Percikan air membasah di wajah Avanthe. Matanya lurus – lurus menatap setengah kosong ke depan. Sesuatu seolah membuatnya begitu takut, tetapi Avanthe berusaha keras tidak memikirkan terlalu jauh. Dia tak akan sanggup menerima kenyataan jika benar itu yang sedang menyegel seluruh kewarasannya.
Tidak mungkin.Avanthe tak dapat membayangkan hal yang mati – matian dihindari, malah meliputinya sekarang. Dia tak ingin hamil. Berharap bukan ini yang akan terjadi. Namun, desakan tidak nyaman seperti ini sudah begitu pernah dirasakan. Tahu betul gejala yang benar – benar menyakitkan ketika mengandung Hope di masa – masa awal.Dia tak ingin ini terulang lagi, tetapi bagaimana menolak keberadaan, sesuatu, yang barangkali memang ada, dan sekarang sedang bertumbuh di rahimnya?Avanthe menelan ludah kasar, jantungnya mencelus, sungguh merasa seperti ditumbuk oleh suatu atmosfer yang begitu keras dan menyakitkan. Dia membasuh wajah berulang kali, berharap dengan cara seperti iniTubuh Avanthe tersentak merasakan sesuatu yang menghantam sangat keras di ruang tamu. Wajahnya berpaling ke arah pintu, bertanya – tanya apa yang terjadi? Hantaman semacam apa yang membuat rumah Shilom seperti bergetar? Hores .... Benak Avanthe mulai berprasangka buruk. Hanya pria itu yang ada di sana, tetapi apa yang telah Hores lakukan hingga rasanya Avanthe tidak bisa membiarkan sesuatu akan bertambah semakin buruk? Dia menelan ludah kasar, sesaat melirik Hope dan sedikit lega mendapati putri kecilnya masih tidur begitu nyaman di keranjang. Perlahan, dengan langkah tentatif Avanthe berjalan keluar kamar. Menutup pintu sangat hati – hati, lalu tersentak kembali ketika suara hantaman keras yang sama meliputi tindakannya. Dia ingin memastikan Hope sekali lagi. Namun, sayup – sayup suara mendesis menyeret seluruh perhatian Avanthe untuk berpaling. Sesuatu yang tersirat begitu ganjil di sana tidak bisa dibiarkan lebih lama. Kali ini Avanthe menyusul agak terburu dan segera menahan
Napas Avanthe berembus panjang setelah susah payah memindahkan tubuh besar Hores untuk menelungkup di atas sofa. Dia masih menggebu sambil menyeka anak rambut ke belakang. Sesaat melirik ke sekitar, dan mendesah putus asa mengamati kekacauan tak terduga di ruang tamu. Ntah mana yang harus Avanthe lakukan terdahulu; memperhatikan Hores atau menyelesaikan semua yang pria itu lakukan di sini?Tanpa sadar Avanthe embusan napas Avanthe mendesak ke udara. Sesuatu dalam dirinya menuntut agar segera menatap wajah tampan yang terpejam. Hores benar – benar tidak terungkap. Tidak peduli mereka memiliki masa lalu yang utuh, nyatanya Avanthe tak mengenal pria itu secara penuh. Malah sepertinya Hores hanya mengenalkan 30 persen tentang pria itu, sementara yang tersisa mungkin tidak akan pernah sanggup Avanthe gapai. Ntahlah. Dia menggeleng dan secara tentatif mencoba melihat wajah Hores lebih dekat. Setelah dengan posisi bersimpuh di depan wajah yang menyamping ke arahnya, Avanthe mengul
Setelah menyentuhkan ujung kaki di ruang tamu, Avanthe sedikit tersentak bersama Hope di dekapannya saat menemukan Hores sudah tersadar. Pria itu sedang duduk seperti kebingungan sambil menyusupkan jari – jari tangan ke rambut hitamnya. Bahkan sama sekali tidak menyadari keberadaan yang lain—barangkali Hores sedang mengumpulkan sisa pengetahuan dari kekacauan yang telah dibuat. Baguslah. Avanthe tak akan coba mengatakan apa pun. Segera meletakkan Hope di lantai, membiarkan putri kecilnya beringsatan mengambil bola – bola, sementara dia memungut sisa – sisa yang tercecer ... tidak peduli Hores sedang mengamati atau apa saja yang akan dilakukan. Hanya ekor mata yang melirik serius saat Avanthe mendapati Hores bergerak. Menyerahkan seluruh tekad untuk mengetahui kebutuhan pria itu sekarang. Ternyata Hores hanya duduk di sana, di samping Hope sambil begitu diam mengamati bayi mereka memainkan bola lembut, yang sesekali akan lepas dari genggaman tangan Hope, kemudian
