Setelah menyentuhkan ujung kaki di ruang tamu, Avanthe sedikit tersentak bersama Hope di dekapannya saat menemukan Hores sudah tersadar. Pria itu sedang duduk seperti kebingungan sambil menyusupkan jari – jari tangan ke rambut hitamnya. Bahkan sama sekali tidak menyadari keberadaan yang lain—barangkali Hores sedang mengumpulkan sisa pengetahuan dari kekacauan yang telah dibuat.
Baguslah. Avanthe tak akan coba mengatakan apa pun. Segera meletakkan Hope di lantai, membiarkan putri kecilnya beringsatan mengambil bola – bola, sementara dia memungut sisa – sisa yang tercecer ... tidak peduli Hores sedang mengamati atau apa saja yang akan dilakukan. Hanya ekor mata yang melirik serius saat Avanthe mendapati Hores bergerak. Menyerahkan seluruh tekad untuk mengetahui kebutuhan pria itu sekarang. Ternyata Hores hanya duduk di sana, di samping Hope sambil begitu diam mengamati bayi mereka memainkan bola lembut, yang sesekali akan lepas dari genggaman tangan Hope, kemudian“Kau membawa Hope ke mana saja?” Hampir tidak dapat menahan diri, Avanthe langsung menyerbu Hores dengan pertanyaan yang dia tahan – tahan selama pria itu menculik bayinya pergi. Ternyata, ketika kembali, Hores membawa pelbagai belanjaan yang disusun asal – asalan di atas meja. Seluruhnya nyaris hanya diliputi makanan ringan, minuman soda, dan yang terakhir—sedang Hores pegang tanpa berusaha menanggapi pertanyaan Avanthe; es krim. Ya, pria itu sedang sibuk membuka kertas es krim, sementara Hope masih dibiarkan begitu betah duduk di sebelah pangkuan Hores sambil mengamati setiap kegiatan ayahnya. “Kau mau, Kue Buntal?” Avanthe melotot tajam mendeteksi sesuatu yang tidak beres di sini. Kekhawatirannya semakin membludak saat Hores menyedok segumpal makanan dingin itu dengan plastik pipih, lalu telah didekatkan di depan mulut Hope. Mustahil si kecil akan menolak apa pun pemberian Hores. Avanthe tidak akan membiarkan hal tersebut terjadi. Langsung mengambil
Hanya ketika putri kecilnya tertidur lelap di dekapan Hores, Avanthe bisa merasakan betapa lelah Hope bermain dengan pria menyebalkan, yang sedang menggendong tubuh montok Hope untuk kemudian diletakkan ke keranjang bayi. Mula – mula dia begitu ingin marah. Tetapi keputusan itu menjadi urung setelah Avanthe menyadarinya, ya, paling tidak Hores mau mengembalikan Hope, alih – alih membawa si kecil meninggalkan rumah Shilom secara diam - diam. Dia masih mengamati bagaimana cara pria itu memperhatikan bayi yang sedang tidur telentang, yang kadang – kadang tersenyum, mungkin Hope sedang memimpikan sesuatu, hal – hal menyenangkan, dan gadis kecil itu akan selalu menyukainya. Tanpa sadar Avanthe ikut melakukan tindakan serupa. Hampir melupakan keberadaan Hores, tiba – tiba sesuatu dalam dirinya mengingatkan supaya dia meminta pria itu meninggalkan kamar. Sambil menahan napas sesaat ketika menengadah ke arah Hores. Avanthe segera memutuskan untuk bicara. “Hope
Gumpalan asap berhamburan di udara ketika Avanthe sedang mengaduk – aduk cokelat panas yang sesekali akan dia tiup. Setelah meningggalkan Hope dan Hores berdua saja di kamar, tiba – tiba satu keinginan itu muncul. Rasanya dia semakin takut jika memikirkan kenyataan yang sedang bersarang liar di benaknya. Masih berharap kalau kebutuhan saat ini hanya suatu kebetulan. Bukan hal serius yang akan membuat desakan di kepalanya akan menyengat dengan menyakitkan. Semoga memang bukan hormon kehamilan.Avanthe menggeleng samar dan hampir melebarkan senyum getir di wajah. Tangannya pelan sekali masih mengaduk cokelat panas di cangkir yang dipegangi. Dia memilih duduk melamun di depan rumah Shilom, membiarkan angin terkadang akan menyapu kulit dengan deras, yang juga terkadang akan berupa sayup – sayup. Setidaknya memang tidak terlalu buruk berada di sini. Avanthe dapat menyaksikan beberapa kendaraan—sangat jarang, akan melewati jalanan sepi. Setelah asap tidak lagi mengepul dan p
“Ada apa dengan dinding rumah ini, Ava. Kenapa bisa berlubang dan retak – retak begitu?” Avanthe meringis. Untuk pertama kali, itulah yang dia hadapi dari kepulangan Shilom. Dugaan yang tepat bahwa wanita tersebut akan mempertanyakan hal – hal demikian. Ujung jari Shilom telah menyusuri beberapa bagian, ntah wanita itu berusaha mencari tahu sendiri dan pada akhirnya tidak ada jawaban pasti ditemukan. Avanthe nyaris tidak dapat memikirkan apa pun sekadar mengungkapkan jawaban. Dia takut mengatakan yang sebenarnya, tetapi juga sulit menemukan kebohongan yang sempurna agar tidak menimpali pertanyaan – pertanyaan Shilom yang akan datang dengan kebohongan yang lain. Kontribusi Hores dan kekacauan di sini terlalu mencolok. Rasanya hampir tidak ada kesempatan untuk memperbaiki. Pada saat Shilom menatap ke arahnya, Avanthe masih tidak sanggup mempertimbangkan mana yang lebih baik ataupun tidak. “Berapa harga cat dan dinding rumah-mu? Akan kuganti setelah ini dan Nicky yang akan mengur
