“Jawab aku, Fabian!” desak Rosalyn. Sebab Fabian membisu.Kini, wanita pemilik mata almond menjadi gusar. Setelah lima tahun hidup jauh dari bayang-bayang sang suami, sekarang pria itu kembali dan mengancam ketenangan.“Aku tidak tahu dia sempat melihat kami atau tidak.” Fabian mendesah lesu. Tidak dipungkiri sebagai pria dewasa yang menginginkan balasan cinta, pria itu berharap Rosalyn dan Dewa resmi bercerai.Rosalyn menunduk sambil menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Seketika ia menjadi sedih mengingat tragedi berdarah lima tahun lalu. Selama ini ia memendam kenangan buruk itu, dan hatinya berkeyakinan bahwa Dewa memang berniat membunuhnya.Sambil membuang napas panjang dan menatap dedaunan tersapu angin, Rosalyn berkata, “Besok aku mau cuti.”“Mau ke mana? Kamu menghindari Dewa?” Alis Fabian terangkat sebelah.“Aku takut dia menyakiti Brahma. Apalagi … aku lihat Dewa membawa Vinsensia ke kota ini,” lirih wanita itu sembari menyeka tetesan bulir bening. “Aku tidak rela anakku d
“Papa?” panggil suara lemah dari atas ranjang pasien.Senyum manis terpatri pada bibir pucat nan mungil. Satu tangan kecil terbebas dari saluran infus terjulur ke depan. Anak itu menyambut ayahnya yang baru saja masuk ke ruang rawat inap.“Papa, hidungku berdarah lagi,” sambung suara lemah itu menggetarkan jiwa.Dewa manatap dalam paras manis sang putri. Ia meraih jemari panjang nan kecil yang terasa dingin seperti es. Pria itu tersenyum getir lalu membelai lembut pipi putih seakan tidak dialiri darah. Ia tidak bisa berkata-kata untuk mengekspresikan perasaan.Bola mata pria itu bergulir ke samping, memerhatikan perempuan yang duduk di samping ranjang. Seketika Dewa merasa beruntung karena Vinsensia sigap membawa Arimbi ke rumah sakit.“Terima kasih,” kata Dewa, suaranya dingin dan menyayat hati.“Hu’um. Sudah tugasku sebagai calon—”Ucapan Vinsensia langsung terhenti tatkala Dewa mengangkat telapak tangan setinggi bahu. Ia juga menggeleng lemah agar gadis di sampingnya tidak membahas
Dua jam sebelumnya.“Apa dia menikahi perempuan lain? Lalu bagaimana dengan Vinsensia?” gumam Rosalyn di kursi kerjanya.Kemudian ia menatap Lily yang merapikan berkas di atas meja. Bibir merah mengkilap meragu untuk mengatakan beberapa patah kata. Rosalyn takut luka masa lalu kembali menggerogoti hidupnya.Setelah menimbang-nimbang akhirnya Rosalyn memutuskan meminta bantuan Lily. Ia menyerahkan memo berisi beberapa perintah. “Lily, tolong berikan laporannya padaku!”“Baik, Nona.”Setengah jam kemudian Rosalyn berhasil mendapatkan informasi tentang sang suami. Ia membaca satu per satu berkas yang dikirim melalui surel. Saking seriusnya ia seakan tenggelam bersama ribuan kata.“Hubungan yang aneh, bertahan tapi tidak dinikahi. Dewa, kamu mempermainkan wanita sesuka hati!” geram Rosalyn sembari menatap jengah beberapa gambar kedekatan antara suaminya dan Vinsensia.Informasi ini tidak lengkap, Rosalyn masih penasaran anak siapa yang dirawat oleh suaminya itu. Menurut rumor yang terseba
