"Kalau begitu ... tidak salah lagi, orang yang kau maksud itu Jovian Arsenio Heide kebetulan dia juga pemilik Rumah Sakit ini."
Alessa membelalakkan kedua matanya. Lidahnya bahkan terasa kelu untuk menanggapi Mina. Kedua tangannya mengepal keras hingga memutih. Nama itu bukan nama yang asing untuk dikenal melainkan nama orang yang memiliki harta dan kekuasaan saat ini. Ternyata orang yang hendak Alessa berikan perhitungan merupakan orang yang berkuasa.
"Boleh juga," ucap Alessa sembari tersenyum kecil.
"Apa kau barusan berbicara sesuatu?" tanya Dokter Mina yang heran.
Alessa segera menggeleng. "Sepertinya dia orang yang berkuasa ya? pasti punya segalanya dibandingkan aku yang orang biasa saja bahkan miskin," ucap Alessa tersenyum remeh.
Dokter Mina menggeleng. Dia tak setuju dengan ucapan Alessa yang terlalu merendahkan dirinya. "Kamu punya potensi bahkan jika Jovian mengenalmu bisa saja dia jatuh cinta padamu," sahut Dokter Mina.
Alessa tersipu malu. Tak dipungkiri memang jika sosok Jovian memang tampan namun sayang karena sudah terlanjur benci Alessa segera menepisnya. "Tidak sepadan dengan apa yang sudah Ia lakukan padaku," elak Alessa.
Dokter Mina menghela napas. "Kalau begitu, bekerjalah dengan rajin, masalah Jovian bisa nanti dibicarakan baik-baik," saran Dokter Mina.
"Terima kasih Dok atas semuanya, jika urusan Pria itu biar jadi urusanku saja tapi aku mohon padamu Dok jangan beritahukan masalah ini pada siapapun sekali itu Tuan Jovian sendiri," ujar Alessa.
Dokter Mina mengangguk. "Kalau begitu, aku pergi ke Poli lagi ya, kapan-kapan kita makan siang bareng." Dokter Mina berucap sembari beranjak pergi meninggalkan Alessa.
Alessa pulang dari shift kerjanya saat hari sudah menjelang petang. Seharusnya lebih cepat tapi Alessa tak tega membiarkan rekan-rekan kerjanya yang kelabakan menerima pasien operan baru. Alessa segera pulang dengan berjalan kaki menuju halte. Ketika keluar dari lobi Rumah Sakit Heide. Ia tak sengaja berpas-pasan dengan Jovian yang baru keluar dari lift yang lain.
Alessa buru-buru bersembunyi dibalik dinding yang bersebelahan dengan sebuah pilar dan vas bunga. Alessa berdiri lumayan dekat dengan Jovian yang sedang berdiri menerima panggilan dari ponsel genggamnya. Alessa diam-diam menguping pembicaraan Jovian.
"Ya, besok pagi meeting," ucap Jovian yang tegas.
Usai menerima panggilan dari ponsel genggamnya. Jovian yang saat itu mengenakan kemeja putih polos dengan celana cokelat pun beranjak pergi meninggalkan Rumah Sakit. Pria itu tidak mengetahui keberadaan Alessa yang bersembunyi untuk mengupingnya.
"Tunggu saja kamu, Jovian Arsenio Heide," gumam Alessa. Ia memerhatikan punggu lebar Jovian yang semakin menjauhinya.
Alessa kala itu langsung pulang ke rumahnya. Rumah keluarga Anshar yang sudah seperti keluarga baginya. Alessa pulang ketika hari sudah petang. Ia berpas-pasan dengan Eidar yang baru sampai di halaman pekarangan rumah.
Pria itu membuka helm yang Ia kenakan. Eidar tersenyum lembut pada Alessa. "Hari ini kamu gak perlu masak ya, aku beli ayam bakar," ucap Eidar sembari menunjukkan kantung berisi makanan itu.
"Iya, aku akan menyiapkan nasi dan piringnya," sahut Alessa tersenyum kecil.
