"Apa Dewa sudah pulang?"
Rosalyn pulang ke vila ketika langit mulai gelap. Langkahnya untuk mengajukan cerai semakin matang setelah mengetahui Dewa menahannya hanya karena alasan ibunya yang sakit. Jadi, setelah bertemu Vinsensia di hotel wanita itu, Rosalyn mengunjungi pengacaranya untuk mendapatkan surat gugatan. "Tuan Caldwell belum pulang, Nyonya." Wajah-wajah pelayan itu menatap Rosalyn dengan wajah khawatir. Senyum yang biasa muncul di bibirnya yang merah, kini menghilang. Wajahnya pun terlihat pucat dan lelah. Belum lagi, suara wanita itu yang terdengar tidak begitu bersemangat. Menghela napas panjang, Rosalyn kemudian bergegas ke kamar. Ia berencana pergi malam ini juga. Tidak lupa, ia menaruh surat gugatan perceraian yang telah ia tanda tangani di atas nakas, agar Dewa mudah menemukannya. Bukan hanya itu, wanita itu juga mengembalikan seluruh pemberian Dewa, termasuk kartu, juga cincin pernikahan mereka. Wanita itu hanya membawa sedikit pakaian ke dalam koper kecilnya. Sebelum keluar kamar, ponsel Rosalyn berdering. Mathilda, nama ibu sambungnya tertera di layar. “Ya Bu?” [Rosalyn, kenapa uangnya Cuma sedikit? Cepat kirim lagi! Jangan dipakai sendirian!] “Bu, lima puluh juta itu banyak—“ [Banyak?! Obat ayahmu saja tidak cukup. Kamu pikir semuanya gratis?] "...." Rosalyn terhenyak seraya meremas ponsel. Ia tidak mungkin menggunakan uang pemberian Dewa lagi. [Kenapa diam?! Sudah, cepat minta lagi sama Dewa!] Rosalyn menggeleng tegas walaupun Mathilda tidak melihatnya. “Bu, kita harus hemat dan tidak bisa bergantung terus pada Dewa." Rosalyn mengambil napas sejenak, lalu kembali berkata dengan lembut, "Aku dan Dewa sebentar lagi akan bercerai." [Hah cerai?! Mau jadi apa kamu kalau bercerai dengannya, Rosalyn?! Hidup butuh uang, kalau hanya masalah sepele, anggap saja kamu sedang berkorban demi keluarga.] Menahan sesak, Rosalyn menjawab dengan suara bergetar, “Dewa memiliki wanita lain Bu, sebentar lagi mereka menikah." [Kalau dia selingkuh ya biarkan saja. Pria seperti Dewa wajar memiliki mainan di luar rumah!] Tubuh Rosalyn gemetar hebat mendengar ucapan Mathilda. Meski hubungan mereka tidak begitu baik, tapi ia berharap kali ini ibunya bisa sedikit berempati. Namun, agaknya tak ada satu pun yang berpihak padanya. [Pokoknya, Ibu tidak mau tahu, kirim uang lagi. Sekarang!] Rosalyn tersentak ketika Mathilda memutus sambungan telepon dengan kasar. Ia mengembuskan napas panjang, lalu menatap surat cerai di atas nakas dengan penuh pertimbangan. Haruskah Rosalyn membatalkan gugatan itu dan kembali sebagai istri pajangan? Namun, semua luka yang ia terima membuat Rosalyn cepat-cepat menggelengkan kepala sambil berlinang air mata. "Tidak. Aku tidak akan mundur!" putusnya. Kemudian, Rosalyn menundukkan kepala dan menatap perutnya yang masih rata. "Maafkan Ibu sudah menolak kehadiranmu tadi. Ibu mohon, tetaplah sehat. Hanya kamu yang Ibu punya." Setelahnya, ia mantap melangkah keluar vila dengan koper kecilnya. Ditemani tatapan iba para pelayan, Rosalyn memasuki taksi menuju suatu tempat yang ia yakin Dewa tidak akan pernah bisa menemukannya. ** Beberapa jam setelah Rosalyn pergi, Dewa menginjakkan kaki di vila. Suasana sangat hening dan … mendung. Wajah semua pelayan memerah bahkan beberapa menyeka air mata sembari menyambut kedatangan Tuannya. “Di mana Rosalyn?” Dewa bertanya kepada seorang pelayan. “Tuan, Nyonya sudah pergi dari rumah.” Pelayan itu menunduk takut. Ekspresi