“Bisa lepaskan aku sebentar?” Rosalyn menyeka peluh yang mengucur dari kening. Ia juga mendorong dada bidang berambut halus dengan pelan.“Memangnya kamu mau ke mana? Jangan pergi Rosalyn.” Dewa mempertontonkan wajah memelas.Senyum manis mengembang, paras cantik Rosalyn kian memesona ditambah rona merah pada pipi membuat Dewa tak henti memandangnya. Wanita itu berkata lemah lembut, “Baiklah. Fabian juga mau pergi sendirian. Hari ini aku di rumah saja, kebetulan ada meeting daring.” Sementara di lain tempat, seorang pria tampan berambut cepak sedang mondar-mandir dalam ruang kerja. Sedari tadi tidak fokus bekerja, bahkan salah membubuhkan tanda tangan.Ia menghembus napas kasar lantas melepas dua kancing kemeja dan mengempas bokong pada kursi kerja. Sepuluh jemarinya disatukan menjadi penopang dagu yang bersih tanpa rambut halus.“Kurang ajar Dewa!” geramnya.Ketukan pintu dari luar mengambil perhatian, Fabian menoleh dan mengizinkan orang itu masuk. Asistennya memberitahu telah memb
“Apa-apaan ini?!” Rosalyn membeliak menatap dua orang pria di depannya.Perempuan cantik pemilik perusahaan furniture itu menolehkan kepala mengamati situasi. Rosalyn khawatir anak-anak bangun dan melihat kondisi memalukan ini.“Fabian mabuk, Sayang. Aku tidak mungkin bawa dia pulang ke Mansion Arnold.” Dewa meringis sambil memegangi pinggang rival, lebih tepatnya mantan pesaing.Tadi setelah menghabiskan beberapa cangkir kopi dan sesi curhat antar pria, Dewa pikir teman kecil Rosalyn itu akan pulang. Rupanya Fabian berjalan kaki, sempat duduk di trotoar lalu menyambangi kelab.Khawatir terjadi sesuatu pada Fabian, Dewa mengurungkan niat pulang lebih awal. Ia mengikuti pria putus asa itu lalu mengawasi dari jarak jauh. Setelah Fabian jatuh pingsan, barulah ia membawa ke Vila Caldwell.“Apa yang harus kulakukan?” racau Fabian.“Kalau melihat keadaan Fabian sehancur ini, bisa-bisa penyakit Bibi Feli kumat lagi.” Dewa menghempas tubuh Fabian ke atas sofa.“Cepat bawa dia ke kamar tamu! Ja
“Apa Pak Dewa tidak ada di vila?” Anna memindai penjuru Vila Caldwell.Gadis itu trauma menginjakkan kaki di hunian megah, tapi hari ini Anna mengulang lagi. Padahal sepuluh hari lalu ia bertekad tidak ingin ikut andil dalam kehidupan orang-orang kaya.“Ya suamiku sedang perjalanan bisnis ke Interlaken. Besok malam atau lusa baru pulang. Kamu tenang saja.” Rosalyn mengelus pelan bahu Anna yang menggunakan baju kerah sabrina.Susah payah Rosalyn membujuk Anna supaya ikut ke Kota Zurich. Ia terpaksa mengatakan dusta pada temannya tentang keberadaan Dewa. Tadi sesampainya di vila, Anna membersihkan diri dan makan malam berdua bersama Rosalyn.Tanpa sepengetahuan Anna, sedari tadi Rosalyn diam-diam bertukar pesan dengan suami. Ia bertanya di mana posisi Dewa dan Fabian. Senyum manis terbit ketika pria itu mengirim gambar Fabian sedang menggunakan jas.“Tapi kenapa anak-anak tidak ada?” Anna celingukan, sebab tidak biasanya berkunjung dalam keadaan sepi seperti kuburan.Bahkan pelayan di vi
“Lepaskan saya, Pak!” Anna mendorong kuat tubuh Fabian sampai pria itu mundur beberapa langkah.Tidak kehilangan akal, Anna berlari menuju jendela. Gadis itu tidak peduli walau harus memecah kaca. Ia bisa mengganti rugi pada Rosalyn nanti.Ketika Anna hendak melemparkan tas ranselnya, detik itu juga Fabian memeluk erat dari belakang. Tangan lebar pria itu melingkari perut rata Anna.Fabian bergumam, “Anna, aku minta maaf.”“Maaf Anda saya terima. Tapi saya tidak bisa memaafkan!” tegas Anna sambil meronta-ronta.Ia berhasil melepaskan diri dari Fabian. Sial, listrik di vila mendadak padam. Anna terpekik karena kaget tetapi berhasil menguasai diri hingga akhirnya ia menyalakan senter pada ponsel.“Tolong Pak Fabian jangan ganggu saya lagi. Jika ingin bermain-main, Anda salah orang!” Anna tidak gentar untuk melarikan diri.Kaca jendela pun pecah, Anna bergegas meninggalkan vila terkutuk. Ia tidak peduli lagi dengan Rosalyn serta kerugian atas kerusakan ini. Anggap saja orang-orang kaya i
