Beberapa bulan kemudian.Tok ... tok ... tok ...Gilang mendengkus keras ketika ada yang mengetuk pintu rumahnya berkali-kali, bukan hanya mengetuk pintu saja, tapi juga memencet bel rumah itu tanpa jeda. Jelas saja hal itu sangat menganggu tidurnya.Mau tak mau Gilang bangun dari tidurnya, dia langsung berjalan ke arah pintu. Ketika pintu sudah dia buka, Gilang menatap seseorang yang sedari tadi mengusik ketenangannya itu dengan tajam."Permisi, Pak. Maaf telah menganggu waktunya, ini ada paket atas nama Gilang, apa benar itu adalah Anda? Karena di sini tertera alamat rumahnya ada di sini," tanya kurir itu dengan ramah.Gilang terdiam beberapa saat, kemudian mengangguk pelan. "Iya, emang ada apa? Siapa yang mengirimnya? Setahu saya, saya tidak pernah belanja online," kata Gilang dengan dahi berkerut.Kurir itu tampak membolak-balik paket tersebut. Sepertinya tengah mencari tahu apa isi di dalamnya."Sepertinya sejenis kertas, Pak," sahut kurir itu.Gilang manggut-manggut, dia langsun
Gilang langsung menggendong bayi itu, ketika bayi itu sudah berada digendongnya, tiba-tiba saja dia melihat sebuah surat yang ada di kereta dorong, di mana tempat bayi itu diletakkan.Dengan cepat dia mengambil surat itu.[Sesuai dengan apa yang aku ucapkan. Ketika bayi itu lahir, aku akan memberikannya padamu. Aku sudah menunaikan janjiku, dan aku mohon padamu untuk sayangi bayi ini setulus hatimu. Aku sudah memberikan nama bayi ini, Amanda Jafran, itulah namanya. Panggil dia Manda. Dia cantik, wajahnya mirip seperti dirimu.]Gilang meremas kertas itu, matanya tampak berkaca-kaca ketika melihat bayi itu sedang tidur. Wajahnya begitu menenangkan."Tidak. Dia cantik seperti dirimu, Kasih," lirih pria itu.Gilang langsung bergegas menuju ke arah jalanan, dia sangat berharap jika masih bisa bertemu dengan wanita itu. Wanita yang selama ini dia rindukan, tapi semesta seakan tak berpihak padanya. Gilang sama sekali tak melihat kehadiran wanita itu. Padahal kalau dipikir-pikir belum begitu
Lima tahun kemudian."Bunda. Aku pulang."Kasih menatap anak lelakinya dengan dahi mengernyit, tak biasanya anaknya bertindak seperti itu."Kenapa wajahnya cemberut begitu, ada apa, hem?" tanya Kasih lembut, menyuruh anak itu untuk mendekat ke arahnya. Bastian pun menurut."Kenapa?"Anak itu menggeleng pelan, membuat Kasih menghela napas panjang."Bastian lapar, Nak?"Lagi-lagi anak itu menjawab dengan gelengan saja."Terus kenapa, coba bicara sama Bunda. Bicara pelan-pelan, Bastian kenapa?" tanya Kasih sekali lagi."Tadi aku dimarahin sama Bu Dina, dia marah-marah kalau aku belum bayar SPP selama dua bulan, Bun," adu anak lelaki itu dengan wajah cemberut.Kasih mengusap kepala anaknya secara perlahan. "Besok kita bayar ya, biar Bastian nggak dimarahin lagi."Bastian menatap wajah ibunya dengan iba. "Memangnya Bunda udah punya uang? Jualan Bunda udah laku banyak ya?"Kasih mengangguk sambil tersenyum lebar. "Iya, tadi ada orang yang beli dagangan Bunda, dia borong semuanya. Bastian ng
