Gumpalan asap berhamburan di udara ketika Avanthe sedang mengaduk – aduk cokelat panas yang sesekali akan dia tiup. Setelah meningggalkan Hope dan Hores berdua saja di kamar, tiba – tiba satu keinginan itu muncul. Rasanya dia semakin takut jika memikirkan kenyataan yang sedang bersarang liar di benaknya. Masih berharap kalau kebutuhan saat ini hanya suatu kebetulan. Bukan hal serius yang akan membuat desakan di kepalanya akan menyengat dengan menyakitkan.
Semoga memang bukan hormon kehamilan.Avanthe menggeleng samar dan hampir melebarkan senyum getir di wajah. Tangannya pelan sekali masih mengaduk cokelat panas di cangkir yang dipegangi. Dia memilih duduk melamun di depan rumah Shilom, membiarkan angin terkadang akan menyapu kulit dengan deras, yang juga terkadang akan berupa sayup – sayup. Setidaknya memang tidak terlalu buruk berada di sini. Avanthe dapat menyaksikan beberapa kendaraan—sangat jarang, akan melewati jalanan sepi.Setelah asap tidak lagi mengepul dan p“Ada apa dengan dinding rumah ini, Ava. Kenapa bisa berlubang dan retak – retak begitu?” Avanthe meringis. Untuk pertama kali, itulah yang dia hadapi dari kepulangan Shilom. Dugaan yang tepat bahwa wanita tersebut akan mempertanyakan hal – hal demikian. Ujung jari Shilom telah menyusuri beberapa bagian, ntah wanita itu berusaha mencari tahu sendiri dan pada akhirnya tidak ada jawaban pasti ditemukan. Avanthe nyaris tidak dapat memikirkan apa pun sekadar mengungkapkan jawaban. Dia takut mengatakan yang sebenarnya, tetapi juga sulit menemukan kebohongan yang sempurna agar tidak menimpali pertanyaan – pertanyaan Shilom yang akan datang dengan kebohongan yang lain. Kontribusi Hores dan kekacauan di sini terlalu mencolok. Rasanya hampir tidak ada kesempatan untuk memperbaiki. Pada saat Shilom menatap ke arahnya, Avanthe masih tidak sanggup mempertimbangkan mana yang lebih baik ataupun tidak. “Berapa harga cat dan dinding rumah-mu? Akan kuganti setelah ini dan Nicky yang akan mengur
“Setelah memberinya es krim. Jangan coba – coba kau berikan kopi yang kelam, suram sepertimu kepada Hope.”Avanthe tak sanggup menahan diri menyaksikan segelas kopi yang diangkat begitu dekat di wajah Hope, akan segera memberi si kecil itu suatu tujuan. Dia bersyukur telah mengambil keputusan yang tepat untuk menjulang tinggi dengan perasaan jengkel. Pada akhirnya Hores berhenti dan hanya menatap—khas wajah tidak berdosa sepanjang masa. Andai kepalan tangan Avanthe yang mantap dapat melayang di sudut rahang, atau paling menyenangkan adalah mengebom tulang pipi Hores, tetapi itu tidak pernah dia lakukan. Avanthe hanya mengambil Hope, lantas membiarkan pria itu menggeram tertahan. Peduli setan. Avanthe memutuskan pergi ke kamar, membawa Hope di gendongannya, kemudian membuka pintu kamar. Dia menutup kembali saat akan melanjutkan sisa langkah menuju ke arah ranjang. Duduk di pinggir kasur sambil menyeka ujung kain di tubuhnya. Reaksi Hope pertama kali terlihat begitu
Berulang kali hal yang sama terus dilakukan. Avanthe lamat – lamat mengamati dirinya di depan cermin. Gaun merah yang Kai berikan ternyata cukup terbuka di bagian dada hingga bahu dengan bekas luka cambuk di sana. Tidak tahu harus diapakan rambut panjang yang menjuntai. Avanthe tak yakin jika akan memperlihatkan seberapa kelam, dan sesuatu yang tak pernah terungkap dengan indah.Dia berbalik badan hanya untuk memperhatikan lebih serius bagaimana bekas cambuk memanjang masih serupa hal mengerikan di benaknya. Dengan tangan sedikit bergetar ketika menyapukan ujung jari di bahu sendiri, bibir Avanthe segera melekuk getir. Mungkin tidak. Ya, dia tidak akan menjadikan rambutnya, mengikat, atau membentuk pelbagai jenis mode dengan keadaan gaun seperti ini. Terlalu buruk sekadar mengingatnya. Biarkan helaian panjang itu menjuntai. Avanthe harap Kai tidak keberatan saat mereka bertemu. Dia mengembuskan napas kasar. Kembali mengatur posisi lurus – lurus menghadap cermin. Tidak ada l
