“Rosalyn ….” Dewa memejamkan mata dan berlutut di atas tanah kuburan. Kepalan tangannya bergetar tatkala peti jenazah telah tertutup rapat oleh tanah.Beberapa orang mulai meninggalkan Dewa sendirian di pemakaman, termasuk sanak keluarga.“Maaf,” lirih pria itu sembari menatap kosong ke arah batu nisan.Kedua tangan kekar Dewa meremas kuat rambutnya. Ia menggelengkan kepala menolak kenyataan kejam ini. Tidak pernah terlintas di pikiran Dewa bahwa Rosalyn pergi untuk selamanya.Kini, pria itu hanya bisa menangis dalam diam di atas pusara yang masih basah. Sekelebat bayangan memenuhi kepala, Dewa teringat pertama kali bertemu Rosalyn saat usia wanita itu sembilan belas tahun. Seketika pria itu berteriak lantang, “Argh!”**Senja ini tangisan langit membasahi permukaan bumi. Angin berembus semakin dingin seiring terbenamnya matahari. Dedaunan kering berjatuhan di sepanjang jalan.Seorang pria tertatih menyusuri pematang jalan. Bibir pucat dan badannya yang gemetar menjadi pertanda bahwa
“Masih perlu bukti?” sahut Fabian diiringi tatapan sengit dan mengancam.“Ya.” Dewa berdiri tegak tidak terintimidasi dengan tatapan tajam rivalnya.Fabian memundurkan tubuh lalu keluar dari ruang investigasi. Tidak lama kemudian pria itu kembali dan menarik lengan seorang perawat muda.“Katakan saja jangan takut!” tegas Fabian memerintah perawat itu.Kepala suster menunduk dan badannya gemetar hebat. “Nona itu memberikan saya uang jika berhasil mengeluarkan bayi dari ruang perawatan.”Sedangkan Vinsensia membeliak mendengar penyataan dari bibir suster. Gadis itu langsung meraih lengan kekar Dewa sembari terisak pilu.Sigap Dewa melepaskan tangan Vinsensia dari lengannya. Ekor mata pria itu melirik tajam ke samping dan rahanganya mengetat seakan-akan siap memuntahkan amarah.“Ini namanya Fitnah!” lirih Vinsensia, “A-aku bersumpah tidak melakukannya, Dewa. Mana mungkin menculik anak dari pria yang aku cinta. Lagi pula untuk apa aku menculik bayi itu?”Suster menambahkan, “Saya tidak bo
“Fabian, apa kamu berhasil membawa anak satunya lagi?” tanya seorang wanita dengan sorot mata mengiba.Fabian menggeleng lemah dan mengembus napas dengan kasar. Pria itu menjawab, “Sekarang Dewa mengetahuinya. Sulit bagiku membawa kabur anak itu.”“Baiklah, aku mengerti,” kata wanita itu lalu mengalihkan pandangan ke ruang perawatan. “Kasihan sekali nasibmu, Nak.”Di tengah perbincangan, telepon genggam Fabian berdering. Buru-buru pria itu menerima panggilan suara.“Ya, bagaimana?”[Maaf Tuan Arnold. Kami tidak berhasil mendapatkan CCTV di ruang bayi. Sepertinya perempuan jahat itu dilindungi seseorang.]“Apa pernyataan suster tidak cukup?”[Masalahnya hanya ada satu saksi mata. Itu kurang kuat, apalagi Vinsensia mengelak dan membawa pengacara. Jika di persidangan nanti tidak ada bukti, dia pasti bebas tanpa syarat.]Fabian mendesah lelah, karena sulitnya menangkap Vinsensia sebab gadis itu sangat licin dan memiliki beragam cara untuk berkelit.“Ya sudah, kita berusaha saja dulu.”**
“Aduh … seharusnya kamu minta maaf bukan mengomel kaya gini.” Brahma memungut botol minum dari atas rumput.“Maafnya bisa nanti engga? Sekarang kamu bantu aku sembunyi, ayo!”“Hey, aku engga mau! Nanti orang tua kamu marah.” Brahma cemberut karena tangannya ditarik secara paksa. “Kamu ‘kan anak perempuan seharusnya lembut bukan kasar begini.”Sejenak Brahma merasa gadis cantik di depannya mirip dengan seseorang.Gadis kecil itu menempelkan jari telunjuk pada bibir lalu menatap horror ke suatu tempat. Bahkan anak itu memaksa Brahma bersembunyi di balik semak-semak. Rambut pigtail-nya menyapu hidung mancung Brahma sehingga bersin-bersin.Buru-buru gadis itu membekap mulut Brahma. “Jangan berisik ya. Nanti ketahuan.”“Ketahuan siapa?” bisik Brahma.Bibir tipis gadis itu menekuk lalu jari telunjuknya menunjuk lurus pada beberapa orang berpakaian serba hitam.Seolah mengerti isi pikiran Brahma, gadis itu menggelengkan kepala. “Mereka bukan penculik tapi pengawalku. Satu lagi, mamaku ada di