Di sisi lain pun sama halnya dengan kehidupan seseorang. Selain banyak yang berubah di kehidupan Kasih, Gilang pun merasakan hal yang sama.Saat ini pria itu tengah mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, karena anak kesayangannya selalu saja menyuruhnya untuk segera pulang.Kini mobil itu pun sudah sampai di pelataran rumahnya, Gilang cepat-cepat turun dari mobil itu, mengetuk rumahnya berkali-kali hingga pada akhirnya ada seorang wanita cantik yang membukakan pintu rumah itu."Di mana Manda?" tanya Gilang tak sabaran."Manda sedang ada di kamar, dia tidak mau makan, Pak."Gilang mengangguk paham, dia cepat-cepat berjalan menuju kamar anaknya, baru saja ingin menaiki tangga, tiba-tiba saja wanita itu memanggilnya."Pak, Anda pasti kelelahan. Apa Anda tidak ingin istirahat saja terlebih dahulu, atau ingin makan malam. Kebetulan saya sudah membuatkan makan malam untuk Anda," kata wanita itu lembut.Gilang menghela napas berat. Dia tahu kalau pengasuh anaknya itu tertarik padanya
"Tiara!" panggil Gilang, suara pria itu tampak menggelegar. Bahkan Tiara saja sampai terkejut dengan suara Gilang, wanita itu menuju ke arah Gilang dengan langkah cepat. Sudah wanita itu prediksi jika Gilang pasti sedang marah."Iya, Pak. Ada apa?" tanya wanita itu gugup."Kamu ini seharian di sini ngapain aja? Kenapa nggak pernah becus ngurusin anakku, hah?!" bentak pria itu seraya berkacak pinggang."Maksud Anda seperti apa, Pak? Saya sudah mengurus Manda dengan baik," sahut wanita itu dengan kepala menunduk, dia sama sekali tidak berani menatap Gilang. Menurutnya, ketika Gilang emosi, wajahnya tampak menyeramkan."Mengurus anakku dengan baik?" tanya Gilang remeh. "Tadi bukannya kamu bilang kalau Manda belum makan malam? Apa itu disebut mengurus dengan baik? Sia-sia aku karena udah gaji kamu!" sentak pria itu."Maafkan saya, Pak. Saya sudah berusaha membujuk Manda, tapi dia memang susah kalau disuruh makan," jelas wanita itu."Apa kamu tidak bisa merayunya, huh? Di mana sisi keibua
"Ini aku bayar SPP Bastian selama tiga bulan," kata Kasih dengan suara tegas. Dia menatap wanita berhijab itu dengan tatapan tajam."Oh, bayar spp ya? Udah punya pemasukan sekarang dong," ejek wanita itu."Mau punya pemasukan atau tidak, itu sama sekali tidak ada urusannya sama kamu. Dina, kamu boleh bersikap ketus sama aku, tapi tolong jangan libatkan Bastian dalam hal ini, dia itu masih kecil, nggak tahu apa-apa. Harusnya kamu sebagai guru itu memberi contoh yang benar pada anak didiknya, bukan malah seperti ini. Aku sudah bilang berkali-kali sama kamu, masalah pembayaran kamu langsung ngomong sama aku, jangan ke anakku!" bentak Kasih.Dina diam saja, dia menatap Kasih dengan sinis seraya melipatkan kedua tangannya di dada. Dina memang membenci Kasih, sangat. Bahkan dia memperlihatkan hal itu secara terang-terangan. Bukan tanpa sebab Dina seperti itu, Dina membenci Kasih karena Kasih berusaha merebut Bima darinya."Terserah aku dong, di sini, kan, aku gurunya. Kenapa jadi kamu yang
Tok ... tok ... tok ...Bastian dan Kasih saling menatap satu sama lain. Mereka sudah menduga jika yang datang adalah Bima."Biar aku yang bukain, Bun," kata anak itu.Ketika Bastian ingin bangun dari duduknya, Kasih langsung memegang tangan Kasih seraya menggeleng cepat."Tidak usah, kita teruskan makan saja.""Tapi, Bun.""Biarkan saja, biar dia mengira kalau kita tidak ada di rumah.""Tapi, Bun. Kasihan Om Bima.""Bastian, dengar Bunda. Mulai saat ini kita nggak usah lagi dekat-dekat dengan om Bima.""Kenapa, Bun? Emangnya om Bima jahat sama kita?""Pokoknya jangan dekat-dekat, sekarang habiskan makananmu!""Iya, Bun," kata Bastian patuh.Mereka pun kembali melanjutkan acara makannya."Kasih, aku tahu kamu ada di dalam. Kenapa nggak dibuka pintunya?"Lagi-lagi Bastian dan Kasih saling pandang, tapi kali ini Bastian tidak berani berbicara lagi.Kasih menghela napas berat, berdiri dari duduknya lalu melangkah menuju pintu, tapi sebelum benar-benar dia melangkahkan kakinya, wanita itu
