang bersalin. “Kita berdoa saja semoga Lily dan bayinya selamat.”Ketiga orang itu menanti dengan gelisah. Setelah hampir setengah jam berjalan, seorang dokter menghampiri Kevin dan menjelaskan, “Bayi Nyonya Lily sebentar lagi lahir, jika suaminya ingin melihat proses persalinan, kami persilakan.”Kevin menggeleng. Justru ia mendorong Rosalyn supaya menemani Lily di dalam sana. Sebagai wanita yang pernah melahirkan, ia mencebik melihat dua pria duduk gelisah di kursi. Ia pun mendampingi Lily di ruang bersalin.Rosalyn segera menggenggam tangan iparnya. Lily sedang kesakitan setelah pembukaan jalan lahir melebar sempurna.“Semangat Lily, kamu pasti bisa,” bisik Rosalyn diangguki iparnya.Dengan bimbingan dokter spesialis kandungan
“Kenapa, Bro?” sapa Fabian sambil menyodorkan sekaleng minuman. “Orang bilang ini bagus dan tahan lama,” kata pria itu.Dewa memelotot dan menyambar kaleng, lalu membuangnya ke tempat sampah.“Tidak butuh!” sentak Dewa dengan tatapan menghunus tajam.Fabian menepuk bahu temannya dan berujar, “Jangan marah-marah, kamu bisa darah tinggi!”Dewa mendengkus kasar, baginya kalimat Fabian bukan menenangkan melainkan sebuah ejekan. Pria itu menepis kasar tangan temannya, lalu berjalan mencari Rosalyn ke dalam mansion.Pagi ini, keluarga kecil itu sengaja mengunjungi Mansion Arnold. Tentu saja, karena Tuan Jack dan Feli menitipkan beberapa hadiah untuk Lily dan calon bayinya.Akan tetapi, kening Dewa mengerut dalam ketika melihat Rosalyn berjalan sendirian tanpa keempat anak mereka.“Di mana Brahma, Arimbi, Devendra dan Daneswara?” tanya Dewa dengan tatapan menyelidik.Mendengar pertanyaan itu tentunya Rosalyn mengulum senyum. Ah, ia memang sengaja menyiapkan kejutan istimewa ini untuk suami p
“Halo, Sayang … Papa datang. Janeta sudah mandi, ya? Harum banget.” Kevin menggendong putri kecilnya yang menyambut di balik pintu. Pria itu menciumi puncak kepala Janeta dan mengayun tubuhnya, membuat putri kecil tertawa riang. Namun, di ujung lorong, seorang wanita sedang cemberut menatap ke arah Kevin.“Terima ka—” Ucapan Kevin menggantung karena wanita itu melengos saja ke dapur tanpa mengelurkan sepatah kata.Kevin menurunkan tubuh Janeta dan membiarkannya bermain, lalu ia menyusul pujaan hati yang entah kenapa memasang wajah ketus.“Kamu kenapa?” tanya Kevin.“Menurutmu, kenapa?” ketusnya.“Aku tidak tahu, Lily. Ayo, bilang,” ucap Kevin lagi.Lily menatap tajam ke arah Kevin dan berujar, “Aku bosan seharian di rumah. Aku ini biasa kerja, bukan diam di rumah. Apalagi … ka-mu lebih memperhatikan Janeta dibanding aku.” Pascadinyatakan hamil, Lily diberhentikan oleh Dewa. Wanita itu pun ikut tinggal di Milan. Dia tidak lagi sibuk mengurusi peternakan, karena Dewa berhasil mencari
“Astaga apa-apaan mereka ini?!” geram Fabian. Ia menatap layar ponsel yang tidak berhenti berpendar sedari tadi. Itu bukan masalah pekerjaan kantor, tetapi … masalah rumah tangga, terutama ranjang. Demi kelangsungan masa depannya. Meskipun sudah mengetahui isinya, tetap saja Kevin mengintip melalui pop up. Dia terbelalak ketika satu pesan kembali masuk dari adik ipar. [Tutorial posisi hubungan intim untuk memiliki keturunan secepatnya.] “Dia pikir aku pria polos? Aku ini lebih berpengalaman darinya!” Kevin melempar telepon genggam ke atas sofa, lantas berdiri sambil memandangi foto pernikahan di atas meja. Lagi, Kevin tetap membaca pesan adik iparnya. Sebagai seorang pria berpengalaman, tentu saja posisi itu tidak asing lagi. Ia pun mereguk saliva, pikirannya berfantasi liar membayangkan Lily. Gairah pria itu tersulut. Hanya saja, ia bingung menyalurkannya, sebab Lily tidak ada di sini. Pasangan itu menjalani hubungan jarak jauh. Terpaksa Kevin bertahan sampai Dewa menemukan p
“Kevin … anakku apa kabar? Ibu selalu menunggumu setiap hari, Nak. Kenapa baru datang sekarang?” berondong Mathilda dari balik partisi kaca tebal.Wanita paruh baya itu menempelkan tangannya pada penghalang, lalu menggerakkan jemari—seolah membelai pipi putra tunggalnya.“Aku datang ke sini ada perlu. Kuharap Ibu menerimanya,” kata Kevin dengan intonasi dingin dan ekspresi datar.Mathilda mengangguk dan menyahut penuh kasih, “Pasti, Nak. Ibu menerima apa pun yang terbaik untukmu.”Kulit keriput Mathilda tertarik ke atas, ia tersenyum merekah sambil meneteskan bulir bening.Lebih dari semenit keduanya terdiam saling memandangi. Entah apa yang dipikirkan kedua orang itu. Hanya saja Mathila tidak menjauhkan tangannya dari kaca tebal. Kevin pun bisa melihat tangan ibunya berkeringat.“Aku sudah menikah.”Sorot mata Mathilda berbinar. “Benarkah? Siapa gadis beruntung itu? B