“Rosalyn?!” panggil Dewa, suaranya lirih di tengah kesunyian malam dan redupnya cahaya lampu.Seketika pria itu membuka kelopak mata dan mengedarkan pandangan ke penjuru griya tawang. Ia memijat pelipis lalu tersenyum kecut sebab Rosalyn … tidak ada di sampingnya.“Aku mimpi kamu lagi,” lirih Dewa sembari membenarkan posisi duduk. Ia menyandarkan punggung dan mentap kosong ke luar dinding kaca.Saat ini belahan bumi utara sedang musim gugur. Netra Dewa menjadi lembap tatkala mengenang tentang Rosalyn pada peristiwa lima tahun lalu. Ia menghirup udara yang terasa sesak setiap memasuki paru-paru.Dewa berdiri hendak mengambil segelas air putih untuk melegakan perih pada kerongkongannya. Tiba-tiba saja ia menoleh ke arah tangga dan berjalan tergesa-gesa menghampiri anak tangga paling akhir. Benar saja putri kecilnya terbangun dan terjatuh sambil memeluk boneka beruang putih.“Sakit, Pa.” Sepasang manik jernih mengeluarkan lelehan bening.Dewa mensejajarkan tubuh dengan putrinya lantas me
“Bagaimana persiapan acaranya?” Rosalyn menggulir layar tablet dan mengamati setiap laporan yang diberikan.“Sesuai perintah Nona Schmid,” tutur seorang asisten muda yang duduk di depan Rosalyn.“Lily setelah acara peresmian toko, apa aku memiliki jadwal penting lainnya?” Rosalyn mengangkat kepala dan iris hazelnya mengalihkan fokus dari tablet kepada asisten pribadi.Lily mengiakan kemudian menggulir layar tablet di atas pangkuannya. Ketika asisten itu hendak menunjukkan beberapa jadwal pertemuan Rosalyn bersama pimpinan perusahaan asing, pintu limousine terbuka.Seorang pengawal mempersilakan Rosalyn turun dari mobil. “Silakan Nona Schmid.”Rosalyn menanggapi dengan anggukan kecil, lalu menoleh pada asistennya. “Lily, nanti saja ya. Sekarang kita selesaikan dulu acaranya.”Sebelum keluar, ia mengenakan kacamata hitam dan masker untuk menutupi detail wajahnya.Kaki jenjang terbingkai stiletto putih terayun anggun keluar dari mobil. Disusul tubuh ramping dibalut setelan kerja berwarna
“Tunggu! Apa kita saling kenal?” Suara tegas ini membuat Rosalyn membeku dan kesulitan melangkah.Meskipun sudah lima tahun berlalu Rosalyn tidak melupakan suara khas seseorang itu. Ia menolehkan kepala dan … benar saja dugaannya. Seketika netra hazelnya memandang lekat iris abu-abu.‘Kenapa Dewa ada di sini?’ batin Rosalyn.“Nona, apa—”“Tuan, Anda salah orang. Saya permisi.” Jemari berkuku cantik itu berhasil melepas cengkeraman tangan Dewa. Tidak sulit, sebab Rosalyn yakin sang suami memusatkan atensi pada suaranya. Ia berharap Dewa tidak mengetahui identitasnya yang baru.Rosalyn berlari meninggalkan Dewa yang tertegun di tempat. Wanita itu masuk ke dalam mobil lalu memerintah sopir mengantar ke rumah sakit.**Sekarang Dewa sedang duduk gelisah di ruang tamu Bma Hardware.“Dia … siapa? Tidak mungkin Rosalyn!” gumam Dewa.Meskipun berada di ambang kebingungan tetapi lubuk hati Dewa merasakan euforia. Bahkan naluri lelakinya menjadi bergairah setelah bertemu dengan wanita itu.“Pak,
“Aku bisa!” gumam Rosalyn di sepanjang perjalanan menuju toko peralatan rumah tangga miliknya. Meskipun berkata tidak peduli lagi pada Dewa, tetapi saat ini detak jatungnya berpacu sangat cepat. Selain itu otaknya melepas hormon adrenalin yang mengalir deras ke sekujur tubuh.Dalam sekejap mobil yang ditumpangi Rosalyn tiba di area parkir toko. Rosalyn mengangguk sungkan ketika para wartawan melontarkan kata-kata pujian dan memotretnya. Kemudian ia bergegas menuju ruang kerja.Sebelum membuka pintu, Rosalyn menarik napas dan mengembuskan secara perlahan, Momen ini sangat menegangkan dan ia tidak boleh salah mengambil sikap. Jika gagal, dapat dipastikan Dewa mencari masalah dikemudian hari.Pintu ruangan terbuka. Sepsang kaki dengan stiletto putih melangkah anggun mendekati seorang pria yang duduk membelakangi pintu. Sesaat Rosalyn mengamati penampilan suaminya yang jauh berbeda, Dewa tidak merawat diri seperti lima tahun lalu.Rosalyn mengempas ingatan masa kelam lalu mereguk saliva ke