“Apa-apaan ini?!” Rosalyn membeliak menatap dua orang pria di depannya.Perempuan cantik pemilik perusahaan furniture itu menolehkan kepala mengamati situasi. Rosalyn khawatir anak-anak bangun dan melihat kondisi memalukan ini.“Fabian mabuk, Sayang. Aku tidak mungkin bawa dia pulang ke Mansion Arnold.” Dewa meringis sambil memegangi pinggang rival, lebih tepatnya mantan pesaing.Tadi setelah menghabiskan beberapa cangkir kopi dan sesi curhat antar pria, Dewa pikir teman kecil Rosalyn itu akan pulang. Rupanya Fabian berjalan kaki, sempat duduk di trotoar lalu menyambangi kelab.Khawatir terjadi sesuatu pada Fabian, Dewa mengurungkan niat pulang lebih awal. Ia mengikuti pria putus asa itu lalu mengawasi dari jarak jauh. Setelah Fabian jatuh pingsan, barulah ia membawa ke Vila Caldwell.“Apa yang harus kulakukan?” racau Fabian.“Kalau melihat keadaan Fabian sehancur ini, bisa-bisa penyakit Bibi Feli kumat lagi.” Dewa menghempas tubuh Fabian ke atas sofa.“Cepat bawa dia ke kamar tamu! Ja
“Apa Pak Dewa tidak ada di vila?” Anna memindai penjuru Vila Caldwell.Gadis itu trauma menginjakkan kaki di hunian megah, tapi hari ini Anna mengulang lagi. Padahal sepuluh hari lalu ia bertekad tidak ingin ikut andil dalam kehidupan orang-orang kaya.“Ya suamiku sedang perjalanan bisnis ke Interlaken. Besok malam atau lusa baru pulang. Kamu tenang saja.” Rosalyn mengelus pelan bahu Anna yang menggunakan baju kerah sabrina.Susah payah Rosalyn membujuk Anna supaya ikut ke Kota Zurich. Ia terpaksa mengatakan dusta pada temannya tentang keberadaan Dewa. Tadi sesampainya di vila, Anna membersihkan diri dan makan malam berdua bersama Rosalyn.Tanpa sepengetahuan Anna, sedari tadi Rosalyn diam-diam bertukar pesan dengan suami. Ia bertanya di mana posisi Dewa dan Fabian. Senyum manis terbit ketika pria itu mengirim gambar Fabian sedang menggunakan jas.“Tapi kenapa anak-anak tidak ada?” Anna celingukan, sebab tidak biasanya berkunjung dalam keadaan sepi seperti kuburan.Bahkan pelayan di vi
“Lepaskan saya, Pak!” Anna mendorong kuat tubuh Fabian sampai pria itu mundur beberapa langkah.Tidak kehilangan akal, Anna berlari menuju jendela. Gadis itu tidak peduli walau harus memecah kaca. Ia bisa mengganti rugi pada Rosalyn nanti.Ketika Anna hendak melemparkan tas ranselnya, detik itu juga Fabian memeluk erat dari belakang. Tangan lebar pria itu melingkari perut rata Anna.Fabian bergumam, “Anna, aku minta maaf.”“Maaf Anda saya terima. Tapi saya tidak bisa memaafkan!” tegas Anna sambil meronta-ronta.Ia berhasil melepaskan diri dari Fabian. Sial, listrik di vila mendadak padam. Anna terpekik karena kaget tetapi berhasil menguasai diri hingga akhirnya ia menyalakan senter pada ponsel.“Tolong Pak Fabian jangan ganggu saya lagi. Jika ingin bermain-main, Anda salah orang!” Anna tidak gentar untuk melarikan diri.Kaca jendela pun pecah, Anna bergegas meninggalkan vila terkutuk. Ia tidak peduli lagi dengan Rosalyn serta kerugian atas kerusakan ini. Anggap saja orang-orang kaya i
