Sekarang mereka telah tiba di Luxury Hotel Jenewa.
“Kenapa pisah kamar? Kita masih suami istri!” Dewa terbelalak kala mengetahui Rosalyn telah memesan dua kamar sebelumnya.
Tak menanggapi ocehan keterkejutan sang suami, Rosalyn berjalan menuju lift. Ia meninggalkan Dewa sendirian di lobi.
“Rosalyn tunggu!” Dewa berlari, beruntung lift terbuka lagi.
Saat ini Dewa ingin melayangkan protes, tetapi tidak bisa. Sebab terlalu banyak orang dalam lift. Ia tidak mungkin mengumbar masalah rumah tangganya.
Beberapa saat kemudian pintu lift terbuka, Rosalyn keluar lebih dulu. Dewa mengejar istrinya yang diam tanpa kata.
“Ini punyamu,” kata Rosalyn sembari menempelkan kartu akses pada dada bidang.
“Aku mau tidur satu ranjang denganmu!” sergah Dewa.
“Tapi aku tidak mau,” tolak Rosalyn sambil tersenyum manis.
Ekspresi wajahnya itu sangatlah manis sekaligus menggoda di mata Dewa. Membuat pria itu bagai tersengat aliran listrik.
“
“Apa kubilang, dia bukan kakak yang baik.” Dewa memandang bengis pada punggung Kevin.Pria itu hendak meraih tangan Rosalyn tetapi ditepis. Rosalyn malah memandang penuh harap pada Dewa. Sepasang netra hazelnya seakan mengiba pertolongan.“Ah baiklah. Kamu tunggu di sini. Aku membujuk Kevin.” Dewa berlalu dari hadapan sang istri lalu mengejar kakak ipar. “Tunggu! Kevin Keller!” Suara bariton Dewa menggema di lobi.Namun Kevin tak berniat menghentikan langkah atau menoleh pada sumber suara. Bahkan Kevin berdecih sinis kala mendengar langkah kaki Dewa semakin dekat.Sedangkan Dewa menambah kecepatannya, lalu memegang pundak kakak ipar. Seketika lelaki itu membalik sambil melayangkan kepalan tinju pada Dewa.“Berengsek! Apa maumu, hah? Tidak bisakah kalian membiarkan hidupku tenang?!” seru Kevin mengundang perhatian dari pengunjung lain yang hendak masuk hotel.“Turunkan nada bicaramu?” Sebagai seorang presdir tentu saja Dewa geram tidak dihargai oleh lelaki tanpa status seperti kakak ipa
Rosalyn membeku tepat di depan pintu. Ia mengedip-ngedipkan kelopaknya dengan lembut. Tiba-tiba matanya berair dan lelehan hangat mengalir menuruni pipi.“Ka-kamu?” tanyanya terbata.Ketika sosok itu berjalan mendekat ke arahnya, ia terus terpaku memandangi wajah tampan yang menjadi idola sejak kecil.“Di mana alamat rumah sakit Ibu?” Suara dingin itu terkesan menusuk tetapi merambat hangat bagi Rosalyn.Telapak tangan Rosalyn menunjuk pintu di belakang punggungnya. Ia bertutur dengan suara bergelombang, “Kakak mau masuk dulu?”“Berikan alamat rumah sakitnya! Cepat!” titah Kevin.Rosalyn mengangguk lantas kembali masuk dalam kamar. Ia menuliskan alamat lengkap rumah sakit Mathilda berikut nomor ruangan pada secarik kertas. Ia juga memberikan nomor ponsel Felix sebagai penanggung jawab sang ibu.Ketika Rosalyn keluar, di depan pintu sudah ada Dewa dan Kevin. Keduanya berdiri sembari bersandar pada dinding. Tidak ada perbincangan akrab selayaknya keluarga di antara mereka, yang tercipta
Seusai mengunjungi Mathilda di pusat medis, kini Kevin sedang duduk di ruang tunggu kantor polisi. Ia menanti kekasih hatinya, tetapi sudah hampir setengah jam wanita itu tak datang.Sambil menatap pintu, Kevin bergumam, “Aku ke sini demi anakku bukan dia!”Beberapa saat kemudian petugas kepolisian menghampiri. Hanya saja air muka Kevin yang sebelumnya menegang kini berubah kecut. Kakak kandung Rosalyn itu menghela napas panjang.“Pak Kevin, tahanan atas nama Vinsensia menolak bertemu. Dia tidak mengenal Anda.” Kata-kata polisi membuat Kevin murka.“Saya ayah dari bayinya!” tegas pria itu dengan mata memerah.“Tapi yang bersangkutan menolak. Sebaiknya Anda pergi saja, datang lagi lain waktu.” Seorang polisi menunjuk pintu keluar.Seandainya ini bukan kantor polisi, pastilah Kevin menyeret Vinsensia dan membawanya ke sini. Sial, pria itu terpaksa keluar tanpa membawa hasil apa pun.“Tidak mengenal?” Kevin tertawa getir. “Dasar perempuan murahan kamu Vin. Sudah bagus aku mau merawat ana
“Kenapa kamu tanya begitu?” Rosalyn melirik pergelangan tangannya yang dicekal erat oleh sang suami.Dewa menyadari gelagat Rosalyn yang ingin menjauh. Dalam sekejap pria itu mendekap erat tubuh ramping di depannya. Dewa mengembuskan napas kasar.“Sekalipun tidak cinta lagi, kamu harus tetap di sisiku!” Dewa semakin erat memeluk Rosalyn, membuat wanita itu meringis nyeri. Indera pendengaran pria itu seolah tuli dan hanya mementingkan dirinya sendiri. “Aku bisa melakukan apa pun untuk mendapatkanmu, Rosalyn!”“Aku susah napas! Kamu mau membunuhku ya?” Kedua tangan Rosalyn memukuli punggung kokoh.Bukannya melonggarkan atau melepaskan pelukan, Dewa malah membenamkan wajah pada leher harum Rosalyn. Pria itu menghisap penuh nafsu. Tentu saja Rosalyn membrontak dan semakin brutal memukuli punggung Dewa.“Ini tempat umum! Kamu ini kenapa?” Ucapan tegas Rosalyn membuat Dewa mengurai pelukan.Seketika pria itu menydari bahwa tingkahnya barusan dapat mencelaki istri serta janin dalam kandungan
