“Paman, aku terima tawaranmu tapi aku lebih senang jika Paman juga membantuku untuk membalaskan dendam,” ucap Alessa.
Dendam yang Alessa rasakan berasal dari kehilangan janinnya berkat ulah Wanita itu. Alessa pun tinggal bersama keluarga Anshar yang terdiri atas Robert dan anak laki-laki semata wayangnya. Banyak hal yang terjadi selama pemulihan fisik dan batin Alessa. Alessa yang tidak mau tinggal cuma-cuma pun dengan suka hati membantu pekerjaan rumah sembari menyelesaikan tahun terakhir kelulusannya.
Ketika hari mulai petang. Alessa sudah menyiapkan makan malam. Ia memasak lauk pauk tempe orek, ayam lada hitam dan sayur sop. Alessa kini sedang menyajikan masakannya di atas meja makan. Dia mendengar bunyi suara sepeda motor yang baru sampai di halaman rumah. Alessa tersenyum menyambut kedatangan Pria yang delapan tahun lebih tua darinya itu.
"Wah, wah, Alessa masak apa?" tanya Pria itu.
"Kak Eidar, selamat datang ... cuman lauk pauk sederhana aja kok." Alessa menuangkan air pada gelas. Ia menyodorkan gelas berisi air itu pada Eidar.
"Kenapa kamu masak, bagaimana nanti kakimu?" tanya Pria itu menatap kedua kaki Alessa.
Alessa segera menggeleng. "Sejak istirahat cukup lama sekarang kakiku mendingan kok, oh iya, apa malam ini Paman Robert pulang?" tanya Alessa. Semula memang canggung pada Eidar, anak semata wayang Robert tapi lamban laun kepribadian hangat Eidar bisa membuatnya akrab dengan Alessa. Robert juga memperlakukan Alessa seperti anak perempuannya.
Eidar mengarahkan tangannya pada puncak kepala Alessa kemudian mengusaknya. "Meskipun Ayah tidak pulang karena pekerjaannya, aku di sini untuk menjagamu ... kami tetap memengang janji untuk menebus kesalahan Ayah dengan menjagamu dari Nyonya Julia, selain itu bisakah kamu jangan sampai menampaki diri dengan keluarga Heide?" tanya Eidar dengan lembut.
Alessa tertawa kecil. Ia meraih tangan Eidar yang masih mengusak-usak kepalanya. "Memangnya kenapa Kakak sampai bilang seperti itu padaku?" Alessa membenahi rambut hitam panjang bergelombangnya karena berantakan akibat ulah Eidar.
Eidar baru saja kembali usai membasuh kedua tangannya. "Setiap hari kamu selalu bertanya mengenai Ayah, bukankah itu seperti rasa penasaranmu akan sesuatu." Eidar berucap sembari menduduki kursi. Ia sudah menggulung lengan kemeja batiknya sampai ke siku.
Alessa merasa sikapnya sudah diterka oleh Eidar. Selama ini Alessa memang berusaha mengumpulkan informasi mengenai keluarga Heide bahkan malam penderitaannya di mansion mewah itu masih terngiang-ngiang dibenaknya. Alessa yang tengah berdiri itu tanpa sadar sudah meremat perutnya sendiri.
"Alessa, Alessa, kamu tidak apa-apa?" Eidar bertanya dengan tampang cemasnya. Pria blasteran Maroko itu mendekati Alessa. Tangannya hendak menyentuh pundak Alessa tapi Alessa segera menepisnya.
"Hentikan, aku ... aku baik-baik saja," ucap Alessa yang gemetar samar itu.
Eidar paham jika ketakutan Alessa belum sepenuhnya pulih meski fisiknya kini terlihat baik-baik saja. Alessa tidak memiliki siapa pun. Ia menderita sendiri akibat ulah orang-orang kaya yang angkuh. "Maafkan aku, jika ini lancang." Eidar pun memeluk Alessa kemudian mengusap-usap punggung kecilnya agar menenangkan Alessa.
