Selamat datang Oktiber Apa kabar GoodReaders? Masih setia kah bersama Dewa? ira-kira Dewa marah nggak nih ditinggal gitu aja?
“Rosalyn …,” lenguh Dewa sambil meraba di samping tubuhnya. Seketika pria itu membuka mata lantaran tidak ada siapa pun.Dewa mengedarkan pandangan dalam kamar, lalu memanggil, “Rosalyn?”Kemudian ia melirik ke atas nakas dan mengernyit mendapati secarik kertas. Dewa membaca kata-kata yang tertulis di atasnya.[Titip anak-anak satu hari saja. Aku pergi Jenewa dulu. Nanti malam aku pulang]“Sial!” Dewa meremas kertas itu menjadi bola kecil. Suasana hati pria itu menjadi berantakan, sebab dengan tega Rosalyn meninggalkannya seusai percintaan panas semalam.Dewa bergegas membersihkan tubuh dan menemui kedua anaknya dalam kamar. Betapa terkejutnya ia melihat Arimbi sedang merintih kesakitan.“Kenapa Sayang?”“Kepalaku sakit Pa. Kaya ditusuk-tusuk. Mama di mana ya? Tumben belum ke kamar.” Mata sayu Arimbi menatap pintu kamar.“Mama ada urusan dulu sebentar, nanti Mama ke sini.” Dewa memeluk erat putrinya lalu menghubungi Fabian melalui interkom yang terpasang di kamar.Pria itu memerintah
Beberapa jam sebelumnya, Rosalyn sedang membaca berkas kerja sama di kamar hotel. Ia merasa perutnya sedikit sakit, tetapi segera meminum obat.Rosalyn bicara dengan janin dalam perut, “Iya nanti malam kita bertemu Papa.”Tiba-tiba rasa mulasnya menghilang sehingga ia dapat menghadiri rapat dengan tenang. Tidak lupa menggunakan topeng ciri khas Talicia Schmid.Rosalyn melangkah menuju restoran di hotel ini. Penampilan wanita itu amatlah anggun mengenakan setelan kerja berwarna abu-abu. Ditambah rambut panjang tergerai elok dan tersampir pada mantel bulu domba.“Selamat siang Tuan Miller.” Suara merdu Rosalyn menyapa pria tampan yang berusia sekitar empat puluh tahunan.“Hai Nona Schmid, kamu semakin memesona. Silakan duduk, sebaiknya kita bicarakan dengan santai.” Tuan Miller mengulurkan tangan lalu mengecup punggung tangan Rosalyn.Meskipun sambutan ini tampak biasa, tetapi Rosalyn merasa tidak tenang. Entah apa penyebabnya, sulit dijabarkan menggunakan kata-kata sebab hanya bisa dir
Melihat Rosalyn mendesah dan bergerak gelisah, Dewa menyimpulkan bahwa istrinya mengkonsumsi obat perangsang. Selama menikah, ia belum pernah mendapati sang istri dalam kondisi sekacau ini.“Kamu mencari masalah denganku!” teriak Dewa. Ia menatap nyalang pada Tuan Miller.Pria itu meluapkan amarah yang menggelegak dalam dada. Dewa memukul secara brutal Tuan Miller. Membuat hidung serta mulut sosok itu mengeluarkan cairan merah.“Istrimu? Sejak kapan Talicia menikah? Lagi pula itu balasan bagi perempuan angkuh yang menolak pria.” Tuan Miller tertawa mengejek.“Berengsek!” Satu tinju Dewa mendarat tepat pada rahang Tuan Miller hingga tidak sadarkan diri.Sadar bahwa istrinya membutuhkan pertolongan, Dewa langsung menggendong Rosalyn dan membawanya masuk dalam helikopter. Pria itu memerintah Pandu mengemudi sebab pikirannya tengah kalut, malah menambah bahaya nantinya.Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Dewa selalu memeluk erat tubuh gelisah Rosalyn.“Sayang … bertahanlah, kamu kuat
