Share

Bab 5: Gugatan Cerai?

"Apa Dewa sudah pulang?"

Rosalyn pulang ke vila ketika langit mulai gelap. Langkahnya untuk mengajukan cerai semakin matang setelah mengetahui Dewa menahannya hanya karena alasan ibunya yang sakit.

Jadi, setelah bertemu Vinsensia di hotel wanita itu, Rosalyn mengunjungi pengacaranya untuk mendapatkan surat gugatan.

"Tuan Caldwell belum pulang, Nyonya."

Wajah-wajah pelayan itu menatap Rosalyn dengan wajah khawatir.

Senyum yang biasa muncul di bibirnya yang merah, kini menghilang. Wajahnya pun terlihat pucat dan lelah. Belum lagi, suara wanita itu yang terdengar tidak begitu bersemangat.

Menghela napas panjang, Rosalyn kemudian bergegas ke kamar. Ia berencana pergi malam ini juga.

Tidak lupa, ia menaruh surat gugatan perceraian yang telah ia tanda tangani di atas nakas, agar Dewa mudah menemukannya.

Bukan hanya itu, wanita itu juga mengembalikan seluruh pemberian Dewa, termasuk kartu, juga cincin pernikahan mereka.

Wanita itu hanya membawa sedikit pakaian ke dalam koper kecilnya. Sebelum keluar kamar, ponsel Rosalyn berdering. Mathilda, nama ibu sambungnya tertera di layar.

“Ya Bu?”

[Rosalyn, kenapa uangnya Cuma sedikit? Cepat kirim lagi! Jangan dipakai sendirian!]

“Bu, lima puluh juta itu banyak—“

[Banyak?! Obat ayahmu saja tidak cukup. Kamu pikir semuanya gratis?]

"...." Rosalyn terhenyak seraya meremas ponsel. Ia tidak mungkin menggunakan uang pemberian Dewa lagi. 

[Kenapa diam?! Sudah, cepat minta lagi sama Dewa!]

Rosalyn menggeleng tegas walaupun Mathilda tidak melihatnya.

“Bu, kita harus hemat dan tidak bisa bergantung terus pada Dewa." Rosalyn mengambil napas sejenak, lalu kembali berkata dengan lembut, "Aku dan Dewa sebentar lagi akan bercerai."

[Hah cerai?! Mau jadi apa kamu kalau bercerai dengannya, Rosalyn?! Hidup butuh uang, kalau hanya masalah sepele, anggap saja kamu sedang berkorban demi keluarga.]

Menahan sesak, Rosalyn menjawab dengan suara bergetar, “Dewa memiliki wanita lain Bu, sebentar lagi mereka menikah."

[Kalau dia selingkuh ya biarkan saja. Pria seperti Dewa wajar memiliki mainan di luar rumah!]  

Tubuh Rosalyn gemetar hebat mendengar ucapan Mathilda. Meski hubungan mereka tidak begitu baik, tapi ia berharap kali ini ibunya bisa sedikit berempati. Namun, agaknya tak ada satu pun yang berpihak padanya. 

[Pokoknya, Ibu tidak mau tahu, kirim uang lagi. Sekarang!]

Rosalyn tersentak ketika Mathilda memutus sambungan telepon dengan kasar. 

Ia mengembuskan napas panjang, lalu menatap surat cerai di atas nakas dengan penuh pertimbangan. Haruskah Rosalyn membatalkan gugatan itu dan kembali sebagai istri pajangan?

Namun, semua luka yang ia terima membuat Rosalyn cepat-cepat menggelengkan kepala sambil berlinang air mata. 

"Tidak. Aku tidak akan mundur!" putusnya. Kemudian, Rosalyn menundukkan kepala dan menatap perutnya yang masih rata. "Maafkan Ibu sudah menolak kehadiranmu tadi. Ibu mohon, tetaplah sehat. Hanya kamu yang Ibu punya." 

Setelahnya, ia mantap melangkah keluar vila dengan koper kecilnya. Ditemani tatapan iba para pelayan, Rosalyn memasuki taksi menuju suatu tempat yang ia yakin Dewa tidak akan pernah bisa menemukannya.

**

Beberapa jam setelah Rosalyn pergi, Dewa menginjakkan kaki di vila. Suasana sangat hening dan … mendung. Wajah semua pelayan memerah bahkan beberapa menyeka air mata sembari menyambut kedatangan Tuannya.

“Di mana Rosalyn?” Dewa bertanya kepada seorang pelayan.

“Tuan, Nyonya sudah pergi dari rumah.” Pelayan itu menunduk takut.

Ekspresi wajah Dewa menegang dan memelotot kepada pelayan. Tanpa menunggu lagi, ia melepas jas dan menyerahkannya pada pelayan, sementara ia berlari menuju kamar sembari memanggil nama sang istri.

“Rosalyn!”

