“Bagaimana Tante tahu jika aku sedang hamil?”
“Tante juga baru rutin medical check up di Rumah Sakit yang sama denganmu,” jawab Wanita itu. “Tante tidak sengaja melihatmu keluar dari ruangan ibu dan anak, apalagi usiamu masih muda jadi Tante rasa harus membantumu.” Wanita itu meraih tangan Alessa kemudian menggengamnya. Dia menatap Alessa dengan penuh simpatik. Parasnya yang tak lagi muda namun terawat itu juga memasang raut wajahnya juga sedih seolah dia memahami kondisi Alessa.
“Maksud Tante apa?” tanya Alessa yang naif ini. Alessa tetap berprasangka baik terhadap orang yang baru Ia temui. Keadaannya yang sulit membuat Alessa mudah mempercayai Wanita itu.
“Panggil Tante Julia, Nak, kita sama karena dulu aku pernah merasakan hamil oleh pacarku diusia muda kemudian dia pergi meninggalkan tanggung jawab,” ucap Julia.
Alessa mengangguk. Alessa merasakan keadaan mereka yang mirip. “Namaku Alessa, Tante, maaf jika sempat meragukan kebaikan Tante.” Alessa menundukkan tatapannya melihat tangan Julia yang masih mengenggam tangannya.“Alessa, Tante mau membantumu jadi jangan tolak kebaikan Tante ya,” ucap Julia sembari menyampirkan helaian rambut panjang hitam Alessa ke pinggir telinganya. “Kamu harus istirahat dan makan di rumahku malam ini, kalau Tante boleh tahu kenapa kamu bisa hamil?” tanya Julia dengan lembut.
“Aku terpaksa menjual diri Tante oleh karena itu aku tak menyangka sampai hamil anak dari Pria yang tidak aku ketahui,” jawab Alessa dengan jujur.
Julia menghela napas beratnya. Dia mengusap bahu Alessa dengan lembut. “Nak, jadi kamu gak tahu ayahnya siapa?” tanya Julia.“Iya, Tante, aku tidak tahu.” Alessa menjawab pertanyaan Julia dengan suara lirih. Alessa merasa sudah gagal mempertahankan kesuciannya dan masa depannya juga. “Aku sudah menodai diriku sendiri, Tante, parahnya aku malah hamil, semua ini demi membantu bapakku yang terjerat hutang,” ucap Alessa yang mulai terisak oleh tangisannya lagi.
“Jadi kamu mau tetap mempertahankan kehamilanmu atau mengugurkannya?” Julia bertanya pada Alessa sembari menatapnya dengan tenang.
Alessa tak menyadari jika kedua tangannya mengusap perut ratanya sendiri. Alessa tersenyum sendu. Sejak lama Alessa menginginkan keluarga yang bahagia. “Meski semua ini karena kesalahanku, aku tetap mempertahankan bayi ini sampai lahir, Tante.” Alessa berucap dengan lirih walaupun keyakinannya sudah bulat.
Julia memeluk sembari mengusap pundak Alessa dengan lembut. “Oh, Alessa kemarilah, betapa mulianya pilihanmu.” Julia tersenyum kecil sembari membelai rambut hitam panjang Alessa tapi tanpa Alessa sadari tatapan Julia jadi begitu dingin.
Alessa terperangah menatap mewahnya rumah Julia yang mirip seperti istana. Alessa tidak pernah melihat rumah megah seperti ini dalam hidupnya. Julia memperbolehkannya masuk ke dalam rumah bahkan Ia dilayani oleh pelayan. Alessa dibiarkan mandi di kamar mandi yang luas, Alessa diberikan baju baru yang mahal dan juga dipersiapkan makan malam.
“Ayo, kemari Alessa,” ajak Julia. Ia sudah duduk di salah satu kursi mengkilap di ruang makan.