[Tuan Caldwell tinggal di Royal Suites Luxury Apartements. Saya sudah menghubungi asisten beliau tapi tidak ada jawaban.]Tangan Rosalyn bergetar usai membaca pesan di ponselnya. Jarak antara kediaman Schimd dan griya tawang itu memerlukan waktu sekitar jam. Itu artinya sebentar lagi ia dan sang suami saling bertatap muka untuk pertama kali tanpa identitas Talicia Schmid.“Aku tidak mengizinkan anakku di rawat oleh Vinsensia!” tegas wanita itu.Gegas Rosalyn meraih tas kecil lantas membuka pintu dan tertegun mendapati Fabian berdiri lemas di depannya.“Kamu mau ke mana?” Fabian menatap sepasang manik hazel yang basah.“Anakku Fabian. Mereka menginap di griya tawang tidak jauh dari sini. Aku mau menemuinya!” Selain tubuh, suara Rosalyn juga bergetar hebat.Fabian langsung menyambar tangan Rosalyn. Pria itu berkata tegas, “Jangan pergi sendirian! Aku antar! Keadaanmu seperti ini tidak bisa menyetir dengan baik.”Sadar akan kondisi psikis yang tidak memungkinkan, akhirnya Rosalyn menyetuj
“Aduh kamu pasti kedinginan. Ayo ke sini!” kata orang itu berupaya meraih Arimbi dari gendongan Dewa.Akibat sempat terkena tetesan air hujan, tubuh Arimbi gemetaran. Dewa bisa merasakannya dan mendekap erat putrinya lantas menerima payung dari tangan mulus.“Kenapa kamu turun dari mobil, Vin?” Suara Dewa merambat dingin.“Karena peduli. Kamu sudah dewasa tidak apa-apa kalau kehujanan, tapi Arimbi masih kecil. Memangnya kamu lupa dia pernah dirawat karena hipotermia?!” Vinsensia menyeringai dalam hati.Dewa mengangguk kecil lalu menyerahkan Arimbi pada Vinsensia. Tubuh basah pria itu bisa menyebabkan putrinya kedinginan.Sikap Dewa ini membuat Arimbi membeliak dan menggeleng kepala tetapi raganya tak mampu memberontak. Jauh berbeda dengan Vinsensia yang bersorak riang dalam hati.Mereka masuk dalam mobil, Vinsensia memberikan pakaian kering. Gadis itu bertingkah layaknya istri sekaligus ibu pengertian. Bahkan Vinsensia tak sungkan mengeringkan rambut Arimbi lalu menyisir secara perlah
“Dokter, tolong pasien ini mengalami kecelakaan!” seru seorang pria berpostur tambun.Tubuh seorang wanita tergolek lemah di atas brankar. Bahkan kepalanya terluka dan cairan merah mengalir dari dalam telinganya.Tim medis langsung memberi pertolongan. Ketika mereka selesai melakukan operasi seorang perawat mencari keluarga pasien.“Keluarga Nona Schmid?”Tak disangka anak kecil berdiri dari kursi ruang tunggu. Gadis mungil berponi tipis itu mengangkat satu tangan sambil sesenggukan.“Perempuan itu Mamaku, suster.” Arimbi melangkah kecil, menghampiri petugas medis.Netra abu-abu anak itu menatap dalam wajah kebingungan suster. Arimbi juga meremas pakaian putih dengan tangan gemetaran.Arimbi sangat yakin perempuan di dalam ruang operasi adalah mamanya, sebab di ruang tunggu ini tidak ada orang lain lagi. Artinya satu-satunya pasien yang sedang ditangani adalah Rosalyn.Perawat hanya mengembus napas kasar, sebab mengetahui bahwa gadis kecil ini adalah putri dari keluarga Caldwell tidak
Beberapa jam sebelumnya.“Fabian aku berhasil mendapat tiket pesawat ke Zurich. Pagi ini aku berangkat!” Ekspresi Rosalyn sangat antusias ketika menunjukkan boarding pass.“Kamu mau pergi sendirian?!” Fabian memelotot, sebab tindakan Rosalyn sangat gegabah.“Ya! Aku tidak bisa menunggu lama. Aku sudah menitipkan Brahma pada Bibi Feli.” Senyum manis terukir jelas pada bibir merah.Setelah itu, Rosalyn pergi sendirian. Setibanya di Bandara Internasional Zurich, ia menyewa mobil. Dalam perjalanan menuju Vila Caldwell, sepasang netra hazel melihat iklan pada Videotron. Di sana, Dewa sedang menyampaikan sambutan ditemani oleh Vinsensia dan seorang gadis kecil yang terlihat kepalanya saja.Hati wanita itu menjerit tatkala Vinsensia tersenyum lebar sambil menggendong putrinya. Seketika Rosalyn menambah kecepatan laju mobil. Di saat bersamaan sebuah bus sekolah melintas, agar tidak terjadi kecelakaan beruntun ia membanting setir hingga kendaraannya menabrak pembatas jalan.**“Temukan putriku
