“Kalau begitu malam ini kau harus mau melayani Tuan Kaya itu lagi.”
Bagai disambar petir di tengah hari. Alessa tentu tak sudi harus melalui malam yang sama seperti kemarin. Alessa segera menggeleng karena pilihannya hanya dua, yaitu mengorbankan dirinya lagi atau mendalinya. “Bapak boleh jual mendaliku,” putus Alessa yang tak berdaya.
“Nah, gitu dong, jadi anak harus tahu diri.” Bapak pergi menaiki motor supranya. Dia tidak memerdulikan anak perempuannya yang tertunduk dengan isak tangisnya.
Alessa harus tetap bangkit dari keterpurukannya. Dia pun mengemasi dagangannya serta bersiap untuk pergi ke kampus seperti biasanya. Alessa harus memenuhi keinginan Bapaknya dan menuruti perintah Bibinya di rumah. Hal seperti ini sudah bertahun-tahun Alessa rasakan. Ibunya pergi meninggalkannya saat masih remaja karena perilaku kasar Bapaknya karena terjerat hutang-hutang yang besar. Masa jaya Alessa sebagai atlit muda peselancar es pun pupus karena Bapaknya yang sering memukuli kedua kakinya sampai cedera namun sayangnya tidak dibawa berobat. Alessa menanggung akibat yang membuat sebelah kakinya pincang dan kesulitan berjalan.
“Alessa Camelia Amarei, masa tenggat biaya kuliahmu sampai bulan depan ya, Nak,” ucap seorang wanita yang membuyarkan lamunan Alessa.
Alessa kala itu sedang duduk sendirian di kantin sembari menunggu orang membeli dagangannya. Dia malah dihampiri oleh staff tata usaha yang mengingatkan hutang biaya kuliahnya. Alessa tersenyum hambar. “Maaf, Bu, nanti Alessa lunasi,” ujar Alessa.
“Kalau tidak,nanti kamu tidak bisa wisuda bulan depan.” Wanita itu berucap sembari memilih dagangan di keranjang. “Ibu beli satu ya, keripik ketelanya.” Wanita paruh baya itu berucap sembari memberikan uang pecahan sepuluh ribu pada Alessa.
“Terima kasih, Bu, tunggu kembaliannya.” Alessa tampak kebingungan mencari uang ditasnya karena dagangannya belum dibeli siapapun. Alessa juga tidak memiliki uang kembalian untuk dagangannya.
“Tidak apa, ambil kembaliannya,” ucap Wanita itu sembari beranjak pergi.
Alessa tersenyum haru. Setidaknya hari ini dia mendapatkan uang meski nanti semuanya harus diberikan ke Bibinya. Alessa membawa keranjang berisi dagangannya itu ke taman. Alessa memang sudah selesai menyelesaikan tugas akhir. Seharusnya Alessa jadi mahasiswa lain yang menikmati masa-masa euforia kelulusan yang ada di depan mata.
“Seharusnya uang beasiswaku cukup untuk biaya kuliah tapi Bapak mengambilya lagi,” gumam Alessa diiringi helaan napas yang panjang.
Alessa baru selesai memberikan hasil revisiannya di kantor para dosen. Alessa sebenarnya anak yang cerdas. Dia menyelesaikan skripsi jauh lebih cepat dibandingkan teman-temannya. Alessa pulang ke rumah saat hari menjelang sore. Dia menyisakan beberapa bungkus dagangan yang tidak laku.
“Apa cuman segini!” Bentak Bibinya melihat uang yang Alessa berikan.
“Maaf, Bi, hari ini sepi karena sebentar lagi liburan semester jadi yang beli hanya beberapa,” jelas Alessa.Plak!
Tangan Wanita itu melayang menampar wajah Alessa. Kedua matanya melotot sampai dadanya naik turun karena amarahnya membumbung tinggi. “Halah, itu semua pasti alasanmu, dasar pemalas!” jari telunjuk Wanita itu mengarah pada Alessa.“Tidak, Bi, Alessa benar-benar tidak berbohong,” ucap Alessa.
Alessa langsung dipukuli oleh Wanita itu. “Sudah pincang, tidak berguna dan sekarang berani melawan,” omel Bibinya sembari menghajar wajah cantik Alessa yang sudah terdapat lebam tapi ketika Bibinya hendak kembali memukulinya Alessa melindungi perutnya sendiri.
“Bi Marsella, tolong hentikan karena perutku jadi sakit,” ucap Alessa tiba-tiba merasakan perutnya kram.