wajah Dewa menegang dan memelotot kepada pelayan. Tanpa menunggu lagi, ia melepas jas dan menyerahkannya pada pelayan, sementara ia berlari menuju kamar sembari memanggil nama sang istri. “Rosalyn!” Dewa bak kesetanan, ia memanggil nama Rosalyn sembari mengitari seluruh penjuru kamar. Ketika tidak mendapati sang istri di sana, dada pria itu bergemuruh. Ia kemudian duduk di ranjang, memijat pelipis dan mengetatkan rahang karena frustrasi. Saat itulah, manik abu-abu pria itu menyipit kala melihat selembar kertas, kartu hitam serta perhiasan tergeletak di atas nakas. Ia meraih semuanya, dan menggeram ketika melihat satu berkas yang ditinggalkan Rosalyn. “Gugatan cerai?!” Dengan lengan kekarnya yang berurat, Dewa merobek surat cerai tersebut. Wajah pria itu memerah, marah, sebab ia tidak begitu mengenal sang istri yang ternyata begitu keras kepala akan kemauannya. "Rosalyn Keller, kamu tidak boleh pergi!" Dengan seluruh koneksi yang ia miliki, pria itu memerintahkan anak buahnya mencari jejak sang istri. Dewa mengembuskan napas kasar, lalu berbaring di atas ranjang. Ia didera perasaan asing, gabungan kemarahan, juga kehampaan. Masih teringat jelas, bayang-bayang senyuman wanita itu tiap kali Dewa pulang usai bekerja. Belum lagi, tingkah manja Rosalyn tiap kali wanita itu menggodanya. Lagi, Dewa mengacak rambutnya, frustrasi. Tidak lama, sebuah notifikasi muncul dari ponselnya. Cepat, Dewa membuka email tersebut yang ternyata berisi laporan dari anak buahnya. Dewa kembali terduduk. Pundak pria itu menegang, kala melihat beberapa dokumentasi foto Rosalyn keluar dari rumah sakit. Butuh penjelasan, ia pun segera menghubungi anak buahnya tersebut. "Kenapa istriku datang ke rumah sakit? Berikan aku rekam medisnya, sekarang! Temukan Rosalyn secepatnya!" Dengan uang dan juga kekuasaannya, kurang dari satu jam Dewa telah berhasil mendapatkan rekam medis Rosalyn. Namun, mata elang pria itu berubah memerah setelah membaca hasil pemeriksaan sang istri. Tangan pria itu gemetar cukup hebat, ketika membacanya dengan saksama. “Dia ... hamil?” Mata pria dominan itu berkaca-kaca. Seharusnya berita itu menjadi momen membahagiakan bagi setiap pasangan. Namun, tidak dengannya yang justru kebingungan. Sebagai calon ayah, hatinya tersentuh. Namun, sebagai seorang suami, ia marah sebab Rosalyn menyembunyikan kabar besar ini darinya. Namun, tidak lama ... Perasaan perasaan pria itu seketika menjadi rumit lantaran teringat akan kekasihnya. “Bagaimana jika Vinsensia tahu Rosalyn sedang hamil?” gumamnya. Ada sedikit perasaan khawatir yang ia rasakan. Maka dari itu, ia kembali mencoba menghubungi nomor ponsel istrinya, tetapi masih tidak tersambung. Diliputi perasaan kalut, malam ini Dewa tidak bisa tidur. Ia menanti Rosalyn berubah pikiran dan kembali ke vila. Sayangnya, hingga pagi hari Rosalyn tak kunjung pulang, dan keberadaannya tidak diketahui. Pandangan mata Dewa yang semula gelap tiba-tiba berubah cerah saat pintu kamarnya terdengar diketuk. Dengan antusias, Dewa membuka pintu dan berkata, "Rosalyn, kamu sudah pulang--" Nahas, ia harus menelan kecewa. Sebab, bukan Rosalyn yang ada di hadapannya, melainkan pelayan. “Maaf Tuan, ada berkas untuk Anda. Tadi sekretaris mengantarnya ke sini.” Pelayan itu mengulurkan map berisi laporan penting. Dewa langsung meraih berkas tersebut dan menutup pintu kamarnya dengan keras. Ia langsung membuka berkas tersebut, dan tercengang ketika mendapati