“Anak itu … warna rambutnya ….” Dewa menggerak-gerakan kepala berusaha melihat dengan jelas wajah di balik tubuh orang dewasa. “Apa itu cucunya Nyonya Arnold?” gumam Dewa.Ia memangkas jarak mendekati terminal kedatangan. Seketika langkah kaki Dewa terhenti karena melihat Fabian mendekati kedua orang di sana. Sekarang jarak pandangn Dewa terhalang oleh tubuh tegap pria itu.Alhasil, Dewa hanya memandangi kedekatan antara Fabian bersama seorang anak kecil yang terlihat puncak rambutnya saja. Kedua tangan mungil nan lembut merangkul leher dan mengecup pipi Fabian. Seketika perasaan Dewa bergejolak. Ia keheranan mengapa bisa dadanya berubah panas?Nahas konsentrasi Dewa terbelah kala Pandu berlari ke arahnya. Napas asisten itu terputus-putus dan keningnya dibanjiri keringat sebesar biji jagung.“Pak saya ada informasi!”Dewa tak mengalihkan tatapan dari kepala anak kecil itu. Ia bertanya dengan tegas, “Kamu berhasil menemukan Rosalyn dan Arimbi?”“Bukan Pak! Tapi sejumlah media online ram
“Kamu … datang menjenguk aku?” tanya Dewa. Binar bahagia terpancar jelas dari sorot manik kelabu pria itu. “Rosalyn temani aku ya!” sambungnya.Sedangkan Rosalyn mengerutkan dahi. Ia memicingkan mata melihat saluran infus masih terpasang di tangan sang suami. Akan tetapi pria itu justru berkeliaran bebas.“Kamu terlalu percaya diri!” kata Rosalyn, hendak masuk lift.Tiba-tiba Dewa menyentak pinggul ramping hingga tubuh wanita itu menempel pada dada bidang.“Aku harus mengambil obat Arimbi!” tegas Rosalyn begitu enggan ditatap dan disentuh suaminya.“Biar Pandu yang ambil. Kirimkan saja alamat tinggal kalian.”Lagi, Dewa seenaknya membawa Rosalyn pergi ke area parkir. Tanpa tahu malu ia memaksa wanita itu mengemudikan mobil menuju Cwell Grup.Tentu saja Rosalyn menolak dan memberontak. Namun, rintih kesakitan Dewa membuat Rosalyn terhenyak lantas mengikuti keinginan pria itu.“Baik, aku antar. Tidak lebih!” ketus bibir ranum.“Oke.”Dewa tersenyum tipis dan bersorak girang dalam hati.
Sementara itu Mansion Arnold, dua orang anak kecil duduk di atas sofa besar. “Jadi beneran kita saudara kembar?” Sejak kemarin Arimbi tak henti menatap paras tampan Brahma. Bahkan setiap kerlingan bocah itu mengingatkan Arimbi pada ayahnya. “Huh. Kamu sudah lima puluh kali bertanya hal sama. Memang engga ada yang lain?” Suara Brahma sengaja dibuat galak. Alih-alih merasa takut, justru Arimbi tergelak mendengar ucapan kakaknya. Anak itu menutup mulut menggunakan satu tangannya. “Kamu mirip Papa,” celoteh Arimbi membuat Brahma melotot. “Aku mirip Mama! Papa jahat, aku engga mau mirip dengannya!” tegas anak laki-laki itu lalu memalingkan muka. Seketika mata jernih Arimbi berkaca-kaca. Bulir kristal bening mulai membasahi pipi, Arimbi juga berteriak kencang hingga suaranya menggema di ruang keluarga. “Papa engga jahat!” sanggah Arimbi. Meskipun Dewa selalu sibuk bekerja, pria itu tidak pernah lupa mencurahkan kasih sayangnya. Feli, Tuan Jack dan beberapa pelayan menghampiri. Mereka
Setengah jam sebelumnya. [Saya sudah di Mauer Corp. Pak Dewa, tolong lihat video ini sebentar saja. Ini bukan anak haram Tuan Arnold, karena wajahnya mirip Anda.] Saat ini Dewa sedang duduk di kursi kerjanya. Ia menatap datar pesan singkat dari Pandu. Hingga beberapa detik berlalu, ia menerima rekaman video yang menunjukkan wajah tampan seorang anak kecil. Seketika Dewa menegakkan punggung dan perasaannya menghangat. Bahkan netra abu-abunya menjadi buram digenangi cairan bening. Untuk sesaat, ia berpikir bahwa anak kecil itu yang dilihatnya di bandar udara. Tidak lupa Dewa mengetik pesan balasan untuk Pandu. “Awasi anak itu! Aku segera ke sana.” Gegas Dewa meninggalkan gedung Cwell Grup. Dalam perjalanan ia mendapat pesan berisi lokasi terbaru keberadaan anak kecil nan menggemaskan. Tempat itu tidak jauh dari posisinya sekarang. Detik ini juga Dewa melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Tiba di taman kota yang bersisian dengan danau, ia langsung memarkirkan sembarang mob
