“Mama di mana?”“Mama lagi sibuk, Pa.” Arimbi tergelak sambil menutup sebagian mulutnya.“Papa boleh lihat Mama?”Lagi, Arimbi tersenyum malu ketika Dewa mengkerling sebelah mata di layar pipih. Pria itu harus puas melihat kondisi putrinya melalui panggilan video. Bahkan Rosalyn tidak menggunakan nomor teleponnya.Sekarang Arimbi mengubah sudut pandang kamera sehingga menghadap tepat pada Rosalyn yang duduk di samping jendela. Wanita itu melepas mantel ungu mudanya, sehingga gaun hitam sangat kontras dengan warna kulit seputih susu“Mama cantik ya Pa. Mirip Arimbi,” bisik Arimbi, bibir mungilnya mendekati telepon genggam.Rosalyn sedang membaca laporan perusahaan alat rumah tangga serta properti miliknya. Saking fokusnya, ia tidak tahu Dewa sedang menikmati wajahnya dari balik kamera.Tidak lama kemudian, seorang pria masuk ke dalam kamar rawat. Orang itu membawa beberapa bungkus makanan serta bunga mawar merah.Bola mata Dewa nyaris melompat ke luar kala melihat pria lain memberikan
“Siapa yang kamu maksud?!” teriak Vinsensia dari dalam lobi.Sedangkan Dewa tak mengindahkan pertanyaan gadis itu. Ia memilih masuk ke dalam mobil dan melaju dengan kecepatan sedang. Dewa mencari bantuan untuk mendapatkan kembali istri dan anaknya.“Dewa?!” histeris Vinsensia mengundang atensi dari para pegawai serta salah satu wartawan yang baru saja mewawancarai direktur operasional.Orang itu mengambil gambar Vinsensia yang berdiri di tengah lobi. Segelintir orang mengetahui bahwa gadis itu adalah mantan kekasih Antakadewa Caldwell. Bahkan belakangan ini beredar isu jika Presdir Cwell Grup akan menikahi Vinsensia.Hanya saja, melihat sikap Dewa barusan membuat beberapa orang berempati pada Vinsensia.Seketika Vinsensia tersedu-sedu lalu menunduk dalam seolah-olah korban yang dicampakkan. Gadis itu berjalan lesu menuju mobilnya—menghindari wartawan. Setelah aman, Vinsensia tersenyum merekah lantas menghubungi seseorang.“Kevin, aku butuh bantuan! Tunggu aku di apartemen!”Usai menga
“Anak itu … warna rambutnya ….” Dewa menggerak-gerakan kepala berusaha melihat dengan jelas wajah di balik tubuh orang dewasa. “Apa itu cucunya Nyonya Arnold?” gumam Dewa.Ia memangkas jarak mendekati terminal kedatangan. Seketika langkah kaki Dewa terhenti karena melihat Fabian mendekati kedua orang di sana. Sekarang jarak pandangn Dewa terhalang oleh tubuh tegap pria itu.Alhasil, Dewa hanya memandangi kedekatan antara Fabian bersama seorang anak kecil yang terlihat puncak rambutnya saja. Kedua tangan mungil nan lembut merangkul leher dan mengecup pipi Fabian. Seketika perasaan Dewa bergejolak. Ia keheranan mengapa bisa dadanya berubah panas?Nahas konsentrasi Dewa terbelah kala Pandu berlari ke arahnya. Napas asisten itu terputus-putus dan keningnya dibanjiri keringat sebesar biji jagung.“Pak saya ada informasi!”Dewa tak mengalihkan tatapan dari kepala anak kecil itu. Ia bertanya dengan tegas, “Kamu berhasil menemukan Rosalyn dan Arimbi?”“Bukan Pak! Tapi sejumlah media online ram
“Kamu … datang menjenguk aku?” tanya Dewa. Binar bahagia terpancar jelas dari sorot manik kelabu pria itu. “Rosalyn temani aku ya!” sambungnya.Sedangkan Rosalyn mengerutkan dahi. Ia memicingkan mata melihat saluran infus masih terpasang di tangan sang suami. Akan tetapi pria itu justru berkeliaran bebas.“Kamu terlalu percaya diri!” kata Rosalyn, hendak masuk lift.Tiba-tiba Dewa menyentak pinggul ramping hingga tubuh wanita itu menempel pada dada bidang.“Aku harus mengambil obat Arimbi!” tegas Rosalyn begitu enggan ditatap dan disentuh suaminya.“Biar Pandu yang ambil. Kirimkan saja alamat tinggal kalian.”Lagi, Dewa seenaknya membawa Rosalyn pergi ke area parkir. Tanpa tahu malu ia memaksa wanita itu mengemudikan mobil menuju Cwell Grup.Tentu saja Rosalyn menolak dan memberontak. Namun, rintih kesakitan Dewa membuat Rosalyn terhenyak lantas mengikuti keinginan pria itu.“Baik, aku antar. Tidak lebih!” ketus bibir ranum.“Oke.”Dewa tersenyum tipis dan bersorak girang dalam hati.
