Pagi Akak ... Siapa ya yang dilihat Rosalyn?
Rosalyn membeku tepat di depan pintu. Ia mengedip-ngedipkan kelopaknya dengan lembut. Tiba-tiba matanya berair dan lelehan hangat mengalir menuruni pipi.“Ka-kamu?” tanyanya terbata.Ketika sosok itu berjalan mendekat ke arahnya, ia terus terpaku memandangi wajah tampan yang menjadi idola sejak kecil.“Di mana alamat rumah sakit Ibu?” Suara dingin itu terkesan menusuk tetapi merambat hangat bagi Rosalyn.Telapak tangan Rosalyn menunjuk pintu di belakang punggungnya. Ia bertutur dengan suara bergelombang, “Kakak mau masuk dulu?”“Berikan alamat rumah sakitnya! Cepat!” titah Kevin.Rosalyn mengangguk lantas kembali masuk dalam kamar. Ia menuliskan alamat lengkap rumah sakit Mathilda berikut nomor ruangan pada secarik kertas. Ia juga memberikan nomor ponsel Felix sebagai penanggung jawab sang ibu.Ketika Rosalyn keluar, di depan pintu sudah ada Dewa dan Kevin. Keduanya berdiri sembari bersandar pada dinding. Tidak ada perbincangan akrab selayaknya keluarga di antara mereka, yang tercipta
Seusai mengunjungi Mathilda di pusat medis, kini Kevin sedang duduk di ruang tunggu kantor polisi. Ia menanti kekasih hatinya, tetapi sudah hampir setengah jam wanita itu tak datang.Sambil menatap pintu, Kevin bergumam, “Aku ke sini demi anakku bukan dia!”Beberapa saat kemudian petugas kepolisian menghampiri. Hanya saja air muka Kevin yang sebelumnya menegang kini berubah kecut. Kakak kandung Rosalyn itu menghela napas panjang.“Pak Kevin, tahanan atas nama Vinsensia menolak bertemu. Dia tidak mengenal Anda.” Kata-kata polisi membuat Kevin murka.“Saya ayah dari bayinya!” tegas pria itu dengan mata memerah.“Tapi yang bersangkutan menolak. Sebaiknya Anda pergi saja, datang lagi lain waktu.” Seorang polisi menunjuk pintu keluar.Seandainya ini bukan kantor polisi, pastilah Kevin menyeret Vinsensia dan membawanya ke sini. Sial, pria itu terpaksa keluar tanpa membawa hasil apa pun.“Tidak mengenal?” Kevin tertawa getir. “Dasar perempuan murahan kamu Vin. Sudah bagus aku mau merawat ana
“Kenapa kamu tanya begitu?” Rosalyn melirik pergelangan tangannya yang dicekal erat oleh sang suami.Dewa menyadari gelagat Rosalyn yang ingin menjauh. Dalam sekejap pria itu mendekap erat tubuh ramping di depannya. Dewa mengembuskan napas kasar.“Sekalipun tidak cinta lagi, kamu harus tetap di sisiku!” Dewa semakin erat memeluk Rosalyn, membuat wanita itu meringis nyeri. Indera pendengaran pria itu seolah tuli dan hanya mementingkan dirinya sendiri. “Aku bisa melakukan apa pun untuk mendapatkanmu, Rosalyn!”“Aku susah napas! Kamu mau membunuhku ya?” Kedua tangan Rosalyn memukuli punggung kokoh.Bukannya melonggarkan atau melepaskan pelukan, Dewa malah membenamkan wajah pada leher harum Rosalyn. Pria itu menghisap penuh nafsu. Tentu saja Rosalyn membrontak dan semakin brutal memukuli punggung Dewa.“Ini tempat umum! Kamu ini kenapa?” Ucapan tegas Rosalyn membuat Dewa mengurai pelukan.Seketika pria itu menydari bahwa tingkahnya barusan dapat mencelaki istri serta janin dalam kandungan
