Sementara Rosalyn telah menghilang dari pandangannya, Dewa justru kini sedang dirundung perasaan aneh.
Pria itu langsung mengajak sang kekasih meninggalkan kafe tersebut. "Ayo pulang, Vinsensia. Kamu harus beristirahat." Vinsensia mengangguk pelan. "Kamu tidak ingin menemui istrimu dulu?" Gadis itu menyeringai tipis, karena upayanya sebentar lagi membuahkan hasil. Namun, Dewa hanya terdiam, memasang wajah dingin dengan tatapan menghujam ke arah Rosalyn menghilang. “Biasanya sikap perempuan berubah karena memiliki pria idaman lain.” Wajah Vinsensia tampak seperti berpikir, tetapi kemudian berubah menjadi sedikit berempati. “Aku pikir, Rosalyn bisa menjadi istri yang baik.” Dewa menggeram sembari mengepalkan tangan. Kalimat yang diutarakan Vinsensia saat ini sungguh cocok dengan perubahan istrinya yang drastis kemarin. Melihat ekspresi marah Dewa, Vinsensia semakin menjadi-jadi merendahkan Rosalyn. “Seandainya itu benar, citramu bisa rusak andai kata media mengetahuinya. Menurutku, sebaiknya kamu—“ "Apakah keadaanmu sudah membaik?" potong Dewa dengan suara lembut, tetapi penuh penekanan. "Jika iya, aku harus kembali bekerja." Vinsensia langsung membungkam mulutnya dengan rapat. Kemudian ia kembali menggamit lengan kekar Dewa, dan bersandar dengan manja. “Baiklah, tapi ... badanku lemas lagi. Bisakah bantu aku jalan?" rintih Vinsensia seraya menunjukkan ekspresi tidak berdaya. “Setelah operasi besar empat tahun lalu, tubuhku mudah lelah dan hormonku juga tidak stabil.” Sambil jalan menuju parkiran, Vinsensia mengeluh. "Aku paham." Dewa menepuk-nepuk tangan Vinsensia yang melingkar di lengannya. "Jangan lupa minum obatnya secara teratur," lanjutnya penuh perhatian. Gadis itu tersenyum tipis. “Beruntungnya, kamu merawatku dengan baik. Terima kasih Dewa.” Raut wajah Dewa yang semula dingin, kini berangsur hangat. Terlebih, saat Vinsensia kembali mengungkit perubahan dirinya sebelum dan setelah tragedi di masa lalu. Sebelum menutup pintu mobil Vinsensia, Dewa kembali berujar lembut, "Aku akan menemuimu di hotel. Hati-hati di jalan." Tepat saat itu, kerumunan orang berlalu lalang. Disusul setelahnya, sebuah ambulance yang menyalakan sirine. Bisik-bisik kerumunan orang yang mulai bubar itu samar-samar terdengar Dewa. "Kasihan sekali wanita tadi. Semoga tidak ada hal buruk padanya." Tubuh Dewa langsung mematung. Pikirannya tiba-tiba tertuju pada sang istri, Rosalyn. Namun, mengingat sepak terjang sang istri yang tidak pernah mengeluhkan sakit, langkah Dewa kembali terayun. "Itu pasti bukan Rosalyn. Wanita kekanakan itu pasti akan bilang kalau sedang sakit." ** “Dokter … bagaimana hasilnya?” Rosalyn yang tadi pingsan baru saja siuman. Kini, wanita itu sedang menjalani prosedur pemeriksaan kesehatan. Dokter tersenyum sembari memberikan hasil tes laboratorium. Tangan Rosalyn gemetaran memegang selembar kertas putih. Ia menelan ludah yang begitu lengket. Manik almond wanita itu berubah berkaca-kaca setelah membaca hasilnya. “Aku … positif hamil?” ucap Rosalyn, bibirnya