Sementara itu Mansion Arnold, dua orang anak kecil duduk di atas sofa besar. “Jadi beneran kita saudara kembar?” Sejak kemarin Arimbi tak henti menatap paras tampan Brahma. Bahkan setiap kerlingan bocah itu mengingatkan Arimbi pada ayahnya. “Huh. Kamu sudah lima puluh kali bertanya hal sama. Memang engga ada yang lain?” Suara Brahma sengaja dibuat galak. Alih-alih merasa takut, justru Arimbi tergelak mendengar ucapan kakaknya. Anak itu menutup mulut menggunakan satu tangannya. “Kamu mirip Papa,” celoteh Arimbi membuat Brahma melotot. “Aku mirip Mama! Papa jahat, aku engga mau mirip dengannya!” tegas anak laki-laki itu lalu memalingkan muka. Seketika mata jernih Arimbi berkaca-kaca. Bulir kristal bening mulai membasahi pipi, Arimbi juga berteriak kencang hingga suaranya menggema di ruang keluarga. “Papa engga jahat!” sanggah Arimbi. Meskipun Dewa selalu sibuk bekerja, pria itu tidak pernah lupa mencurahkan kasih sayangnya. Feli, Tuan Jack dan beberapa pelayan menghampiri. Mereka
Setengah jam sebelumnya. [Saya sudah di Mauer Corp. Pak Dewa, tolong lihat video ini sebentar saja. Ini bukan anak haram Tuan Arnold, karena wajahnya mirip Anda.] Saat ini Dewa sedang duduk di kursi kerjanya. Ia menatap datar pesan singkat dari Pandu. Hingga beberapa detik berlalu, ia menerima rekaman video yang menunjukkan wajah tampan seorang anak kecil. Seketika Dewa menegakkan punggung dan perasaannya menghangat. Bahkan netra abu-abunya menjadi buram digenangi cairan bening. Untuk sesaat, ia berpikir bahwa anak kecil itu yang dilihatnya di bandar udara. Tidak lupa Dewa mengetik pesan balasan untuk Pandu. “Awasi anak itu! Aku segera ke sana.” Gegas Dewa meninggalkan gedung Cwell Grup. Dalam perjalanan ia mendapat pesan berisi lokasi terbaru keberadaan anak kecil nan menggemaskan. Tempat itu tidak jauh dari posisinya sekarang. Detik ini juga Dewa melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Tiba di taman kota yang bersisian dengan danau, ia langsung memarkirkan sembarang mob
“Aku ‘kan sudah bilang Kakak Brahma mirip Papa. Tapi marah, huh dasar aneh,” gerutu bibir mungil berwarna merah. Sedangkan Dewa begitu canggung meminta Brahma agar datang ke pelukan. Pria itu tidak tahu bagaimana cara berbicara dengan anaknya. Paska mengetahui Dewa adalah ayahnya, Brahma selalu menatap tajam dan enggan didekati. Di saat ayah dan anak beradu pandang, tiba-tiba Brahma bersuara nyaring. “Mama?” panggil anak itu. Sontak Dewa dan Arimbi menoleh pada Rosalyn yang berdiri di ambang pintu ruang tamu. Wanita berparas ayu bergeming melihat suaminya berada di tengah-tengah mereka. Rosalyn ingin marah dan mengusir Dewa, tetapi ia tidak mau menjadi monster di hadapan putra putrinya. Terlebih saat ini Arimbi dalam gendongan Dewa. Putri kecilnya itu kelihatan sangat menyayangi sang ayah. Perlahan Dewa menurunkan Arimbi lalu berkata lemah lembut, “Arimbi main dulu. Papa dan Mama mau bicara penting, oke?” Arimbi menyahut dengan riang, “Siap Papa.” Semua orang meninggal
