Adakah yang kasian sama Vin? Ternyata dia engga dinikahin ya T_T
“Kerjamu tidak becus, Pandu!” Dewa memelotot pada asistennya.Sekarang mereka telah sampai di griya tawang. Dewa terpaksa membawa Vinensia ke huniannya karena wanita itu mengeluh sakit. Bahkan Vinsensia langsung tertidur di kamar tamu.“Maaf Pak. Saya pikir Nona Vinsensia tidak akan nekat menyusul ke sini,” kata Pandu. Asisten itu menunduk dalam karena Vinsensia selalu menemukan ke mana pun Dewa pergi. Pria itu melanjutkan, “Padahal informasi keberangkatan Pak Dewa sudah saya tutup rapat.”“Sudahlah, sekarang tanggung risikonya. Kamu tidur di sofa!” Dewa beranjak dari ruang tamu. Ia menuju kamar Arimbi di lantai dua.Gadis kecil itu sedang bermain boneka bersama pengasuh. Baru saja Dewa turut bergabung, pintu kamar berwarna putih diketuk dari luar.“Ya?”“Dewa ini aku. Boleh masuk?” Suara mendayu manja terdengar menggelikan di telinga.“Siapa itu, Pa? Jangan-jangan tante rambut jagung ya?” Arimbi melebarkan kelopak mata dan menekuk bibir karena waktu bersama sang ayah diganggu.“Kamu
“Jadi perempuan itu Nona Schmid?” Sorot mata Dewa menatap lekat layar tablet.“Betul Pak. Lima tahun lalun Tuan Jack Schmid merawat putrinya di luar negeri. Tidak lama setelah itu Nona Talicia dinyatakan sembuh dan sekarang memimpin perusahaan property miliknya sendiri.” Pandu antusias menyampaikan informasi, sebab menyimpan kekaguman pada sosok wanita hebat itu.“Ini aneh. Kenapa tidak ada rekam medisnya? Kalau Talicia mengidap penyakit pasti ada berkas di rumah sakit.” Dewa memicingkan mata.Pandu hanya menggeleng. Tentu saja Dewa tidak puas, lantaran hatinya bersikukuh mengenal sosok Talicia Schmid. Jika diulik benang merahnya, Dewa belum pernah bersinggungan dengan Talicia tetapi postur tubuh dan suara wanita itu sangat familiar.Bahkan tanpa sadar Dewa memandangi wajah mungil Arimbi yang terlelap. Ia menyamakan bentuk mata putrinya dengan Nona Schmid. Itu … sama entah kebetulan atau bukan. Sehingga Dewa tertarik berkenalan lebih lanjut dengan wanita yang baru saja menjadi rekan b
“Pasti Papa ada di dalam. Tapi aku engga tahu mukanya yang mana. Di sini banyak banget om-om,” celetuk bibir mungil berwarna merah jambu.Tiga jam lalu, sepasang mata jernih mengintip dari balik jendela mobil. Butuh usaha keras dan waktu lama agar tubuh kecilnya keluar dari mobil. Tatkala para pengawal membuka pintu, tangan kecil itu mengganjal pintu menggunakan lipatan kertas sehingga tidak terkunci lagi.Setelah kondisi aman, tubuh mungil nan lincah keluar dari mobil. Anak itu menatap kagum pada dekorasi hotel serta tamu undangan yang menggunakan pakaian mewah dan anggun. Ia merasa tidak salah kontus karena mengenakan setelan jas mini dan dasi kupu-kupu.Memasuki area ballroom, manik abu-abunya berbinar sebab meliha mendengar suara tak asing. “Itu Mamaku. Wah, Mama hebat banget.”Sesaat Brahma melupakan tujuannnya untuk mencari sang ayah. Anak itu turut mengalihkan pandangan pada ibunya. Ia terpesona akan kharisma yang terpancar dari atas panggung. Meskipun menggunakan topeng, tidak
“Jawab aku, Fabian!” desak Rosalyn. Sebab Fabian membisu.Kini, wanita pemilik mata almond menjadi gusar. Setelah lima tahun hidup jauh dari bayang-bayang sang suami, sekarang pria itu kembali dan mengancam ketenangan.“Aku tidak tahu dia sempat melihat kami atau tidak.” Fabian mendesah lesu. Tidak dipungkiri sebagai pria dewasa yang menginginkan balasan cinta, pria itu berharap Rosalyn dan Dewa resmi bercerai.Rosalyn menunduk sambil menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Seketika ia menjadi sedih mengingat tragedi berdarah lima tahun lalu. Selama ini ia memendam kenangan buruk itu, dan hatinya berkeyakinan bahwa Dewa memang berniat membunuhnya.Sambil membuang napas panjang dan menatap dedaunan tersapu angin, Rosalyn berkata, “Besok aku mau cuti.”“Mau ke mana? Kamu menghindari Dewa?” Alis Fabian terangkat sebelah.“Aku takut dia menyakiti Brahma. Apalagi … aku lihat Dewa membawa Vinsensia ke kota ini,” lirih wanita itu sembari menyeka tetesan bulir bening. “Aku tidak rela anakku d