bergetar hebat. Dahulu, ia memang menantikan momen ini. Mengandung buah hatinya bersama sang suami, berharap sang jabang bayi bisa menjadi perekat hubungan mereka. Sayang, kabar bahagia itu datang di waktu yang salah. Di saat Rosalyn justru sudah begitu lelah, dan ingin bercerai dari Dewa. Menurut dokter, janin dan kandungannya sehat. Ia hanya perlu menghabiskan cairan infus sebelum pulang. "Apa ada nomor keluarga Anda yang bisa dihubungi?" Dokter yang memeriksa Rosalyn bertanya. "Atau mungkin, suami Anda?" “Jangan!" Reflek, Rosalyn berteriak. Namun, sebelum menimbulkan kecurigaan, ia buru-buru menambahkan, "Suamiku … sedang banyak pekerjaan. A-aku bisa sendiri.” Setelah dua jam berlalu, Rosalyn diizinkan pulang. Ia bergegas menyelesaikan administrasi dan membayar tagihan itu secara tunai. Dengan sebuah taksi, Rosalyn meninggalkan rumah sakit. Ia memeriksa ponselnya, tapi tidak ada satu pun pesan singkat atau panggilan tak terjawab dari suaminya. Bertepatan dengan itu, sebuah telepon dari nomor tak dikenal masuk. Khawatir telepon penting menyangkut sang ayah, ia pun mengangkatnya. Suara tak asing langsung terdengar setelahnya. "Rosalyn aku ingin bertemu denganmu. Kita bertemu sekarang di hotel! Aku kirim alamatnya." "Vinsensia?" gumamnya, sebab setelah itu panggilan telah kembali ditutup oleh wanita itu. Tidak lama, sebuah pesan masuk. Rosalyn menatap lokasi yang dikirimkan oleh Vinsensia. Ia langsung meminta sopir taksi mengantarnya ke hotel. Dan, di sinilah ia ... Duduk berhadapan dengan Vinsensia, kekasih suaminya di dalam kamar hotel. Sebagai seorang istri, meski sudah tahu suaminya punya wanita lain, tetap saja hatinya merasakan sakit ketika ia akhirnya berhadapan dengan duri pernikahannya itu. Terlebih, samar-samar Rosalyn dapat mencium aroma parfum milik suaminya di sepenjuru kamar ini. ‘Apa Dewa tidur di sini? Dia tidur bersama Vinsensia?’ batin Rosalyn. Namun kemudian, ia buru-buru membuang pikirannya. Terserah saja Dewa mau apa, ia sudah memutuskan untuk tidak peduli lagi pada suaminya. “Kita sama-sama perempuan.” Setelah terdiam beberapa saat, Vinsensia lebih dulu membuka suara. Ia menuangkan secangkir teh untuk Rosalyn dan berujar, “Kamu masih memiliki masa depan. Sedangkan aku, tidak ada lelaki lain yang mau menerimaku seperti Dewa.” Rosalyn terkekeh mendengar ucapan Vinsensia. “Kamu mau membuat kesepatakan denganku?” Vinsensia tersenyum. "Asalkan kamu mau meninggalkan Dewa." Ia kemudian mengulurkan tangannya ke arah Rosalyn. "Kamu lihat cincin ini? Dia memberikannya tepat di hari ulang tahunku. Dewa bilang ingin hidup bersamaku, meskipun … aku tidak bisa memberikannya anak.” Perasaan Rosalyn sangat nyeri mendengar penuturan itu. Namun, ia berusaha tersenyum dan tidak terpancing emosi. “Benarkah? Lalu kenapa bukan kamu saja yang meminta dia meninggalkanku?” jawab Rosalyn dengan tegas, membalik permintaan Vinsensia. “Oh, apa kamu ragu dia bersedia melepaskan ku?” Vinsensia terbelalak sembari mengepalkan tangan. Wajahnya yang semula masih