Alessa mengangguk polos. Alessa duduk di salah satu kursi yang berseberangan dengan Julia. Alessa tergiur menatap berbagai macam hidangan makanan yang lezat. Perut Alessa kembali berbunyi karena keroncongan. “Maaf, Tante,” gumam Alessa sambil menunduk malu.“Haha, tidak apa Alessa, makanlah sepuas yang kau mau,” ujar Julia.
Alessa mulai mengarahkan garpunya untuk menusuk bagian daging asap yang lembut. Alessa melahap makanan yang terasa nikmatnya itu. “Enak sekali,” puji Alessa sembari melahap potongan daging asap lainnya.
Julia tersenyum kecil seraya menegak gelas kaca berisi wine. Julia tidak menyentuh makanannya melainkan memerhatikan Alessa yang sedang lahap menyantap makanan. “Alessa, apa kamu suka makanan manis?” tanya Julia.
Alessa mengangguk. Dia jarang bisa menikmati makanan manis karena uangnya yang terbatas. Alessa memang sesekali membeli cokelat itu pun harus menyisihkan uangnya setiap minggu. “Aku suka cokelat, Tante,” jawab Alessa.
Julia menepuk tangannya memberi isyarat bagi pelayan untuk menyajikan makanan penutup. Wanita itu kembali menegak wine dari gelas kaca saat Pelayan tiba membawakan nampan berisi satu potong pie apel yang disiram oleh sirup lemon. “Kuharap kau menyukai pie apel ini, Alessa,” ucap Julia dengan senyuman lebarnya.
Penampilan potongan pie dengan irisan apel yang tertata cantik di piring. Alessa tidak pernah memakan makanan mahal. Alessa langsung menyantap pie apel tanpa ragu. Rasa manis langsung menguar dilidahnya tapi tak lama mulut hingga kerongkongannya terasa panas bagaikan terbakar. Alessa memengangi lehernya. “Sakit, tolong, Tante,” ucap Alessa.
“Dahulu ada kisah dongeng kesukaanku, tidak salah ceritanya itu tentang gadis naif yang diracuni oleh apel yang diberikan oleh nenek tua tak berdaya,” ujar Julia sembari menikmati wine yang hampir habis di gelas kacanya.
Alessa menatap Julia dengan tatapan heran. “Kenapa Tante menceritakan kisah Putri Salju padaku?” tanya Alessa.
“Kau mirip dengan Putri Salju, rambut hitam ebonimu dan kedua mata lelehan madu.” Julia terkekeh pelan dengan kepolosan Alessa. “Sehabis makan, segera tidur ya karena pelayan sudah mempersiapkan kamarmu,” ucap Julia.
Alessa mengangguk. “Terima kasih, Tante atas semuanya, Alessa malah merepotkan Tante,” sahut Alessa.
Julia beranjak berdiri dari tempat duduknya. Dia hanya tersenyum kecil sembari keluar dari ruang makan diikuti oleh Pria paruh baya yang semula menyetir mobilnya tadi. Ketika di luar ruang makan. Julia menghidupkan satu batang rokoknya kemudian menyesap puntung rokok dengan pelan. “Anak itu tidak curiga memakan makanan yang dicampur oleh obatnya.” Julia berucap sembari mengepulkan asap dari rokok yang tengah Ia nikmati. “Berapa lama reaksi obat itu?” tanya Julia pada Pria itu.“Nyonya, obat itu akan bereaksi selama tiga puluh sampai dua jam,” jawab Pria itu.
“Bagus, kurung dia di kamar ketika sudah masuk ke kamar, jangan biarkan siapa pun membebaskan Gadis bodoh itu jika reaksi obatnya mulai bekerja.” Julia berucap sambil menyesap rokoknya yang mengepulkan asap tebal itu.
Pria itu mengangguk sembari membungkuk patuh. “Baik, Nyonya.” Pria itu pergi menjalankan perintah Julia.
Julia yang seorang diri di koridor rumah megahnya itu hanya menyeringai tipis. “Menyingkirkan satu lalat penjilat, bukan apapun demi menjaga kehormatan anakku,” ucap Julia seorang diri.