Ketika Alessa sedang mempersiapkan makan malam sosok Pria tua yang sudah berambut putih itu baru saja tiba. Robert memang sudah tua tapi tubuhnya masih bugar kadangkala Alessa penasaran dengan pekerjaannya pada Wanita itu. Robert memang seorang pelayan keluarga Heide tapi Alessa merasa pekerjaan Robert bukan hanya sekedar pelayan.
"Alessa, senang melihatmu," ucap Robert.
"Paman, selamat datang," sahut Alessa.
"Wah, Ayah, kebetulan aku beli ayam bakar, ayo makan bersama," ajak Eidar yang sudah mengganti baju batiknya dengan kaos putih oblog. Eidar mengenakan celana trainning hitam. Eidar duduk lebih dulu sembari memotong ayam bakar yang kemudian Ia letakkan dipiringnya Alessa. "Kakak Perawat harus banyak makan biar kuat," kekeh Eidar.
Alessa tersenyum kecil. Eidar yang ramah dan hangat itu selalu berhasil membuat Alessa terhibur. "Terima kasih Pak Dosen," sahut Alessa.
Robert merasa senang melihat anak semata wayangnya itu tampak akrab dengan Alessa. Ia membawa Alessa ke rumah ini karena merasa berdosa pada gadis polos seperti Alessa sembari Robert terus melindungi keberadaan Alessa dari Julia tuannya. "Semoga akan tetap seperti ini," gumam Robert. Ia memerhatikan kedekatan Alessa dan Eidar.
Keesokan paginya Alessa berangkat bekerja lebih awal. Ia mengenakan riasan tipis di wajahnya bahkan menggunakan parfume. Alessa sebenarnya sudah cantik tanpa riasan tapi ketika memakai riasan dia jauh jadi lebih cantik.
Rambut hitam panjang bergelombangnya diikat ekor kuda. Alessa hari ini menggenakan scrub atau pakaian setelan medis berwarna biru terang. Alessa melihat dirinya dari pantulan cermin kemudian menyapu jemarinya pada ujung bibir merah merekahnya. Ia membenahi sisa pewarna bibir yang sedikit keluar itu.
Alessa mengenakan riasan bukan tanpan alasan. Ini termasuk ke dalam salah satu rencananya. Ia terus mengingat kode dari mobil milik Jovian dan bentuk mobilnya saat Alessa tiba di Heide Hospital. Alessa yang saat itu baru tiba di depan pintu masuk Heide Hospital kebetulan melihat Jovian yang baru keluar dari mobilnya.
Ketika memasuki lift. Alessa melihat seseorang menahan pintu liftnya. Ia bertemu dengan Dokter Mina yang sama-sama memasuki lift yang sama dengannya.
"Wah, hari ini kamu cantik dan lebih percaya diri," puji Dokter Mina.
"Setidaknya tidak seperti orang baru bangun tidur atau pucat," canda Alessa.
Dokter Mina mengangguk setuju. "By the way, kamu bakalan sering ketemu dengan Jovian karena katanya kemarin dia sudah diperbolehkan pulang," ucap Dokter Mina.
"Aku baik-baik aja kok, lagipula ini Rumah Sakit punya dia." Alessa tertawa hambar.
"Kalau begitu aku duluan ya, lain kali makan siang bareng kalau ada waktu." Dokter Mina berucap sambil keluar dari lift.
Alessa melambaikan tangannya karena Ia harus menuju lantai empat tempat unit dia bekerja tapi sebuah tangan menahan pintu lift. Alessa membelalakkan kedua mata cokelat karamelnya saat menatap kedua iris biru terang milik Jovian. Kedua mata berlainan warna itu saling menubruk satu. Alessa yang duluan menundukkan kepalanya.
"Selamat pagi, Tuan," ucap Alessa seraya menggeser posisi berdirinya ke pojok lift.
"Pagi," sahut Jovian dengan nada dinginnya.