"Tumben kamu Mas mau jemput aku?" tanya Dina seraya mengernyit heran."Iya, sekalian ada yang mau aku omongin sama kamu, cepat naik," sahut Bima datar, menyuruh wanita itu agar segera naik di motornya.Dina mengangguk patuh, dia langsung menaiki motor itu. Tanpa berkata-kata, Bima langsung menjalankan motor itu, tanpa menunggu aba-aba dari Dina, beruntungnya wanita itu sudah siap naik, jika tidak, mungkin saja wanita itu akan terjungkal.Bima menyetir motor itu dengan kecepatan tinggi, membuat mulut Dina komat-kamit tidak jelas."Jangan ngebut-ngebut dong nyetirnya, coba lihat, hijabku terbang-terbang jadinya, kan, nanti kalau lepas gimana?" omel wanita itu.Bima tak menyahut ucapan wanita itu, kendati demikian Bima memelankan laju motornya."Kamu ini kenapa sih Mas, lagi bete? Badmood? Atau lagi marah?" tanya Dina kepo.Lagi dan lagi Bima menghiraukan Dina, membuat wanita itu mendengkus keras.'Apaan sih, aku ngomong didiemin terus, nggak asik banget,' keluh wanita itu dalam hati.Be
Tidak ada yang paling membahagiakan menurut Gilang selain menikah dengan orang yang dia cintai.Wanita yang selama ini dia tunggu-tunggu kehadirannya akhirnya sudah berada digenggamannya untuk selamanya.Kebahagiaan Gilang terasa sangat lengkap karena kedua anak yang lahir dari perut Kasih, wanita yang dicintainya.Ya, bukankah pria itu dari dulu sangat menginginkan hal itu? Mungkin dulunya Kasih menganggap jika omongan Gilang hanya candaan belaka, tapi tidak menurut Gilang, pria itu benar-benar sangat serius mengatakannya.Dulu, hubungan mereka sangatlah salah, tidak pantas ditiru untuk siapapun. Sebatas partner di atas ranjang, karena dia begitu kesepian, dan dia memanfaatkan Kasih karena wanita itu sangat membutuhkan bantuan.Gilang menggeleng seraya tersenyum kecil ketika mengingat awal pertemuan mereka yang menurut pria itu sangat berkesan."Ngapain senyum-senyum sendiri? Hayo, pasti lagi mikirin sesuatu," celetuk Kasih. Wanita itu menatap suaminya penuh curiga."Iya nih, tahu aj
"Selamat ya, akhirnya hari-hari yang kalian tunggu tiba juga," celetuk Fandi seraya menyalami Gilang."Makasih, Bro. Kalau bukan karena kamu, pasti hari ini nggak akan terjadi," ucap Gilang dengan suara tulus.Fandi tertawa kecil. "Habisnya aku greget banget sama hubungan kalian berdua. Sama-sama mau tapi gengsinya gede banget. Wanita itu memang harus digertak, kalau nggak digituin nanti malah teus mengulur waktu. Dan ya ... rencanaku berhasil, kan. Pada dasarnya itu Kasih cinta sama kamu, terlihat begitu jelas dengan tatapan matanya. Cuma ya seperti tadi yang aku bilang, gengsinya wanita itu besar. Yang dia mau lelaki harus berusaha sekuat mungkin berjuang buat meyakinkan dia, kalau sudah dirasa cukup barulah dia nerima kamu. Pikiran wanita itu gampang ditebak," celoteh Fandi panjang lebar."Ya, ya, ya. Terserah kamu bilang apa, intinya aku berterima kasih karena pada akhirnya kami sudah menikah, itu semua berkat kamu."Fandi menepuk pundak Gilang dengan pelan. "Sama-sama, tapi aku y