Alessa diantar ke sebuah kamar mewah oleh seorang pelayan. “Silahkan, Nona,” ujar Pria itu. Dia membukakan pintu sebuah kamar dan membiarkan Alessa masuk.“Kamar yang bagus, terima kasih,” sahut Alessa dengan senyum cerianya.
Pelayan tertegun menatap senyuman Alessa. Dia menatap Alessa dengan tatapan yang sulit diartikan. Dia harus menjalankan niat licik tuannya untuk mencelakan gadis polos seperti Alessa. “Apa Anda tidak merasakan apapun?” tanya Pria paruh baya itu.Alessa menggeleng. “Tidak, aku sudah kenyang dan mengantuk,” jawab Alessa.
“Baiklah, selamat beristirahat Nona, semoga Tuhan selalu memberimu kekuatan,” ucap Pria itu seraya menutup pintu kamar dan menguncinya dari luar. “Maafkan, Aku,” gumam Pria itu.
Alessa langsung merebahkan dirinya di ranjang kasur yang empuk. Dia menjadi senang karena masih ada orang yang baik padanya. “Nak, nanti Ibu akan bekerja agar tidak menumpang pada Tante Julia lagi, dia sudah baik sekali dengan kita,” ucap Alessa seraya mengusap perut ratanya.Alessa semula sudah tertidur. Alessa terbangun tengah malam usai mendengar bunyi jam dinding yang berdetak pelan detik hingga menitnya. Alessa mulai merasakan sensasi nyeri pada perutnya. “Sakit, aduh sakit,” lirih Alessa yang meringis sembari memengangi perutnya yang mulas terasa diperas dari dalam.
“Tolong, perutku sakit!” teriak Alessa dari dalam kamar. Alessa mengumpulkan tenaganya untuk beranjak bangkit dari ranjang kasur tapi kedua kakinya jadi lunglai untuk menompang bobot tubuhnya sendiri. Nyeri dari perut terasa menusuk-nusuk. Alessa pun ambruk terjatuh di lantai. Kedua matanya membelalak melihat diantara kedua kakinya sudah mengalir cairan merah terang.
“Apa ini? kenapa ada darah dari kedua kakiku?”
“Apa ini? kenapa ada darah dari kedua kakiku?” Alessa membelalakkan kedua matanya. Rasa sakit diperutnya semakin menjadi tapi Alessa menjadi panik karena menyadari kedua kakinya sudah dialiri oleh cairan merah. Alessa berusaha beranjak dari ranjangnya. Kedua kakinya berusaha menapaki lantai tapi tiba-tiba saja tubuh Alessa ambruk. “Tolong ... kumohon tolong aku.” Alessa melirih. Dia merangkak berusaha menggapai pintu untuk meminta pertolongan seseorang. Alessa akhirnya menyerah karena selain rasa sakit tapi aliran cairan terus mengalir dari kedua kakinya. Lantai keramik putih bahkan sudah berubah jadi merah terang. Alessa memengangi perutnya. Ia memilih merebahkan dirinya pada lantai keramik putih itu. Alessa bisa melihat jika dirinya kini berbaring dikubangan darahnya sendiri. Alessa terisak menangis pilu. “Rasa nyeri tertusuk, tubuh melemah drastis dan ... perdarahan tidak berhenti dari dalam perutku.” Alessa bergumam seorang diri. Dia tak bisa bergerak karena terlalu lemah. “Tuh
“Paman, aku terima tawaranmu tapi aku lebih senang jika Paman juga membantuku untuk membalaskan dendam,” ucap Alessa. Dendam yang Alessa rasakan berasal dari kehilangan janinnya berkat ulah Wanita itu. Alessa pun tinggal bersama keluarga Anshar yang terdiri atas Robert dan anak laki-laki semata wayangnya. Banyak hal yang terjadi selama pemulihan fisik dan batin Alessa. Alessa yang tidak mau tinggal cuma-cuma pun dengan suka hati membantu pekerjaan rumah sembari menyelesaikan tahun terakhir kelulusannya. Ketika