laporan jika dua hari yang lalu, Rosalyn sempat bertemu dengan seorang pria dan melamar pekerjaan. "Fabian??" Secercah harapan kembali muncul di benak Dewa. Detik itu juga, ia bergegas menuju rumah Fabian yang ia kenal sebagai teman kecil sang istri. Sayang, akibat tidak fokus dan laju mobilnya yang terlalu kencang, Dewa kehilangan kendali. Mobil pria itu menabrak pembatas jalan, membuat kepala pria itu terbentur jendela mobil cukup keras. Darah mengucur dari pelipis pria itu. Sebelum kehilangan kesadaran, Dewa kembali bergumam pilu, "Rosalyn, pulanglah. Maafkan aku."“Rosalyn?” panggil Dewa dalam tidurnya. Saat ini, ia sedang terbaring di atas ranjang pasien. Sudah lima jam paska mendapat perawatan tetapi pria itu belum siuman.“Dewa, ini aku. Buka matamu!” Seorang wanita menangis sembari menggenggam tangan Dewa.Ketika membuka mata, samar-samar Dewa melihat wanita cantik sedang menatap ke arahnya. Pria itu berpikir bahwa Rosalyn telah berubah pikiran. Ia tersenyum kecil karena wanita manja itu hanya merajuk.Setelah penglihatanya berubah jelas seketika Dewa tertegun. Ternyata ….“Vinsensia … kamu di sini?” Dewa memperhatikan tangannya yang digenggam oleh perempuan itu. Kemudian ia mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan lalu bertanya, “Di mana Rosalyn?”Vinsensia menangis tersedu-sedu. “Tidak ada Rosalyn di sini. “Bukankah kehadiranku juga sudah cukup?” Vinsensia mencondongkan tubuhnya mendekati Dewa. “Aku bisa merawatmu … menggantikan Rosalyn.”“Jangan menangis lagi,” kata Dewa dengan lemah lembut. Pria itu menyeka air mata Vinsensia. “Kalau be
‘Katakan kamu memilihku!’ Jiwa Rosalyn bergejolak.Bagaimanapun Rosalyn menginginkan kelak anaknya memiliki keluarga utuh dan mendapat kasih sayang dari kedua orang tua. Namun … melihat keterdiaman Dewa, ia tertawa miris. Bahkan melalui bahasa tubuh pria itu Rosalyn sudah mendapat jawaban.“Kenapa diam? Apa pertanyaanku salah?” Suara Rosalyn bergetar karena menahan tangis.Lagi, tidak ada jawaban dari mulut Dewa. Pria itu hanya menatap lekat wajah Rosalyn yang terlihat mengenaskan.Awalnya ia sempat tersentuh dengan kelembutan suaminya, merasa pria itu telah berubah setelah mengetahui kehamilannya. Ternyata … Rosalyn terlalu percaya diri. Ia mendorong pelan dada bidang Dewa untuk memberi jarak.“Rosalyn ….” Tatapan Dewa yang semula hangat berubah dingin. “Itu tidak mungkin.”“Kamu tidak bisa menjadi ayah yang baik karena mendahulukan orang lain dibanding darah dagingmu sendiri!”Sesudah mengatakan itu Rosalyn beranjak dari hadapan Dewa. Di saat bersamaan, telepon genggam miliknya berde
‘Dewa sudah membawanya ke sini.' Hati Rosalyn tercubit perih. Bahkan harga dirinya sebagai Nyonya Caldwell tidak dihargai lagi.Meskipun dadanya terasa sesak, ia tidak mau memperlihatkannya. Rosalyn bersikap tak acuh menatap kemesraan dua insan menjijikkan di hadapannya.Ekspresi wajah Rosalyn sangat tenang Ketika Dewa memandang sekilas ke arahnya. Ia melihat bagaimana pria itu menepuk pelan tangan wanita lain yang bergelayut manja pada lengan kekar.“Kenapa tidak istirahat di hotel?” Suara lembut Dewa terdengar menggelikan di telinga Rosalyn.Sebelum menjawab, Vinsensia menempelkan kepalanya ke bahu kokoh Dewa. Gadis itu mendongak dan berkata manja, “Aku takut terjadi sesuatu denganmu. Kamu tidak menjawab teleponku.”Dewa mengernyit kemudian memeriksa ponselnya. Manik abu-abu pria itu mendapati beberapa panggilan tak terjawab dari Vinsensia.“Tentu saja dia tidak menerima teleponmu. Memangnya kamu tidak lihat kami sedang bersama?” Rosalyn menunjukkan senyum lebar membuat Vinsensia t