"Apa kamu menyesal karena sudah melakukan kesalahan fatal, Dina?" tanya Bima sinis.Wanita itu tak berani menatap calon suaminya itu, dia benar-benar begitu malu.Karena melihat Dina diam saja, Bima pun duduk di hadapan wanita itu, pria itu menghela napas berat."Sejujurnya aku nggak mau lihat kamu seperti ini, tapi ... kamu memang pantas dihukum seperti ini, karena kesalahanmu itu. Apa sampai saat ini kamu belum menyadari kesalahanmu itu? Apa sampai saat ini kamu masih menyalahkan aku dan Kasih karena kami dekat? Dan masih benci dengan Bastian yang jelas-jelas anak itu tidak memiliki kesalahan apapun? Apa kamu masih mempertahankan egomu itu, Dina?" tanya Bima secara beruntun.Tak lama setelah itu, terdengar suara isak tangis dari wanita itu. Sejujurnya Bima tak tega mendengarnya, ingin sekali memeluk wanita itu, tapi mati-matian ia tahan, dia ingin kalau Dina menyadari kesalahannya."Aku ... aku sangat menyesal, Mas. Aku menyesal. Seandainya saja waktu bisa diputar kembali, aku nggak
Gilang tersenyum puas karena pada akhirnya Tiara sudah masuk ke dalam penjara. Untuk sebagai bukti yang akan dia tujukan pada calon istrinya itu, Kasih, jadi dia mengambil foto Tiara ketika sedang di dalam penjara."Gimana? Enak, kan, rasanya hidup di sini. Makan gratis, nggak ngapa-ngapain lagi, harusnya kamu berterima kasih sama aku," kata pria itu dengan bangga.Tiara menggerakkan giginya. Rasa amarah dan juga malu menjadi satu.Niatnya ingin memiliki pria itu, malah berakhir seperti ini. Sungguh mengenaskan."Saya mohon, Pak. Tolong bebaskan saya dari sini," mohon wanita itu."Gimana? Kamu minta untuk dibebaskan? Bukannya di sini tempatnya sungguh nyaman?" Lagi-lagi Gilang mengejek wanita itu."Saya tidak mau tinggal di sini, Pak. Tolong keluarkan saya dari penjara ini, Pak. Saya janji akan menuruti semua perintah Anda kalau Anda mau mengeluarkan saya dari sini." Lagi-lagi Tiara memohon ampun.Wanita itu sangat menyesal karena sudah masuk ke dalam kehidupan pria itu. Sungguh, keja
"Aku sudah menuruti semua keinginanmu, sekarang giliran aku menagih janjimu.""Janji? Emangnya aku punya janji sama kamu?" tanya Kasih heran."Oh, jadi kamu mau melupakan hal itu?""Aku serius!" bantah Kasih."Bukankah kamu yang bilang sendiri kalau aku sudah berhasil memecahkan kasus siapa yang menabrak Bastian, kamu mau menikah denganku? Apa kamu mencoba untuk ingkar janji?" tanya Gilang dengan sorot mata tajam."Oh, yang itu. Aku kira apaan. Masih ada satu lagi yang belum kamu selesaikan.""Mencoba cari alasan lagi?"Kasih menggeleng. "Aku sama sekali nggak cari alasan," bantah wanita itu dengan mata melotot."Ya sudah, katakan saja. Aku harap ini yang terakhir kalinya kamu mencari alasan. Setelah itu, tidak ada lagi yang namanya ngeles, kamu harus menikah denganku secepatnya.""Kenapa harus terburu-buru?" tanya Kasih dengan senyum remeh."Serius kamu bertanya seperti itu? Baiklah, aku akan menjawabnya dengan sejujur-jujurnya. Apa lagi kalau tidak merindukan tubuhmu. Tubuhmu itu ca
"Untuk apa kamu datang ke sini?" tanya Kasih heran. Bima menghela napas berat, dia melirik ke arah Gilang yang saat ini tengah duduk anteng di dekat Kasih. Tatapan mereka berdua bertemu, Bima memberi kode pada Gilang agar pria itu pergi dari situ, karena Bima ingin berbicara berdua saja dengan Kasih. Sayangnya yang diberi kode sama sekali tak mengerti, lebih tepatnya Gilang pura-pura tidak tahu apa maksud Bima, pria itu malah melengos. "Bim?" panggil Kasih heran karena melihat pria itu tampak diam saja. "Tadi katanya mau ngomong, kok malah diam aja?" "Bisakah hanya kita berdua saja di sini, nggak lama kok," pinta Bima. Gilang mendelik kesal ketika mendengar Bima berbicara seperti itu. Tidak cukup jelaskah kalau tadi Gilang menolak usiran dari pria itu melalui tatapannya? Lantas kenapa harus diperjelas lagi? "Kalian ngobrol aja, anggap aja aku nggak ada di sini. Aku nggak bakalan dengar pembicaraan kalian berdua kok," kata Gilang dengan suara tenang. "Gilang, biarkan kami berdua