Dewa bak kesetanan, ia memanggil nama Rosalyn sembari mengitari seluruh penjuru kamar. Ketika tidak mendapati sang istri di sana, dada pria itu bergemuruh. 

Ia kemudian duduk di ranjang, memijat pelipis dan mengetatkan rahang karena frustrasi.

Saat itulah, manik abu-abu pria itu menyipit kala melihat selembar kertas, kartu hitam serta perhiasan tergeletak di atas nakas.

Ia meraih semuanya, dan menggeram ketika melihat satu berkas yang ditinggalkan Rosalyn.

“Gugatan cerai?!” Dengan lengan kekarnya yang berurat, Dewa merobek surat cerai tersebut. 

Wajah pria itu memerah, marah, sebab ia tidak begitu mengenal sang istri yang ternyata begitu keras kepala akan kemauannya.

"Rosalyn Keller, kamu tidak boleh pergi!" Dengan seluruh koneksi yang ia miliki, pria itu memerintahkan anak buahnya mencari jejak sang istri.

Dewa mengembuskan napas kasar, lalu berbaring di atas ranjang. Ia didera perasaan asing, gabungan kemarahan, juga kehampaan.

Masih teringat jelas, bayang-bayang senyuman wanita itu tiap kali Dewa pulang usai bekerja. Belum lagi, tingkah manja Rosalyn tiap kali wanita itu menggodanya.

Lagi, Dewa mengacak rambutnya, frustrasi. 

Tidak lama, sebuah notifikasi muncul dari ponselnya. Cepat, Dewa membuka email tersebut yang ternyata berisi laporan dari anak buahnya.

Dewa kembali terduduk. Pundak pria itu menegang, kala melihat beberapa dokumentasi foto Rosalyn keluar dari rumah sakit. Butuh penjelasan, ia pun segera menghubungi anak buahnya tersebut.

"Kenapa istriku datang ke rumah sakit? Berikan aku rekam medisnya, sekarang! Temukan Rosalyn secepatnya!"

Dengan uang dan juga kekuasaannya, kurang dari satu jam Dewa telah berhasil mendapatkan rekam medis Rosalyn. 

Namun, mata elang pria itu berubah memerah setelah membaca hasil pemeriksaan sang istri.

Tangan pria itu gemetar cukup hebat, ketika membacanya dengan saksama. “Dia ... hamil?”  

Mata pria dominan itu berkaca-kaca. 

Seharusnya berita itu menjadi momen membahagiakan bagi setiap pasangan. Namun, tidak dengannya yang justru kebingungan.

Sebagai calon ayah, hatinya tersentuh. Namun, sebagai seorang suami, ia marah sebab Rosalyn menyembunyikan kabar besar ini darinya.

Namun, tidak lama ... Perasaan perasaan pria itu seketika menjadi rumit lantaran teringat akan kekasihnya. 

“Bagaimana jika Vinsensia tahu Rosalyn sedang hamil?” gumamnya.

Ada sedikit perasaan khawatir yang ia rasakan. Maka dari itu, ia kembali mencoba menghubungi nomor ponsel istrinya, tetapi masih tidak tersambung.

Diliputi perasaan kalut, malam ini Dewa tidak bisa tidur. Ia menanti Rosalyn berubah pikiran dan kembali ke vila.

Sayangnya, hingga pagi hari Rosalyn tak kunjung pulang, dan keberadaannya tidak diketahui.

Pandangan mata Dewa yang semula gelap tiba-tiba berubah cerah saat pintu kamarnya terdengar diketuk.

Dengan antusias, Dewa membuka pintu dan berkata, "Rosalyn, kamu sudah pulang--"

Nahas, ia harus menelan kecewa. Sebab, bukan Rosalyn yang ada di hadapannya, melainkan pelayan. 

“Maaf Tuan, ada berkas untuk Anda. Tadi sekretaris mengantarnya ke sini.” Pelayan itu mengulurkan map berisi laporan penting.

Dewa langsung meraih berkas tersebut dan menutup pintu kamarnya dengan keras.

Ia langsung membuka berkas tersebut, dan tercengang ketika mendapati laporan jika dua hari yang lalu, Rosalyn sempat bertemu dengan seorang pria dan melamar pekerjaan.

"Fabian??"

Secercah harapan kembali muncul di benak Dewa. Detik itu juga, ia bergegas menuju rumah Fabian yang ia kenal sebagai teman kecil sang istri.

Sayang, akibat tidak fokus dan laju mobilnya yang terlalu kencang, Dewa kehilangan kendali.

Mobil pria itu menabrak pembatas jalan, membuat kepala pria itu terbentur jendela mobil cukup keras.

Darah mengucur dari pelipis pria itu. Sebelum kehilangan kesadaran, Dewa kembali bergumam pilu, "Rosalyn, pulanglah. Maafkan aku."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status