“Apa ini? kenapa ada darah dari kedua kakiku?”
Alessa membelalakkan kedua matanya. Rasa sakit diperutnya semakin menjadi tapi Alessa menjadi panik karena menyadari kedua kakinya sudah dialiri oleh cairan merah. Alessa berusaha beranjak dari ranjangnya. Kedua kakinya berusaha menapaki lantai tapi tiba-tiba saja tubuh Alessa ambruk.
“Tolong ... kumohon tolong aku.” Alessa melirih. Dia merangkak berusaha menggapai pintu untuk meminta pertolongan seseorang. Alessa akhirnya menyerah karena selain rasa sakit tapi aliran cairan terus mengalir dari kedua kakinya. Lantai keramik putih bahkan sudah berubah jadi merah terang.
Alessa memengangi perutnya. Ia memilih merebahkan dirinya pada lantai keramik putih itu. Alessa bisa melihat jika dirinya kini berbaring dikubangan darahnya sendiri. Alessa terisak menangis pilu. “Rasa nyeri tertusuk, tubuh melemah drastis dan ... perdarahan tidak berhenti dari dalam perutku.” Alessa bergumam seorang diri. Dia tak bisa bergerak karena terlalu lemah.
“Tuhan, berilah aku kekuatan jika aku selamat dari ajal ini, maafkan Ibu, nak.” Alessa berucap sendiri. Perlahan-lahan kedua kelopak matanya pun tertutup rapat.
Pintu terbuka menampaki sosok Pria tua yang terkejut menatap Alessa terbaring di lantai lautan merahnya itu. Dia menatap Alessa yang sudah tergeletak tak berdaya. Pria itu segera mendekati Alessa kemudian mendekati Alessa dan menepuk-nepukpelan pipi Alessa yang kini terlihat pucat pasi.“Nona, bangunlah,” ucap Pria itu.
“Robert, apa dia sudah mati?” tanya Julia yang berdiri di ambang pintu.
Robert mengarahkan tangannya pada leher Alessa untuk merasakan denyut nadinya. Robert juga melihat deru napas Alessa yang sangat pelan. Ia tahu Alessa masih hidup tapi kondisinya sudah mengenaskan karena cairan merah yang keluar dari dirinya begitu banyak. “Ya, dia sudah tiada bahkan dengan kondisi seperti ini janinnya sudah dipastikan juga gugur, Nyonya.” Robert menjawab dengan dusta.Julia tertawa dengan kencang. Dia malah girang atas kemalangan yang Alessa alami. “Bagus, bagus, setelah itu buang tubuh Gadis itu ke jurang biar disangka Ia kecelakaan dan mati membusuk di sana,” perintah Julia.
“Baik, Nyonya,” sahut Robert.
“Jangan disangka aku sudi menerimamu perempuan tidak jelas, sudah pasti Ia menjebak Jovian agar menidurinya kemudian menjadikan alasan janin itu untuk memporoti Jovian.” Julia berucap sambil beranjak meninggalkan kamar yang Alessa tempati. Julia masih tertawa ketika keluar dari kamar seolah Ia sangat senang dengan kematian yang Ia sangka itu.
Robert mengangguk tapi Ia tak bisa melepaskan tatapan ibanya pada Alessa. Robert menanti hingga Julia keluar dari mansion ini. Beruntung suara deruan mobil terdengar dari halaman perkarangan rumah megah ini. Robert yang bertahun-tahun mengabdi pada keluarga konglomerat ini mengenali bunyi mobil milik Julia.
“Nona, ampuni aku atas dosa besar ini, mari kita pergi.” Robert menggendong tubuh Alessa yang tak sadarkan diri itu. “Kemungkinan masih ada waktu, Ia pingsan karena kehilangan darah, aku harus bergegas,” ucap Robert.
Pria tua itu menyelamatkan Alessa. Dia dengan hati-hati mengeluarkan Alessa usai Alessa ditutupi kain kemudian meletakkan Alessa di bangku belakang mobil. “Bertahanlah, Nona kecil,” gumam Robert. Saat itu pula melesat membawa Alessa keluar dari kediaman megah itu. Ia menyetir hingga tiba di sebuah Rumah Sakit.
“Panggilkan Dokter Mina Harun!” Teriak Robert.
Pria itu menggendong tubuh Alessa yang terkulai lemah menuju Unit Gawat Darurat. Dia terus meminta agar Alessa ditangani oleh Dokter Mina Harun. “Tolong, biarkan Dokter Mina yang menanganinya,” ucap Robert memelas.
Seorang wanita snelli putih datang tergopoh-gopoh. Dia langsung mengarahkan perhatiannya pada Alessa yang malang itu. Wanita itu tidak memerdulikan keberadaan Robert kemudian membawa Alessa ke salah satu ruang intensif agar ditangani dengan cepat.