“Papa cepat dong lama banget!” “Ayo Pa! Aku engga mau terlambat.” Suara dua anak saling bersahutan, tidak hanya mulut yang bersisik tetapi tangan mereka mengetuk pintu sejak sepuluh menit lalu. Belum ada respon apa pun dari kedua orang tuanya yang mengurung diri dalam kamar, membuat Brahma dan Arimbi mengomel. “Papa dan Mama lama banget sih, Kak.” Arimbi bertolak pinggang. Brahma menggeleng kepala sambil menatap geram pada pintu yang tertutup rapat. “Aku juga engga tahu. Jangan-jangan—” Arimbi menyela, “Ada apa Kak?” “Mama sakit! Dan Papa engga kasih tahu karena takut kita sedih,” pekik Brahma. Wajah galak anak laki-laki itu berubah sendu membayangkan Rosalyn tergolek lemah tidak berdaya. Dugaan Brahma benar! Rosalyn berbaring tidak berdaya tetapi bukan di atas kasur, melainkan meja kaca dalam ruang pakaian. Ya, pagi ini sepasang suami istri berbagi peluh dan saling melenguhkan nama belahan jiwa. Tentu saja ide gila ini tercetus dari seorang Dewa. Menilik pengalaman sebelumnya,
Bagi Roslayn pertemuan ini terasa canggung padahal ia telah mengenal nenek dari suaminya. Bersama dengan Dewa, keduanya menghampiri wanita senja itu lalu mencium punggung tangan.“Ne—”Belum sempat Dewa bicara, Ajeng memukuli punggung cucunya dengan keras. Dewa meringis kesakitan, tetapi malaikat penolong ada di sampingnya. Sigap Rosalyn menahan kedua tangan Nenek dan melindungi sang suami.“Nenek jangan lakukan itu. Di sini ada anak-anak, dan … punggung Dewa masih sakit paska operasi.” Suara lemah lembut Rosalyn membuat Ajeng tenang lalu Dewa bersembunyi di balik punggung istri.Pria itu menyembulkan kepala menatap wajah keriput sang nenek. Kesempatan ini tidak disia-siakan, Dewa bersandar pada bahu Rosalyn.“Seharusnya aku memukul kepalanya bukan punggung. Kamu juga jangan membela laki-laki nakal itu lagi! Biarkan dia menerima hukuman!” cerca Ajeng sambil mengacungkan jari.“Nenek, jan
“Anna?” Fabian menatap ruang kosong dengan perasaan hampa.Pria itu pun menunggu selama beberapa menit. Kecemasan dalam rongga dada semakin menjadi kala Anna tidak muncul setelah belasan menit dan nomor telepon gadis itu tidak aktif.“Ke mana perginya?” gumam Fabian.Ia memerintah asisten pribadi untuk membayar tagihan restoran lalu pergi menuju rumah Anna. Sesampainya di hunian sederhana, Fabian menghela napas lega melihat gadis pilihan hatinya baru saja menerima paket yang dikirim kurir.Gegas Fabian turun dari mobil dan setengah berteriak, “Anna!”Seketika Anna menoleh dan terkejut, mantan bosnya itu mengikuti pulang ke sini.“Ada apa lagi, Pak?”“Kenapa kamu pergi tanpa pamit?” tegas Fabian.“Bukankah Pak Fabian juga pergi tanpa pamit. Saya pikir daripada memaksakan diri saling mengenal lebih baik menjauh saja.” Anna tersenyum kecut.“Siapa
“Kalau kamu seperti ini, bagaimana Anna bisa percaya?!” seru Dewa seraya menghunuskan tatapan setajam elang pada Fabian yang duduk di sofa besar.Paska mendengar kabar kurang mengenakan dari Fabian, sebenarnya Dewa malas pulang. Akan tetapi Rosalyn memaksa, alhasil ia tidak dapat menolak permintaan bidadari hati.Sekarang Fabian ada di vilanya. Pria itu duduk sambil memeluk bantal sofa.“Ya, tapi masalahnya—”Belum sempat Fabian menyelesaikan ucapannya, Dewa kembali menyela, “Masalahnya ada pada dirimu! Sudahlah tidak ada alasan lagi, sekarang temui Anna!”Fabian menghela napas melihat Dewa berjalan mondar-mandir di depannya. Suami dari Rosalyn Keller ini seolah sedang menggurui masalah percintaan. Ya memang, Dewa jauh lebih berpengalaman dibanding Fabian.Lagi, percakapan ini terdistraksi ketika Rosalyn datang sambil membawa kopi dan camilan. Fabian mengatup rapat mulut.Berbeda dengan Dewa yang terus mengomel seakan tenggorokannya tidak kekeringan. Ia seperti seorang ayah yang memar