“Apa kamu mengetahui sesuatu? Sebenarnya ada apa?” Rosalyn menatap lekat wajah pias Anna.Seusai melakukan panggilan video bersama Arimbi, ia merasa terdapat kejanggalan. Semua orang seolah menutupi hal penting darinya.Melihat ketediaman Anna membuat Rosalyn yakin telah terjadi sesuatu. Ia mengulang pertanyaannya lagi, “Anna, aku harus tahu karena ini menyangkut Arimbi.” Sepasang netra hazel menangkap gelagat mencurigakan dari Anna. Tadi, gadis itu tidak panik. Kenapa setelah Rosalyn bertanya menjadi diam seperti ini?“I-tu … a-ku.” Anna menghela napas panjang.Rosalyn masih setia menanti, ia tidak mendesak Anna menggunakan kata-kata melainkan melayangkan tatapan tajam.“Sebenarnya … Pak Dewa telah mendapat pendonor yang sesuai dengan Arimbi. Katanya, operasi dilakukan minggu depan.” Rosalyn tercengang. “Apa?!” “Pak Dewa mau bilang tapi kamu menolak bertemu dengannya.” Anna menundukkan wajah.Rasa gundah seketika menyelimuti diri, Rosalyn tidak suka dengan tindakan Dewa tanpa meli
Selama beberapa hari ini Rosalyn melakukan terapi demi memulihkan mentalnya. Belakangan ia juga baru tahu bahwa sang suami tengah menjalani hal serupa. Kini keduanya baru saja pulang menjalani pengobatan di klinik khusus.“Jadi kemarin kamu sempat menghilang karena ini?” tanya Rosalyn sambil memandangi wajah Dewa.“Ya, aku kehabisan cara meluluhkan kamu. Mungkin sikapku tidak baik, makanya memperbaiki diri.” Dewa tersenyum lalu mengusap lembut pipi mulus Rosalyn.Setelah dua kali pertemuan, Rosalyn menunjukkan perubahan signifikan ditambah dukungan orang-orang sekeliling yang tidak pernah meninggalkannya. Baik itu Feli atau mertua, semua hadir memberi semangat.Rosalyn mengangguk lalu membuka percakapan lagi, “Ngomong-ngomong siapa pendonor itu? Aku ingin tahu identitasnya.”Dewa berdeham kecil. “Begini, dia …. Tidak mau identitannya diketahui. Sudahlah biarkan saja.”Akan tetapi Rosalyn menangkap sebuah kejanggalan pada tingkah Dewa. Tidak biasanya pria itu bertingkah kaku seperti ini
“Tentu saja! Aku tidak mungkin membiarkan istriku diambil orang.” Dewa tergelak, lalu Fabian memukul punggung pria itu.“Apa kamu tidak akan hadir di persidangan Vinsensia? Jadwalnya minggu depan.” Fabian menunjukkan layar ponsel berisi jadwal persidangan.“Aku pasti hadir memastikan perempuan itu menerima hukuman setimpal. Bagaimana kandungannya?”Fabian menghela napas lantas merapatkan badan dengan Dewa. Sebenarnya Dewa merasa terganggu, tetapi ia tahu rivalnya ini memiliki informasi penting. Untuk itu ia tidak menjauh.Fabian mendekatkan kepala lalu berbisik, “Anak buahku bilang belakangan ini Vinsensia sering mencari masalah dengan tahanan lain. Beberapa hari lalu, dia mengalami pendarahan dan sekarang kandungannya mengalami malnutrisi. Aku sudah menitipkan pesan pada penjaga agar mengutamakan kehamilannya.”Embusan napas kasar keluar dari sela bibir sensual. Dewa mengeratkan rahang sebab dalam sel tahanan saja mantan kekasihnya masih membuat tingkah. Entah mengapa gadis itu tidak
“Kapan terakhir kali kita melakukannya?” Dewa tersenyum manis.Jujur saja jantung Rosalyn berdetak lebih cepat lantaran memandangi wajah sang suami. Ya ini sama seperti sembilan tahun lalu, di mana ia sangat menyukai Dewa. Hanya saja dahulu senyum yang terukir pada pria itu palsu lantaran Dewa sekadar mengambil gambar kemesraan mereka sebagai bukti kepada orang tua.Sekarang … pria itu mengunggahnya ke akun sosial media pribadinya. Tanpa kata-kata dan hanya symbol hati. Selain itu, Rosalyn dapat melihat ketulusan serta pancaran cinta dari kedua netra abu-abu. Andai saja tidak malu, ingin sekali wanita itu menjerit pada langit bahwa cintanya berbalas.“Kamu melamun apa? Tidak suka?” tanya Dewa melihat Rosalyn diam saja.Sejak duduk dalam helikopter, Rosalyn lebih banyak diam. Dewa tidak tahu apa yang sedang dirasakan Rosalyn saat ini.“Rosalyn?” panggil pria itu.“Y-ya?”“Aku mencintaimu,” kata Dewa dengan suara sedikit serak yang menambah kesan romantis.Mendengar ucapan penuh perasaan