“Kamu bisa sendirian?” Fabian mencemaskan Rosalyn.“Hu’ um. Tenang saja, aku bisa menyajikan materinya dengan baik.” Rosalyn tersenyum riang. Walaupun dadanya berdegup hebat.“Kalau begitu aku pergi dulu. Semoga berhasil, Rosalyn.” Fabian memberi semangat menggunakan kepalan tangan.Hari ini, Rosalyn harus menghadapi klien seorang diri. Sebab Fabian mendadak menerima kabar bahwa ibunya dilarikan ke rumah sakit.Setelah Fabian pergi, suasana hati Rosalyn semakin tak menentu. Denyut nadi dan napas wanita pemilik mata almond itu berubah cepat, mulut dan tenggorokannya terasa kering. Ia memutuskan ke toilet untuk mencuci muka menghilangkan efek demam panggung.Bersamaan dengan Rosalyn memasuki toilet, seseorang menabraknya dari belakang. Bahkan orang itu mengunci pintu dari dalam.“Jadi ini kelakukanmu?! Wanita murahan!” bentak sosok itu sambil melayangkan tatapan bengis.Rosalyn terperanjat melihat sosok yang dikenali. “Apa maksudmu Vinsensia?”Ia tidak mengerti apa yang dikatakan keka
“Apa Rosalyn sudah pulang?” Dewa bertanya kepada pelayan.Setengah jam lalu selepas menenangkan dan mengantar Vinsensia ke dalam kamar hotel, Dewa langsung pulang ke rumah. Pria itu mencari tahu apakah Rosalyn telah kembali atau belum.“Nyonya belum pulang.” Pelayan ketakutan karena ekspresi wajah Dewa sangat menyeramkan.Tidak lama sekretaris menelepon.[Pak Dewa, Nyonya Rosalyn masuk rumah sakit.]Sesaat menerima kabar mencengangkan, Dewa langsung mengemudikan mobilnya ke pusat medis. Pria itu memikirkan nasib calon penerusnya di dalam rahim Rosalyn.**“Anakku?” Suara Rosalyn tercekat di tenggorokan. Ia memejamkan mata yang terasa panas lalu mengeratkan giginya.Batin wanita itu berkata lirih, ‘Ya, dia hanya memedulikan anaknya bukan aku!’Dewa mendekati ranjang pasien, lalu duduk di samping Rosalyn. Pria itu menyibak selimut dan mengulurkan tangan ke perut wanita itu.Kelopak mata Rosalyn terbuka pelan-pelan. Ia bisa merasakan sentuhan lembut suaminya. Meskipun enggan tetapi ini
“Lalu apa artinya dicintai tapi tidak diakui?” balas Rosalyn, “Aku merasa kasihan padamu.” Alih-alih menyangkal, ia membalas ucapan tajam Vinsensia. Lagi pula ucapan Rosalyn sebuah fakta, setidaknya menyadarkan gadis itu bahwa posisi mereka sama saja. Tersulut amarah, Vinsensia berteriak, “Kita berbeda, Rosalyn!” Rosalyn mengangkat bahunya sambil menatap tak acuh kepada gadis itu. Lantas, ia memutar badan dan meninggalkan kamar utama. Dari depan pintu, ia memanggil pelayan untuk naik ke atas. Sebagaia istri sah dan Nyonya rumah, Rosalyn memiliki hak istimewa dibandingkan kekasih suaminya. Makanya ia memerintah pelayan. “Pastikan Nona Vinsensia melakukan tugasnya dengan baik. Kalau sudah selesai, bantu dia bawakan tas keluar vila.” “Dimengerti, Nyonya.” Pelayan mengawasi Vinsensia di dalam kamar. Tentu saja Vinsensia bertolak pinggang sambil menjerit, “Rosalyn, kamu benar-benar kurang ajar!” Rosalyn segera istirahat di dalam kamarnya. Sayup-sayup ia mendengar kegaduhan dari luar