Tubuh Rosalyn menegang mendengar nama itu, tangannya mengepal dan jantungnya terasa diremas kuat. Ia ingin bertanya mengapa Dewa masih mengenang mantan kekasih, tetapi lidahnya terasa kelu dan mulut terkatup rapat.“Sayang?” Dewa menoleh ke samping dan memperhatikan raut wajah suram dari paras cantik. “Jangan salah paham,” sambungnya.“Apa maksudnya?” Suara Rosalyn bergelombang.“Duduk dulu, oke!” Dewa menarik pelan pergelangan tangan Rosalyn, tetapi wanita itu buru-buru menariknya. Ia menghela napas karena melakukan kesalahan besar, pikir Dewa sudah pasti sang istri cemburu.Pada akhirnya Dewa tidak memaksa, membiarkan Rosalyn menjauh dan duduk di sofa yang berseberangan dengan ranjang.Sedangkan Rosalyn menatap tajam wajah suami. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Dewa tahu apa yang tengah dirasakan oleh wanita itu.“Aku mimpi.”“Iya aku tahu. Mimpi mantan terindah bukan? Bagaimana kabarnya?”Dewa menghela napas mendengar deret pertanyaan bernada cemburu. Biasanya ia senang, tetap
“Bagaimana kondisi Lily, Kak?” tanya Rosalyn sesampainya di rumah sakit.“Air ketubannya pecah. Dia kesakitan.” Kevin tampak gelisah, pria itu masih mengenakan piama dan menutupi tubuh dengan selimut.Rosalyn menuntun Kevin supaya duduk di bangku logam depan ruang bersalin. “Kita berdoa saja semoga Lily dan bayinya selamat.”Ketiga orang itu menanti dengan gelisah. Setelah hampir setengah jam berjalan, seorang dokter menghampiri Kevin dan menjelaskan, “Bayi Nyonya Lily sebentar lagi lahir, jika suaminya ingin melihat proses persalinan, kami persilakan.”Kevin menggeleng. Justru ia mendorong Rosalyn supaya menemani Lily di dalam sana. Sebagai wanita yang pernah melahirkan, ia mencebik melihat dua pria duduk gelisah di kursi. Ia pun mendampingi Lily di ruang bersalin.Rosalyn segera menggenggam tangan iparnya. Lily sedang kesakitan setelah pembukaan jalan lahir melebar sempurna.“Semangat Lily, kamu pasti bisa,” bisik Rosalyn diangguki iparnya.Dengan bimbingan dokter spesialis kandungan
“Kenapa, Bro?” sapa Fabian sambil menyodorkan sekaleng minuman. “Orang bilang ini bagus dan tahan lama,” kata pria itu.Dewa memelotot dan menyambar kaleng, lalu membuangnya ke tempat sampah.“Tidak butuh!” sentak Dewa dengan tatapan menghunus tajam.Fabian menepuk bahu temannya dan berujar, “Jangan marah-marah, kamu bisa darah tinggi!”Dewa mendengkus kasar, baginya kalimat Fabian bukan menenangkan melainkan sebuah ejekan. Pria itu menepis kasar tangan temannya, lalu berjalan mencari Rosalyn ke dalam mansion.Pagi ini, keluarga kecil itu sengaja mengunjungi Mansion Arnold. Tentu saja, karena Tuan Jack dan Feli menitipkan beberapa hadiah untuk Lily dan calon bayinya.Akan tetapi, kening Dewa mengerut dalam ketika melihat Rosalyn berjalan sendirian tanpa keempat anak mereka.“Di mana Brahma, Arimbi, Devendra dan Daneswara?” tanya Dewa dengan tatapan menyelidik.Mendengar pertanyaan itu tentunya Rosalyn mengulum senyum. Ah, ia memang sengaja menyiapkan kejutan istimewa ini untuk suami p