“Ya tentu.” Dewa mengangguk sambil menatap lekat sepasang netra hazel yang sangat indah.“Terima kasih.” Rosalyn mentikkan air mata sambil tersenyum bahagia sebab kehidupannya terasa lengkap dan sempurna.Keduanya menyantap beragam menu makan malam. Nafsu makan Rosalyn yang sebelumnya hilang kini kembali seperti semula.Kegiatan kencan berlanjut, Dewa membawa Rosalyn mengunjungi studio foto. Anehnya tempat itu masih beroperasi padahal hari telah larut malam. Keduanya menggunakan pakaian tradisional lalu seorang photographer mengambil gambar mereka.Selain itu Dewa membeli dua pasang sneakers, ia langgung menggunakannya. Tidak lupa membantu Rosalyn mengganti sepatunya juga.“Tingkahmu seperti remaja.” Rosalyn terkekeh kala Dewa berjongkok di depannya sembari melekatkan alas kaki. “Terima kasih sepatunya.”“Kita masih muda, tidak salah melakukan seperti pasangan lain.”Dewa memangkas jarak dengan Rosalyn. Pria itu mengecup bibir ranum yang selalu menjadi candunya.“Ini tempat umum!” kat
“Bagaimana kondisi Lily, Kak?” tanya Rosalyn sesampainya di rumah sakit.“Air ketubannya pecah. Dia kesakitan.” Kevin tampak gelisah, pria itu masih mengenakan piama dan menutupi tubuh dengan selimut.Rosalyn menuntun Kevin supaya duduk di bangku logam depan ruang bersalin. “Kita berdoa saja semoga Lily dan bayinya selamat.”Ketiga orang itu menanti dengan gelisah. Setelah hampir setengah jam berjalan, seorang dokter menghampiri Kevin dan menjelaskan, “Bayi Nyonya Lily sebentar lagi lahir, jika suaminya ingin melihat proses persalinan, kami persilakan.”Kevin menggeleng. Justru ia mendorong Rosalyn supaya menemani Lily di dalam sana. Sebagai wanita yang pernah melahirkan, ia mencebik melihat dua pria duduk gelisah di kursi. Ia pun mendampingi Lily di ruang bersalin.Rosalyn segera menggenggam tangan iparnya. Lily sedang kesakitan setelah pembukaan jalan lahir melebar sempurna.“Semangat Lily, kamu pasti bisa,” bisik Rosalyn diangguki iparnya.Dengan bimbingan dokter spesialis kandungan
“Kenapa, Bro?” sapa Fabian sambil menyodorkan sekaleng minuman. “Orang bilang ini bagus dan tahan lama,” kata pria itu.Dewa memelotot dan menyambar kaleng, lalu membuangnya ke tempat sampah.“Tidak butuh!” sentak Dewa dengan tatapan menghunus tajam.Fabian menepuk bahu temannya dan berujar, “Jangan marah-marah, kamu bisa darah tinggi!”Dewa mendengkus kasar, baginya kalimat Fabian bukan menenangkan melainkan sebuah ejekan. Pria itu menepis kasar tangan temannya, lalu berjalan mencari Rosalyn ke dalam mansion.Pagi ini, keluarga kecil itu sengaja mengunjungi Mansion Arnold. Tentu saja, karena Tuan Jack dan Feli menitipkan beberapa hadiah untuk Lily dan calon bayinya.Akan tetapi, kening Dewa mengerut dalam ketika melihat Rosalyn berjalan sendirian tanpa keempat anak mereka.“Di mana Brahma, Arimbi, Devendra dan Daneswara?” tanya Dewa dengan tatapan menyelidik.Mendengar pertanyaan itu tentunya Rosalyn mengulum senyum. Ah, ia memang sengaja menyiapkan kejutan istimewa ini untuk suami p
