[Tuan Caldwell tinggal di Royal Suites Luxury Apartements. Saya sudah menghubungi asisten beliau tapi tidak ada jawaban.]Tangan Rosalyn bergetar usai membaca pesan di ponselnya. Jarak antara kediaman Schimd dan griya tawang itu memerlukan waktu sekitar jam. Itu artinya sebentar lagi ia dan sang suami saling bertatap muka untuk pertama kali tanpa identitas Talicia Schmid.“Aku tidak mengizinkan anakku di rawat oleh Vinsensia!” tegas wanita itu.Gegas Rosalyn meraih tas kecil lantas membuka pintu dan tertegun mendapati Fabian berdiri lemas di depannya.“Kamu mau ke mana?” Fabian menatap sepasang manik hazel yang basah.“Anakku Fabian. Mereka menginap di griya tawang tidak jauh dari sini. Aku mau menemuinya!” Selain tubuh, suara Rosalyn juga bergetar hebat.Fabian langsung menyambar tangan Rosalyn. Pria itu berkata tegas, “Jangan pergi sendirian! Aku antar! Keadaanmu seperti ini tidak bisa menyetir dengan baik.”Sadar akan kondisi psikis yang tidak memungkinkan, akhirnya Rosalyn menyetuj
“Aduh kamu pasti kedinginan. Ayo ke sini!” kata orang itu berupaya meraih Arimbi dari gendongan Dewa.Akibat sempat terkena tetesan air hujan, tubuh Arimbi gemetaran. Dewa bisa merasakannya dan mendekap erat putrinya lantas menerima payung dari tangan mulus.“Kenapa kamu turun dari mobil, Vin?” Suara Dewa merambat dingin.“Karena peduli. Kamu sudah dewasa tidak apa-apa kalau kehujanan, tapi Arimbi masih kecil. Memangnya kamu lupa dia pernah dirawat karena hipotermia?!” Vinsensia menyeringai dalam hati.Dewa mengangguk kecil lalu menyerahkan Arimbi pada Vinsensia. Tubuh basah pria itu bisa menyebabkan putrinya kedinginan.Sikap Dewa ini membuat Arimbi membeliak dan menggeleng kepala tetapi raganya tak mampu memberontak. Jauh berbeda dengan Vinsensia yang bersorak riang dalam hati.Mereka masuk dalam mobil, Vinsensia memberikan pakaian kering. Gadis itu bertingkah layaknya istri sekaligus ibu pengertian. Bahkan Vinsensia tak sungkan mengeringkan rambut Arimbi lalu menyisir secara perlah
“Dokter, tolong pasien ini mengalami kecelakaan!” seru seorang pria berpostur tambun.Tubuh seorang wanita tergolek lemah di atas brankar. Bahkan kepalanya terluka dan cairan merah mengalir dari dalam telinganya.Tim medis langsung memberi pertolongan. Ketika mereka selesai melakukan operasi seorang perawat mencari keluarga pasien.“Keluarga Nona Schmid?”Tak disangka anak kecil berdiri dari kursi ruang tunggu. Gadis mungil berponi tipis itu mengangkat satu tangan sambil sesenggukan.“Perempuan itu Mamaku, suster.” Arimbi melangkah kecil, menghampiri petugas medis.Netra abu-abu anak itu menatap dalam wajah kebingungan suster. Arimbi juga meremas pakaian putih dengan tangan gemetaran.Arimbi sangat yakin perempuan di dalam ruang operasi adalah mamanya, sebab di ruang tunggu ini tidak ada orang lain lagi. Artinya satu-satunya pasien yang sedang ditangani adalah Rosalyn.Perawat hanya mengembus napas kasar, sebab mengetahui bahwa gadis kecil ini adalah putri dari keluarga Caldwell tidak
Beberapa jam sebelumnya.“Fabian aku berhasil mendapat tiket pesawat ke Zurich. Pagi ini aku berangkat!” Ekspresi Rosalyn sangat antusias ketika menunjukkan boarding pass.“Kamu mau pergi sendirian?!” Fabian memelotot, sebab tindakan Rosalyn sangat gegabah.“Ya! Aku tidak bisa menunggu lama. Aku sudah menitipkan Brahma pada Bibi Feli.” Senyum manis terukir jelas pada bibir merah.Setelah itu, Rosalyn pergi sendirian. Setibanya di Bandara Internasional Zurich, ia menyewa mobil. Dalam perjalanan menuju Vila Caldwell, sepasang netra hazel melihat iklan pada Videotron. Di sana, Dewa sedang menyampaikan sambutan ditemani oleh Vinsensia dan seorang gadis kecil yang terlihat kepalanya saja.Hati wanita itu menjerit tatkala Vinsensia tersenyum lebar sambil menggendong putrinya. Seketika Rosalyn menambah kecepatan laju mobil. Di saat bersamaan sebuah bus sekolah melintas, agar tidak terjadi kecelakaan beruntun ia membanting setir hingga kendaraannya menabrak pembatas jalan.**“Temukan putriku