Alessa terisak dalam pelukan Eidar. Ia menumpahkan seluruh perasaannya. Alessa memang masih membenci peristiwa itu. "Seharusnya aku bisa melindungi diriku hiks," ucap Alessa disela-sela isaknya.
"Lebih baik kita lekas makan malam, aku ngiler loh dengan masakanmu," kekeh Eidar menghibur Alessa.
Alessa mengangguk kemudian makan malam berdua dengan Eidar. Alessa mulai menyakinkan tekadnya. Usai menjadi lulusan terbaik dengan pujian. Alessa mememulai siasatnya sendiri, berbekal informasi yang Ia kumpulkan. Alessa nekat mendatangi Heide Hospital.
"Hey, kamu ... kamu Alessa bukan?" tanya seorang Wanita.
Alessa menoleh untuk menatap Wanita berkacamata itu. Alessa menyunggingkan senyuman manisnya. "Hai, Dokter Mina Harun," ucap Alessa.
Pertemuan Alessa dengan Mina membuat jembatan baru bagi Alessa. Kedua wanita beda usia ini melanjutkan perbincangan di Kafetaria. Mina senang menatap Alessa yang sudah pulih tapi Alessa membawa rencananya sendiri untuk bertemu Mina.
"Bagaimana kabarmu, Alessa?" tanya Mina.
"Baik Dokter Mina, terlebih dari itu Anda tampaknya ada di mana-mana ya ... tidak hanya di Rumah Sakit Pendidikan tapi juga di Rumah Sakit Pria itu," ucap Alessa. Nada suaranya lembut tapi terdengar juga dingin.
Mina menyadari sesuatu. Pria yang Alessa maksud merujuk pada pemilik Heide Hospital. Mina tersenyum menanggapi ucapan Alessa. "Kenapa Paman Robert bisa membawamu padaku pada saat itu?" tanya Mina.
"Inilah yang ingin aku beritahu, seorang wanita sudah menjebakku sampai membuatku keguguran karena kami melakukannya." Alessa menjawab pertanyaan Mina. Dia meremat kedua tangannya sendiri yang ada di atas meja.
Alessa sempat ragu untuk mengatakannya tapi Alessa menarik napas perlahan. "Paman Robert sudah mengatakan semuanya, aku keguguran karena seorang bernama Julia yang tak mau aku hamil dari anak tunggalnya itu, siapa sangka? pria yang memesanku malam itu justru anaknya," ucap Alessa diselingi kekehan kecil. Ucapannya tidak sesuai dengan ekspresinya kala ini.
Mina meraih tangan Alessa untuk Ia genggam. Mina mengenal keluarga Heide cukup baik. Mina memahami reaksi Alessa yang berbanding dengan perkataannya. "Aku mengerti," tegas Mina.
Alessa membelalakkan kedua mata karamel madunya. Alessa tertunduk sejenak. "Bantu aku untuk bertemu dengannya, aku tidak terima kehilangan janinku dengan cara seperti ini." Alessa berucap sambil tertunduk.
"Angkat kepalamu Alessa," suruh Mina.
Alessa mengangkat kepalanya dengan perlahan untuk menatap Mina. Wajah cantik Alessa sudah merah karena menahan isak air mata. "Aku ... benar-benar membenci semua ini," ucap Alessa.
"Bekerjalah bersamaku, mulai besok kamu bisa jadi pegawai di Rumah Sakit ini." Mina mengangguk sembari berucap dengan lembut.
"Terima kasih Dokter Mina," sahut Alessa tersenyum haru.
Hari sudah berganti jadi hari pertama Alessa bekerja. Ia memasuki Heide Hospital, salah satu Rumah Sakit terbaik dengan fasilitas termutakhir. Alessa merasa beruntung bisa mulai bekerja. Ia bahkan sudah disambut dengan Mina yang menunggunya di depan bangsal ruang perawatan.
