“Dokter apakah aku benaran sedang hamil?”
Alessa menunggu Dokter menjawab pertanyaannya dengan cemas. Dia mengigit bibir bawahnya bahkan tak berani menatap kedua mata Dokter. Alessa sebenarnya sudah menduga hal yang terjadi padanya saat ini.“Iya, kamu sedang hamil dua minggu,” jawab Dokter.
Alessa merasakan dunianya hancur. Alessa tak pernah menduga jika Ia harus mengandung hasil benih Pria yang tak Ia kenali. Alessa tahu tidak ada Pria lain yang tidur bersamanya selain Pria yang sudah membelinya dalam semalam itu. Satu malam cukup membuat dunia Alessa berantakan.
“Kamu mau mengabari keluargamu?” tanya Dokter dengan lembut.
Alessa langsung menggeleng. Keputusan Alessa untuk segera beristirahat di rumah. Dia pun keluar dari Rumah Sakit ketika hari sudah petang. Alessa juga menebus beberapa vitamin dengan uang simpanannya yang tak seberapa. Alessa memang hancur tapi Ia tak mau bayi yang dikandungnya menderita. Alessa sampai tak menyadari jika disepanjang perjalanan pulang Ia mengelus perutnya yang masih rata itu.
“Lihatlah anakmu, Mas, kenapa sih kalian jadi bebanku saja?” omel Marsella ketika Alessa baru saja tiba di rumah.
Bapak hanya duduk di depan televisi sedang menonton siaran pertandingan sepak bola. Dia bahkan tak acuh jika Alessa baru tiba. “Dikit lagi, ayo pasti bisa Arsenal!” Teriak Bapak yang sibuk meneriaki tim sepak bola kesukaannya.
“Mana uang simpananmu?” ketus Marsella seraya mengulurkan tangannya pada Alessa. “Bapakmu tidak pernah kerja, mana mungkin aku memberi makan kalian gratis, tahu diri sudah menumpang di rumahku ... masih bagus aku mau menampung kakakku dan anaknya yang tak berguna ini,” ucap Marsella.
Alessa sebenarnya punya sedikit uang simpanan dari sisa beasiswanya yang sebentar lagi akan berakhir. Alessa akan lulus tapi Ia tak punya tabungan karena bibinya ini. Alessa memberikan satu lembar uang lima puluh ribu pada bibinya. “Alessa cuman punya segini karena tadi harus membeli obat,” ucap Alessa.
“Segini saja!” bentak Marsella.
Alessa mengangguk sambil menunduk. “Iya, Bi, uang Alessa tinggal sedikit,” sahut Alessa.
Marsella mendecih tapi pergi meninggalkan Alessa. Dia menuju pintu kemudian berjalan ke luar rumah meninggalkan Alessa dengan bapaknya yang masih fokus menonton televisi itu. “Pak, Alessa mau bicara sesuatu,” ujar Alessa.Alessa hendak mengatakan perihal kehamilannya. Alessa sedang bingung karena Ia hamil dari Pria yang menikmati satu malam bersamanya. Alessa dipaksa karena bapaknya. “Bapak tiga minggu lalu, bapak memintaku bekerja di tempat Madam Suri,” ucap Alessa.
“Yes, menang!” Teriak Bapak mengabaikan ucapan Alessa karena berseru dengan tim sepak bola yang Ia tonton itu.
“Bapak, Alessa hamil, Pak,” ucap Alessa.
Bapak segera menatap Alessa yang sejak tadi berdiri disebelahnya. Suara gol dari televisi seolah meredam usai anak perempuannya itu berucap. Bapak langsung memerdulikan ucapan Alessa. “Apa katamu?” tanya Bapak.“Aku hamil Pak, tidak ada Pria lain yang bersamaku selain Tuan itu,” ulang Alessa.
“Kau mau menuduhku karena kehamilanmu itu!” Bentak Bapak tak diduga-duga.
Alessa menahan isak tangis yang nyaris keluar dikedua mata cokelat madunya itu. “Memang iya, Bapak menjualku para Pria kaya untuk ditiduri setelah itu aku tak pernah melakukannya dengan Pria lain.” Alessa menyahuti bentakan bapaknya itu. Alessa tak mau bapaknya menyalahkan kondisinya saat ini.Plak!
Bapak melayangkan tangannya pada Alessa. “Bisa-bisanya kau malah menyalahkanku, kau pasti punya pacar kemudian menjadikan alasan Pria kaya yang membayarmu itu, bukan?” tuduh Bapak. Pria itu seolah lupa pada tindakannya sendiri yang memaksa anak perempuannya menjual diri untuk mendapatkan uang banyak dengan cara pintas. Dia mengabaikan akibat yang menimpa Alessa pada saat ini.