“Halo, Sayang … Papa datang. Janeta sudah mandi, ya? Harum banget.” Kevin menggendong putri kecilnya yang menyambut di balik pintu. Pria itu menciumi puncak kepala Janeta dan mengayun tubuhnya, membuat putri kecil tertawa riang. Namun, di ujung lorong, seorang wanita sedang cemberut menatap ke arah Kevin.“Terima ka—” Ucapan Kevin menggantung karena wanita itu melengos saja ke dapur tanpa mengelurkan sepatah kata.Kevin menurunkan tubuh Janeta dan membiarkannya bermain, lalu ia menyusul pujaan hati yang entah kenapa memasang wajah ketus.“Kamu kenapa?” tanya Kevin.“Menurutmu, kenapa?” ketusnya.“Aku tidak tahu, Lily. Ayo, bilang,” ucap Kevin lagi.Lily menatap tajam ke arah Kevin dan berujar, “Aku bosan seharian di rumah. Aku ini biasa kerja, bukan diam di rumah. Apalagi … ka-mu lebih memperhatikan Janeta dibanding aku.” Pascadinyatakan hamil, Lily diberhentikan oleh Dewa. Wanita itu pun ikut tinggal di Milan. Dia tidak lagi sibuk mengurusi peternakan, karena Dewa berhasil mencari
“Astaga apa-apaan mereka ini?!” geram Fabian. Ia menatap layar ponsel yang tidak berhenti berpendar sedari tadi. Itu bukan masalah pekerjaan kantor, tetapi … masalah rumah tangga, terutama ranjang. Demi kelangsungan masa depannya. Meskipun sudah mengetahui isinya, tetap saja Kevin mengintip melalui pop up. Dia terbelalak ketika satu pesan kembali masuk dari adik ipar. [Tutorial posisi hubungan intim untuk memiliki keturunan secepatnya.] “Dia pikir aku pria polos? Aku ini lebih berpengalaman darinya!” Kevin melempar telepon genggam ke atas sofa, lantas berdiri sambil memandangi foto pernikahan di atas meja. Lagi, Kevin tetap membaca pesan adik iparnya. Sebagai seorang pria berpengalaman, tentu saja posisi itu tidak asing lagi. Ia pun mereguk saliva, pikirannya berfantasi liar membayangkan Lily. Gairah pria itu tersulut. Hanya saja, ia bingung menyalurkannya, sebab Lily tidak ada di sini. Pasangan itu menjalani hubungan jarak jauh. Terpaksa Kevin bertahan sampai Dewa menemukan p
“Kevin … anakku apa kabar? Ibu selalu menunggumu setiap hari, Nak. Kenapa baru datang sekarang?” berondong Mathilda dari balik partisi kaca tebal.Wanita paruh baya itu menempelkan tangannya pada penghalang, lalu menggerakkan jemari—seolah membelai pipi putra tunggalnya.“Aku datang ke sini ada perlu. Kuharap Ibu menerimanya,” kata Kevin dengan intonasi dingin dan ekspresi datar.Mathilda mengangguk dan menyahut penuh kasih, “Pasti, Nak. Ibu menerima apa pun yang terbaik untukmu.”Kulit keriput Mathilda tertarik ke atas, ia tersenyum merekah sambil meneteskan bulir bening.Lebih dari semenit keduanya terdiam saling memandangi. Entah apa yang dipikirkan kedua orang itu. Hanya saja Mathila tidak menjauhkan tangannya dari kaca tebal. Kevin pun bisa melihat tangan ibunya berkeringat.“Aku sudah menikah.”Sorot mata Mathilda berbinar. “Benarkah? Siapa gadis beruntung itu? B
“I-ini masih siang,” gugup Lily. Perempuan itu mengedarkan pandangan ke penjuru kamar. Ada ranjang besar yang disiapkan khusus pengantin baru, sofa panjang serta meja kaca dan cermin besar menggantung di depannya. Sekilas, ini kamar hotel pada umumnya. Namun, Lily dibuat asing dengan status baru ini.Sejak masuk kamar, Kevin memeluk erat tubuh sang istri dari belakang. Pria itu menggesek puncak hidungnya pada tengkuk harum. “Memangnya kenapa kalau siang? Bukahkah itu bagus, kita bisa menikmati siang dan malam di hari yang sama?” Lily mereguk saliva. Walaupun bukan pengalaman pertama berhubungan intim, tetapi … ini pertama kali bersama pria berstatus sebagai suami.“Tapi—”Ucapan Lily tertahan karena Kevin memutar tubuh wanita itu dengan cepat. “Tidak ada tapi. Kamu milikku sekarang dan selamanya.” Lily hendak menunduk, tetapi Kevin mencegahnya. Pria itu menahan dagu sang istri, lalu meraup bibir tipis yang ia rinduka