“I-ini masih siang,” gugup Lily. Perempuan itu mengedarkan pandangan ke penjuru kamar. Ada ranjang besar yang disiapkan khusus pengantin baru, sofa panjang serta meja kaca dan cermin besar menggantung di depannya. Sekilas, ini kamar hotel pada umumnya. Namun, Lily dibuat asing dengan status baru ini.Sejak masuk kamar, Kevin memeluk erat tubuh sang istri dari belakang. Pria itu menggesek puncak hidungnya pada tengkuk harum. “Memangnya kenapa kalau siang? Bukahkah itu bagus, kita bisa menikmati siang dan malam di hari yang sama?” Lily mereguk saliva. Walaupun bukan pengalaman pertama berhubungan intim, tetapi … ini pertama kali bersama pria berstatus sebagai suami.“Tapi—”Ucapan Lily tertahan karena Kevin memutar tubuh wanita itu dengan cepat. “Tidak ada tapi. Kamu milikku sekarang dan selamanya.” Lily hendak menunduk, tetapi Kevin mencegahnya. Pria itu menahan dagu sang istri, lalu meraup bibir tipis yang ia rinduka
Kevin menghela napas melihat tanggapan Lily. Haruskan ia menyerah dan tenggelam ke dasar lautan patah hati? Ya, mungkin … karena ini bukanlah kali pertama gadis itu menolaknya. Pria itu menarik tangannya. Namun ….“Cincinya kebesaran. Enggak sesuai ukuran jariku,” kata gadis itu menggunakan bahasa informal . Lily mengulurkan tangan kanan, yang menampilkan jemari ramping dan mungil.Seketika Kevin memperhatikan jemari gadis itu, dan pikirannya mencerna maksud ucapan Lily barusan. Bagi seorang pria, tentunya ini merupakan teka-teki. “Umm … maksudmu?” Alis tebal Kevin terangkat.Lily tersenyum jengah mendengar pertanyaan itu. Tanpa banyak bicara, gadis itu mengambil cincin dari tangan Kevin, lalu menyematkan sendiri pada jari manisnya.“Ini kebesaran, lihat bukan?” keluh gadis itu dengan bibir merengut yang sangat menggoda.Melihat cincin pilihannya melingkar pada jari manis sang gadis pujaan hati, membuat pria itu kegirangan. Kevi
Untuk sesaat keduanya membeku di tempat. Tidak ada aksi apa pun selain saling memandang lekat-lekat dengan isi pikiran masing-masing.Lily mereguk saliva karena saat ini tubuhnya hanya tertutupi sehelai handuk putih saja. Ia meremas kain handuk dengan erat, khawatir terjadi hal yang tidak seharusnya.“Maaf, aku lancang ….” Kevin berbalik badan dan menutup pintu.Pria itu bersandar pada pintu sambil mengatur napas. Melihat kemolekan seorang wanita, ditambah memiliki kenangan ranjang membuat nalurinya sebagai lelaki tersulut gairah. Ia ingin menyentuh, membelai dan mengecup setiap jengkal kulit mulus itu. Hanya saja, tidak! Kevin melawan egonya.Pria itu kembali ke kamar. Ia menemani Janeta, dan berupaya menenangkan batita itu.Sedangkan Lily masih berdiri di depan pintu kamar mandi. Namun, napasnya tidak tegang lagi. Ada kelegaan setelah Kevin pergi.“Dia …,” gumam gadis itu sambil mengangguk.Lily menggunakan pakaian serba panjang. Entah mengapa ia teringat pada tatapan Kevin tadi. Set
Beberapa hari berlalu, Lily tampak kesulitan berpamitan dengan Janeta. Gadis itu selalu menahan diri untuk pulang ke peternakan. Pada akhirnya ia menemani Janeta di vila atau rawat jalan ke rumah sakit. Seperti hari ini, Lily mengantar Janeta bertemu dokter.Akan tetapi, gadis itu tidak menduga Kevin datang menjemputnya. Bahkan mereka makan bertiga di restoran.Setelahnya Kevin membawa Lily dan Janeta pulang.“Kamu yakin bisa sendirian? Janeta berat. Biar aku saja yang gendong,” ujar Kevin.“Saya kuat, Pak.” Lily tidak menggubris ucapan Kevin. Gadis itu merengkuh tubuh batita yang terlelap tidur dari jok belakang, menggendongnya dan membawa ke kamar.Dengan hati-hati, Lily membaringkan Janeta, lantas mengecup kening batita itu. Ia tersenyum sambil menatap wajah polos bocah kecil yang agak mirip dengan Vinsensia.“Mama sayang kamu, Janeta,” gumam Lily.Hingga derit pintu terbuka membuat Lily menoleh