“Alessa tidak melakukannya pada siapapun,” tegas Alessa.
Pertengkaran Alessa dan kakaknya itu terdengar oleh Marsella yang baru tiba dari warung. Marsella mendengar pengakuan Alessa yang tengah hamil tapi sama seperti kakaknya Marsella ikut menghakimi Alessa. “Dasar anak tidak tahu diri!” Bentak Marsella.“Bibi, Alessa terpaksa karena ulah Bapak juga yang menjual Alessa pada Pria itu,” tukas Alessa yang membela dirinya. Alessa rela dinodai demi bapaknya tapi dia malah disalahi. “Demi siapa juga Alessa jadi begini,” geram Alessa. Sejak lama memendam dengan sabar perasaannya tapi kehamilan yang tak direncanakan ini jadi puncak Alessa melawan Bapak dan bibinya.
“Anak ini!” bentak Marsella yang terlanjur murka. “Keluar kau dari rumahku!” usir Marsella.
Alessa terdiam. Dia tahu tak punya tempat lain untuk bernaung. Alessa kini juga tengah hamil. “Bi, aku mohon jangan usir aku,” ucap Alessa memelas.Marsella semakin diselimuti amarah. Dia tak mau membiarkan Alessa masih dirumahnya karena takut jadi bahan gunjingan tetangga. “Kau harus pergi dari sini,” usir Marsella sembari menyeret Alessa keluar dari rumahnya. “Aku tak sudi menerima ejekan tetangga karena kau hamil anak haram yang tidak jelas asal-usulnya!” Marsella mendorong Alessa ke luar dari rumahnya. Dia dengan keji menutup rapat kembali rumahnya itu.
“Bi, tolong, Alessa tidak punya tempat tinggal lagi,” ucap Alessa sembari menggedor pintu rumah itu. Alessa diabaikan karena tidak ada tanda-tanda Marsella akan membukakan pintu sementara bapaknya malah bungkam tanpa membela anak perempuan satu-satunya ini.
Perasaan Alessa pilu seketika. Dia terpaksa keluar dari rumah. Alessa tidak tahu tempat untuk bernaung jadi dia hanya berjalan dipinggiran koridor dengan wajah pucat pasinya. “Kumohon, aku harus kuat,” ucap Alessa menghibur dirinya.
Sebuah mobil aston martin merah berhenti di pinggir jalan. Pemilik mobil itu keluar dari mobil kemudian menghampiri Alessa. “Nak, kamu mau kemana?” tanya Wanita asing. Dia tiba-tiba saja menghampiri Alessa.
Alessa menatap wanita berjas merah senada dengan mobilnya itu. Wanita paruh baya yang tampak kaya ini mengelus pundak Alessa dengan lembut. Alessa yang sedang sedih dan tak berdaya pun mengangguk.
“Aku tidak tahu harus kemana,” jawab Alessa.
“Oh malang sekali,” sahut Wanita itu berempati. “Bagaimana jika istirahat di rumah Tante?” tawar Wanita itu.
Alessa diam sejenak. Dia tak bisa menerima tawaran orang asing yang tak Ia kenal ini. Wanita itu bahkan tiba-tiba mendatanginya setelah sesaat Alessa diusir dari rumahnya. Alessa juga bimbang karena dia tak memiliki tempat untuk beristirahat dan perutnya lapar karena sejak pagi belum makan apa pun. Perut keroncongan Alessa berbunyi nyaring.
“Lihat perutmu keroncongan, ayo, Nak, kamu bisa makan di rumah Tante,” bujuk Wanita itu.
Alessa mengangguk setuju. “Maafkan aku, Tante.” Alessa menunduk karena malu. Sang wanita tersenyum penuh arti ketika Alessa menyetujui ajakannya. Dia segera menggandeng lengan Alessa agar segera memasuki mobil mahalnya itu. “Robert, ayo kita pulang ke rumah,” suruh Wanita itu ketika sudah berada di dalam mobil pada supirnya.“Baik, Nyonya,” sahut Pria itu.
“Kita mau kemana Tante?” tanya Alessa.
“Kita akan ke rumahku, kamu harus makan yang banyak untuk dirimu dan bayimu juga,” jawab Wanita itu.
“Bagaimana Tante tahu jika aku sedang hamil?”