"Sebenarnya aku ingin kamu ikut denganku di poli tapi kepala ruangan ruang rawat bedah mau kamu membantunya selama satu bulan ini," ucap Mina. "Jangan khawatir, berkasmu kemarin sudah ada ditangan HR jadi kamu harus kerja dengan benar ya." Mina mengusap pundak Alessa. Ia dengan senang hati bisa membawa Alessa bergabung dengan tempatnya bekerja. Mina bahkan sempat terkejut karena tahu akan prestasi dan pengalaman Alessa selama kuliah. Alessa termaksud orang yang cemerlang.
"Terima kasih Dokter Mina," ucap Alessa.
Alessa dan Mina berpisah setelahnya. Alessa mulai berkenalan dengan rekan kerjanya yang lain. Alessa bahkan sudah mulai sibuk. Kini Ia mendapatkan tugas pekerjaan untuk menggantikan perban pasien dari kamar VVIP.
Alessa mendorong troly berisi peralatannya bahkan tanpa rasa curiga mulai memasuki ruangan VVIP itu. "Selamat pagi Pak, perkenalkan saya Perawat Alessa yang hari ini akan menggantikan perban Anda," ucap Alessa. "Bagaimana kabarnya hari ... maaf Tuan, aku tidak tahu jika Anda sedang berganti pakaian." Alessa menahan ucapannya ketika melihat Pria bertubuh kekar yang tengah mengganti pakaiannya itu.
Pria itu cukup kesulitan karena lengan kirinya mengalami cedera. Alessa pun mendekatinya. Semula Pria itu membelakangi Alessa tapi saat Pria itu membalikkan tubuh tegapnya untuk menatap Alessa. Kedua mata Alessa membelalak kemudian Ia hanya mematung.
"Apa kau yang jadi perawatku saat ini?"
"Apa kau yang jadi perawatku saat ini?" Bulu kuduk Alessa meremang kemudian dirinya jadi membatu kala suara Pria itu terdengar berat dan dingin. Alessa tak langsung menjawab melainkan tersenyum sedikit kemudian mengangguk. "Benar, Tuan," jawab Alessa. Dia tak akan pernah lupa wajah, suara bahkan kedua mata biru itu. Alessa tak akan pernah lupa akan Pria yang merenggut kesuciannya dengan uang. Kedua mata pria itu mengekori pergerakan tubuh Alessa. Dia pendiam bahkan tidak berkata apapun lagi namun tatapannya yang dingin dan menusuk itu seolah tengah menguliti Alessa. Dia menatap kedua tangan kecil Alessa yang sedang membuka balutan perban. Alessa membersihkannya lengan kekarnya dengan kapas dan mengganti dengan yang baru. Alessa yang tertunduk menatap lengan kekarnya membuat Pria itu teringat dengan kali pertama pertemuan mereka. Alessa masih sama gugupnya meski kali ini Ia bekerja dengan telaten bukan sebagai wanita panggilan semalam saja. "Kenapa seperti seolah aku akan melahap