“Kau suka pesta-nya?” Avanthe tersenyum menanggapi pertanyan Kai yang tiba – tiba merambat setelah hening beberapa saat. Banyak perisitwa indah di sini. Dia mengagumi detil dari konsep pesta dan pemiliknya yang begitu ramah. Mereka berbicara, tetapi Avanthe tidak ingin bersikap tamak dengan mengambil ruang bagi tamu lainnya. Giliran. Ya, dan sekarang dia hanya duduk menikmati hidangan makan malam. Kai selalu begitu dekat. Pria dengan setelah jas hitam dan kemeja putih yang kontras. Tampan ... mengimbangi mata kebiruan pria itu. “Aku suka,” jawab Avanthe usai melewati waktu beberapa saat. Sudut bibir Kai melekuk dengan tujuan bahwa mereka akan segera menyelesaikan hidangan di atas meja. Begini lebih baik. Avanthe sangat menikmati sentuhan rasa manis dari makanan penutup. Puding yang kenyal dan teksur lembut yang menyeluruh di lidahnya benar – benar menakjubkan. “Sepertinya kau sangat menyukai apa pun yang ada di sini. Lain kali, jika aku mendapat undangan pesta lagi, kau akan kua
Avanthe pikir Hores akan memberi Hope satu suapan. Tidak. Malahan pria itu seperti hanya menggoda si bayi ketika sudah membuka mulut. Dia segera mengatupkan bibir ketika Hores terkekeh pelan. Pria itu sedang menyaksikan bagaimana mata bulat terang Hope seolah menyimpan sesuatu untuk diasumsikan, persis menatap penuh dendam karena Hores telah mempermainkan keseriusannya. Avanthe tidak tahu harus tersenyum atau merasa kasihan, tetapi dia sedikit lega jika memang Hores tak memiliki niat sekadar memberi Hope puding. Dengan menyaksikan pria itu lagi – lagi membohongi putri kecilnya, lalu tertawa samar – samar, begitu puas, bahkan tampaknya benar – benar terhibur. Avanthe akhirnya mengambil langkah mundur. Kembali duduk di sisi Kai, meski sejak awal tatapan Kai tak pernah meninggalkan setiap apa pun keputusannya. “Anakmu akan baik – baik saja.” Begitu yang Kai bisikkan, terlalu hati – hati hingga Avanthe mengangguk pelan. Dia setuju setelah mengamati cara Hor
“Kau benar, Kai. Aku rasa aku—aku ma—“ “Lebih baik kau selesaikan urusanmu di rumah.” Suara dalam—khas—familiar, menyela-nya. Jawaban Avanthe tergantung di ujung tenggorokan. Dia membeku. Hanya dalam sekejap semua tiba – tiba berhenti seperti sebuah keputusan mutlak. Tidak ada yang menyangka Hores akan muncul seperti penjelmaan yang digariskan. Rahang pria itu bergemelatuk. Bagaimanapun telah berhasil memisahkan tubuh Avanthe dan Kai saat masih dengan posisi berdansa, walau mereka tidak bergerak. “Apa yang kau lakukan di sini?” Keterkejutan menyengat di sekitar mereka. Avanthe tidak bisa membiarkan Hores mengambil peran terlalu jauh. Membawa Hope di tempat ini tanpa izin atau bertanya padanya lebih dulu adalah sesuatu yang keliru, dan sekarang pria itu berusaha menghentikan percakapan yang Kai tawarkan secara serius, supaya kesepakatan menikah tidak pernah terjadi, begitu? Avanthe memiliki banyak hal yang dapat dia ungkapkan. Namun
“Mengapa kau berhenti di sini? Aku tidak mau. Bawa kami pulang ke rumah!”Sejak awal pemikiran itu sudah menyergap di puncak kepala Avanthe. Dia mendeteksi keinginan yang melebar di bahu Hores selama dalam perjalanan menuju pulang. Beberapa tikungan ganjil yang mereka lewati sudah memberitahu, dan sekarang ... di hadapan gedung mentereng, keraguan terungkap jelas di benak Avanthe. Dia hati – hati mengatur posisi tidur Hope ketika Hores bahkan sama sekali tak menaruh minat melirik ke arahnya. Pria itu beranjak keluar dari mobil, tetapi tak dimungkiri bahwa satu tindakan Hores yang jantan adalah membukakan pintu untuknya. Baguslah jika pria itu tahu konsep sederhana mengenai si bayi. Sungguh, mata gelap Hores hanya terpaku pada gadis kecil yang sedang tertidur lelap. Rasanya Avanthe enggan menurut pada keinginan itu, dia ingin menetap di sini, di sandaran jok yang empuk. Ironi. Mengetahui Shilom berada sekian jengkal jarak di antara mereka, segera membuat puncak kepala A
Keterkejutan menyergapnya ketika Avanthe menyadari pintu terbuka dan wajah Hores muncul dengan riak berbeda. Dia tidak tahu harus berkata – kata seperti apa ... baru saja berniat untuk mengikat tali gaun tidur, dan untunglah telah berpakaian utuh di hadapan pria yang sedang menyibukkan diri menatap Hope di keranjang bayi sambil satu tangan bergerak fokus membuka satu demi satu kancing kemeja gelapnya. Ntah apa yang sedang Hores pikirkan dengan terus – terusan mengamati gadis kecil mereka. Avanthe berusaha menentukan pilihan, bertanya – tanya haruskah sekarang dia mengatakan sesuatu? Paling tidak, mengungkapkan perasaan ganjil yang seolah sedang terperangkap deras di benaknya. Sedikit penambahan, perlu pengumpulan udara yang membludak supaya akan terasa jelas ketakutan itu tidak mengikuti bahu Avanthe. Dia buru – buru menyelesaikan ikatan tertunda di bagian pinggul, kemudian mengambil satu langkah lebih dekat. Menatap Hores hingga pria itu melirik ke arahnya.