Dewa mengeratkan rahangnya dengan kuat. Bibir pria itu terkunci rapat dan sulit mengatakan sebuah alasan.Meskipun menunggu jawaban, Rosalyn bersikap biasa saja. Bahkan ketenangannya ini membuat wajah cantik wanita itu semakin memancarkan aura luar biasa.“Sudah ya, aku mau istirahat.” Rosalyn hendak melewati Dewa, tetapi pria itu menahan lengannya dengan kuat. “Kamu menyakitiku, Dewa!”“Ini bisnis. Dan kamu harus melakukan tugas dengan baik!” Pada akhirnya Dewa memberi jawaban, “Jangan membawa nama Vinsensia!”Mendengar alasan egois dari bibir sang suami membuat Rosalyn geleng-geleng kepala. Ia melirik lengannya lalu pelan-pelan melepas cengkeraman tangan kekar itu.“Memangnya kamu lupa ya tugasku hanya menjaga kehamilan ini sampai melahirkan, bukan melayani kebutuhanmu,” sahut Rosalyn kemudian melenggang pergi meninggalkan Dewa seorang diri.Rosalyn mengunci pintu dan menyandarkan punggung pada dinding. Ia mengurut dadanya yang masih terasa sesak. Sebenarnya bukan jawaban itu yang
‘Apa pun? Dewa kamu benar-benar romantis,’ tegas Rosalyn dalam hatinya.Tanpa terprovokasi oleh percakapan Dewa dan Vinsensia, ia tetap menghabiskan makanannya dengan tenang. Bahkan terlewat damai hingga tak terdengar denting peralatan makan yang menandakan perubahan suasana hati.Tentunya keanggunan Rosalyn membuat Dewa merasakan dua hal, antara terpesona dan jengkel. Selesai makanan habis, wanita itu masih bisa menyeka lembut mulutnya dengan serbet. Ia sama sekali tidak memedulikan suaminya.“Apa kamu ingin menyampaikan sesuatu?” tanya Dewa tiba-tiba membuat Rosalyn menggeser pandangan padanya.Alis rapi nan tebal wanita itu tertaut rapat. Rosalyn berpikir memangnya sebelum ini ada hal serius apa yang dibahas? Ia menggeleng pelan sebagai jawaban.Dewa mendengus sebal lantaran perubahan sikap Rosalyn belakangan ini sangat keterlaluan.Setelah menaruh serbet di atas meja makan, Rosalyn beranjak menuju kamarnya. Ia ingin melindungi hati dari luka berikutnya yang akan ditorehkan sang s
“Bagaimana kondisi Lily, Kak?” tanya Rosalyn sesampainya di rumah sakit.“Air ketubannya pecah. Dia kesakitan.” Kevin tampak gelisah, pria itu masih mengenakan piama dan menutupi tubuh dengan selimut.Rosalyn menuntun Kevin supaya duduk di bangku logam depan ruang bersalin. “Kita berdoa saja semoga Lily dan bayinya selamat.”Ketiga orang itu menanti dengan gelisah. Setelah hampir setengah jam berjalan, seorang dokter menghampiri Kevin dan menjelaskan, “Bayi Nyonya Lily sebentar lagi lahir, jika suaminya ingin melihat proses persalinan, kami persilakan.”Kevin menggeleng. Justru ia mendorong Rosalyn supaya menemani Lily di dalam sana. Sebagai wanita yang pernah melahirkan, ia mencebik melihat dua pria duduk gelisah di kursi. Ia pun mendampingi Lily di ruang bersalin.Rosalyn segera menggenggam tangan iparnya. Lily sedang kesakitan setelah pembukaan jalan lahir melebar sempurna.“Semangat Lily, kamu pasti bisa,” bisik Rosalyn diangguki iparnya.Dengan bimbingan dokter spesialis kandungan
“Kenapa, Bro?” sapa Fabian sambil menyodorkan sekaleng minuman. “Orang bilang ini bagus dan tahan lama,” kata pria itu.Dewa memelotot dan menyambar kaleng, lalu membuangnya ke tempat sampah.“Tidak butuh!” sentak Dewa dengan tatapan menghunus tajam.Fabian menepuk bahu temannya dan berujar, “Jangan marah-marah, kamu bisa darah tinggi!”Dewa mendengkus kasar, baginya kalimat Fabian bukan menenangkan melainkan sebuah ejekan. Pria itu menepis kasar tangan temannya, lalu berjalan mencari Rosalyn ke dalam mansion.Pagi ini, keluarga kecil itu sengaja mengunjungi Mansion Arnold. Tentu saja, karena Tuan Jack dan Feli menitipkan beberapa hadiah untuk Lily dan calon bayinya.Akan tetapi, kening Dewa mengerut dalam ketika melihat Rosalyn berjalan sendirian tanpa keempat anak mereka.“Di mana Brahma, Arimbi, Devendra dan Daneswara?” tanya Dewa dengan tatapan menyelidik.Mendengar pertanyaan itu tentunya Rosalyn mengulum senyum. Ah, ia memang sengaja menyiapkan kejutan istimewa ini untuk suami p