“Aku ‘kan sudah bilang Kakak Brahma mirip Papa. Tapi marah, huh dasar aneh,” gerutu bibir mungil berwarna merah. Sedangkan Dewa begitu canggung meminta Brahma agar datang ke pelukan. Pria itu tidak tahu bagaimana cara berbicara dengan anaknya. Paska mengetahui Dewa adalah ayahnya, Brahma selalu menatap tajam dan enggan didekati. Di saat ayah dan anak beradu pandang, tiba-tiba Brahma bersuara nyaring. “Mama?” panggil anak itu. Sontak Dewa dan Arimbi menoleh pada Rosalyn yang berdiri di ambang pintu ruang tamu. Wanita berparas ayu bergeming melihat suaminya berada di tengah-tengah mereka. Rosalyn ingin marah dan mengusir Dewa, tetapi ia tidak mau menjadi monster di hadapan putra putrinya. Terlebih saat ini Arimbi dalam gendongan Dewa. Putri kecilnya itu kelihatan sangat menyayangi sang ayah. Perlahan Dewa menurunkan Arimbi lalu berkata lemah lembut, “Arimbi main dulu. Papa dan Mama mau bicara penting, oke?” Arimbi menyahut dengan riang, “Siap Papa.” Semua orang meninggal
“Boleh ‘kan Ma?” desak Arimbi. Anak itu mengedip-ngedipkan kelopak mata, dan iris abu-abunya berubah berkaca-kaca.Rosalyn menatap Feli—memohon bantuan. Ia juga tidak bisa memutuskan sebab mansion ini milik keluarga Arnold. Akhirnya, Rosalyn terdiam dan menurunkan pandangannya.Tiba-tiba suara lantang menyahut di tengah kecanggungan orang dewasa.“Engga boleh!”“Kak Brahma, ini Papa kita loh.” Arimbi menekuk bibirnya dan bergelayut manja di lengan Dewa.Sekarang semua pasang mata menatap Brahma. Tangan kecil itu gemetaran memegang bola basket. Brahma juga enggan memandang ke arah Dewa.Sebagai pemilik mansion yang baik, Feli menengahi konflik antara ayah dan anak. “Masih ada kamar kosong, silakan Tuan Caldwell bermalam di sini,” ujar Feli dengan canggung.“Asyik, terima kasih Oma.” Arimbi melompat riang. “Tapi Papa jangan tidur di kamar lain. Arimbi mau tidur sama Papa dan Mama,” ucap anak itu dengan polosnya.Seketika Rosalyn membeliak dan menggeleng kecil. Mana mungkin ia bersedia be
“Tapi apa?!” tanya Rosalyn tidak sabaran. Mengingat betapa liciknya Dewa, menjadikan ia khawatir suaminya memanfaatkan situasi.Seketika Dewa mengulum senyum dan mengkerling sebelah matanya pada Rosalyn. Walaupun canggung, pria itu menyukai suasana seperti ini. “Lihat, Mama tidak sabar mau tidur,” seloroh Dewa mencairkan atmosfer tegang di atas tempat tidur.Brahma dan Arimbi kompak mengiakan, kini keduanya bersiap berbaring di posisi masing-masing. Tiba-tiba Dewa menggenggam tangan mungil putranya. “Brahma tidur sama Papa. Biarkan Arimbi dan Mama berdua di sini,” kata Dewa membuat bibir Arimbi menekuk dan mata jernihnya merambang. “Baiklah begini saja, Brahma di tengah, jadi … dekat Papa dan Mama, Arimbi setuju?” Arimbi mengangguk lalu memeluk Rosalyn dan berbaring di samping ibunya. Sedangkan Brahma tercengang sebab berada di tengah-tengah orang tuanya. Anak itu langsung memunggungi Dewa dan melingkarkan tangan di atas perut Rosalyn.Meskipun menolak, faktanya Brahma terlelap den
“Halo Sayang. Akhirnya kita ketemu lagi. Maafkan aku ya.”Vinsensia langsung melepaskan rangkulan dari tangan Dewa. Gadis itu menghampiri Arimbi dan berjongkok di depannya. Bahkan Vinsensia meraih kedua tangan mungil nan hangat. “Sebenarnya aku sudah maafkan Tante. Malahan mau bilang terima kasih. Tapi maafnya engga jadi.” Bibir Arimbi begitu lancar mengucapkan kata-kata menyebalkan bagi Vinsensia.Seketika ekspresi Vinsensia berubah garang. Gadis itu hendak mencengkeram Pundak ringkih Arimbi.Tiba-tiba saja satu tangan mungil menepis dengan kuat. Vinsensia mendelik tajam ke arah anak laki-laki yang berdiri tepat di belakang Arimbi.“Jangan sentuh adikku! Kamu perempuan jahat!” tegas Brahma.Meskipun semalam kesal pada adiknya, tetapi hari ini ia menjadi kakak yang baik. Brahma langsung memeriksa kondisi Arimbi dan memeluknya dengan erat. “Ada aku. Kamu jangan takut lagi ya,” ucap Brahma lembut sambil melirik tajam Vinsensia.“Ka-kamu ….” Vinsensia tergagap, bahkan kembali menelan