“Boleh ‘kan Ma?” desak Arimbi. Anak itu mengedip-ngedipkan kelopak mata, dan iris abu-abunya berubah berkaca-kaca.Rosalyn menatap Feli—memohon bantuan. Ia juga tidak bisa memutuskan sebab mansion ini milik keluarga Arnold. Akhirnya, Rosalyn terdiam dan menurunkan pandangannya.Tiba-tiba suara lantang menyahut di tengah kecanggungan orang dewasa.“Engga boleh!”“Kak Brahma, ini Papa kita loh.” Arimbi menekuk bibirnya dan bergelayut manja di lengan Dewa.Sekarang semua pasang mata menatap Brahma. Tangan kecil itu gemetaran memegang bola basket. Brahma juga enggan memandang ke arah Dewa.Sebagai pemilik mansion yang baik, Feli menengahi konflik antara ayah dan anak. “Masih ada kamar kosong, silakan Tuan Caldwell bermalam di sini,” ujar Feli dengan canggung.“Asyik, terima kasih Oma.” Arimbi melompat riang. “Tapi Papa jangan tidur di kamar lain. Arimbi mau tidur sama Papa dan Mama,” ucap anak itu dengan polosnya.Seketika Rosalyn membeliak dan menggeleng kecil. Mana mungkin ia bersedia be
“Bagaimana kondisi Lily, Kak?” tanya Rosalyn sesampainya di rumah sakit.“Air ketubannya pecah. Dia kesakitan.” Kevin tampak gelisah, pria itu masih mengenakan piama dan menutupi tubuh dengan selimut.Rosalyn menuntun Kevin supaya duduk di bangku logam depan ruang bersalin. “Kita berdoa saja semoga Lily dan bayinya selamat.”Ketiga orang itu menanti dengan gelisah. Setelah hampir setengah jam berjalan, seorang dokter menghampiri Kevin dan menjelaskan, “Bayi Nyonya Lily sebentar lagi lahir, jika suaminya ingin melihat proses persalinan, kami persilakan.”Kevin menggeleng. Justru ia mendorong Rosalyn supaya menemani Lily di dalam sana. Sebagai wanita yang pernah melahirkan, ia mencebik melihat dua pria duduk gelisah di kursi. Ia pun mendampingi Lily di ruang bersalin.Rosalyn segera menggenggam tangan iparnya. Lily sedang kesakitan setelah pembukaan jalan lahir melebar sempurna.“Semangat Lily, kamu pasti bisa,” bisik Rosalyn diangguki iparnya.Dengan bimbingan dokter spesialis kandungan
“Kenapa, Bro?” sapa Fabian sambil menyodorkan sekaleng minuman. “Orang bilang ini bagus dan tahan lama,” kata pria itu.Dewa memelotot dan menyambar kaleng, lalu membuangnya ke tempat sampah.“Tidak butuh!” sentak Dewa dengan tatapan menghunus tajam.Fabian menepuk bahu temannya dan berujar, “Jangan marah-marah, kamu bisa darah tinggi!”Dewa mendengkus kasar, baginya kalimat Fabian bukan menenangkan melainkan sebuah ejekan. Pria itu menepis kasar tangan temannya, lalu berjalan mencari Rosalyn ke dalam mansion.Pagi ini, keluarga kecil itu sengaja mengunjungi Mansion Arnold. Tentu saja, karena Tuan Jack dan Feli menitipkan beberapa hadiah untuk Lily dan calon bayinya.Akan tetapi, kening Dewa mengerut dalam ketika melihat Rosalyn berjalan sendirian tanpa keempat anak mereka.“Di mana Brahma, Arimbi, Devendra dan Daneswara?” tanya Dewa dengan tatapan menyelidik.Mendengar pertanyaan itu tentunya Rosalyn mengulum senyum. Ah, ia memang sengaja menyiapkan kejutan istimewa ini untuk suami p