Alessa melanjutkan hidup penuh penderitaan ini. Suatu ketika Alessa sedang menyikat lantai di rumah. Dia senantiasa diberikan perkerjaan berat oleh Bibinya. Marsella jadi bibi yang kejam untuk Alessa belum lagi ayahnya Alessa sering memaksa Alessa untuk memberi uang dengan segala cara.“Andai, aku bisa pergi dari rumah ini,” gumam Alessa dengan derai air mata mengalir di pipinya. Alessa masih menyikat lantai. “Kenapa Ibu tidak pergi membawaku,” ucap Alessa disela-sela isak tangisannya.
Perut Alessa terasa nyeri belum lagi tiba-tiba Ia merasa mual. Alessa buru-buru ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya. Alessa terduduk lemas di sana. “Apa karena aku belum sarapan ya?” tanya Alessa seorang diri.Hampir tiga minggu sudah berlalu sejak Alessa dipaksa menjual dirinya pada Pria asing itu. Ayahnya juga tak kunjung pulang yang memaksa Alessa membantu pekerjaan Marsella, Bibinya.
“Kenapa rasa mualnya tidak kunjung hilang,” ucap Alessa. Dia kini merasakan tubuhnya jauh lebih lemas dari biasanya. Alessa bahkan memaksakan diri pergi ke kampus untuk menyelesaikan artikel yang jadi salah satu syarat kelulusan akhirnya.Alessa jalan terhuyung-huyung di koridor kampus. Kepalanya terasa berputar belum lagi tatapannya jadi berkunang-kunang. Ia yakin jika tubuhnya tak bisa menompang untuk tegap berdiri kemudian Alessa pun pingsan tak sadarkan diri.
Alessa terbangun ketika hari menjelang petang. Ia mendapati diri berada di ruang perawatan. Alessa berbaring di atas ranjang kasur putih dengan aroma antiseptik yang menyengat hidungnya. Alessa berusaha untuk duduk tapi rasa mual dan kram diperutnya belum kunjung reda.
“Berbaringlah, aku tak sengaja menemukanmu di lorong koridor karena kamu pingsan,” ucap Seorang wanita.“Jangan memaksakan kondisimu ya.” Wanita itu berucap sembari berjalan mendekati Alessa kemudian menarik kursi bundar untuk duduk disamping Alessa. “Gimana perasaanmu sekarang?” tanya Wanita itu.
Alessa bungkam sesaat. Dia tahu tengah berada di Rumah Sakit pendidikan yang terletak tepat di sebelah gedung kampusnya. Wanita ini juga salah satu dokter jaga. Alessa bisa melihat nama dan gelarnya dari name tag di jas putih yang Wanita itu kenakan.“Perasaanku baik, apa boleh aku kembali ke kampus, Dok?” tanya Alessa. Dia tak punya uang untuk membayar biaya pengobatan rumah sakit. Alessa memutuskan menguatkan diri untuk menduduki dirinya.
“Tenanglah Alessa, sebaiknya kamu istirahat saja dulu,” ucap Wanita itu.
Alessa mengeryit heran. Dia merasa keluhan saat ini diakibatkan dari sering absen makan. “Aku sakit mag aja, bukan sakit kronis,” sangkal Alessa pada Dokter itu.“Kalau begitu apa kamu ingat hari pertama haid terakhir?” tanya Dokter dengan nada lembut.
Alessa termangun sejenak. Bulan ini dia belum datang bulan. Tiga minggu sudah berlalu tapi seharusnya Alessa mengalami datang bulan di tanggal yang awal. Alessa melirik pintu ruangan dengan tulisan PONEK. Gadis itu membelalakkan kedua matanya ketika menyadari sesuatu yang tengah Ia alami. “Oh, Tuhan!” Jerit Alessa.Dokter menenangkan Alessa yang tampak terkejut itu. Ruanga pelayanan obstetri neonatal emergensi komprehensif (PONEK) tempatnya bekerja merupakan pelayanan untuk ibu dan anak. Alessa ditemukan pertama kali karena dehidrasi berat dengan keadaan hamil muda. “Tenanglah ... apa kamu mau mengabari keluargamu?” tanya Dokter itu.
Alessa masih menyangkal situasi yang Ia alami meskipun Alessa sudah menduga kondisinya saat ini. “Dokter apakah aku benaran sedang hamil?”