“Iya aku marah!” seru orang itu.Seketika Dewa tergelak lalu merangkum pipi sosok itu. Ia merunduk, hendak melabuhkan kecupan pada bibir ranum yang dirindukan. Namun, mendadak pria itu menggelengkan kepala karena merasa … ini sebuah halusinasi belaka.“Apa kamu bangkit dari kuburan untuk menghukumku?” Dewa menatap sendu paras ayu yang berhasil mengaduk-aduk perasaannya. Ia kembali meracau, “Perempuan egois! Aku membesarkan Arimbi sendirian. Rosalyn, sekarang anak kita hilang!”Sedangkan Rosalyn enggan membalas kata-kata suaminya. Sorot mata hazelnya memandang dingin ekspresi mendung Dewa. Ia juga tak berminat memberitahu keberadaan Arimbi. Sebab salah Dewa memercayakan putrinya pada wanita asing!“Kenapa kamu diam saja, Rosalyn?!” sentak Dewa hingga suaranya mengalahkan music kelab.Rosalyn memang tidak mengucap sepatah kata, tetapi ia memapah Dewa keluar dari tempat ini. Ia memasukan Dewa ke dalam mobil lalu membawanya ke suatu tempat.Sekarang, keduanya berada di salah satu hotel bin
“Bagaimana kondisi Lily, Kak?” tanya Rosalyn sesampainya di rumah sakit.“Air ketubannya pecah. Dia kesakitan.” Kevin tampak gelisah, pria itu masih mengenakan piama dan menutupi tubuh dengan selimut.Rosalyn menuntun Kevin supaya duduk di bangku logam depan ruang bersalin. “Kita berdoa saja semoga Lily dan bayinya selamat.”Ketiga orang itu menanti dengan gelisah. Setelah hampir setengah jam berjalan, seorang dokter menghampiri Kevin dan menjelaskan, “Bayi Nyonya Lily sebentar lagi lahir, jika suaminya ingin melihat proses persalinan, kami persilakan.”Kevin menggeleng. Justru ia mendorong Rosalyn supaya menemani Lily di dalam sana. Sebagai wanita yang pernah melahirkan, ia mencebik melihat dua pria duduk gelisah di kursi. Ia pun mendampingi Lily di ruang bersalin.Rosalyn segera menggenggam tangan iparnya. Lily sedang kesakitan setelah pembukaan jalan lahir melebar sempurna.“Semangat Lily, kamu pasti bisa,” bisik Rosalyn diangguki iparnya.Dengan bimbingan dokter spesialis kandungan
“Kenapa, Bro?” sapa Fabian sambil menyodorkan sekaleng minuman. “Orang bilang ini bagus dan tahan lama,” kata pria itu.Dewa memelotot dan menyambar kaleng, lalu membuangnya ke tempat sampah.“Tidak butuh!” sentak Dewa dengan tatapan menghunus tajam.Fabian menepuk bahu temannya dan berujar, “Jangan marah-marah, kamu bisa darah tinggi!”Dewa mendengkus kasar, baginya kalimat Fabian bukan menenangkan melainkan sebuah ejekan. Pria itu menepis kasar tangan temannya, lalu berjalan mencari Rosalyn ke dalam mansion.Pagi ini, keluarga kecil itu sengaja mengunjungi Mansion Arnold. Tentu saja, karena Tuan Jack dan Feli menitipkan beberapa hadiah untuk Lily dan calon bayinya.Akan tetapi, kening Dewa mengerut dalam ketika melihat Rosalyn berjalan sendirian tanpa keempat anak mereka.“Di mana Brahma, Arimbi, Devendra dan Daneswara?” tanya Dewa dengan tatapan menyelidik.Mendengar pertanyaan itu tentunya Rosalyn mengulum senyum. Ah, ia memang sengaja menyiapkan kejutan istimewa ini untuk suami p