Pria itu berdiri disebelah Alessa. Ia melirik Alessa yang masih menundukkan kepalanya itu. Jovian sebenarnya menyadari jika hari ini Alessa berbeda dari kemarin. Alessa menggunakan riasan yang membuat Jovian terus meliriknya. Jovian bahkan memejamkan kedua kelopak matanya sejenak untuk menghirup aroma kamelia yang manis dari Alessa.
Lift berbunyi kemudian Alessa lebih dulu keluar dari lift tanpa memerdulikan Jovian yang masih berdiri dengan tatapan tajamnya pada Alessa. "Aku bisa gila jika lama-lama disebelahnya," gumam Alessa. Alessa menghela napas karena lega usai berpisah dengan Jovian.
Ia pun mulai bekerja seperti biasanya. Alessa yang cekatan dan ramah mudah menanggapi pasien yang dia rawat. Alessa lebih fokus bekerja berbeda dari kemarin karena memikirkan Jovian. Alessa kali ini memiliki rencananya sendiri.
Ketika jam shiftnya selesai. Alessa sengaja pulang melewati jalan ke basement parkiran. Ia melihat mobil yang Jovian kendarai baru saja melesat keluar. Alessa memejamkan kedua kelopak matanya kemudian berdiri di pinggiran jalan.
Bruk!
Mobil yang Jovian kendarai membuat Alessa terjatuh karena menyenggol tubuh mungilnya itu. Alessa jatuh tersungkur sehingga kedua lucutnya mengalami luka lecet. Alessa berusaha beranjak berdiri sambil membersihkan ujung pakaiannya yang menempel pasir.
"Kau sudah gila berjalan di dekat mobil orang lain!" suara teriakan Jovian terdengar menggema ke seluruh area basement. Ia baru saja keluar dari mobilnya sembari menghampiri Alessa.
Semula Alessa selalu menundukkan kepalanya atau bahkan menjauhkan kontak mata dari Jovian. "Oh jadi, semua ini juga salahku ya," ledek Alessa. Wanita bermata cokelat karamel itu menatap langsung kedua mata Jovian dengan tatapan menantangnya.
Jovian sempat terperangah sejenak. "Kau tahu bukan jika ini jalur keluar mobil?" tanya Jovian.
"Tidak tahu tuh, jadi jalan ini saja tidak boleh aku lewati ya,"
"Tidak tahu tuh, jadi jalan ini saja tidak boleh aku lewati ya," ledek Alessa tersenyum remeh. Jovian mengeryitkan kedua alis tebalnya. Wajah dengan raut datar itu tidak akan bisa Alessa terka padahal batin Jovian sudah bergemuruh riuh. Kenapa dia jadi nekat begini ya? batin Jovian. Pria bermata biru itu keheranan karena Alessa yang semulanya patuh jadi berani menantangnya. "Kau masih orang yang sama dengan malam itu bukan?" Jovian bertanya dengan nada suara dinginnya. Alessa merasakan bulu kuduknya meremang hanya karena suara berat yang dingin milik Jovian. Alessa mendeham untuk mencairkan suasana. "Ha? apa sih maksudmu Tuan? Tuan sengaja ya biar mengalihkan aku yang sudah Tuan tabrak?" Alessa bertanya sembari berkacak pinggang. Jovian tidak mengabaikan kedua lutut Alessa yang terluka itu. Jovian menunduk kemudian mengangkat pinggang dan lipatan kedua kaki Alessa seolah tengah menggendong mempelai wanitanya. "Kalau begitu aku bertanggung jawab." Jovian berucap sembari membawa Ales
"Ah, beruntung sekali ... Apa kamu pacarnya Tuan Jovian ya, Alessa?" Alessa seketika meremang saat rekan-rekan kerjanya menanyai hal itu. "Tidak, aku bahkan baru kenal Beliau karena kalian," sahut Alessa dengan tersenyum seadanya. Sejak saat itu Alessa tidak pernah merasa aman. Hari-hari Jovian selalu menghampiri Unit ruang perawatan tempat Alessa bekerja meski hanya bersapa tegur dengan kepala Ruangan tapi ditiap ada kesempatan keduanya saling bertatap mata. Alessa sampai harus menikmati jam istirahatnya di rooftop Rumah Sakit. Keadaan yang sepi tak satu orang pun yang ada. Alessa hanya sendiri sembari mengigit roti yang Ia beli dan juga satu botol susu. "Lelahnya," ucap Alessa diiringi helaan napas. Alessa menikmati angin yang menerpa dirinya dengan lembut. Alessa diam sejenak merasakan ketenangan ini tapi tak lama bunyi pintu serta derapan tangga terdengar. Alessa menoleh mendapati Jovian yang sedang menghidupkan korek apinya. Pria itu tengah menghidupkan ujung puntung rokoknya.