“Bagaimana Tante tahu jika aku sedang hamil?” “Tante juga baru rutin medical check up di Rumah Sakit yang sama denganmu,” jawab Wanita itu. “Tante tidak sengaja melihatmu keluar dari ruangan ibu dan anak, apalagi usiamu masih muda jadi Tante rasa harus membantumu.” Wanita itu meraih tangan Alessa kemudian menggengamnya. Dia menatap Alessa dengan penuh simpatik. Parasnya yang tak lagi muda namun terawat itu juga memasang raut wajahnya juga sedih seolah dia memahami kondisi Alessa. “Maksud Tante apa?” tanya Alessa yang naif ini. Alessa tetap berprasangka baik terhadap orang yang baru Ia temui. Keadaannya yang sulit membuat Alessa mudah mempercayai Wanita itu. “Panggil Tante Julia, Nak, kita sama karena dulu aku pernah merasakan hamil oleh pacarku diusia muda kemudian dia pergi meninggalkan tanggung jawab,” ucap Julia. Alessa mengangguk. Alessa merasakan keadaan mereka yang mirip. “Namaku Alessa, Tante, maaf jika sempat meragukan kebaikan Tante.” Alessa menundukkan tatapannya melihat
“Apa ini? kenapa ada darah dari kedua kakiku?” Alessa membelalakkan kedua matanya. Rasa sakit diperutnya semakin menjadi tapi Alessa menjadi panik karena menyadari kedua kakinya sudah dialiri oleh cairan merah. Alessa berusaha beranjak dari ranjangnya. Kedua kakinya berusaha menapaki lantai tapi tiba-tiba saja tubuh Alessa ambruk. “Tolong ... kumohon tolong aku.” Alessa melirih. Dia merangkak berusaha menggapai pintu untuk meminta pertolongan seseorang. Alessa akhirnya menyerah karena selain rasa sakit tapi aliran cairan terus mengalir dari kedua kakinya. Lantai keramik putih bahkan sudah berubah jadi merah terang. Alessa memengangi perutnya. Ia memilih merebahkan dirinya pada lantai keramik putih itu. Alessa bisa melihat jika dirinya kini berbaring dikubangan darahnya sendiri. Alessa terisak menangis pilu. “Rasa nyeri tertusuk, tubuh melemah drastis dan ... perdarahan tidak berhenti dari dalam perutku.” Alessa bergumam seorang diri. Dia tak bisa bergerak karena terlalu lemah. “Tuh
“Paman, aku terima tawaranmu tapi aku lebih senang jika Paman juga membantuku untuk membalaskan dendam,” ucap Alessa. Dendam yang Alessa rasakan berasal dari kehilangan janinnya berkat ulah Wanita itu. Alessa pun tinggal bersama keluarga Anshar yang terdiri atas Robert dan anak laki-laki semata wayangnya. Banyak hal yang terjadi selama pemulihan fisik dan batin Alessa. Alessa yang tidak mau tinggal cuma-cuma pun dengan suka hati membantu pekerjaan rumah sembari menyelesaikan tahun terakhir kelulusannya. Ketika hari mulai petang. Alessa sudah menyiapkan makan malam. Ia memasak lauk pauk tempe orek, ayam lada hitam dan sayur sop. Alessa kini sedang menyajikan masakannya di atas meja makan. Dia mendengar bunyi suara sepeda motor yang baru sampai di halaman rumah. Alessa tersenyum menyambut kedatangan Pria yang delapan tahun lebih tua darinya itu. "Wah, wah, Alessa masak apa?" tanya Pria itu. "Kak Eidar, selamat datang ... cuman lauk pauk sederhana aja kok." Alessa menuangkan air pad
"Apa kau yang jadi perawatku saat ini?" Bulu kuduk Alessa meremang kemudian dirinya jadi membatu kala suara Pria itu terdengar berat dan dingin. Alessa tak langsung menjawab melainkan tersenyum sedikit kemudian mengangguk. "Benar, Tuan," jawab Alessa. Dia tak akan pernah lupa wajah, suara bahkan kedua mata biru itu. Alessa tak akan pernah lupa akan Pria yang merenggut kesuciannya dengan uang. Kedua mata pria itu mengekori pergerakan tubuh Alessa. Dia pendiam bahkan tidak berkata apapun lagi namun tatapannya yang dingin dan menusuk itu seolah tengah menguliti Alessa. Dia menatap kedua tangan kecil Alessa yang sedang membuka balutan perban. Alessa membersihkannya lengan kekarnya dengan kapas dan mengganti dengan yang baru. Alessa yang tertunduk menatap lengan kekarnya membuat Pria itu teringat dengan kali pertama pertemuan mereka. Alessa masih sama gugupnya meski kali ini Ia bekerja dengan telaten bukan sebagai wanita panggilan semalam saja. "Kenapa seperti seolah aku akan melahap