tenang, kini berubah tegang, “Apa maksudmu?!” Rosalyn tersenyum manis. Dengan santai, ia berucap sembari menggerakkan kepalanya, “Menurutmu apa artinya pernikahan kami selama empat tahun ini?” Dalam hati, Rosalyn tersenyum melihat napas wanita di hadapannya memburu. Tatapan Vinsensa padanya pun kini berubah menjadi tatapan kemarahan. "Kamu terlalu percaya diri!" ungkap Vinsensia, nada bicaranya mulai meninggi. “Aku datang ke kota ini karena Dewa yang meminta! Dia menunggu kesehatan ibunya pulih. Setelah itu dia akan menceraikanmu lalu menikah denganku.” Rosalyn seketika teringat penolakan Dewa atas permintaan cerainya. 'Jadi, dia menolak menceraikanku karena kesehatan ibunya?' batin Rosalyn, tertawa getir pada kebrengsekan suaminya sendiri. Tidak tahan lagi berada satu ruangan dengan wanita yang mungkin juga telah berbagi peluh dengan suaminya, Rosalyn bangkit. “Kalau begitu silakan menunggu.” Setelahnya, ia beranjak keluar ditemani teriakan Vinsensia yang masih terdengar olehnya. “Aku pastikan kamu ditendang dari samping Dewa! Ingat itu, Rosalyn!”"Apa Dewa sudah pulang?" Rosalyn pulang ke vila ketika langit mulai gelap. Langkahnya untuk mengajukan cerai semakin matang setelah mengetahui Dewa menahannya hanya karena alasan ibunya yang sakit. Jadi, setelah bertemu Vinsensia di hotel wanita itu, Rosalyn mengunjungi pengacaranya untuk mendapatkan surat gugatan. "Tuan Caldwell belum pulang, Nyonya." Wajah-wajah pelayan itu menatap Rosalyn dengan wajah khawatir. Senyum yang biasa muncul di bibirnya yang merah, kini menghilang. Wajahnya pun terlihat pucat dan lelah. Belum lagi, suara wanita itu yang terdengar tidak begitu bersemangat. Menghela napas panjang, Rosalyn kemudian bergegas ke kamar. Ia berencana pergi malam ini juga. Tidak lupa, ia menaruh surat gugatan perceraian yang telah ia tanda tangani di atas nakas, agar Dewa mudah menemukannya. Bukan hanya itu, wanita itu juga mengembalikan seluruh pemberian Dewa, termasuk kartu, juga cincin pernikahan mereka. Wanita itu hanya membawa sedikit pakaian ke dalam koper kecilnya
“Rosalyn?” panggil Dewa dalam tidurnya. Saat ini, ia sedang terbaring di atas ranjang pasien. Sudah lima jam paska mendapat perawatan tetapi pria itu belum siuman.“Dewa, ini aku. Buka matamu!” Seorang wanita menangis sembari menggenggam tangan Dewa.Ketika membuka mata, samar-samar Dewa melihat wanita cantik sedang menatap ke arahnya. Pria itu berpikir bahwa Rosalyn telah berubah pikiran. Ia tersenyum kecil karena wanita manja itu hanya merajuk.Setelah penglihatanya berubah jelas seketika Dewa tertegun. Ternyata ….“Vinsensia … kamu di sini?” Dewa memperhatikan tangannya yang digenggam oleh perempuan itu. Kemudian ia mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan lalu bertanya, “Di mana Rosalyn?”Vinsensia menangis tersedu-sedu. “Tidak ada Rosalyn di sini. “Bukankah kehadiranku juga sudah cukup?” Vinsensia mencondongkan tubuhnya mendekati Dewa. “Aku bisa merawatmu … menggantikan Rosalyn.”“Jangan menangis lagi,” kata Dewa dengan lemah lembut. Pria itu menyeka air mata Vinsensia. “Kalau be