"Tidak bisa, Ibu sudah susah payah mencari wanita yang tepat untukmu, siapa lagi yang cocok denganmu jika bukan Georgina? dia wanita dari kalangan keluarga kaya dan berkelas." Julia menahan rasa murka yang meluap-luap dihatinya. Anaknya yang dia besarkan jadi sosok Pria yang sempurna justru tak mematuhinya. Keinginan Julia untuk melihat Jovian menikah dengan wanita pilihannya jadi kacau. Padahal demi masa depan Jovian, Julia sudah menyingkirkan wanita polos yang tak bersalah. "Jadi kamu mau membangkang ya?" tanya Julia.Diamnya Jovian dengan raut wajah yang dingin itu tak mengubris perkataan ibunya. "Aku bisa menentukan pilihan hidupku." Jovian beranjak meninggalkan ibunya tanpa sepatah kata lainnya. Julia mengepalkan kedua tangannya. Ia menatap Jovian dengan kecewa kemudian beralih menatap Robert sang pelayan setianya. "Apa kau tahu siapa Wanita itu?" tanya Julia."Sayangnya Tuan Muda tak mengatakannya juga, Nyonya," jawab Robert.Julia mendecak kesal. Jovian anak kesayangannya m
"Perjanjian kita yang sah secara hukum ... untuk itu aku memintamu menandatangani kesepakatan pernikahan kontrak kita yang hanya berjalan selama dua tahun," ucap Jovian dengan tenang.Alessa menegak salivanya sendiri. Rasa gugup menghampiri kala pena yang diberikan oleh Seketaris Kenzo padanya. Alessa meraih peda dengan tangan gemetar. Di surat jelas tertulis lama kontrak pernikahan mereka dan juga kesepakatan yang persis sama dengan keinginan Alessa. Kontrak ini ada menguntungkan kedua belah pihak, Alessa bahkan mendapat bayaran yang fantastis dan Jovian mendapatkan posisinya sebagai ahli waris kekayaan keluarga Heide sesuai keinginannya. Jovian menatap Alessa yang ragu. "Alessa, kenapa?" tanya Pria itu.Alessa segera menggeleng kemudian menandatangani surat kontraknya. "Apa ada lagi?" tanya Alessa. Saat itu Alessa gelisah sehingga ia hanya bisa tersenyum sekenanya. "Tidak ada," jawab Jovian singkat. "Kalau begitu saya permisi karena harus bergegas pulang untuk dinas." Alessa bera
"Sayangnya Ayah sudah merestui pernikahan mereka," ucap Seorang Pria. Pria paruh baya itu baru masuk ke dalam mansion bersamaan dengan Jovian dan Alessa.Jovian melirik ayahnya. Keinginan menikahnya sudah disetujui oleh ayahnya meski ayahnya bahkan tidak tahu wanita mana yang akan Jovian nikahi. "Ya, Ayah sudah setuju karena aku mencintai Alessa," tegas Jovian.Julia jadi panas sendiri. Dia tahu jika seharusnya Alessa sudah tewas karena perdarahan hebat. Julia menatap Alessa dengan kebencian apalagi Alessa tiba-tiba saja menggandeng lengan Jovian kemudian menyembunyikan wajah takutnya di punggung lebar nan kekar Jovian.Jovian tersentak terkejut usai merasakan tangan Alessa menggandengnya bahkan wajah cantik Alessa bersembunyi dibalik punggungnya. Kedua mata Alessa berkaca-kaca sementara bibirnya mengerucut maju. Alessa ketakutan karena sikap penolakan dari ibunya itu. "Alessa, kamu tidak apa-apa?" tanya Jovian.Alessa segera menggeleng. "Aku ... aku tak menyangka jika Ibu Mertua tid