“Halo, Sayang … Papa datang. Janeta sudah mandi, ya? Harum banget.” Kevin menggendong putri kecilnya yang menyambut di balik pintu. Pria itu menciumi puncak kepala Janeta dan mengayun tubuhnya, membuat putri kecil tertawa riang. Namun, di ujung lorong, seorang wanita sedang cemberut menatap ke arah Kevin.“Terima ka—” Ucapan Kevin menggantung karena wanita itu melengos saja ke dapur tanpa mengelurkan sepatah kata.Kevin menurunkan tubuh Janeta dan membiarkannya bermain, lalu ia menyusul pujaan hati yang entah kenapa memasang wajah ketus.“Kamu kenapa?” tanya Kevin.“Menurutmu, kenapa?” ketusnya.“Aku tidak tahu, Lily. Ayo, bilang,” ucap Kevin lagi.Lily menatap tajam ke arah Kevin dan berujar, “Aku bosan seharian di rumah. Aku ini biasa kerja, bukan diam di rumah. Apalagi … ka-mu lebih memperhatikan Janeta dibanding aku.” Pascadinyatakan hamil, Lily diberhentikan oleh Dewa. Wanita itu pun ikut tinggal di Milan. Dia tidak lagi sibuk mengurusi peternakan, karena Dewa berhasil mencari
“Astaga apa-apaan mereka ini?!” geram Fabian. Ia menatap layar ponsel yang tidak berhenti berpendar sedari tadi. Itu bukan masalah pekerjaan kantor, tetapi … masalah rumah tangga, terutama ranjang. Demi kelangsungan masa depannya. Meskipun sudah mengetahui isinya, tetap saja Kevin mengintip melalui pop up. Dia terbelalak ketika satu pesan kembali masuk dari adik ipar. [Tutorial posisi hubungan intim untuk memiliki keturunan secepatnya.] “Dia pikir aku pria polos? Aku ini lebih berpengalaman darinya!” Kevin melempar telepon genggam ke atas sofa, lantas berdiri sambil memandangi foto pernikahan di atas meja. Lagi, Kevin tetap membaca pesan adik iparnya. Sebagai seorang pria berpengalaman, tentu saja posisi itu tidak asing lagi. Ia pun mereguk saliva, pikirannya berfantasi liar membayangkan Lily. Gairah pria itu tersulut. Hanya saja, ia bingung menyalurkannya, sebab Lily tidak ada di sini. Pasangan itu menjalani hubungan jarak jauh. Terpaksa Kevin bertahan sampai Dewa menemukan p
“Kevin … anakku apa kabar? Ibu selalu menunggumu setiap hari, Nak. Kenapa baru datang sekarang?” berondong Mathilda dari balik partisi kaca tebal.Wanita paruh baya itu menempelkan tangannya pada penghalang, lalu menggerakkan jemari—seolah membelai pipi putra tunggalnya.“Aku datang ke sini ada perlu. Kuharap Ibu menerimanya,” kata Kevin dengan intonasi dingin dan ekspresi datar.Mathilda mengangguk dan menyahut penuh kasih, “Pasti, Nak. Ibu menerima apa pun yang terbaik untukmu.”Kulit keriput Mathilda tertarik ke atas, ia tersenyum merekah sambil meneteskan bulir bening.Lebih dari semenit keduanya terdiam saling memandangi. Entah apa yang dipikirkan kedua orang itu. Hanya saja Mathila tidak menjauhkan tangannya dari kaca tebal. Kevin pun bisa melihat tangan ibunya berkeringat.“Aku sudah menikah.”Sorot mata Mathilda berbinar. “Benarkah? Siapa gadis beruntung itu? B
“I-ini masih siang,” gugup Lily. Perempuan itu mengedarkan pandangan ke penjuru kamar. Ada ranjang besar yang disiapkan khusus pengantin baru, sofa panjang serta meja kaca dan cermin besar menggantung di depannya. Sekilas, ini kamar hotel pada umumnya. Namun, Lily dibuat asing dengan status baru ini.Sejak masuk kamar, Kevin memeluk erat tubuh sang istri dari belakang. Pria itu menggesek puncak hidungnya pada tengkuk harum. “Memangnya kenapa kalau siang? Bukahkah itu bagus, kita bisa menikmati siang dan malam di hari yang sama?” Lily mereguk saliva. Walaupun bukan pengalaman pertama berhubungan intim, tetapi … ini pertama kali bersama pria berstatus sebagai suami.“Tapi—”Ucapan Lily tertahan karena Kevin memutar tubuh wanita itu dengan cepat. “Tidak ada tapi. Kamu milikku sekarang dan selamanya.” Lily hendak menunduk, tetapi Kevin mencegahnya. Pria itu menahan dagu sang istri, lalu meraup bibir tipis yang ia rinduka