“Halo, Sayang … Papa datang. Janeta sudah mandi, ya? Harum banget.” Kevin menggendong putri kecilnya yang menyambut di balik pintu. Pria itu menciumi puncak kepala Janeta dan mengayun tubuhnya, membuat putri kecil tertawa riang. Namun, di ujung lorong, seorang wanita sedang cemberut menatap ke arah Kevin.“Terima ka—” Ucapan Kevin menggantung karena wanita itu melengos saja ke dapur tanpa mengelurkan sepatah kata.Kevin menurunkan tubuh Janeta dan membiarkannya bermain, lalu ia menyusul pujaan hati yang entah kenapa memasang wajah ketus.“Kamu kenapa?” tanya Kevin.“Menurutmu, kenapa?” ketusnya.“Aku tidak tahu, Lily. Ayo, bilang,” ucap Kevin lagi.Lily menatap tajam ke arah Kevin dan berujar, “Aku bosan seharian di rumah. Aku ini biasa kerja, bukan diam di rumah. Apalagi … ka-mu lebih memperhatikan Janeta dibanding aku.” Pascadinyatakan hamil, Lily diberhentikan oleh Dewa. Wanita itu pun ikut tinggal di Milan. Dia tidak lagi sibuk mengurusi peternakan, karena Dewa berhasil mencari
“Astaga apa-apaan mereka ini?!” geram Fabian. Ia menatap layar ponsel yang tidak berhenti berpendar sedari tadi. Itu bukan masalah pekerjaan kantor, tetapi … masalah rumah tangga, terutama ranjang. Demi kelangsungan masa depannya. Meskipun sudah mengetahui isinya, tetap saja Kevin mengintip melalui pop up. Dia terbelalak ketika satu pesan kembali masuk dari adik ipar. [Tutorial posisi hubungan intim untuk memiliki keturunan secepatnya.] “Dia pikir aku pria polos? Aku ini lebih berpengalaman darinya!” Kevin melempar telepon genggam ke atas sofa, lantas berdiri sambil memandangi foto pernikahan di atas meja. Lagi, Kevin tetap membaca pesan adik iparnya. Sebagai seorang pria berpengalaman, tentu saja posisi itu tidak asing lagi. Ia pun mereguk saliva, pikirannya berfantasi liar membayangkan Lily. Gairah pria itu tersulut. Hanya saja, ia bingung menyalurkannya, sebab Lily tidak ada di sini. Pasangan itu menjalani hubungan jarak jauh. Terpaksa Kevin bertahan sampai Dewa menemukan p
“Kevin … anakku apa kabar? Ibu selalu menunggumu setiap hari, Nak. Kenapa baru datang sekarang?” berondong Mathilda dari balik partisi kaca tebal.Wanita paruh baya itu menempelkan tangannya pada penghalang, lalu menggerakkan jemari—seolah membelai pipi putra tunggalnya.“Aku datang ke sini ada perlu. Kuharap Ibu menerimanya,” kata Kevin dengan intonasi dingin dan ekspresi datar.Mathilda mengangguk dan menyahut penuh kasih, “Pasti, Nak. Ibu menerima apa pun yang terbaik untukmu.”Kulit keriput Mathilda tertarik ke atas, ia tersenyum merekah sambil meneteskan bulir bening.Lebih dari semenit keduanya terdiam saling memandangi. Entah apa yang dipikirkan kedua orang itu. Hanya saja Mathila tidak menjauhkan tangannya dari kaca tebal. Kevin pun bisa melihat tangan ibunya berkeringat.“Aku sudah menikah.”Sorot mata Mathilda berbinar. “Benarkah? Siapa gadis beruntung itu? B