‘Katakan kamu memilihku!’ Jiwa Rosalyn bergejolak.Bagaimanapun Rosalyn menginginkan kelak anaknya memiliki keluarga utuh dan mendapat kasih sayang dari kedua orang tua. Namun … melihat keterdiaman Dewa, ia tertawa miris. Bahkan melalui bahasa tubuh pria itu Rosalyn sudah mendapat jawaban.“Kenapa diam? Apa pertanyaanku salah?” Suara Rosalyn bergetar karena menahan tangis.Lagi, tidak ada jawaban dari mulut Dewa. Pria itu hanya menatap lekat wajah Rosalyn yang terlihat mengenaskan.Awalnya ia sempat tersentuh dengan kelembutan suaminya, merasa pria itu telah berubah setelah mengetahui kehamilannya. Ternyata … Rosalyn terlalu percaya diri. Ia mendorong pelan dada bidang Dewa untuk memberi jarak.“Rosalyn ….” Tatapan Dewa yang semula hangat berubah dingin. “Itu tidak mungkin.”“Kamu tidak bisa menjadi ayah yang baik karena mendahulukan orang lain dibanding darah dagingmu sendiri!”Sesudah mengatakan itu Rosalyn beranjak dari hadapan Dewa. Di saat bersamaan, telepon genggam miliknya berde
‘Dewa sudah membawanya ke sini.' Hati Rosalyn tercubit perih. Bahkan harga dirinya sebagai Nyonya Caldwell tidak dihargai lagi.Meskipun dadanya terasa sesak, ia tidak mau memperlihatkannya. Rosalyn bersikap tak acuh menatap kemesraan dua insan menjijikkan di hadapannya.Ekspresi wajah Rosalyn sangat tenang Ketika Dewa memandang sekilas ke arahnya. Ia melihat bagaimana pria itu menepuk pelan tangan wanita lain yang bergelayut manja pada lengan kekar.“Kenapa tidak istirahat di hotel?” Suara lembut Dewa terdengar menggelikan di telinga Rosalyn.Sebelum menjawab, Vinsensia menempelkan kepalanya ke bahu kokoh Dewa. Gadis itu mendongak dan berkata manja, “Aku takut terjadi sesuatu denganmu. Kamu tidak menjawab teleponku.”Dewa mengernyit kemudian memeriksa ponselnya. Manik abu-abu pria itu mendapati beberapa panggilan tak terjawab dari Vinsensia.“Tentu saja dia tidak menerima teleponmu. Memangnya kamu tidak lihat kami sedang bersama?” Rosalyn menunjukkan senyum lebar membuat Vinsensia t
“Kamu bisa sendirian?” Fabian mencemaskan Rosalyn.“Hu’ um. Tenang saja, aku bisa menyajikan materinya dengan baik.” Rosalyn tersenyum riang. Walaupun dadanya berdegup hebat.“Kalau begitu aku pergi dulu. Semoga berhasil, Rosalyn.” Fabian memberi semangat menggunakan kepalan tangan.Hari ini, Rosalyn harus menghadapi klien seorang diri. Sebab Fabian mendadak menerima kabar bahwa ibunya dilarikan ke rumah sakit.Setelah Fabian pergi, suasana hati Rosalyn semakin tak menentu. Denyut nadi dan napas wanita pemilik mata almond itu berubah cepat, mulut dan tenggorokannya terasa kering. Ia memutuskan ke toilet untuk mencuci muka menghilangkan efek demam panggung.Bersamaan dengan Rosalyn memasuki toilet, seseorang menabraknya dari belakang. Bahkan orang itu mengunci pintu dari dalam.“Jadi ini kelakukanmu?! Wanita murahan!” bentak sosok itu sambil melayangkan tatapan bengis.Rosalyn terperanjat melihat sosok yang dikenali. “Apa maksudmu Vinsensia?”Ia tidak mengerti apa yang dikatakan keka