"Aku membawakan roti dan susu, segeralah dimakan karena aku tahu jika kamu belum makan apapun," ucap Jovian. Kedua tangannya tengah memengang nampan. Jovian boleh saja memiliki raut wajah yang datar tapi Jovian memberikan keperduliannya pada Alessa. "Terima kasih." Alessa berucap sembari meraih nampan yang Jovian berikan padanya. Jovian menatap Alessa yang meraih nampan dari tangannya. Kala itu Alessa tak sengaja menyentuh jemari Jovian. "Maaf, Tuan." Alessa menundukkan kepalanya."Alessa, ketika kita berdua jangan panggil aku Tuan." Jovian masih berdiri di ambang pintu karena asik memerhatikan Alessa yang memakai piyama pemberiannya. Alessa tampak lebih muda darinya. Jovian pun mulai penasaran dengan Alessa. "Usiamu berapa?" tanya Jovian."Ergh kalau itu ... usiaku dua puluh tahun, Tuan ...," ucap Alessa sembari buru-buru mengatupkan bibirnya. Ucapannya tidak dilanjutkan padahal Alessa ingin bertanya umur pada Jovian tapi ia ragu. Takut jika kelak hubungan mereka malah jadi semaki
"Tidak bisa, kamu yang terpenting bagiku saat ini, Alessa," ucap Jovian. Alessa mendesah pelan. Pagi-pagi sudah bertemu Ibu Mertua yang menjengkelkannya. Alessa menggoyangkan tangannya yang sedang digenggam oleh Jovian. "Tuan ... apa aku salah?" bisik Alessa."Jo, sejak menikah sama dia, kamu jadi menjauhi Ibu," cetus Julia.Beruntung saat itu ada Tuan Sebastian yang baru tiba. Pria paruh baya itu memengang pundak istrinya. "Julia relakan anak kita sudah menikah dengan wanita pilihannya, nanti weekends kita liburan ke Peru bagaimana?" bujuk Sebastian sekaligus menawarkan sogokan pada Julia.Tatapan Julia masih sinis pada Alessa. "Ya, sudah ... aku juga gerah di rumah karena ada orang tak diundang," sindir Julia. Julia bahkan berlalu meninggal Alessa dan Jovian. "Maaf ya, Nak, sejak dulu Julia memang memanjakan Jovian jadi disaat Jovian menikah denganmu dia jadi tidak rela," ucap Tuan Sebastian. "Baik, Tuan ... tidak apa-apa saya mengerti." Alessa menyahut sembari tersenyum ceria.
"Jadi kamu mau aku bagaimana agar bisa dekat denganmu?" Alessa saat itu hendak meminum jus jeruknya. Ia sampai harus tersedak usai mendengar pertanyaan dari Jovian yang ada di depan dirinya itu. "Uhuk ... maaf." Alessa segera meletakkan gelas berisi jus jeruk itu. Jovian memberikan sapu tangan yang ia ambil dari saku jasnya. "Maaf, kurasa bercandaku kelewatan," ucap Jovian. "T-terima kasih," sahut Alessa sembari meraih sapu tangan itu kemudian mengelap ujung bibirnya. Jadi cuman bercanda, ya? batin Alessa. Tatapannya sendu tapi Alessa memilih menunduk untuk menatap piring berisi makanan yang baru saja ia pesan dan segelas jus jeruk. Mendadak nafsu makan Alessa hilang.Jovian yang duduk di depan Alessa menatapnya dengan lama. "Alessa ... aku tidak bercanda," ucap Jovian. Pria itu menyodorkan sebuah kotak perhiasan. "Perlu kupertegas jika aku akan menanggung hidupmu sejak kita menyepakati kesepakatan ini." Jovian beranjak berdiri dari kursi. "Akan aku jemput," ucap Jovian dengan tega