“Dokter apakah aku benaran sedang hamil?”Alessa menunggu Dokter menjawab pertanyaannya dengan cemas. Dia mengigit bibir bawahnya bahkan tak berani menatap kedua mata Dokter. Alessa sebenarnya sudah menduga hal yang terjadi padanya saat ini. “Iya, kamu sedang hamil dua minggu,” jawab Dokter. Alessa merasakan dunianya hancur. Alessa tak pernah menduga jika Ia harus mengandung hasil benih Pria yang tak Ia kenali. Alessa tahu tidak ada Pria lain yang tidur bersamanya selain Pria yang sudah membelinya dalam semalam itu. Satu malam cukup membuat dunia Alessa berantakan. “Kamu mau mengabari keluargamu?” tanya Dokter dengan lembut. Alessa langsung menggeleng. Keputusan Alessa untuk segera beristirahat di rumah. Dia pun keluar dari Rumah Sakit ketika hari sudah petang. Alessa juga menebus beberapa vitamin dengan uang simpanannya yang tak seberapa. Alessa memang hancur tapi Ia tak mau bayi yang dikandungnya menderita. Alessa sampai tak menyadari jika disepanjang perjalanan pulang Ia menge
“Bagaimana Tante tahu jika aku sedang hamil?” “Tante juga baru rutin medical check up di Rumah Sakit yang sama denganmu,” jawab Wanita itu. “Tante tidak sengaja melihatmu keluar dari ruangan ibu dan anak, apalagi usiamu masih muda jadi Tante rasa harus membantumu.” Wanita itu meraih tangan Alessa kemudian menggengamnya. Dia menatap Alessa dengan penuh simpatik. Parasnya yang tak lagi muda namun terawat itu juga memasang raut wajahnya juga sedih seolah dia memahami kondisi Alessa. “Maksud Tante apa?” tanya Alessa yang naif ini. Alessa tetap berprasangka baik terhadap orang yang baru Ia temui. Keadaannya yang sulit membuat Alessa mudah mempercayai Wanita itu. “Panggil Tante Julia, Nak, kita sama karena dulu aku pernah merasakan hamil oleh pacarku diusia muda kemudian dia pergi meninggalkan tanggung jawab,” ucap Julia. Alessa mengangguk. Alessa merasakan keadaan mereka yang mirip. “Namaku Alessa, Tante, maaf jika sempat meragukan kebaikan Tante.” Alessa menundukkan tatapannya melihat
“Apa ini? kenapa ada darah dari kedua kakiku?” Alessa membelalakkan kedua matanya. Rasa sakit diperutnya semakin menjadi tapi Alessa menjadi panik karena menyadari kedua kakinya sudah dialiri oleh cairan merah. Alessa berusaha beranjak dari ranjangnya. Kedua kakinya berusaha menapaki lantai tapi tiba-tiba saja tubuh Alessa ambruk. “Tolong ... kumohon tolong aku.” Alessa melirih. Dia merangkak berusaha menggapai pintu untuk meminta pertolongan seseorang. Alessa akhirnya menyerah karena selain rasa sakit tapi aliran cairan terus mengalir dari kedua kakinya. Lantai keramik putih bahkan sudah berubah jadi merah terang. Alessa memengangi perutnya. Ia memilih merebahkan dirinya pada lantai keramik putih itu. Alessa bisa melihat jika dirinya kini berbaring dikubangan darahnya sendiri. Alessa terisak menangis pilu. “Rasa nyeri tertusuk, tubuh melemah drastis dan ... perdarahan tidak berhenti dari dalam perutku.” Alessa bergumam seorang diri. Dia tak bisa bergerak karena terlalu lemah. “Tuh
“Paman, aku terima tawaranmu tapi aku lebih senang jika Paman juga membantuku untuk membalaskan dendam,” ucap Alessa. Dendam yang Alessa rasakan berasal dari kehilangan janinnya berkat ulah Wanita itu. Alessa pun tinggal bersama keluarga Anshar yang terdiri atas Robert dan anak laki-laki semata wayangnya. Banyak hal yang terjadi selama pemulihan fisik dan batin Alessa. Alessa yang tidak mau tinggal cuma-cuma pun dengan suka hati membantu pekerjaan rumah sembari menyelesaikan tahun terakhir kelulusannya. Ketika hari mulai petang. Alessa sudah menyiapkan makan malam. Ia memasak lauk pauk tempe orek, ayam lada hitam dan sayur sop. Alessa kini sedang menyajikan masakannya di atas meja makan. Dia mendengar bunyi suara sepeda motor yang baru sampai di halaman rumah. Alessa tersenyum menyambut kedatangan Pria yang delapan tahun lebih tua darinya itu. "Wah, wah, Alessa masak apa?" tanya Pria itu. "Kak Eidar, selamat datang ... cuman lauk pauk sederhana aja kok." Alessa menuangkan air pad