Robert menanti di luar Unit Gawat Darurat. Ia terus merapalkan doa agar Alessa dapat bertahan. Tak lama Wanita yang mengenakan snelli putih itu datang menghampiri Robert. “Gadis itu baru tadi pagi mengetahui kehamilannya, kini Ia keguguran dan aku tahu bukan secara alami melainkan,”—Wanita itu melepaskan masker yang menutupi sebagian wajahnya. “Kumohon, Paman bahkan aku tahu jika Tante Julia sempat mengekorinya tadi pagi,” ucap Wanita itu dengan lirih.
“Mina, tolonglah selamatkan anak malang itu.” Robert berucap sambil berlutut dihadapan Dokter Mina.
Dokter Mina meraih pundak Robert untuk membawa Pria tua itu berdiri. “Aku butuh keluarganya untuk menandatangani persetujuan operasi karena perdarahannya dan luka di dalam rahimnya,” ucap Dokter Mina.“Lakukan Mina, keluarganya bahkan mengusir gadis malang ini ... itulah yang sudah kuselidiki atas perintah Nyonya Julia selama sebulan belakangan,” ungkap Robert.
Dokter Mina menghela napas. “Paling tidak keluarganya mengetahuinya, Paman,” ujar Dokter Mina.“Tolong, anak itu sekarat, dosaku harus kutebus Mina.” Robert yang berucap dengan lirih.
Alessa mengalami hal yang sulit. Masa kritisnya berhasil berlalu meski Ia harus kehilangan janinnya. Kini Alessa sudah beberapa hari di ruang rawat inap. Ia mendapatkan pengobatan dari Dokter Mina meskipun jiwanya terguncang usai mengalami semua ini.Robert baru berani menemui Alessa pada hari ke tujuh bersama anak sulungnya. Robert sudah memberitahu jebakan yang Julia inginkan pada Alessa. Robert dengan penuh penyesalan memasuki ruang rawat inap yang Alessa tempati.
“Ayo, Ayah, kita harus meminta maaf pada gadis malang itu,” ujar seorang Pria pada Robert.
Robert mengangguk. Dia pun memasuki ruang rawat inap yang Alessa tempati. “Nak, maafkan aku,” ucap Robert. Pria tua itu mendapati sosok gadis muda yang cantik. Wajahnya berseri disinari sinar matahari dari jendela yang sengaja dibuka kemudian rambut hitam panjang bergelombang juga ikut bergerak halus kala angin sepoi-sepoi menerpanya.Alessa yang tengah duduk di atas ranjang kasurnya menoleh ke arah Robert. Alessa masih mengingat jelas penderitaannya yang harus melawan reaksi dari obat pengugur. “Apakah Tante Julia yang merencanakan semua ini?” tanya Alessa.
“Iya, Nak, dia tak mau kau mengandung anak dari pewaris tunggal Heide,” jawab Robert.
“Orang kaya yang keji,” celetuk Pria yang ada disamping Robert. Ia menyadari Alessa yang langsung menatap dirinya itu. “Maaf, Nona, Ayahku sebenarnya tak berniat untuk menjebakmu hingga membuatmu kehilangan bayimu,” ucap Pria itu.
Alessa tersenyum lembut. Alessa tahu Ia tak bisa mengembalikan waktu untuk mencegah semuanya. Kemalangan sudah terjadi. Dia sudah kehilangan janinnya. “Aku memang sedih karena kehilangan janinku yang tak berdosa namun Tante Julia menjebakku dengan keji, beruntung Tuhan memberiku keselamatan dari maut itu,” ujar Alessa.
“Ampuni aku, Nak, dosa-dosa yang kuperbuat karena terpaksa atas perintah Nyonya Julia.” Robert berlutut dihadapan Alessa untuk meminta pengampunan. Ia memang meletakkan obat penggugur di makanan yang Alessa santap dalam dosis besar.
Alessa tersenyum kecil. “Sudahlah, Paman, semua itu sudah terjadi ... aku memaafkanmu,” sahut Alessa dengan suara indahnya yang mengalun lembut. Alessa jauh lebih tegar sekarang.
“Terima kasih, Nak,” ucap Robert. “Maukah kau tinggal bersama kami? sebagai penebusan dosaku, biarlah aku memberimu tempat untuk jadi anak angkatku, Nona.” Robert berucap pada Alessa dengan sungguh-sungguh. Dia ingin menjaga Alessa selayaknya anaknya sendiri.