Kevin menghela napas melihat tanggapan Lily. Haruskan ia menyerah dan tenggelam ke dasar lautan patah hati? Ya, mungkin … karena ini bukanlah kali pertama gadis itu menolaknya. Pria itu menarik tangannya. Namun ….“Cincinya kebesaran. Enggak sesuai ukuran jariku,” kata gadis itu menggunakan bahasa informal . Lily mengulurkan tangan kanan, yang menampilkan jemari ramping dan mungil.Seketika Kevin memperhatikan jemari gadis itu, dan pikirannya mencerna maksud ucapan Lily barusan. Bagi seorang pria, tentunya ini merupakan teka-teki. “Umm … maksudmu?” Alis tebal Kevin terangkat.Lily tersenyum jengah mendengar pertanyaan itu. Tanpa banyak bicara, gadis itu mengambil cincin dari tangan Kevin, lalu menyematkan sendiri pada jari manisnya.“Ini kebesaran, lihat bukan?” keluh gadis itu dengan bibir merengut yang sangat menggoda.Melihat cincin pilihannya melingkar pada jari manis sang gadis pujaan hati, membuat pria itu kegirangan. Kevi
Untuk sesaat keduanya membeku di tempat. Tidak ada aksi apa pun selain saling memandang lekat-lekat dengan isi pikiran masing-masing.Lily mereguk saliva karena saat ini tubuhnya hanya tertutupi sehelai handuk putih saja. Ia meremas kain handuk dengan erat, khawatir terjadi hal yang tidak seharusnya.“Maaf, aku lancang ….” Kevin berbalik badan dan menutup pintu.Pria itu bersandar pada pintu sambil mengatur napas. Melihat kemolekan seorang wanita, ditambah memiliki kenangan ranjang membuat nalurinya sebagai lelaki tersulut gairah. Ia ingin menyentuh, membelai dan mengecup setiap jengkal kulit mulus itu. Hanya saja, tidak! Kevin melawan egonya.Pria itu kembali ke kamar. Ia menemani Janeta, dan berupaya menenangkan batita itu.Sedangkan Lily masih berdiri di depan pintu kamar mandi. Namun, napasnya tidak tegang lagi. Ada kelegaan setelah Kevin pergi.“Dia …,” gumam gadis itu sambil mengangguk.Lily menggunakan pakaian serba panjang. Entah mengapa ia teringat pada tatapan Kevin tadi. Set
Beberapa hari berlalu, Lily tampak kesulitan berpamitan dengan Janeta. Gadis itu selalu menahan diri untuk pulang ke peternakan. Pada akhirnya ia menemani Janeta di vila atau rawat jalan ke rumah sakit. Seperti hari ini, Lily mengantar Janeta bertemu dokter.Akan tetapi, gadis itu tidak menduga Kevin datang menjemputnya. Bahkan mereka makan bertiga di restoran.Setelahnya Kevin membawa Lily dan Janeta pulang.“Kamu yakin bisa sendirian? Janeta berat. Biar aku saja yang gendong,” ujar Kevin.“Saya kuat, Pak.” Lily tidak menggubris ucapan Kevin. Gadis itu merengkuh tubuh batita yang terlelap tidur dari jok belakang, menggendongnya dan membawa ke kamar.Dengan hati-hati, Lily membaringkan Janeta, lantas mengecup kening batita itu. Ia tersenyum sambil menatap wajah polos bocah kecil yang agak mirip dengan Vinsensia.“Mama sayang kamu, Janeta,” gumam Lily.Hingga derit pintu terbuka membuat Lily menoleh