“Halo, Sayang … Papa datang. Janeta sudah mandi, ya? Harum banget.” Kevin menggendong putri kecilnya yang menyambut di balik pintu. Pria itu menciumi puncak kepala Janeta dan mengayun tubuhnya, membuat putri kecil tertawa riang. Namun, di ujung lorong, seorang wanita sedang cemberut menatap ke arah Kevin.“Terima ka—” Ucapan Kevin menggantung karena wanita itu melengos saja ke dapur tanpa mengelurkan sepatah kata.Kevin menurunkan tubuh Janeta dan membiarkannya bermain, lalu ia menyusul pujaan hati yang entah kenapa memasang wajah ketus.“Kamu kenapa?” tanya Kevin.“Menurutmu, kenapa?” ketusnya.“Aku tidak tahu, Lily. Ayo, bilang,” ucap Kevin lagi.Lily menatap tajam ke arah Kevin dan berujar, “Aku bosan seharian di rumah. Aku ini biasa kerja, bukan diam di rumah. Apalagi … ka-mu lebih memperhatikan Janeta dibanding aku.” Pascadinyatakan hamil, Lily diberhentikan oleh Dewa. Wanita itu pun ikut tinggal di Milan. Dia tidak lagi sibuk mengurusi peternakan, karena Dewa berhasil mencari
“Astaga apa-apaan mereka ini?!” geram Fabian. Ia menatap layar ponsel yang tidak berhenti berpendar sedari tadi. Itu bukan masalah pekerjaan kantor, tetapi … masalah rumah tangga, terutama ranjang. Demi kelangsungan masa depannya. Meskipun sudah mengetahui isinya, tetap saja Kevin mengintip melalui pop up. Dia terbelalak ketika satu pesan kembali masuk dari adik ipar. [Tutorial posisi hubungan intim untuk memiliki keturunan secepatnya.] “Dia pikir aku pria polos? Aku ini lebih berpengalaman darinya!” Kevin melempar telepon genggam ke atas sofa, lantas berdiri sambil memandangi foto pernikahan di atas meja. Lagi, Kevin tetap membaca pesan adik iparnya. Sebagai seorang pria berpengalaman, tentu saja posisi itu tidak asing lagi. Ia pun mereguk saliva, pikirannya berfantasi liar membayangkan Lily. Gairah pria itu tersulut. Hanya saja, ia bingung menyalurkannya, sebab Lily tidak ada di sini. Pasangan itu menjalani hubungan jarak jauh. Terpaksa Kevin bertahan sampai Dewa menemukan p
“Kevin … anakku apa kabar? Ibu selalu menunggumu setiap hari, Nak. Kenapa baru datang sekarang?” berondong Mathilda dari balik partisi kaca tebal.Wanita paruh baya itu menempelkan tangannya pada penghalang, lalu menggerakkan jemari—seolah membelai pipi putra tunggalnya.“Aku datang ke sini ada perlu. Kuharap Ibu menerimanya,” kata Kevin dengan intonasi dingin dan ekspresi datar.Mathilda mengangguk dan menyahut penuh kasih, “Pasti, Nak. Ibu menerima apa pun yang terbaik untukmu.”Kulit keriput Mathilda tertarik ke atas, ia tersenyum merekah sambil meneteskan bulir bening.Lebih dari semenit keduanya terdiam saling memandangi. Entah apa yang dipikirkan kedua orang itu. Hanya saja Mathila tidak menjauhkan tangannya dari kaca tebal. Kevin pun bisa melihat tangan ibunya berkeringat.“Aku sudah menikah.”Sorot mata Mathilda berbinar. “Benarkah? Siapa gadis beruntung itu? B