“Apa Rosalyn sudah pulang?” Dewa bertanya kepada pelayan.Setengah jam lalu selepas menenangkan dan mengantar Vinsensia ke dalam kamar hotel, Dewa langsung pulang ke rumah. Pria itu mencari tahu apakah Rosalyn telah kembali atau belum.“Nyonya belum pulang.” Pelayan ketakutan karena ekspresi wajah Dewa sangat menyeramkan.Tidak lama sekretaris menelepon.[Pak Dewa, Nyonya Rosalyn masuk rumah sakit.]Sesaat menerima kabar mencengangkan, Dewa langsung mengemudikan mobilnya ke pusat medis. Pria itu memikirkan nasib calon penerusnya di dalam rahim Rosalyn.**“Anakku?” Suara Rosalyn tercekat di tenggorokan. Ia memejamkan mata yang terasa panas lalu mengeratkan giginya.Batin wanita itu berkata lirih, ‘Ya, dia hanya memedulikan anaknya bukan aku!’Dewa mendekati ranjang pasien, lalu duduk di samping Rosalyn. Pria itu menyibak selimut dan mengulurkan tangan ke perut wanita itu.Kelopak mata Rosalyn terbuka pelan-pelan. Ia bisa merasakan sentuhan lembut suaminya. Meskipun enggan tetapi ini
“Lalu apa artinya dicintai tapi tidak diakui?” balas Rosalyn, “Aku merasa kasihan padamu.” Alih-alih menyangkal, ia membalas ucapan tajam Vinsensia. Lagi pula ucapan Rosalyn sebuah fakta, setidaknya menyadarkan gadis itu bahwa posisi mereka sama saja. Tersulut amarah, Vinsensia berteriak, “Kita berbeda, Rosalyn!” Rosalyn mengangkat bahunya sambil menatap tak acuh kepada gadis itu. Lantas, ia memutar badan dan meninggalkan kamar utama. Dari depan pintu, ia memanggil pelayan untuk naik ke atas. Sebagaia istri sah dan Nyonya rumah, Rosalyn memiliki hak istimewa dibandingkan kekasih suaminya. Makanya ia memerintah pelayan. “Pastikan Nona Vinsensia melakukan tugasnya dengan baik. Kalau sudah selesai, bantu dia bawakan tas keluar vila.” “Dimengerti, Nyonya.” Pelayan mengawasi Vinsensia di dalam kamar. Tentu saja Vinsensia bertolak pinggang sambil menjerit, “Rosalyn, kamu benar-benar kurang ajar!” Rosalyn segera istirahat di dalam kamarnya. Sayup-sayup ia mendengar kegaduhan dari luar
Dewa mengeratkan rahangnya dengan kuat. Bibir pria itu terkunci rapat dan sulit mengatakan sebuah alasan.Meskipun menunggu jawaban, Rosalyn bersikap biasa saja. Bahkan ketenangannya ini membuat wajah cantik wanita itu semakin memancarkan aura luar biasa.“Sudah ya, aku mau istirahat.” Rosalyn hendak melewati Dewa, tetapi pria itu menahan lengannya dengan kuat. “Kamu menyakitiku, Dewa!”“Ini bisnis. Dan kamu harus melakukan tugas dengan baik!” Pada akhirnya Dewa memberi jawaban, “Jangan membawa nama Vinsensia!”Mendengar alasan egois dari bibir sang suami membuat Rosalyn geleng-geleng kepala. Ia melirik lengannya lalu pelan-pelan melepas cengkeraman tangan kekar itu.“Memangnya kamu lupa ya tugasku hanya menjaga kehamilan ini sampai melahirkan, bukan melayani kebutuhanmu,” sahut Rosalyn kemudian melenggang pergi meninggalkan Dewa seorang diri.Rosalyn mengunci pintu dan menyandarkan punggung pada dinding. Ia mengurut dadanya yang masih terasa sesak. Sebenarnya bukan jawaban itu yang