“Apa dia baik-baik saja?” Suara Rosalyn terdengar bergetar.“Mari ikut saya.” Seorang perempuan berseragam perawat menggiring Rosalyn menuju ruang dokter.Pada akhirnya Rosalyn diantar oleh Fabian. Pria itu memang lemah terhadap perempuan satu ini. Namun Fabian tidak merahasiakannya dari Dewa.Rosalyn duduk di depan meja dokter lalu menanti penjelasan tentang kondisi sang kakak. Rasa cemas menghinggapi dada setelah melihat keadaan Kevin. Kakaknya itu sangat mengenaskan.“Saudara Kevin mengalami kelumpuhan,” ungkap dokter memberikan hasil X-ray.Rosalyn langsung menutup mulut sambil geleng-geleng kepala. “Tidak mungkin dok. Apa bisa sembuh?”“Kami merujuknya melakukan terapi dan konsumsi obat-obatan. Berusaha saja dulu.” Dokter itu memberi sedikit ketenangan pada ibu hamil.Seusai mendengar penjelasan dokter, Rosalyn keluar menemui Fabian. Ia melihat teman kecilnya sedang berbincang bersama Anna. Tidak ingin mengganggu, ia memilih ke kantin lalu mengirimkan pesan.“Aku di kantin.” Pesan
“Gemana Pa, senang ‘kan?” ulang Arimbi dengan wajah antusias. “Tapi aku engga ingat pernah dengar suara Papa dari dalam perut Mama.” Jemari mungil anak itu mengetuk-ngetuk dagu.Dewa menelan air liur yang terasa menyayat kerongkongan. Otak pria itu mendadak tidak bisa berpikir. Baginya lebih baik dihadapkan pada bisnis serta klien rumit daripada situasi seperti ini.Berbeda dengan sang adik, Brahma menyadari keterdiaman sang ayah. Anak itu turun dari kursi lalu menghampiri Dewa.“Ayo sini Pa!” ajak Brahma menautkan jemari dengan Dewa. Anak itu menaruh tangan sang ayah di atas perut rata ibunya. “Coba pegang Pa.”Rosalyn terkesiap. Buru-buru ia menetralkan suasana dengan tersenyum kecil. Kini pandangannya terkunci pada Dewa.“I-iya Papa senang,” aku Dewa sambil menyelami sepasang manik hazel. Pria itu menjawab apa adanya. ‘Maafkan Papa, tidak pernah menemani kalian semasa dalam kandungan,’ lirih Dewa dalam hati.Sedangkan Rosalyn ingin menepis tangan lebar Dewa yang membelai perut. Mat
Alih-alih menjawab dan memberi ketenangan pada Rosalyn, justru Dewa menyesap kembali bibir ranum yang membengkak. Tangan pria itu bergerak nakal dan menggelitik manja masuk ke dalam gaun. “Dewa,” lenguh Rosalyn sambil menatap waspada sekeliling. Meskipun berhubungan intim bukanlah pertama kali, tapi berada di tempat seperti ini hal baru baginya. Ia menikmati sentuhan tetapi menahannya sebab terlalu khawatir.“Tidak akan ada yang ke sini. Tenanglah.” Dewa membenamkan kepalanya pada titik sensitif, menyapukan lidah sehingga menimbulkan sensasi geli yang membuat Rosalyn bergerak gelisah.Mengetahui istrinya kurang nyaman dengan posisi berdiri seperti ini. Dewa membaringkan wanita itu di atas meja yang dialasi tuksedo hitam.Ketika Rosalyn hendak bangkit, ia tersentak karena Dewa menarik lembut betisnya hingga kedua kakinya menjuntai dari atas meja.“Aku selalu menginginkanmu Rosalyn,” bisik pria itu. “Pelan-pelan Dewa. J-jangan menyakiti anak kita,” ucap Rosalyn sambil menatap perut
“Anna … kamu harus makan.” Rosalyn duduk tepat di samping temannya.“Rasanya lebih baik aku menemani ibu saja. Rosalyn … aku tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini.” Anna menundukkan wajah dengan dalam.Tadi Fabian memberitahu Rosalyn tentang kondisi yang menimpa Anna. Paska mengetahui kabar duka, wanita itu bergegas menemui temannya. Pernah kehilangan dua orang tersayang dalam hidupnya membuat Rosalyn mengerti perasaan Anna. Ia pun merangkul bahu ringkih itu sambil menempelkan kepala Anna pada pundaknya.“Kamu masih punya aku. Anggaplah aku keluargamu juga,” lirih bibir merah Rosalyn.“Tapi … untuk apa aku hidup? Penyemangatku sudah tidak ada.” Bahu Anna berguncang semakin kencang.“Kamu ingat tidak? Di saat satu perusahaan menggunjing dan memusuhiku, hanya kamu yang mau mengajariku cara bekerja, sejak saat itu aku menyayangimu Anna.”Anna hanya diam saja memandangi foto ibunya pada dinding. Perempuan itu teringat bagaimana sang ibu mengembuskan napas terakhir tepat di depannya.