hari mulai petang. Alessa sudah menyiapkan makan malam. Ia memasak lauk pauk tempe orek, ayam lada hitam dan sayur sop. Alessa kini sedang menyajikan masakannya di atas meja makan. Dia mendengar bunyi suara sepeda motor yang baru sampai di halaman rumah. Alessa tersenyum menyambut kedatangan Pria yang delapan tahun lebih tua darinya itu. "Wah, wah, Alessa masak apa?" tanya Pria itu. "Kak Eidar, selamat datang ... cuman lauk pauk sederhana aja kok." Alessa menuangkan air pad
"Apa kau yang jadi perawatku saat ini?" Bulu kuduk Alessa meremang kemudian dirinya jadi membatu kala suara Pria itu terdengar berat dan dingin. Alessa tak langsung menjawab melainkan tersenyum sedikit kemudian mengangguk. "Benar, Tuan," jawab Alessa. Dia tak akan pernah lupa wajah, suara bahkan kedua mata biru itu. Alessa tak akan pernah lupa akan Pria yang merenggut kesuciannya dengan uang. Kedua mata pria itu mengekori pergerakan tubuh Alessa. Dia pendiam bahkan tidak berkata apapun lagi namun tatapannya yang dingin dan menusuk itu seolah tengah menguliti Alessa. Dia menatap kedua tangan kecil Alessa yang sedang membuka balutan perban. Alessa membersihkannya lengan kekarnya dengan kapas dan mengganti dengan yang baru. Alessa yang tertunduk menatap lengan kekarnya membuat Pria itu teringat dengan kali pertama pertemuan mereka. Alessa masih sama gugupnya meski kali ini Ia bekerja dengan telaten bukan sebagai wanita panggilan semalam saja. "Kenapa seperti seolah aku akan melahap
"Kalau begitu ... tidak salah lagi, orang yang kau maksud itu Jovian Arsenio Heide kebetulan dia juga pemilik Rumah Sakit ini." Alessa membelalakkan kedua matanya. Lidahnya bahkan terasa kelu untuk menanggapi Mina. Kedua tangannya mengepal keras hingga memutih. Nama itu bukan nama yang asing untuk dikenal melainkan nama orang yang memiliki harta dan kekuasaan saat ini. Ternyata orang yang hendak Alessa berikan perhitungan merupakan orang yang berkuasa. "Boleh juga," ucap Alessa sembari tersenyum kecil. "Apa kau barusan berbicara sesuatu?" tanya Dokter Mina yang heran. Alessa segera menggeleng. "Sepertinya dia orang yang berkuasa ya? pasti punya segalanya dibandingkan aku yang orang biasa saja bahkan miskin," ucap Alessa tersenyum remeh. Dokter Mina menggeleng. Dia tak setuju dengan ucapan Alessa yang terlalu merendahkan dirinya. "Kamu punya potensi bahkan jika Jovian mengenalmu bisa saja dia jatuh cinta padamu," sahut Dokter Mina. Alessa tersipu malu. Tak dipungkiri memang jika
"Tidak tahu tuh, jadi jalan ini saja tidak boleh aku lewati ya," ledek Alessa tersenyum remeh. Jovian mengeryitkan kedua alis tebalnya. Wajah dengan raut datar itu tidak akan bisa Alessa terka padahal batin Jovian sudah bergemuruh riuh. Kenapa dia jadi nekat begini ya? batin Jovian. Pria bermata biru itu keheranan karena Alessa yang semulanya patuh jadi berani menantangnya. "Kau masih orang yang sama dengan malam itu bukan?" Jovian bertanya dengan nada suara dinginnya. Alessa merasakan bulu kuduknya meremang hanya karena suara berat yang dingin milik Jovian. Alessa mendeham untuk mencairkan suasana. "Ha? apa sih maksudmu Tuan? Tuan sengaja ya biar mengalihkan aku yang sudah Tuan tabrak?" Alessa bertanya sembari berkacak pinggang. Jovian tidak mengabaikan kedua lutut Alessa yang terluka itu. Jovian menunduk kemudian mengangkat pinggang dan lipatan kedua kaki Alessa seolah tengah menggendong mempelai wanitanya. "Kalau begitu aku bertanggung jawab." Jovian berucap sembari membawa Ales