“I-ini masih siang,” gugup Lily. Perempuan itu mengedarkan pandangan ke penjuru kamar. Ada ranjang besar yang disiapkan khusus pengantin baru, sofa panjang serta meja kaca dan cermin besar menggantung di depannya. Sekilas, ini kamar hotel pada umumnya. Namun, Lily dibuat asing dengan status baru ini.Sejak masuk kamar, Kevin memeluk erat tubuh sang istri dari belakang. Pria itu menggesek puncak hidungnya pada tengkuk harum. “Memangnya kenapa kalau siang? Bukahkah itu bagus, kita bisa menikmati siang dan malam di hari yang sama?” Lily mereguk saliva. Walaupun bukan pengalaman pertama berhubungan intim, tetapi … ini pertama kali bersama pria berstatus sebagai suami.“Tapi—”Ucapan Lily tertahan karena Kevin memutar tubuh wanita itu dengan cepat. “Tidak ada tapi. Kamu milikku sekarang dan selamanya.” Lily hendak menunduk, tetapi Kevin mencegahnya. Pria itu menahan dagu sang istri, lalu meraup bibir tipis yang ia rinduka
Kevin menghela napas melihat tanggapan Lily. Haruskan ia menyerah dan tenggelam ke dasar lautan patah hati? Ya, mungkin … karena ini bukanlah kali pertama gadis itu menolaknya. Pria itu menarik tangannya. Namun ….“Cincinya kebesaran. Enggak sesuai ukuran jariku,” kata gadis itu menggunakan bahasa informal . Lily mengulurkan tangan kanan, yang menampilkan jemari ramping dan mungil.Seketika Kevin memperhatikan jemari gadis itu, dan pikirannya mencerna maksud ucapan Lily barusan. Bagi seorang pria, tentunya ini merupakan teka-teki. “Umm … maksudmu?” Alis tebal Kevin terangkat.Lily tersenyum jengah mendengar pertanyaan itu. Tanpa banyak bicara, gadis itu mengambil cincin dari tangan Kevin, lalu menyematkan sendiri pada jari manisnya.“Ini kebesaran, lihat bukan?” keluh gadis itu dengan bibir merengut yang sangat menggoda.Melihat cincin pilihannya melingkar pada jari manis sang gadis pujaan hati, membuat pria itu kegirangan. Kevi
Untuk sesaat keduanya membeku di tempat. Tidak ada aksi apa pun selain saling memandang lekat-lekat dengan isi pikiran masing-masing.Lily mereguk saliva karena saat ini tubuhnya hanya tertutupi sehelai handuk putih saja. Ia meremas kain handuk dengan erat, khawatir terjadi hal yang tidak seharusnya.“Maaf, aku lancang ….” Kevin berbalik badan dan menutup pintu.Pria itu bersandar pada pintu sambil mengatur napas. Melihat kemolekan seorang wanita, ditambah memiliki kenangan ranjang membuat nalurinya sebagai lelaki tersulut gairah. Ia ingin menyentuh, membelai dan mengecup setiap jengkal kulit mulus itu. Hanya saja, tidak! Kevin melawan egonya.Pria itu kembali ke kamar. Ia menemani Janeta, dan berupaya menenangkan batita itu.Sedangkan Lily masih berdiri di depan pintu kamar mandi. Namun, napasnya tidak tegang lagi. Ada kelegaan setelah Kevin pergi.“Dia …,” gumam gadis itu sambil mengangguk.Lily menggunakan pakaian serba panjang. Entah mengapa ia teringat pada tatapan Kevin tadi. Set
Beberapa hari berlalu, Lily tampak kesulitan berpamitan dengan Janeta. Gadis itu selalu menahan diri untuk pulang ke peternakan. Pada akhirnya ia menemani Janeta di vila atau rawat jalan ke rumah sakit. Seperti hari ini, Lily mengantar Janeta bertemu dokter.Akan tetapi, gadis itu tidak menduga Kevin datang menjemputnya. Bahkan mereka makan bertiga di restoran.Setelahnya Kevin membawa Lily dan Janeta pulang.“Kamu yakin bisa sendirian? Janeta berat. Biar aku saja yang gendong,” ujar Kevin.“Saya kuat, Pak.” Lily tidak menggubris ucapan Kevin. Gadis itu merengkuh tubuh batita yang terlelap tidur dari jok belakang, menggendongnya dan membawa ke kamar.Dengan hati-hati, Lily membaringkan Janeta, lantas mengecup kening batita itu. Ia tersenyum sambil menatap wajah polos bocah kecil yang agak mirip dengan Vinsensia.“Mama sayang kamu, Janeta,” gumam Lily.Hingga derit pintu terbuka membuat Lily menoleh