“Papa?” panggil suara lemah dari atas ranjang pasien.Senyum manis terpatri pada bibir pucat nan mungil. Satu tangan kecil terbebas dari saluran infus terjulur ke depan. Anak itu menyambut ayahnya yang baru saja masuk ke ruang rawat inap.“Papa, hidungku berdarah lagi,” sambung suara lemah itu menggetarkan jiwa.Dewa manatap dalam paras manis sang putri. Ia meraih jemari panjang nan kecil yang terasa dingin seperti es. Pria itu tersenyum getir lalu membelai lembut pipi putih seakan tidak dialiri darah. Ia tidak bisa berkata-kata untuk mengekspresikan perasaan.Bola mata pria itu bergulir ke samping, memerhatikan perempuan yang duduk di samping ranjang. Seketika Dewa merasa beruntung karena Vinsensia sigap membawa Arimbi ke rumah sakit.“Terima kasih,” kata Dewa, suaranya dingin dan menyayat hati.“Hu’um. Sudah tugasku sebagai calon—”Ucapan Vinsensia langsung terhenti tatkala Dewa mengangkat telapak tangan setinggi bahu. Ia juga menggeleng lemah agar gadis di sampingnya tidak membahas
Dua jam sebelumnya.“Apa dia menikahi perempuan lain? Lalu bagaimana dengan Vinsensia?” gumam Rosalyn di kursi kerjanya.Kemudian ia menatap Lily yang merapikan berkas di atas meja. Bibir merah mengkilap meragu untuk mengatakan beberapa patah kata. Rosalyn takut luka masa lalu kembali menggerogoti hidupnya.Setelah menimbang-nimbang akhirnya Rosalyn memutuskan meminta bantuan Lily. Ia menyerahkan memo berisi beberapa perintah. “Lily, tolong berikan laporannya padaku!”“Baik, Nona.”Setengah jam kemudian Rosalyn berhasil mendapatkan informasi tentang sang suami. Ia membaca satu per satu berkas yang dikirim melalui surel. Saking seriusnya ia seakan tenggelam bersama ribuan kata.“Hubungan yang aneh, bertahan tapi tidak dinikahi. Dewa, kamu mempermainkan wanita sesuka hati!” geram Rosalyn sembari menatap jengah beberapa gambar kedekatan antara suaminya dan Vinsensia.Informasi ini tidak lengkap, Rosalyn masih penasaran anak siapa yang dirawat oleh suaminya itu. Menurut rumor yang terseba
[Tuan Caldwell tinggal di Royal Suites Luxury Apartements. Saya sudah menghubungi asisten beliau tapi tidak ada jawaban.]Tangan Rosalyn bergetar usai membaca pesan di ponselnya. Jarak antara kediaman Schimd dan griya tawang itu memerlukan waktu sekitar jam. Itu artinya sebentar lagi ia dan sang suami saling bertatap muka untuk pertama kali tanpa identitas Talicia Schmid.“Aku tidak mengizinkan anakku di rawat oleh Vinsensia!” tegas wanita itu.Gegas Rosalyn meraih tas kecil lantas membuka pintu dan tertegun mendapati Fabian berdiri lemas di depannya.“Kamu mau ke mana?” Fabian menatap sepasang manik hazel yang basah.“Anakku Fabian. Mereka menginap di griya tawang tidak jauh dari sini. Aku mau menemuinya!” Selain tubuh, suara Rosalyn juga bergetar hebat.Fabian langsung menyambar tangan Rosalyn. Pria itu berkata tegas, “Jangan pergi sendirian! Aku antar! Keadaanmu seperti ini tidak bisa menyetir dengan baik.”Sadar akan kondisi psikis yang tidak memungkinkan, akhirnya Rosalyn menyetuj
“Aduh kamu pasti kedinginan. Ayo ke sini!” kata orang itu berupaya meraih Arimbi dari gendongan Dewa.Akibat sempat terkena tetesan air hujan, tubuh Arimbi gemetaran. Dewa bisa merasakannya dan mendekap erat putrinya lantas menerima payung dari tangan mulus.“Kenapa kamu turun dari mobil, Vin?” Suara Dewa merambat dingin.“Karena peduli. Kamu sudah dewasa tidak apa-apa kalau kehujanan, tapi Arimbi masih kecil. Memangnya kamu lupa dia pernah dirawat karena hipotermia?!” Vinsensia menyeringai dalam hati.Dewa mengangguk kecil lalu menyerahkan Arimbi pada Vinsensia. Tubuh basah pria itu bisa menyebabkan putrinya kedinginan.Sikap Dewa ini membuat Arimbi membeliak dan menggeleng kepala tetapi raganya tak mampu memberontak. Jauh berbeda dengan Vinsensia yang bersorak riang dalam hati.Mereka masuk dalam mobil, Vinsensia memberikan pakaian kering. Gadis itu bertingkah layaknya istri sekaligus ibu pengertian. Bahkan Vinsensia tak sungkan mengeringkan rambut Arimbi lalu menyisir secara perlah