“Paman, aku terima tawaranmu tapi aku lebih senang jika Paman juga membantuku untuk membalaskan dendam,”
“Paman, aku terima tawaranmu tapi aku lebih senang jika Paman juga membantuku untuk membalaskan dendam,” ucap Alessa. Dendam yang Alessa rasakan berasal dari kehilangan janinnya berkat ulah Wanita itu. Alessa pun tinggal bersama keluarga Anshar yang terdiri atas Robert dan anak laki-laki semata wayangnya. Banyak hal yang terjadi selama pemulihan fisik dan batin Alessa. Alessa yang tidak mau tinggal cuma-cuma pun dengan suka hati membantu pekerjaan rumah sembari menyelesaikan tahun terakhir kelulusannya. Ketika hari mulai petang. Alessa sudah menyiapkan makan malam. Ia memasak lauk pauk tempe orek, ayam lada hitam dan sayur sop. Alessa kini sedang menyajikan masakannya di atas meja makan. Dia mendengar bunyi suara sepeda motor yang baru sampai di halaman rumah. Alessa tersenyum menyambut kedatangan Pria yang delapan tahun lebih tua darinya itu. "Wah, wah, Alessa masak apa?" tanya Pria itu. "Kak Eidar, selamat datang ... cuman lauk pauk sederhana aja kok." Alessa menuangkan air pad
"Apa kau yang jadi perawatku saat ini?" Bulu kuduk Alessa meremang kemudian dirinya jadi membatu kala suara Pria itu terdengar berat dan dingin. Alessa tak langsung menjawab melainkan tersenyum sedikit kemudian mengangguk. "Benar, Tuan," jawab Alessa. Dia tak akan pernah lupa wajah, suara bahkan kedua mata biru itu. Alessa tak akan pernah lupa akan Pria yang merenggut kesuciannya dengan uang. Kedua mata pria itu mengekori pergerakan tubuh Alessa. Dia pendiam bahkan tidak berkata apapun lagi namun tatapannya yang dingin dan menusuk itu seolah tengah menguliti Alessa. Dia menatap kedua tangan kecil Alessa yang sedang membuka balutan perban. Alessa membersihkannya lengan kekarnya dengan kapas dan mengganti dengan yang baru. Alessa yang tertunduk menatap lengan kekarnya membuat Pria itu teringat dengan kali pertama pertemuan mereka. Alessa masih sama gugupnya meski kali ini Ia bekerja dengan telaten bukan sebagai wanita panggilan semalam saja. "Kenapa seperti seolah aku akan melahap
"Kalau begitu ... tidak salah lagi, orang yang kau maksud itu Jovian Arsenio Heide kebetulan dia juga pemilik Rumah Sakit ini." Alessa membelalakkan kedua matanya. Lidahnya bahkan terasa kelu untuk menanggapi Mina. Kedua tangannya mengepal keras hingga memutih. Nama itu bukan nama yang asing untuk dikenal melainkan nama orang yang memiliki harta dan kekuasaan saat ini. Ternyata orang yang hendak Alessa berikan perhitungan merupakan orang yang berkuasa. "Boleh juga," ucap Alessa sembari tersenyum kecil. "Apa kau barusan berbicara sesuatu?" tanya Dokter Mina yang heran. Alessa segera menggeleng. "Sepertinya dia orang yang berkuasa ya? pasti punya segalanya dibandingkan aku yang orang biasa saja bahkan miskin," ucap Alessa tersenyum remeh. Dokter Mina menggeleng. Dia tak setuju dengan ucapan Alessa yang terlalu merendahkan dirinya. "Kamu punya potensi bahkan jika Jovian mengenalmu bisa saja dia jatuh cinta padamu," sahut Dokter Mina. Alessa tersipu malu. Tak dipungkiri memang jika
"Tidak tahu tuh, jadi jalan ini saja tidak boleh aku lewati ya," ledek Alessa tersenyum remeh. Jovian mengeryitkan kedua alis tebalnya. Wajah dengan raut datar itu tidak akan bisa Alessa terka padahal batin Jovian sudah bergemuruh riuh. Kenapa dia jadi nekat begini ya? batin Jovian. Pria bermata biru itu keheranan karena Alessa yang semulanya patuh jadi berani menantangnya. "Kau masih orang yang sama dengan malam itu bukan?" Jovian bertanya dengan nada suara dinginnya. Alessa merasakan bulu kuduknya meremang hanya karena suara berat yang dingin milik Jovian. Alessa mendeham untuk mencairkan suasana. "Ha? apa sih maksudmu Tuan? Tuan sengaja ya biar mengalihkan aku yang sudah Tuan tabrak?" Alessa bertanya sembari berkacak pinggang. Jovian tidak mengabaikan kedua lutut Alessa yang terluka itu. Jovian menunduk kemudian mengangkat pinggang dan lipatan kedua kaki Alessa seolah tengah menggendong mempelai wanitanya. "Kalau begitu aku bertanggung jawab." Jovian berucap sembari membawa Ales
"Ah, beruntung sekali ... Apa kamu pacarnya Tuan Jovian ya, Alessa?" Alessa seketika meremang saat rekan-rekan kerjanya menanyai hal itu. "Tidak, aku bahkan baru kenal Beliau karena kalian," sahut Alessa dengan tersenyum seadanya. Sejak saat itu Alessa tidak pernah merasa aman. Hari-hari Jovian selalu menghampiri Unit ruang perawatan tempat Alessa bekerja meski hanya bersapa tegur dengan kepala Ruangan tapi ditiap ada kesempatan keduanya saling bertatap mata. Alessa sampai harus menikmati jam istirahatnya di rooftop Rumah Sakit. Keadaan yang sepi tak satu orang pun yang ada. Alessa hanya sendiri sembari mengigit roti yang Ia beli dan juga satu botol susu. "Lelahnya," ucap Alessa diiringi helaan napas. Alessa menikmati angin yang menerpa dirinya dengan lembut. Alessa diam sejenak merasakan ketenangan ini tapi tak lama bunyi pintu serta derapan tangga terdengar. Alessa menoleh mendapati Jovian yang sedang menghidupkan korek apinya. Pria itu tengah menghidupkan ujung puntung rokoknya.