“Apa dia baik-baik saja?” Suara Rosalyn terdengar bergetar.“Mari ikut saya.” Seorang perempuan berseragam perawat menggiring Rosalyn menuju ruang dokter.Pada akhirnya Rosalyn diantar oleh Fabian. Pria itu memang lemah terhadap perempuan satu ini. Namun Fabian tidak merahasiakannya dari Dewa.Rosalyn duduk di depan meja dokter lalu menanti penjelasan tentang kondisi sang kakak. Rasa cemas menghinggapi dada setelah melihat keadaan Kevin. Kakaknya itu sangat mengenaskan.“Saudara Kevin mengalami kelumpuhan,” ungkap dokter memberikan hasil X-ray.Rosalyn langsung menutup mulut sambil geleng-geleng kepala. “Tidak mungkin dok. Apa bisa sembuh?”“Kami merujuknya melakukan terapi dan konsumsi obat-obatan. Berusaha saja dulu.” Dokter itu memberi sedikit ketenangan pada ibu hamil.Seusai mendengar penjelasan dokter, Rosalyn keluar menemui Fabian. Ia melihat teman kecilnya sedang berbincang bersama Anna. Tidak ingin mengganggu, ia memilih ke kantin lalu mengirimkan pesan.“Aku di kantin.” Pesan
“Gemana Pa, senang ‘kan?” ulang Arimbi dengan wajah antusias. “Tapi aku engga ingat pernah dengar suara Papa dari dalam perut Mama.” Jemari mungil anak itu mengetuk-ngetuk dagu.Dewa menelan air liur yang terasa menyayat kerongkongan. Otak pria itu mendadak tidak bisa berpikir. Baginya lebih baik dihadapkan pada bisnis serta klien rumit daripada situasi seperti ini.Berbeda dengan sang adik, Brahma menyadari keterdiaman sang ayah. Anak itu turun dari kursi lalu menghampiri Dewa.“Ayo sini Pa!” ajak Brahma menautkan jemari dengan Dewa. Anak itu menaruh tangan sang ayah di atas perut rata ibunya. “Coba pegang Pa.”Rosalyn terkesiap. Buru-buru ia menetralkan suasana dengan tersenyum kecil. Kini pandangannya terkunci pada Dewa.“I-iya Papa senang,” aku Dewa sambil menyelami sepasang manik hazel. Pria itu menjawab apa adanya. ‘Maafkan Papa, tidak pernah menemani kalian semasa dalam kandungan,’ lirih Dewa dalam hati.Sedangkan Rosalyn ingin menepis tangan lebar Dewa yang membelai perut. Mat
Alih-alih menjawab dan memberi ketenangan pada Rosalyn, justru Dewa menyesap kembali bibir ranum yang membengkak. Tangan pria itu bergerak nakal dan menggelitik manja masuk ke dalam gaun. “Dewa,” lenguh Rosalyn sambil menatap waspada sekeliling. Meskipun berhubungan intim bukanlah pertama kali, tapi berada di tempat seperti ini hal baru baginya. Ia menikmati sentuhan tetapi menahannya sebab terlalu khawatir.“Tidak akan ada yang ke sini. Tenanglah.” Dewa membenamkan kepalanya pada titik sensitif, menyapukan lidah sehingga menimbulkan sensasi geli yang membuat Rosalyn bergerak gelisah.Mengetahui istrinya kurang nyaman dengan posisi berdiri seperti ini. Dewa membaringkan wanita itu di atas meja yang dialasi tuksedo hitam.Ketika Rosalyn hendak bangkit, ia tersentak karena Dewa menarik lembut betisnya hingga kedua kakinya menjuntai dari atas meja.“Aku selalu menginginkanmu Rosalyn,” bisik pria itu. “Pelan-pelan Dewa. J-jangan menyakiti anak kita,” ucap Rosalyn sambil menatap perut
“Anna … kamu harus makan.” Rosalyn duduk tepat di samping temannya.“Rasanya lebih baik aku menemani ibu saja. Rosalyn … aku tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini.” Anna menundukkan wajah dengan dalam.Tadi Fabian memberitahu Rosalyn tentang kondisi yang menimpa Anna. Paska mengetahui kabar duka, wanita itu bergegas menemui temannya. Pernah kehilangan dua orang tersayang dalam hidupnya membuat Rosalyn mengerti perasaan Anna. Ia pun merangkul bahu ringkih itu sambil menempelkan kepala Anna pada pundaknya.“Kamu masih punya aku. Anggaplah aku keluargamu juga,” lirih bibir merah Rosalyn.“Tapi … untuk apa aku hidup? Penyemangatku sudah tidak ada.” Bahu Anna berguncang semakin kencang.“Kamu ingat tidak? Di saat satu perusahaan menggunjing dan memusuhiku, hanya kamu yang mau mengajariku cara bekerja, sejak saat itu aku menyayangimu Anna.”Anna hanya diam saja memandangi foto ibunya pada dinding. Perempuan itu teringat bagaimana sang ibu mengembuskan napas terakhir tepat di depannya.