“Halo, Sayang … Papa datang. Janeta sudah mandi, ya? Harum banget.” Kevin menggendong putri kecilnya yang menyambut di balik pintu. Pria itu menciumi puncak kepala Janeta dan mengayun tubuhnya, membuat putri kecil tertawa riang. Namun, di ujung lorong, seorang wanita sedang cemberut menatap ke arah Kevin.“Terima ka—” Ucapan Kevin menggantung karena wanita itu melengos saja ke dapur tanpa mengelurkan sepatah kata.Kevin menurunkan tubuh Janeta dan membiarkannya bermain, lalu ia menyusul pujaan hati yang entah kenapa memasang wajah ketus.“Kamu kenapa?” tanya Kevin.“Menurutmu, kenapa?” ketusnya.“Aku tidak tahu, Lily. Ayo, bilang,” ucap Kevin lagi.Lily menatap tajam ke arah Kevin dan berujar, “Aku bosan seharian di rumah. Aku ini biasa kerja, bukan diam di rumah. Apalagi … ka-mu lebih memperhatikan Janeta dibanding aku.” Pascadinyatakan hamil, Lily diberhentikan oleh Dewa. Wanita itu pun ikut tinggal di Milan. Dia tidak lagi sibuk mengurusi peternakan, karena Dewa berhasil mencari
“Astaga apa-apaan mereka ini?!” geram Fabian. Ia menatap layar ponsel yang tidak berhenti berpendar sedari tadi. Itu bukan masalah pekerjaan kantor, tetapi … masalah rumah tangga, terutama ranjang. Demi kelangsungan masa depannya. Meskipun sudah mengetahui isinya, tetap saja Kevin mengintip melalui pop up. Dia terbelalak ketika satu pesan kembali masuk dari adik ipar. [Tutorial posisi hubungan intim untuk memiliki keturunan secepatnya.] “Dia pikir aku pria polos? Aku ini lebih berpengalaman darinya!” Kevin melempar telepon genggam ke atas sofa, lantas berdiri sambil memandangi foto pernikahan di atas meja. Lagi, Kevin tetap membaca pesan adik iparnya. Sebagai seorang pria berpengalaman, tentu saja posisi itu tidak asing lagi. Ia pun mereguk saliva, pikirannya berfantasi liar membayangkan Lily. Gairah pria itu tersulut. Hanya saja, ia bingung menyalurkannya, sebab Lily tidak ada di sini. Pasangan itu menjalani hubungan jarak jauh. Terpaksa Kevin bertahan sampai Dewa menemukan p
“Kevin … anakku apa kabar? Ibu selalu menunggumu setiap hari, Nak. Kenapa baru datang sekarang?” berondong Mathilda dari balik partisi kaca tebal.Wanita paruh baya itu menempelkan tangannya pada penghalang, lalu menggerakkan jemari—seolah membelai pipi putra tunggalnya.“Aku datang ke sini ada perlu. Kuharap Ibu menerimanya,” kata Kevin dengan intonasi dingin dan ekspresi datar.Mathilda mengangguk dan menyahut penuh kasih, “Pasti, Nak. Ibu menerima apa pun yang terbaik untukmu.”Kulit keriput Mathilda tertarik ke atas, ia tersenyum merekah sambil meneteskan bulir bening.Lebih dari semenit keduanya terdiam saling memandangi. Entah apa yang dipikirkan kedua orang itu. Hanya saja Mathila tidak menjauhkan tangannya dari kaca tebal. Kevin pun bisa melihat tangan ibunya berkeringat.“Aku sudah menikah.”Sorot mata Mathilda berbinar. “Benarkah? Siapa gadis beruntung itu? B