“Setelah memberinya es krim. Jangan coba – coba kau berikan kopi yang kelam, suram sepertimu kepada Hope.”Avanthe tak sanggup menahan diri menyaksikan segelas kopi yang diangkat begitu dekat di wajah Hope, akan segera memberi si kecil itu suatu tujuan. Dia bersyukur telah mengambil keputusan yang tepat untuk menjulang tinggi dengan perasaan jengkel. Pada akhirnya Hores berhenti dan hanya menatap—khas wajah tidak berdosa sepanjang masa. Andai kepalan tangan Avanthe yang mantap dapat melayang di sudut rahang, atau paling menyenangkan adalah mengebom tulang pipi Hores, tetapi itu tidak pernah dia lakukan. Avanthe hanya mengambil Hope, lantas membiarkan pria itu menggeram tertahan. Peduli setan. Avanthe memutuskan pergi ke kamar, membawa Hope di gendongannya, kemudian membuka pintu kamar. Dia menutup kembali saat akan melanjutkan sisa langkah menuju ke arah ranjang. Duduk di pinggir kasur sambil menyeka ujung kain di tubuhnya. Reaksi Hope pertama kali terlihat begitu
Berulang kali hal yang sama terus dilakukan. Avanthe lamat – lamat mengamati dirinya di depan cermin. Gaun merah yang Kai berikan ternyata cukup terbuka di bagian dada hingga bahu dengan bekas luka cambuk di sana. Tidak tahu harus diapakan rambut panjang yang menjuntai. Avanthe tak yakin jika akan memperlihatkan seberapa kelam, dan sesuatu yang tak pernah terungkap dengan indah.Dia berbalik badan hanya untuk memperhatikan lebih serius bagaimana bekas cambuk memanjang masih serupa hal mengerikan di benaknya. Dengan tangan sedikit bergetar ketika menyapukan ujung jari di bahu sendiri, bibir Avanthe segera melekuk getir. Mungkin tidak. Ya, dia tidak akan menjadikan rambutnya, mengikat, atau membentuk pelbagai jenis mode dengan keadaan gaun seperti ini. Terlalu buruk sekadar mengingatnya. Biarkan helaian panjang itu menjuntai. Avanthe harap Kai tidak keberatan saat mereka bertemu. Dia mengembuskan napas kasar. Kembali mengatur posisi lurus – lurus menghadap cermin. Tidak ada l
“Kau suka pesta-nya?” Avanthe tersenyum menanggapi pertanyan Kai yang tiba – tiba merambat setelah hening beberapa saat. Banyak perisitwa indah di sini. Dia mengagumi detil dari konsep pesta dan pemiliknya yang begitu ramah. Mereka berbicara, tetapi Avanthe tidak ingin bersikap tamak dengan mengambil ruang bagi tamu lainnya. Giliran. Ya, dan sekarang dia hanya duduk menikmati hidangan makan malam. Kai selalu begitu dekat. Pria dengan setelah jas hitam dan kemeja putih yang kontras. Tampan ... mengimbangi mata kebiruan pria itu. “Aku suka,” jawab Avanthe usai melewati waktu beberapa saat. Sudut bibir Kai melekuk dengan tujuan bahwa mereka akan segera menyelesaikan hidangan di atas meja. Begini lebih baik. Avanthe sangat menikmati sentuhan rasa manis dari makanan penutup. Puding yang kenyal dan teksur lembut yang menyeluruh di lidahnya benar – benar menakjubkan. “Sepertinya kau sangat menyukai apa pun yang ada di sini. Lain kali, jika aku mendapat undangan pesta lagi, kau akan kua
Avanthe pikir Hores akan memberi Hope satu suapan. Tidak. Malahan pria itu seperti hanya menggoda si bayi ketika sudah membuka mulut. Dia segera mengatupkan bibir ketika Hores terkekeh pelan. Pria itu sedang menyaksikan bagaimana mata bulat terang Hope seolah menyimpan sesuatu untuk diasumsikan, persis menatap penuh dendam karena Hores telah mempermainkan keseriusannya. Avanthe tidak tahu harus tersenyum atau merasa kasihan, tetapi dia sedikit lega jika memang Hores tak memiliki niat sekadar memberi Hope puding. Dengan menyaksikan pria itu lagi – lagi membohongi putri kecilnya, lalu tertawa samar – samar, begitu puas, bahkan tampaknya benar – benar terhibur. Avanthe akhirnya mengambil langkah mundur. Kembali duduk di sisi Kai, meski sejak awal tatapan Kai tak pernah meninggalkan setiap apa pun keputusannya. “Anakmu akan baik – baik saja.” Begitu yang Kai bisikkan, terlalu hati – hati hingga Avanthe mengangguk pelan. Dia setuju setelah mengamati cara Hor