"Kalau begitu ... tidak salah lagi, orang yang kau maksud itu Jovian Arsenio Heide kebetulan dia juga pemilik Rumah Sakit ini." Alessa membelalakkan kedua matanya. Lidahnya bahkan terasa kelu untuk menanggapi Mina. Kedua tangannya mengepal keras hingga memutih. Nama itu bukan nama yang asing untuk dikenal melainkan nama orang yang memiliki harta dan kekuasaan saat ini. Ternyata orang yang hendak Alessa berikan perhitungan merupakan orang yang berkuasa. "Boleh juga," ucap Alessa sembari tersenyum kecil. "Apa kau barusan berbicara sesuatu?" tanya Dokter Mina yang heran. Alessa segera menggeleng. "Sepertinya dia orang yang berkuasa ya? pasti punya segalanya dibandingkan aku yang orang biasa saja bahkan miskin," ucap Alessa tersenyum remeh. Dokter Mina menggeleng. Dia tak setuju dengan ucapan Alessa yang terlalu merendahkan dirinya. "Kamu punya potensi bahkan jika Jovian mengenalmu bisa saja dia jatuh cinta padamu," sahut Dokter Mina. Alessa tersipu malu. Tak dipungkiri memang jika
"Tidak tahu tuh, jadi jalan ini saja tidak boleh aku lewati ya," ledek Alessa tersenyum remeh. Jovian mengeryitkan kedua alis tebalnya. Wajah dengan raut datar itu tidak akan bisa Alessa terka padahal batin Jovian sudah bergemuruh riuh. Kenapa dia jadi nekat begini ya? batin Jovian. Pria bermata biru itu keheranan karena Alessa yang semulanya patuh jadi berani menantangnya. "Kau masih orang yang sama dengan malam itu bukan?" Jovian bertanya dengan nada suara dinginnya. Alessa merasakan bulu kuduknya meremang hanya karena suara berat yang dingin milik Jovian. Alessa mendeham untuk mencairkan suasana. "Ha? apa sih maksudmu Tuan? Tuan sengaja ya biar mengalihkan aku yang sudah Tuan tabrak?" Alessa bertanya sembari berkacak pinggang. Jovian tidak mengabaikan kedua lutut Alessa yang terluka itu. Jovian menunduk kemudian mengangkat pinggang dan lipatan kedua kaki Alessa seolah tengah menggendong mempelai wanitanya. "Kalau begitu aku bertanggung jawab." Jovian berucap sembari membawa Ales
"Ah, beruntung sekali ... Apa kamu pacarnya Tuan Jovian ya, Alessa?" Alessa seketika meremang saat rekan-rekan kerjanya menanyai hal itu. "Tidak, aku bahkan baru kenal Beliau karena kalian," sahut Alessa dengan tersenyum seadanya. Sejak saat itu Alessa tidak pernah merasa aman. Hari-hari Jovian selalu menghampiri Unit ruang perawatan tempat Alessa bekerja meski hanya bersapa tegur dengan kepala Ruangan tapi ditiap ada kesempatan keduanya saling bertatap mata. Alessa sampai harus menikmati jam istirahatnya di rooftop Rumah Sakit. Keadaan yang sepi tak satu orang pun yang ada. Alessa hanya sendiri sembari mengigit roti yang Ia beli dan juga satu botol susu. "Lelahnya," ucap Alessa diiringi helaan napas. Alessa menikmati angin yang menerpa dirinya dengan lembut. Alessa diam sejenak merasakan ketenangan ini tapi tak lama bunyi pintu serta derapan tangga terdengar. Alessa menoleh mendapati Jovian yang sedang menghidupkan korek apinya. Pria itu tengah menghidupkan ujung puntung rokoknya.