Sambil memandangi layar ponsel berisi pesan singkat dari Rosalyn, Fabian seakan terlempar pada percakpannya bersama mendiang Elsa.Hari itu tepat satu hari sebelum Elsa meninggal menyampaikan pesan pada Fabian.“Tuan Arnold tolong jaga putriku. Dia terlalu sibuk merawatku sampai cuti panjang, kumohon biarkan dia tetap bekerja di perusahan Anda. Bekerja di Maeur adalah impiannya sejak remaja.”Fabian terdiam mendengar ucapan Elsa. Jika merujuk pada ketentuan perusahaan, seharusnya Anna dipecat karena terlalu banyak mengajukan cuti hingga melalaikan pekerjaan.Kala tenggelam dalam lamunan, Fabian mendengar ketukan keras pada kaca di sampingnya.Orang itu berseru, “Buka pintunya!”Fabian membuka pintu dan mengeluh, “Kamu menguntit?”“Enak saja menguntit, aku ke sini mau menjemput istriku!” ucap pria angkuh itu.“Ya jemput saja.”“Heh, mana bisa! Rosalyn ingin menjaga Anna dan menghiburnya. Dia itu pegawaimu bukan tanggung jawab istriku!”“Kamu terlalu berisik Dewa!” Fabian menutup kembali
“Bagaimana kondisi Lily, Kak?” tanya Rosalyn sesampainya di rumah sakit.“Air ketubannya pecah. Dia kesakitan.” Kevin tampak gelisah, pria itu masih mengenakan piama dan menutupi tubuh dengan selimut.Rosalyn menuntun Kevin supaya duduk di bangku logam depan ruang bersalin. “Kita berdoa saja semoga Lily dan bayinya selamat.”Ketiga orang itu menanti dengan gelisah. Setelah hampir setengah jam berjalan, seorang dokter menghampiri Kevin dan menjelaskan, “Bayi Nyonya Lily sebentar lagi lahir, jika suaminya ingin melihat proses persalinan, kami persilakan.”Kevin menggeleng. Justru ia mendorong Rosalyn supaya menemani Lily di dalam sana. Sebagai wanita yang pernah melahirkan, ia mencebik melihat dua pria duduk gelisah di kursi. Ia pun mendampingi Lily di ruang bersalin.Rosalyn segera menggenggam tangan iparnya. Lily sedang kesakitan setelah pembukaan jalan lahir melebar sempurna.“Semangat Lily, kamu pasti bisa,” bisik Rosalyn diangguki iparnya.Dengan bimbingan dokter spesialis kandungan
“Kenapa, Bro?” sapa Fabian sambil menyodorkan sekaleng minuman. “Orang bilang ini bagus dan tahan lama,” kata pria itu.Dewa memelotot dan menyambar kaleng, lalu membuangnya ke tempat sampah.“Tidak butuh!” sentak Dewa dengan tatapan menghunus tajam.Fabian menepuk bahu temannya dan berujar, “Jangan marah-marah, kamu bisa darah tinggi!”Dewa mendengkus kasar, baginya kalimat Fabian bukan menenangkan melainkan sebuah ejekan. Pria itu menepis kasar tangan temannya, lalu berjalan mencari Rosalyn ke dalam mansion.Pagi ini, keluarga kecil itu sengaja mengunjungi Mansion Arnold. Tentu saja, karena Tuan Jack dan Feli menitipkan beberapa hadiah untuk Lily dan calon bayinya.Akan tetapi, kening Dewa mengerut dalam ketika melihat Rosalyn berjalan sendirian tanpa keempat anak mereka.“Di mana Brahma, Arimbi, Devendra dan Daneswara?” tanya Dewa dengan tatapan menyelidik.Mendengar pertanyaan itu tentunya Rosalyn mengulum senyum. Ah, ia memang sengaja menyiapkan kejutan istimewa ini untuk suami p