"Tidak bisa, Ibu sudah susah payah mencari wanita yang tepat untukmu, siapa lagi yang cocok denganmu jika bukan Georgina? dia wanita dari kalangan keluarga kaya dan berkelas." Julia menahan rasa murka yang meluap-luap dihatinya. Anaknya yang dia besarkan jadi sosok Pria yang sempurna justru tak mematuhinya. Keinginan Julia untuk melihat Jovian menikah dengan wanita pilihannya jadi kacau. Padahal demi masa depan Jovian, Julia sudah menyingkirkan wanita polos yang tak bersalah. "Jadi kamu mau membangkang ya?" tanya Julia.Diamnya Jovian dengan raut wajah yang dingin itu tak mengubris perkataan ibunya. "Aku bisa menentukan pilihan hidupku." Jovian beranjak meninggalkan ibunya tanpa sepatah kata lainnya. Julia mengepalkan kedua tangannya. Ia menatap Jovian dengan kecewa kemudian beralih menatap Robert sang pelayan setianya. "Apa kau tahu siapa Wanita itu?" tanya Julia."Sayangnya Tuan Muda tak mengatakannya juga, Nyonya," jawab Robert.Julia mendecak kesal. Jovian anak kesayangannya m
"Perjanjian kita yang sah secara hukum ... untuk itu aku memintamu menandatangani kesepakatan pernikahan kontrak kita yang hanya berjalan selama dua tahun," ucap Jovian dengan tenang.Alessa menegak salivanya sendiri. Rasa gugup menghampiri kala pena yang diberikan oleh Seketaris Kenzo padanya. Alessa meraih peda dengan tangan gemetar. Di surat jelas tertulis lama kontrak pernikahan mereka dan juga kesepakatan yang persis sama dengan keinginan Alessa. Kontrak ini ada menguntungkan kedua belah pihak, Alessa bahkan mendapat bayaran yang fantastis dan Jovian mendapatkan posisinya sebagai ahli waris kekayaan keluarga Heide sesuai keinginannya. Jovian menatap Alessa yang ragu. "Alessa, kenapa?" tanya Pria itu.Alessa segera menggeleng kemudian menandatangani surat kontraknya. "Apa ada lagi?" tanya Alessa. Saat itu Alessa gelisah sehingga ia hanya bisa tersenyum sekenanya. "Tidak ada," jawab Jovian singkat. "Kalau begitu saya permisi karena harus bergegas pulang untuk dinas." Alessa bera
"Sayangnya Ayah sudah merestui pernikahan mereka," ucap Seorang Pria. Pria paruh baya itu baru masuk ke dalam mansion bersamaan dengan Jovian dan Alessa.Jovian melirik ayahnya. Keinginan menikahnya sudah disetujui oleh ayahnya meski ayahnya bahkan tidak tahu wanita mana yang akan Jovian nikahi. "Ya, Ayah sudah setuju karena aku mencintai Alessa," tegas Jovian.Julia jadi panas sendiri. Dia tahu jika seharusnya Alessa sudah tewas karena perdarahan hebat. Julia menatap Alessa dengan kebencian apalagi Alessa tiba-tiba saja menggandeng lengan Jovian kemudian menyembunyikan wajah takutnya di punggung lebar nan kekar Jovian.Jovian tersentak terkejut usai merasakan tangan Alessa menggandengnya bahkan wajah cantik Alessa bersembunyi dibalik punggungnya. Kedua mata Alessa berkaca-kaca sementara bibirnya mengerucut maju. Alessa ketakutan karena sikap penolakan dari ibunya itu. "Alessa, kamu tidak apa-apa?" tanya Jovian.Alessa segera menggeleng. "Aku ... aku tak menyangka jika Ibu Mertua tid