“Papa cepat dong lama banget!” “Ayo Pa! Aku engga mau terlambat.” Suara dua anak saling bersahutan, tidak hanya mulut yang bersisik tetapi tangan mereka mengetuk pintu sejak sepuluh menit lalu. Belum ada respon apa pun dari kedua orang tuanya yang mengurung diri dalam kamar, membuat Brahma dan Arimbi mengomel. “Papa dan Mama lama banget sih, Kak.” Arimbi bertolak pinggang. Brahma menggeleng kepala sambil menatap geram pada pintu yang tertutup rapat. “Aku juga engga tahu. Jangan-jangan—” Arimbi menyela, “Ada apa Kak?” “Mama sakit! Dan Papa engga kasih tahu karena takut kita sedih,” pekik Brahma. Wajah galak anak laki-laki itu berubah sendu membayangkan Rosalyn tergolek lemah tidak berdaya. Dugaan Brahma benar! Rosalyn berbaring tidak berdaya tetapi bukan di atas kasur, melainkan meja kaca dalam ruang pakaian. Ya, pagi ini sepasang suami istri berbagi peluh dan saling melenguhkan nama belahan jiwa. Tentu saja ide gila ini tercetus dari seorang Dewa. Menilik pengalaman sebelumnya,
Bagi Roslayn pertemuan ini terasa canggung padahal ia telah mengenal nenek dari suaminya. Bersama dengan Dewa, keduanya menghampiri wanita senja itu lalu mencium punggung tangan.“Ne—”Belum sempat Dewa bicara, Ajeng memukuli punggung cucunya dengan keras. Dewa meringis kesakitan, tetapi malaikat penolong ada di sampingnya. Sigap Rosalyn menahan kedua tangan Nenek dan melindungi sang suami.“Nenek jangan lakukan itu. Di sini ada anak-anak, dan … punggung Dewa masih sakit paska operasi.” Suara lemah lembut Rosalyn membuat Ajeng tenang lalu Dewa bersembunyi di balik punggung istri.Pria itu menyembulkan kepala menatap wajah keriput sang nenek. Kesempatan ini tidak disia-siakan, Dewa bersandar pada bahu Rosalyn.“Seharusnya aku memukul kepalanya bukan punggung. Kamu juga jangan membela laki-laki nakal itu lagi! Biarkan dia menerima hukuman!” cerca Ajeng sambil mengacungkan jari.“Nenek, jan
“Anna?” Fabian menatap ruang kosong dengan perasaan hampa.Pria itu pun menunggu selama beberapa menit. Kecemasan dalam rongga dada semakin menjadi kala Anna tidak muncul setelah belasan menit dan nomor telepon gadis itu tidak aktif.“Ke mana perginya?” gumam Fabian.Ia memerintah asisten pribadi untuk membayar tagihan restoran lalu pergi menuju rumah Anna. Sesampainya di hunian sederhana, Fabian menghela napas lega melihat gadis pilihan hatinya baru saja menerima paket yang dikirim kurir.Gegas Fabian turun dari mobil dan setengah berteriak, “Anna!”Seketika Anna menoleh dan terkejut, mantan bosnya itu mengikuti pulang ke sini.“Ada apa lagi, Pak?”“Kenapa kamu pergi tanpa pamit?” tegas Fabian.“Bukankah Pak Fabian juga pergi tanpa pamit. Saya pikir daripada memaksakan diri saling mengenal lebih baik menjauh saja.” Anna tersenyum kecut.“Siapa
“Kalau kamu seperti ini, bagaimana Anna bisa percaya?!” seru Dewa seraya menghunuskan tatapan setajam elang pada Fabian yang duduk di sofa besar.Paska mendengar kabar kurang mengenakan dari Fabian, sebenarnya Dewa malas pulang. Akan tetapi Rosalyn memaksa, alhasil ia tidak dapat menolak permintaan bidadari hati.Sekarang Fabian ada di vilanya. Pria itu duduk sambil memeluk bantal sofa.“Ya, tapi masalahnya—”Belum sempat Fabian menyelesaikan ucapannya, Dewa kembali menyela, “Masalahnya ada pada dirimu! Sudahlah tidak ada alasan lagi, sekarang temui Anna!”Fabian menghela napas melihat Dewa berjalan mondar-mandir di depannya. Suami dari Rosalyn Keller ini seolah sedang menggurui masalah percintaan. Ya memang, Dewa jauh lebih berpengalaman dibanding Fabian.Lagi, percakapan ini terdistraksi ketika Rosalyn datang sambil membawa kopi dan camilan. Fabian mengatup rapat mulut.Berbeda dengan Dewa yang terus mengomel seakan tenggorokannya tidak kekeringan. Ia seperti seorang ayah yang memar