“Halo, Sayang … Papa datang. Janeta sudah mandi, ya? Harum banget.” Kevin menggendong putri kecilnya yang menyambut di balik pintu. Pria itu menciumi puncak kepala Janeta dan mengayun tubuhnya, membuat putri kecil tertawa riang. Namun, di ujung lorong, seorang wanita sedang cemberut menatap ke arah Kevin.“Terima ka—” Ucapan Kevin menggantung karena wanita itu melengos saja ke dapur tanpa mengelurkan sepatah kata.Kevin menurunkan tubuh Janeta dan membiarkannya bermain, lalu ia menyusul pujaan hati yang entah kenapa memasang wajah ketus.“Kamu kenapa?” tanya Kevin.“Menurutmu, kenapa?” ketusnya.“Aku tidak tahu, Lily. Ayo, bilang,” ucap Kevin lagi.Lily menatap tajam ke arah Kevin dan berujar, “Aku bosan seharian di rumah. Aku ini biasa kerja, bukan diam di rumah. Apalagi … ka-mu lebih memperhatikan Janeta dibanding aku.” Pascadinyatakan hamil, Lily diberhentikan oleh Dewa. Wanita itu pun ikut tinggal di Milan. Dia tidak lagi sibuk mengurusi peternakan, karena Dewa berhasil mencari
“Astaga apa-apaan mereka ini?!” geram Fabian. Ia menatap layar ponsel yang tidak berhenti berpendar sedari tadi. Itu bukan masalah pekerjaan kantor, tetapi … masalah rumah tangga, terutama ranjang. Demi kelangsungan masa depannya. Meskipun sudah mengetahui isinya, tetap saja Kevin mengintip melalui pop up. Dia terbelalak ketika satu pesan kembali masuk dari adik ipar. [Tutorial posisi hubungan intim untuk memiliki keturunan secepatnya.] “Dia pikir aku pria polos? Aku ini lebih berpengalaman darinya!” Kevin melempar telepon genggam ke atas sofa, lantas berdiri sambil memandangi foto pernikahan di atas meja. Lagi, Kevin tetap membaca pesan adik iparnya. Sebagai seorang pria berpengalaman, tentu saja posisi itu tidak asing lagi. Ia pun mereguk saliva, pikirannya berfantasi liar membayangkan Lily. Gairah pria itu tersulut. Hanya saja, ia bingung menyalurkannya, sebab Lily tidak ada di sini. Pasangan itu menjalani hubungan jarak jauh. Terpaksa Kevin bertahan sampai Dewa menemukan p
“Kevin … anakku apa kabar? Ibu selalu menunggumu setiap hari, Nak. Kenapa baru datang sekarang?” berondong Mathilda dari balik partisi kaca tebal.Wanita paruh baya itu menempelkan tangannya pada penghalang, lalu menggerakkan jemari—seolah membelai pipi putra tunggalnya.“Aku datang ke sini ada perlu. Kuharap Ibu menerimanya,” kata Kevin dengan intonasi dingin dan ekspresi datar.Mathilda mengangguk dan menyahut penuh kasih, “Pasti, Nak. Ibu menerima apa pun yang terbaik untukmu.”Kulit keriput Mathilda tertarik ke atas, ia tersenyum merekah sambil meneteskan bulir bening.Lebih dari semenit keduanya terdiam saling memandangi. Entah apa yang dipikirkan kedua orang itu. Hanya saja Mathila tidak menjauhkan tangannya dari kaca tebal. Kevin pun bisa melihat tangan ibunya berkeringat.“Aku sudah menikah.”Sorot mata Mathilda berbinar. “Benarkah? Siapa gadis beruntung itu? B
“I-ini masih siang,” gugup Lily. Perempuan itu mengedarkan pandangan ke penjuru kamar. Ada ranjang besar yang disiapkan khusus pengantin baru, sofa panjang serta meja kaca dan cermin besar menggantung di depannya. Sekilas, ini kamar hotel pada umumnya. Namun, Lily dibuat asing dengan status baru ini.Sejak masuk kamar, Kevin memeluk erat tubuh sang istri dari belakang. Pria itu menggesek puncak hidungnya pada tengkuk harum. “Memangnya kenapa kalau siang? Bukahkah itu bagus, kita bisa menikmati siang dan malam di hari yang sama?” Lily mereguk saliva. Walaupun bukan pengalaman pertama berhubungan intim, tetapi … ini pertama kali bersama pria berstatus sebagai suami.“Tapi—”Ucapan Lily tertahan karena Kevin memutar tubuh wanita itu dengan cepat. “Tidak ada tapi. Kamu milikku sekarang dan selamanya.” Lily hendak menunduk, tetapi Kevin mencegahnya. Pria itu menahan dagu sang istri, lalu meraup bibir tipis yang ia rinduka