"Mas aku beneran minta maaf, Mas. Tolong maafin aku, Mas. Please," mohon Dina."Kamu itu salah, Din. Salah besar! Apa pantas aku maafin kamu?" tanya pria itu sinis."Aku benar-benar khilaf, Mas. Aku minta maaf, Mas. Aku harus gimana supaya kamu mau maafin aku?"Bima terus menggeleng. "Aku benar-benar masih nggak nyangka aja, Din. Wanita yang selama ini aku anggap baik, nyatanya aku salah kira. Di depanku aja kamu terlihat begitu baik, tapi di belakangku ... hatimu begitu busuk," desis pria itu."Aku akui kalau aku ini salah, Mas. Aku ini cemburu melihat kedekatan kalian, Mas," kata Dina jujur."Aku selalu meluangkan waktu untukmu, Din. Bahkan aku menemui Kasih dan Bastian itu termasuk jarang, itu semua aku lakukan demi menjaga hati kamu. Tapi apa? Kamu malah egois!" tandas pria itu."Aku nggak egois, Mas. Aku hanya ingin mempertahankan hubungan kita!" kata Dina tak terima.Bima yang melihat sikap arogan Dina pun tertawa sinis."Kamu itu ya, udah tahu salah bukannya minta maaf tapi mal
"Iya bentar!" Bima terlihat begitu kesal karena sedari tadi ada yang mengetuk pintu rumahnya dengan sangat kencang.Pria itu berjalan menuju ke arah pintu dengan terburu-buru, setelah itu dia pun membuka pintu, matanya terbelalak ketika melihat siapa yang datang ke rumahnya."Selamat siang," sapa pria itu.Bima tak segera menjawab, dia masih kaget dengan kedatangan pria itu."Ehem! Selamat siang," kata pria itu sekali lagi."Siang," jawab Bima kikuk."Apa aku mengganggu waktumu?""Nggak, nggak kok," sahut Bima seraya menggeleng cepat. "Omong-omong ada apa ya datang ke sini, apa ada yang bisa dibantu?""Apa aku tidak dipersilahkan untuk duduk?""Oh, ya, silakan duduk. Tunggu sebentar, aku buatkan minum dulu.""Nggak usah, aku datang ke sini bukan untuk minta minum, tapi ada yang harus aku selesaikan.""Kamu datang ke sini mau cari Kasih? Sorry aja ya, Kasih nggak pernah datang ke sini," jelas Bima, dia mengira kedatangan Gilang ke rumahnya karena ingin mencari wanita itu."Kedatangank
"Kasih!" teriak Diana, wanita itu berlari kecil mendekati sahabatnya. "Selama ini kamu ke mana aja sih, kok nggak pernah ada kabar," lanjut wanita itu seraya memeluk erat tubuh Kasih."Pelan-pelan, Di. Aku sesak napas, kamu meluknya kekencengan," keluh wanita itu."Oh, sorry-sorry." Diana pun langsung melepaskan pelukannya itu. "Ke mana aja sih kamu, kok nggak pernah kasih aku kabar. Udah lupa ya sama aku?"Kasih tertawa kecil. "Kalau udah lupa, nggak mungkin aku ngajak kamu ketemu, Di.""Terus selama ini kamu ke mana?" tanya Diana lagi."Nggak ke mana-mana sih, cuma menenangkan diri aja."Diana mendengkus keras. "Nyatanya dirimu nggak bisa tenang, kan, selain di sini?" cibir wanita itu.Lagi-lagi Kasih menanggapinya dengan tawa. "Kok tahu sih?" "Ya tahu lah, secara, kan, pujaan hatimu ada di sini. Gimana? Udah ketemu belum sama dia? Pasti udah dong ya. Omong-omong, si Manda itu anak kamu sama Gilang, kan? Itu beneran nggak sih, takutnya dia bohongin aku, siapa tahu itu anaknya sama