"Kalau begitu ... tidak salah lagi, orang yang kau maksud itu Jovian Arsenio Heide kebetulan dia juga pemilik Rumah Sakit ini." Alessa membelalakkan kedua matanya. Lidahnya bahkan terasa kelu untuk menanggapi Mina. Kedua tangannya mengepal keras hingga memutih. Nama itu bukan nama yang asing untuk dikenal melainkan nama orang yang memiliki harta dan kekuasaan saat ini. Ternyata orang yang hendak Alessa berikan perhitungan merupakan orang yang berkuasa. "Boleh juga," ucap Alessa sembari tersenyum kecil. "Apa kau barusan berbicara sesuatu?" tanya Dokter Mina yang heran. Alessa segera menggeleng. "Sepertinya dia orang yang berkuasa ya? pasti punya segalanya dibandingkan aku yang orang biasa saja bahkan miskin," ucap Alessa tersenyum remeh. Dokter Mina menggeleng. Dia tak setuju dengan ucapan Alessa yang terlalu merendahkan dirinya. "Kamu punya potensi bahkan jika Jovian mengenalmu bisa saja dia jatuh cinta padamu," sahut Dokter Mina. Alessa tersipu malu. Tak dipungkiri memang jika
"Tidak tahu tuh, jadi jalan ini saja tidak boleh aku lewati ya," ledek Alessa tersenyum remeh. Jovian mengeryitkan kedua alis tebalnya. Wajah dengan raut datar itu tidak akan bisa Alessa terka padahal batin Jovian sudah bergemuruh riuh. Kenapa dia jadi nekat begini ya? batin Jovian. Pria bermata biru itu keheranan karena Alessa yang semulanya patuh jadi berani menantangnya. "Kau masih orang yang sama dengan malam itu bukan?" Jovian bertanya dengan nada suara dinginnya. Alessa merasakan bulu kuduknya meremang hanya karena suara berat yang dingin milik Jovian. Alessa mendeham untuk mencairkan suasana. "Ha? apa sih maksudmu Tuan? Tuan sengaja ya biar mengalihkan aku yang sudah Tuan tabrak?" Alessa bertanya sembari berkacak pinggang. Jovian tidak mengabaikan kedua lutut Alessa yang terluka itu. Jovian menunduk kemudian mengangkat pinggang dan lipatan kedua kaki Alessa seolah tengah menggendong mempelai wanitanya. "Kalau begitu aku bertanggung jawab." Jovian berucap sembari membawa Ales
"Ah, beruntung sekali ... Apa kamu pacarnya Tuan Jovian ya, Alessa?" Alessa seketika meremang saat rekan-rekan kerjanya menanyai hal itu. "Tidak, aku bahkan baru kenal Beliau karena kalian," sahut Alessa dengan tersenyum seadanya. Sejak saat itu Alessa tidak pernah merasa aman. Hari-hari Jovian selalu menghampiri Unit ruang perawatan tempat Alessa bekerja meski hanya bersapa tegur dengan kepala Ruangan tapi ditiap ada kesempatan keduanya saling bertatap mata. Alessa sampai harus menikmati jam istirahatnya di rooftop Rumah Sakit. Keadaan yang sepi tak satu orang pun yang ada. Alessa hanya sendiri sembari mengigit roti yang Ia beli dan juga satu botol susu. "Lelahnya," ucap Alessa diiringi helaan napas. Alessa menikmati angin yang menerpa dirinya dengan lembut. Alessa diam sejenak merasakan ketenangan ini tapi tak lama bunyi pintu serta derapan tangga terdengar. Alessa menoleh mendapati Jovian yang sedang menghidupkan korek apinya. Pria itu tengah menghidupkan ujung puntung rokoknya.
"Tidak bisa, Ibu sudah susah payah mencari wanita yang tepat untukmu, siapa lagi yang cocok denganmu jika bukan Georgina? dia wanita dari kalangan keluarga kaya dan berkelas." Julia menahan rasa murka yang meluap-luap dihatinya. Anaknya yang dia besarkan jadi sosok Pria yang sempurna justru tak mematuhinya. Keinginan Julia untuk melihat Jovian menikah dengan wanita pilihannya jadi kacau. Padahal demi masa depan Jovian, Julia sudah menyingkirkan wanita polos yang tak bersalah. "Jadi kamu mau membangkang ya?" tanya Julia.Diamnya Jovian dengan raut wajah yang dingin itu tak mengubris perkataan ibunya. "Aku bisa menentukan pilihan hidupku." Jovian beranjak meninggalkan ibunya tanpa sepatah kata lainnya. Julia mengepalkan kedua tangannya. Ia menatap Jovian dengan kecewa kemudian beralih menatap Robert sang pelayan setianya. "Apa kau tahu siapa Wanita itu?" tanya Julia."Sayangnya Tuan Muda tak mengatakannya juga, Nyonya," jawab Robert.Julia mendecak kesal. Jovian anak kesayangannya m