“I-ini masih siang,” gugup Lily. Perempuan itu mengedarkan pandangan ke penjuru kamar. Ada ranjang besar yang disiapkan khusus pengantin baru, sofa panjang serta meja kaca dan cermin besar menggantung di depannya. Sekilas, ini kamar hotel pada umumnya. Namun, Lily dibuat asing dengan status baru ini.Sejak masuk kamar, Kevin memeluk erat tubuh sang istri dari belakang. Pria itu menggesek puncak hidungnya pada tengkuk harum. “Memangnya kenapa kalau siang? Bukahkah itu bagus, kita bisa menikmati siang dan malam di hari yang sama?” Lily mereguk saliva. Walaupun bukan pengalaman pertama berhubungan intim, tetapi … ini pertama kali bersama pria berstatus sebagai suami.“Tapi—”Ucapan Lily tertahan karena Kevin memutar tubuh wanita itu dengan cepat. “Tidak ada tapi. Kamu milikku sekarang dan selamanya.” Lily hendak menunduk, tetapi Kevin mencegahnya. Pria itu menahan dagu sang istri, lalu meraup bibir tipis yang ia rinduka
Kevin menghela napas melihat tanggapan Lily. Haruskan ia menyerah dan tenggelam ke dasar lautan patah hati? Ya, mungkin … karena ini bukanlah kali pertama gadis itu menolaknya. Pria itu menarik tangannya. Namun ….“Cincinya kebesaran. Enggak sesuai ukuran jariku,” kata gadis itu menggunakan bahasa informal . Lily mengulurkan tangan kanan, yang menampilkan jemari ramping dan mungil.Seketika Kevin memperhatikan jemari gadis itu, dan pikirannya mencerna maksud ucapan Lily barusan. Bagi seorang pria, tentunya ini merupakan teka-teki. “Umm … maksudmu?” Alis tebal Kevin terangkat.Lily tersenyum jengah mendengar pertanyaan itu. Tanpa banyak bicara, gadis itu mengambil cincin dari tangan Kevin, lalu menyematkan sendiri pada jari manisnya.“Ini kebesaran, lihat bukan?” keluh gadis itu dengan bibir merengut yang sangat menggoda.Melihat cincin pilihannya melingkar pada jari manis sang gadis pujaan hati, membuat pria itu kegirangan. Kevi
Untuk sesaat keduanya membeku di tempat. Tidak ada aksi apa pun selain saling memandang lekat-lekat dengan isi pikiran masing-masing.Lily mereguk saliva karena saat ini tubuhnya hanya tertutupi sehelai handuk putih saja. Ia meremas kain handuk dengan erat, khawatir terjadi hal yang tidak seharusnya.“Maaf, aku lancang ….” Kevin berbalik badan dan menutup pintu.Pria itu bersandar pada pintu sambil mengatur napas. Melihat kemolekan seorang wanita, ditambah memiliki kenangan ranjang membuat nalurinya sebagai lelaki tersulut gairah. Ia ingin menyentuh, membelai dan mengecup setiap jengkal kulit mulus itu. Hanya saja, tidak! Kevin melawan egonya.Pria itu kembali ke kamar. Ia menemani Janeta, dan berupaya menenangkan batita itu.Sedangkan Lily masih berdiri di depan pintu kamar mandi. Namun, napasnya tidak tegang lagi. Ada kelegaan setelah Kevin pergi.“Dia …,” gumam gadis itu sambil mengangguk.Lily menggunakan pakaian serba panjang. Entah mengapa ia teringat pada tatapan Kevin tadi. Set
Beberapa hari berlalu, Lily tampak kesulitan berpamitan dengan Janeta. Gadis itu selalu menahan diri untuk pulang ke peternakan. Pada akhirnya ia menemani Janeta di vila atau rawat jalan ke rumah sakit. Seperti hari ini, Lily mengantar Janeta bertemu dokter.Akan tetapi, gadis itu tidak menduga Kevin datang menjemputnya. Bahkan mereka makan bertiga di restoran.Setelahnya Kevin membawa Lily dan Janeta pulang.“Kamu yakin bisa sendirian? Janeta berat. Biar aku saja yang gendong,” ujar Kevin.“Saya kuat, Pak.” Lily tidak menggubris ucapan Kevin. Gadis itu merengkuh tubuh batita yang terlelap tidur dari jok belakang, menggendongnya dan membawa ke kamar.Dengan hati-hati, Lily membaringkan Janeta, lantas mengecup kening batita itu. Ia tersenyum sambil menatap wajah polos bocah kecil yang agak mirip dengan Vinsensia.“Mama sayang kamu, Janeta,” gumam Lily.Hingga derit pintu terbuka membuat Lily menoleh