Kevin menghela napas melihat tanggapan Lily. Haruskan ia menyerah dan tenggelam ke dasar lautan patah hati? Ya, mungkin … karena ini bukanlah kali pertama gadis itu menolaknya. Pria itu menarik tangannya. Namun ….“Cincinya kebesaran. Enggak sesuai ukuran jariku,” kata gadis itu menggunakan bahasa informal . Lily mengulurkan tangan kanan, yang menampilkan jemari ramping dan mungil.Seketika Kevin memperhatikan jemari gadis itu, dan pikirannya mencerna maksud ucapan Lily barusan. Bagi seorang pria, tentunya ini merupakan teka-teki. “Umm … maksudmu?” Alis tebal Kevin terangkat.Lily tersenyum jengah mendengar pertanyaan itu. Tanpa banyak bicara, gadis itu mengambil cincin dari tangan Kevin, lalu menyematkan sendiri pada jari manisnya.“Ini kebesaran, lihat bukan?” keluh gadis itu dengan bibir merengut yang sangat menggoda.Melihat cincin pilihannya melingkar pada jari manis sang gadis pujaan hati, membuat pria itu kegirangan. Kevi
Untuk sesaat keduanya membeku di tempat. Tidak ada aksi apa pun selain saling memandang lekat-lekat dengan isi pikiran masing-masing.Lily mereguk saliva karena saat ini tubuhnya hanya tertutupi sehelai handuk putih saja. Ia meremas kain handuk dengan erat, khawatir terjadi hal yang tidak seharusnya.“Maaf, aku lancang ….” Kevin berbalik badan dan menutup pintu.Pria itu bersandar pada pintu sambil mengatur napas. Melihat kemolekan seorang wanita, ditambah memiliki kenangan ranjang membuat nalurinya sebagai lelaki tersulut gairah. Ia ingin menyentuh, membelai dan mengecup setiap jengkal kulit mulus itu. Hanya saja, tidak! Kevin melawan egonya.Pria itu kembali ke kamar. Ia menemani Janeta, dan berupaya menenangkan batita itu.Sedangkan Lily masih berdiri di depan pintu kamar mandi. Namun, napasnya tidak tegang lagi. Ada kelegaan setelah Kevin pergi.“Dia …,” gumam gadis itu sambil mengangguk.Lily menggunakan pakaian serba panjang. Entah mengapa ia teringat pada tatapan Kevin tadi. Set
Beberapa hari berlalu, Lily tampak kesulitan berpamitan dengan Janeta. Gadis itu selalu menahan diri untuk pulang ke peternakan. Pada akhirnya ia menemani Janeta di vila atau rawat jalan ke rumah sakit. Seperti hari ini, Lily mengantar Janeta bertemu dokter.Akan tetapi, gadis itu tidak menduga Kevin datang menjemputnya. Bahkan mereka makan bertiga di restoran.Setelahnya Kevin membawa Lily dan Janeta pulang.“Kamu yakin bisa sendirian? Janeta berat. Biar aku saja yang gendong,” ujar Kevin.“Saya kuat, Pak.” Lily tidak menggubris ucapan Kevin. Gadis itu merengkuh tubuh batita yang terlelap tidur dari jok belakang, menggendongnya dan membawa ke kamar.Dengan hati-hati, Lily membaringkan Janeta, lantas mengecup kening batita itu. Ia tersenyum sambil menatap wajah polos bocah kecil yang agak mirip dengan Vinsensia.“Mama sayang kamu, Janeta,” gumam Lily.Hingga derit pintu terbuka membuat Lily menoleh