"Tidak bisa, Ibu sudah susah payah mencari wanita yang tepat untukmu, siapa lagi yang cocok denganmu jika bukan Georgina? dia wanita dari kalangan keluarga kaya dan berkelas." Julia menahan rasa murka yang meluap-luap dihatinya. Anaknya yang dia besarkan jadi sosok Pria yang sempurna justru tak mematuhinya. Keinginan Julia untuk melihat Jovian menikah dengan wanita pilihannya jadi kacau. Padahal demi masa depan Jovian, Julia sudah menyingkirkan wanita polos yang tak bersalah. "Jadi kamu mau membangkang ya?" tanya Julia.Diamnya Jovian dengan raut wajah yang dingin itu tak mengubris perkataan ibunya. "Aku bisa menentukan pilihan hidupku." Jovian beranjak meninggalkan ibunya tanpa sepatah kata lainnya. Julia mengepalkan kedua tangannya. Ia menatap Jovian dengan kecewa kemudian beralih menatap Robert sang pelayan setianya. "Apa kau tahu siapa Wanita itu?" tanya Julia."Sayangnya Tuan Muda tak mengatakannya juga, Nyonya," jawab Robert.Julia mendecak kesal. Jovian anak kesayangannya m
"Perjanjian kita yang sah secara hukum ... untuk itu aku memintamu menandatangani kesepakatan pernikahan kontrak kita yang hanya berjalan selama dua tahun," ucap Jovian dengan tenang.Alessa menegak salivanya sendiri. Rasa gugup menghampiri kala pena yang diberikan oleh Seketaris Kenzo padanya. Alessa meraih peda dengan tangan gemetar. Di surat jelas tertulis lama kontrak pernikahan mereka dan juga kesepakatan yang persis sama dengan keinginan Alessa. Kontrak ini ada menguntungkan kedua belah pihak, Alessa bahkan mendapat bayaran yang fantastis dan Jovian mendapatkan posisinya sebagai ahli waris kekayaan keluarga Heide sesuai keinginannya. Jovian menatap Alessa yang ragu. "Alessa, kenapa?" tanya Pria itu.Alessa segera menggeleng kemudian menandatangani surat kontraknya. "Apa ada lagi?" tanya Alessa. Saat itu Alessa gelisah sehingga ia hanya bisa tersenyum sekenanya. "Tidak ada," jawab Jovian singkat. "Kalau begitu saya permisi karena harus bergegas pulang untuk dinas." Alessa bera
"Sayangnya Ayah sudah merestui pernikahan mereka," ucap Seorang Pria. Pria paruh baya itu baru masuk ke dalam mansion bersamaan dengan Jovian dan Alessa.Jovian melirik ayahnya. Keinginan menikahnya sudah disetujui oleh ayahnya meski ayahnya bahkan tidak tahu wanita mana yang akan Jovian nikahi. "Ya, Ayah sudah setuju karena aku mencintai Alessa," tegas Jovian.Julia jadi panas sendiri. Dia tahu jika seharusnya Alessa sudah tewas karena perdarahan hebat. Julia menatap Alessa dengan kebencian apalagi Alessa tiba-tiba saja menggandeng lengan Jovian kemudian menyembunyikan wajah takutnya di punggung lebar nan kekar Jovian.Jovian tersentak terkejut usai merasakan tangan Alessa menggandengnya bahkan wajah cantik Alessa bersembunyi dibalik punggungnya. Kedua mata Alessa berkaca-kaca sementara bibirnya mengerucut maju. Alessa ketakutan karena sikap penolakan dari ibunya itu. "Alessa, kamu tidak apa-apa?" tanya Jovian.Alessa segera menggeleng. "Aku ... aku tak menyangka jika Ibu Mertua tid
"Aku membawakan roti dan susu, segeralah dimakan karena aku tahu jika kamu belum makan apapun," ucap Jovian. Kedua tangannya tengah memengang nampan. Jovian boleh saja memiliki raut wajah yang datar tapi Jovian memberikan keperduliannya pada Alessa. "Terima kasih." Alessa berucap sembari meraih nampan yang Jovian berikan padanya. Jovian menatap Alessa yang meraih nampan dari tangannya. Kala itu Alessa tak sengaja menyentuh jemari Jovian. "Maaf, Tuan." Alessa menundukkan kepalanya."Alessa, ketika kita berdua jangan panggil aku Tuan." Jovian masih berdiri di ambang pintu karena asik memerhatikan Alessa yang memakai piyama pemberiannya. Alessa tampak lebih muda darinya. Jovian pun mulai penasaran dengan Alessa. "Usiamu berapa?" tanya Jovian."Ergh kalau itu ... usiaku dua puluh tahun, Tuan ...," ucap Alessa sembari buru-buru mengatupkan bibirnya. Ucapannya tidak dilanjutkan padahal Alessa ingin bertanya umur pada Jovian tapi ia ragu. Takut jika kelak hubungan mereka malah jadi semaki