“I-ini masih siang,” gugup Lily. Perempuan itu mengedarkan pandangan ke penjuru kamar. Ada ranjang besar yang disiapkan khusus pengantin baru, sofa panjang serta meja kaca dan cermin besar menggantung di depannya. Sekilas, ini kamar hotel pada umumnya. Namun, Lily dibuat asing dengan status baru ini.Sejak masuk kamar, Kevin memeluk erat tubuh sang istri dari belakang. Pria itu menggesek puncak hidungnya pada tengkuk harum. “Memangnya kenapa kalau siang? Bukahkah itu bagus, kita bisa menikmati siang dan malam di hari yang sama?” Lily mereguk saliva. Walaupun bukan pengalaman pertama berhubungan intim, tetapi … ini pertama kali bersama pria berstatus sebagai suami.“Tapi—”Ucapan Lily tertahan karena Kevin memutar tubuh wanita itu dengan cepat. “Tidak ada tapi. Kamu milikku sekarang dan selamanya.” Lily hendak menunduk, tetapi Kevin mencegahnya. Pria itu menahan dagu sang istri, lalu meraup bibir tipis yang ia rinduka
Kevin menghela napas melihat tanggapan Lily. Haruskan ia menyerah dan tenggelam ke dasar lautan patah hati? Ya, mungkin … karena ini bukanlah kali pertama gadis itu menolaknya. Pria itu menarik tangannya. Namun ….“Cincinya kebesaran. Enggak sesuai ukuran jariku,” kata gadis itu menggunakan bahasa informal . Lily mengulurkan tangan kanan, yang menampilkan jemari ramping dan mungil.Seketika Kevin memperhatikan jemari gadis itu, dan pikirannya mencerna maksud ucapan Lily barusan. Bagi seorang pria, tentunya ini merupakan teka-teki. “Umm … maksudmu?” Alis tebal Kevin terangkat.Lily tersenyum jengah mendengar pertanyaan itu. Tanpa banyak bicara, gadis itu mengambil cincin dari tangan Kevin, lalu menyematkan sendiri pada jari manisnya.“Ini kebesaran, lihat bukan?” keluh gadis itu dengan bibir merengut yang sangat menggoda.Melihat cincin pilihannya melingkar pada jari manis sang gadis pujaan hati, membuat pria itu kegirangan. Kevi
Untuk sesaat keduanya membeku di tempat. Tidak ada aksi apa pun selain saling memandang lekat-lekat dengan isi pikiran masing-masing.Lily mereguk saliva karena saat ini tubuhnya hanya tertutupi sehelai handuk putih saja. Ia meremas kain handuk dengan erat, khawatir terjadi hal yang tidak seharusnya.“Maaf, aku lancang ….” Kevin berbalik badan dan menutup pintu.Pria itu bersandar pada pintu sambil mengatur napas. Melihat kemolekan seorang wanita, ditambah memiliki kenangan ranjang membuat nalurinya sebagai lelaki tersulut gairah. Ia ingin menyentuh, membelai dan mengecup setiap jengkal kulit mulus itu. Hanya saja, tidak! Kevin melawan egonya.Pria itu kembali ke kamar. Ia menemani Janeta, dan berupaya menenangkan batita itu.Sedangkan Lily masih berdiri di depan pintu kamar mandi. Namun, napasnya tidak tegang lagi. Ada kelegaan setelah Kevin pergi.“Dia …,” gumam gadis itu sambil mengangguk.Lily menggunakan pakaian serba panjang. Entah mengapa ia teringat pada tatapan Kevin tadi. Set
Beberapa hari berlalu, Lily tampak kesulitan berpamitan dengan Janeta. Gadis itu selalu menahan diri untuk pulang ke peternakan. Pada akhirnya ia menemani Janeta di vila atau rawat jalan ke rumah sakit. Seperti hari ini, Lily mengantar Janeta bertemu dokter.Akan tetapi, gadis itu tidak menduga Kevin datang menjemputnya. Bahkan mereka makan bertiga di restoran.Setelahnya Kevin membawa Lily dan Janeta pulang.“Kamu yakin bisa sendirian? Janeta berat. Biar aku saja yang gendong,” ujar Kevin.“Saya kuat, Pak.” Lily tidak menggubris ucapan Kevin. Gadis itu merengkuh tubuh batita yang terlelap tidur dari jok belakang, menggendongnya dan membawa ke kamar.Dengan hati-hati, Lily membaringkan Janeta, lantas mengecup kening batita itu. Ia tersenyum sambil menatap wajah polos bocah kecil yang agak mirip dengan Vinsensia.“Mama sayang kamu, Janeta,” gumam Lily.Hingga derit pintu terbuka membuat Lily menoleh