"Apa kau yang jadi perawatku saat ini?" Bulu kuduk Alessa meremang kemudian dirinya jadi membatu kala suara Pria itu terdengar berat dan dingin. Alessa tak langsung menjawab melainkan tersenyum sedikit kemudian mengangguk. "Benar, Tuan," jawab Alessa. Dia tak akan pernah lupa wajah, suara bahkan kedua mata biru itu. Alessa tak akan pernah lupa akan Pria yang merenggut kesuciannya dengan uang. Kedua mata pria itu mengekori pergerakan tubuh Alessa. Dia pendiam bahkan tidak berkata apapun lagi namun tatapannya yang dingin dan menusuk itu seolah tengah menguliti Alessa. Dia menatap kedua tangan kecil Alessa yang sedang membuka balutan perban. Alessa membersihkannya lengan kekarnya dengan kapas dan mengganti dengan yang baru. Alessa yang tertunduk menatap lengan kekarnya membuat Pria itu teringat dengan kali pertama pertemuan mereka. Alessa masih sama gugupnya meski kali ini Ia bekerja dengan telaten bukan sebagai wanita panggilan semalam saja. "Kenapa seperti seolah aku akan melahap
"Kalau begitu ... tidak salah lagi, orang yang kau maksud itu Jovian Arsenio Heide kebetulan dia juga pemilik Rumah Sakit ini." Alessa membelalakkan kedua matanya. Lidahnya bahkan terasa kelu untuk menanggapi Mina. Kedua tangannya mengepal keras hingga memutih. Nama itu bukan nama yang asing untuk dikenal melainkan nama orang yang memiliki harta dan kekuasaan saat ini. Ternyata orang yang hendak Alessa berikan perhitungan merupakan orang yang berkuasa. "Boleh juga," ucap Alessa sembari tersenyum kecil. "Apa kau barusan berbicara sesuatu?" tanya Dokter Mina yang heran. Alessa segera menggeleng. "Sepertinya dia orang yang berkuasa ya? pasti punya segalanya dibandingkan aku yang orang biasa saja bahkan miskin," ucap Alessa tersenyum remeh. Dokter Mina menggeleng. Dia tak setuju dengan ucapan Alessa yang terlalu merendahkan dirinya. "Kamu punya potensi bahkan jika Jovian mengenalmu bisa saja dia jatuh cinta padamu," sahut Dokter Mina. Alessa tersipu malu. Tak dipungkiri memang jika
"Tidak tahu tuh, jadi jalan ini saja tidak boleh aku lewati ya," ledek Alessa tersenyum remeh. Jovian mengeryitkan kedua alis tebalnya. Wajah dengan raut datar itu tidak akan bisa Alessa terka padahal batin Jovian sudah bergemuruh riuh. Kenapa dia jadi nekat begini ya? batin Jovian. Pria bermata biru itu keheranan karena Alessa yang semulanya patuh jadi berani menantangnya. "Kau masih orang yang sama dengan malam itu bukan?" Jovian bertanya dengan nada suara dinginnya. Alessa merasakan bulu kuduknya meremang hanya karena suara berat yang dingin milik Jovian. Alessa mendeham untuk mencairkan suasana. "Ha? apa sih maksudmu Tuan? Tuan sengaja ya biar mengalihkan aku yang sudah Tuan tabrak?" Alessa bertanya sembari berkacak pinggang. Jovian tidak mengabaikan kedua lutut Alessa yang terluka itu. Jovian menunduk kemudian mengangkat pinggang dan lipatan kedua kaki Alessa seolah tengah menggendong mempelai wanitanya. "Kalau begitu aku bertanggung jawab." Jovian berucap sembari membawa Ales
"Ah, beruntung sekali ... Apa kamu pacarnya Tuan Jovian ya, Alessa?" Alessa seketika meremang saat rekan-rekan kerjanya menanyai hal itu. "Tidak, aku bahkan baru kenal Beliau karena kalian," sahut Alessa dengan tersenyum seadanya. Sejak saat itu Alessa tidak pernah merasa aman. Hari-hari Jovian selalu menghampiri Unit ruang perawatan tempat Alessa bekerja meski hanya bersapa tegur dengan kepala Ruangan tapi ditiap ada kesempatan keduanya saling bertatap mata. Alessa sampai harus menikmati jam istirahatnya di rooftop Rumah Sakit. Keadaan yang sepi tak satu orang pun yang ada. Alessa hanya sendiri sembari mengigit roti yang Ia beli dan juga satu botol susu. "Lelahnya," ucap Alessa diiringi helaan napas. Alessa menikmati angin yang menerpa dirinya dengan lembut. Alessa diam sejenak merasakan ketenangan ini tapi tak lama bunyi pintu serta derapan tangga terdengar. Alessa menoleh mendapati Jovian yang sedang menghidupkan korek apinya. Pria itu tengah menghidupkan ujung puntung rokoknya.