"Ah, beruntung sekali ... Apa kamu pacarnya Tuan Jovian ya, Alessa?" Alessa seketika meremang saat rekan-rekan kerjanya menanyai hal itu. "Tidak, aku bahkan baru kenal Beliau karena kalian," sahut Alessa dengan tersenyum seadanya. Sejak saat itu Alessa tidak pernah merasa aman. Hari-hari Jovian selalu menghampiri Unit ruang perawatan tempat Alessa bekerja meski hanya bersapa tegur dengan kepala Ruangan tapi ditiap ada kesempatan keduanya saling bertatap mata. Alessa sampai harus menikmati jam istirahatnya di rooftop Rumah Sakit. Keadaan yang sepi tak satu orang pun yang ada. Alessa hanya sendiri sembari mengigit roti yang Ia beli dan juga satu botol susu. "Lelahnya," ucap Alessa diiringi helaan napas. Alessa menikmati angin yang menerpa dirinya dengan lembut. Alessa diam sejenak merasakan ketenangan ini tapi tak lama bunyi pintu serta derapan tangga terdengar. Alessa menoleh mendapati Jovian yang sedang menghidupkan korek apinya. Pria itu tengah menghidupkan ujung puntung rokoknya.
"Tidak bisa, Ibu sudah susah payah mencari wanita yang tepat untukmu, siapa lagi yang cocok denganmu jika bukan Georgina? dia wanita dari kalangan keluarga kaya dan berkelas." Julia menahan rasa murka yang meluap-luap dihatinya. Anaknya yang dia besarkan jadi sosok Pria yang sempurna justru tak mematuhinya. Keinginan Julia untuk melihat Jovian menikah dengan wanita pilihannya jadi kacau. Padahal demi masa depan Jovian, Julia sudah menyingkirkan wanita polos yang tak bersalah. "Jadi kamu mau membangkang ya?" tanya Julia.Diamnya Jovian dengan raut wajah yang dingin itu tak mengubris perkataan ibunya. "Aku bisa menentukan pilihan hidupku." Jovian beranjak meninggalkan ibunya tanpa sepatah kata lainnya. Julia mengepalkan kedua tangannya. Ia menatap Jovian dengan kecewa kemudian beralih menatap Robert sang pelayan setianya. "Apa kau tahu siapa Wanita itu?" tanya Julia."Sayangnya Tuan Muda tak mengatakannya juga, Nyonya," jawab Robert.Julia mendecak kesal. Jovian anak kesayangannya m
"Perjanjian kita yang sah secara hukum ... untuk itu aku memintamu menandatangani kesepakatan pernikahan kontrak kita yang hanya berjalan selama dua tahun," ucap Jovian dengan tenang.Alessa menegak salivanya sendiri. Rasa gugup menghampiri kala pena yang diberikan oleh Seketaris Kenzo padanya. Alessa meraih peda dengan tangan gemetar. Di surat jelas tertulis lama kontrak pernikahan mereka dan juga kesepakatan yang persis sama dengan keinginan Alessa. Kontrak ini ada menguntungkan kedua belah pihak, Alessa bahkan mendapat bayaran yang fantastis dan Jovian mendapatkan posisinya sebagai ahli waris kekayaan keluarga Heide sesuai keinginannya. Jovian menatap Alessa yang ragu. "Alessa, kenapa?" tanya Pria itu.Alessa segera menggeleng kemudian menandatangani surat kontraknya. "Apa ada lagi?" tanya Alessa. Saat itu Alessa gelisah sehingga ia hanya bisa tersenyum sekenanya. "Tidak ada," jawab Jovian singkat. "Kalau begitu saya permisi karena harus bergegas pulang untuk dinas." Alessa bera