Kevin menghela napas melihat tanggapan Lily. Haruskan ia menyerah dan tenggelam ke dasar lautan patah hati? Ya, mungkin … karena ini bukanlah kali pertama gadis itu menolaknya. Pria itu menarik tangannya. Namun ….“Cincinya kebesaran. Enggak sesuai ukuran jariku,” kata gadis itu menggunakan bahasa informal . Lily mengulurkan tangan kanan, yang menampilkan jemari ramping dan mungil.Seketika Kevin memperhatikan jemari gadis itu, dan pikirannya mencerna maksud ucapan Lily barusan. Bagi seorang pria, tentunya ini merupakan teka-teki. “Umm … maksudmu?” Alis tebal Kevin terangkat.Lily tersenyum jengah mendengar pertanyaan itu. Tanpa banyak bicara, gadis itu mengambil cincin dari tangan Kevin, lalu menyematkan sendiri pada jari manisnya.“Ini kebesaran, lihat bukan?” keluh gadis itu dengan bibir merengut yang sangat menggoda.Melihat cincin pilihannya melingkar pada jari manis sang gadis pujaan hati, membuat pria itu kegirangan. Kevi
Untuk sesaat keduanya membeku di tempat. Tidak ada aksi apa pun selain saling memandang lekat-lekat dengan isi pikiran masing-masing.Lily mereguk saliva karena saat ini tubuhnya hanya tertutupi sehelai handuk putih saja. Ia meremas kain handuk dengan erat, khawatir terjadi hal yang tidak seharusnya.“Maaf, aku lancang ….” Kevin berbalik badan dan menutup pintu.Pria itu bersandar pada pintu sambil mengatur napas. Melihat kemolekan seorang wanita, ditambah memiliki kenangan ranjang membuat nalurinya sebagai lelaki tersulut gairah. Ia ingin menyentuh, membelai dan mengecup setiap jengkal kulit mulus itu. Hanya saja, tidak! Kevin melawan egonya.Pria itu kembali ke kamar. Ia menemani Janeta, dan berupaya menenangkan batita itu.Sedangkan Lily masih berdiri di depan pintu kamar mandi. Namun, napasnya tidak tegang lagi. Ada kelegaan setelah Kevin pergi.“Dia …,” gumam gadis itu sambil mengangguk.Lily menggunakan pakaian serba panjang. Entah mengapa ia teringat pada tatapan Kevin tadi. Set
Beberapa hari berlalu, Lily tampak kesulitan berpamitan dengan Janeta. Gadis itu selalu menahan diri untuk pulang ke peternakan. Pada akhirnya ia menemani Janeta di vila atau rawat jalan ke rumah sakit. Seperti hari ini, Lily mengantar Janeta bertemu dokter.Akan tetapi, gadis itu tidak menduga Kevin datang menjemputnya. Bahkan mereka makan bertiga di restoran.Setelahnya Kevin membawa Lily dan Janeta pulang.“Kamu yakin bisa sendirian? Janeta berat. Biar aku saja yang gendong,” ujar Kevin.“Saya kuat, Pak.” Lily tidak menggubris ucapan Kevin. Gadis itu merengkuh tubuh batita yang terlelap tidur dari jok belakang, menggendongnya dan membawa ke kamar.Dengan hati-hati, Lily membaringkan Janeta, lantas mengecup kening batita itu. Ia tersenyum sambil menatap wajah polos bocah kecil yang agak mirip dengan Vinsensia.“Mama sayang kamu, Janeta,” gumam Lily.Hingga derit pintu terbuka membuat Lily menoleh