“Kau membawa Hope ke mana saja?” Hampir tidak dapat menahan diri, Avanthe langsung menyerbu Hores dengan pertanyaan yang dia tahan – tahan selama pria itu menculik bayinya pergi. Ternyata, ketika kembali, Hores membawa pelbagai belanjaan yang disusun asal – asalan di atas meja. Seluruhnya nyaris hanya diliputi makanan ringan, minuman soda, dan yang terakhir—sedang Hores pegang tanpa berusaha menanggapi pertanyaan Avanthe; es krim. Ya, pria itu sedang sibuk membuka kertas es krim, sementara Hope masih dibiarkan begitu betah duduk di sebelah pangkuan Hores sambil mengamati setiap kegiatan ayahnya. “Kau mau, Kue Buntal?” Avanthe melotot tajam mendeteksi sesuatu yang tidak beres di sini. Kekhawatirannya semakin membludak saat Hores menyedok segumpal makanan dingin itu dengan plastik pipih, lalu telah didekatkan di depan mulut Hope. Mustahil si kecil akan menolak apa pun pemberian Hores. Avanthe tidak akan membiarkan hal tersebut terjadi. Langsung mengambil
Hanya ketika putri kecilnya tertidur lelap di dekapan Hores, Avanthe bisa merasakan betapa lelah Hope bermain dengan pria menyebalkan, yang sedang menggendong tubuh montok Hope untuk kemudian diletakkan ke keranjang bayi. Mula – mula dia begitu ingin marah. Tetapi keputusan itu menjadi urung setelah Avanthe menyadarinya, ya, paling tidak Hores mau mengembalikan Hope, alih – alih membawa si kecil meninggalkan rumah Shilom secara diam - diam. Dia masih mengamati bagaimana cara pria itu memperhatikan bayi yang sedang tidur telentang, yang kadang – kadang tersenyum, mungkin Hope sedang memimpikan sesuatu, hal – hal menyenangkan, dan gadis kecil itu akan selalu menyukainya. Tanpa sadar Avanthe ikut melakukan tindakan serupa. Hampir melupakan keberadaan Hores, tiba – tiba sesuatu dalam dirinya mengingatkan supaya dia meminta pria itu meninggalkan kamar. Sambil menahan napas sesaat ketika menengadah ke arah Hores. Avanthe segera memutuskan untuk bicara. “Hope
Gumpalan asap berhamburan di udara ketika Avanthe sedang mengaduk – aduk cokelat panas yang sesekali akan dia tiup. Setelah meningggalkan Hope dan Hores berdua saja di kamar, tiba – tiba satu keinginan itu muncul. Rasanya dia semakin takut jika memikirkan kenyataan yang sedang bersarang liar di benaknya. Masih berharap kalau kebutuhan saat ini hanya suatu kebetulan. Bukan hal serius yang akan membuat desakan di kepalanya akan menyengat dengan menyakitkan. Semoga memang bukan hormon kehamilan.Avanthe menggeleng samar dan hampir melebarkan senyum getir di wajah. Tangannya pelan sekali masih mengaduk cokelat panas di cangkir yang dipegangi. Dia memilih duduk melamun di depan rumah Shilom, membiarkan angin terkadang akan menyapu kulit dengan deras, yang juga terkadang akan berupa sayup – sayup. Setidaknya memang tidak terlalu buruk berada di sini. Avanthe dapat menyaksikan beberapa kendaraan—sangat jarang, akan melewati jalanan sepi. Setelah asap tidak lagi mengepul dan p
“Ada apa dengan dinding rumah ini, Ava. Kenapa bisa berlubang dan retak – retak begitu?” Avanthe meringis. Untuk pertama kali, itulah yang dia hadapi dari kepulangan Shilom. Dugaan yang tepat bahwa wanita tersebut akan mempertanyakan hal – hal demikian. Ujung jari Shilom telah menyusuri beberapa bagian, ntah wanita itu berusaha mencari tahu sendiri dan pada akhirnya tidak ada jawaban pasti ditemukan. Avanthe nyaris tidak dapat memikirkan apa pun sekadar mengungkapkan jawaban. Dia takut mengatakan yang sebenarnya, tetapi juga sulit menemukan kebohongan yang sempurna agar tidak menimpali pertanyaan – pertanyaan Shilom yang akan datang dengan kebohongan yang lain. Kontribusi Hores dan kekacauan di sini terlalu mencolok. Rasanya hampir tidak ada kesempatan untuk memperbaiki. Pada saat Shilom menatap ke arahnya, Avanthe masih tidak sanggup mempertimbangkan mana yang lebih baik ataupun tidak. “Berapa harga cat dan dinding rumah-mu? Akan kuganti setelah ini dan Nicky yang akan mengur
“Setelah memberinya es krim. Jangan coba – coba kau berikan kopi yang kelam, suram sepertimu kepada Hope.”Avanthe tak sanggup menahan diri menyaksikan segelas kopi yang diangkat begitu dekat di wajah Hope, akan segera memberi si kecil itu suatu tujuan. Dia bersyukur telah mengambil keputusan yang tepat untuk menjulang tinggi dengan perasaan jengkel. Pada akhirnya Hores berhenti dan hanya menatap—khas wajah tidak berdosa sepanjang masa. Andai kepalan tangan Avanthe yang mantap dapat melayang di sudut rahang, atau paling menyenangkan adalah mengebom tulang pipi Hores, tetapi itu tidak pernah dia lakukan. Avanthe hanya mengambil Hope, lantas membiarkan pria itu menggeram tertahan. Peduli setan. Avanthe memutuskan pergi ke kamar, membawa Hope di gendongannya, kemudian membuka pintu kamar. Dia menutup kembali saat akan melanjutkan sisa langkah menuju ke arah ranjang. Duduk di pinggir kasur sambil menyeka ujung kain di tubuhnya. Reaksi Hope pertama kali terlihat begitu