“Iya aku marah!” seru orang itu.Seketika Dewa tergelak lalu merangkum pipi sosok itu. Ia merunduk, hendak melabuhkan kecupan pada bibir ranum yang dirindukan. Namun, mendadak pria itu menggelengkan kepala karena merasa … ini sebuah halusinasi belaka.“Apa kamu bangkit dari kuburan untuk menghukumku?” Dewa menatap sendu paras ayu yang berhasil mengaduk-aduk perasaannya. Ia kembali meracau, “Perempuan egois! Aku membesarkan Arimbi sendirian. Rosalyn, sekarang anak kita hilang!”Sedangkan Rosalyn enggan membalas kata-kata suaminya. Sorot mata hazelnya memandang dingin ekspresi mendung Dewa. Ia juga tak berminat memberitahu keberadaan Arimbi. Sebab salah Dewa memercayakan putrinya pada wanita asing!“Kenapa kamu diam saja, Rosalyn?!” sentak Dewa hingga suaranya mengalahkan music kelab.Rosalyn memang tidak mengucap sepatah kata, tetapi ia memapah Dewa keluar dari tempat ini. Ia memasukan Dewa ke dalam mobil lalu membawanya ke suatu tempat.Sekarang, keduanya berada di salah satu hotel bin
“Bagaimana kondisinya? Apa tidak ada obat untuk menyembuhkan penyakitnya?” tanya Rosalyn pada seorang dokter.Setelah mendapatkan tanda tangan Dewa, ia bergegas mengunjungi salah satu pusat medis di kota ini. Rosalyn prihatin sebab putrinya mengidap penyakit mematikan. Ia mengutuk diri sebab selama mengandung selama tujuh bulan badannya kurang sehat.“Ini salahku,” gumam Rosalyn sambil menundukkan kepala. Ia tidak sanggup menatap wajah polos Arimbi yang tampak pucat.“Obatnya ada, tapi … pasien sudah dianjurkan menjalani transplantasi sel punca. Hanya saja Tuan Caldwell belum menemukan donor yang cocok.” Dokter memberikan sejumlah data berisi nama calon pendonor.Namun wanita itu tak sanggup membacanya. Ia mengalihkan berkas ke tangan Fabian, lalu duduk di tepi ranjang. Manik hazel Rosalyn menatap nanar putrinya. Setelah menjalani kemoterapi, anak kecil itu terlelap di atas ranjang pasien.“Aku pasti membantumu Rosalyn!” Fabian berdiri di belakang punggung wanita itu lantas menepuk pe
“Fabian?!” Dewa berteriak dan mengusik ketenteraman kediaman Arnold.Bahkan pria itu masuk secara paksa dan memukuli beberapa penjaga mansion. Dewa kehilangan kendali paska mengetahui kebenaran tentang Rosalyn. Kini, ia berdiri di tengah ruangan luas.“Keluar kamu, Fabian! Jangan sembunyi lagi!” Iris kelabu Dewa bergerak-gerak mencari sosok yang diduga memiliki keterlibatan atas peristiwa lima tahun lalu.Tak lama, Fabian berjalan mendekat ke lantai satu. Seketika Dewa menghampiri pria itu lalu memukul telak rahang Fabian hingga limbung di tengah tangga.“Katakan di mana istri dan anakku?!”Gelak tawa terdengar menggema di mansion. Meskipun wajah serta persendiannya terasa sakit, Fabian berupaya berdiri dan memandang sinis kepada Dewa.“Istri? Anak? Sekarang kamu mengakui mereka?” Nada bicara Fabian sudah jelas menyiratkan sesuatu.“Beraninya kamu merekayasa kematian istriku!” hardik Dewa.Paska membayar mahal beberapa detektif swasta untuk menyelidiki Arimbi, ternyata Dewa mendapat fa
“Kesempatan?” Rosalyn ingin tertawa puas tetapi tidak. Sebab ia masih memiliki setitik rasa kasihan agar tidak merendahkan martabat suaminya.Dewa mengangguk satu kali dan iris kelabunya berbinar menanti jawaban. “Ya, satu kali lagi … demi anak kita.”“Tidak!” tolak Rosalyn kemudian berlalu dari hadapan sang suami.Lagi, dengan gerakan cepat Dewa merengkuh tubuh ramping dan membawanya ke dalam pelukan. Ia menyalurkan kerinduan yang menyesakkan. Bahkan pria itu hendak menyatukan bibir mereka, sayangnya Rosalyn tidak selemah dulu. Wanita itu mampu meloloskan diri dari eratnya pelukan ini.Sesaat Dewa mengernyit, sebab Rosalyn jauh berbeda.“Kesempatanmu sudah habis! Aku sudah pernah memberikannya tapi … kamu sia-siakan.” Rosalyn menjeda ucapannya lantas menghirup rakus oksigen hingga dadanya membusung.“Terakhir! Rosalyn … Arimbi sakit, dia … membutuhkan kita,” kata Dewa terdengar menyakitkan di telinga Rosalyn.Diam dan hening. Keduanya terbelenggu dalam suasana memilukan. Baik Rosalyn