Pagi itu para penduduk sibuk memasukkan barang-barang ke dalam kotak-kotak, sebagian besar adalah pakaian tapi ada juga kerajinan tangan kecil yang dibuat dari kayu atau daun yang didapat dari hutan dekat desa. Kotak-kotak itu kemudian diangkut ke sebuah kereta kuda dengan kereta besar untuk mengangkut banyak barang.
Amers berjalan menghampiri kereta kuda itu saat kotak terakhinya diangkat ke kereta. Setelan hitamnya yang rapi membuatnya terlihat mencolok di antara para penduduk desa.
“Apa semua pakaian dan barang dagangan lainnya sudah diangkut?” tanyanya.
“Sudah, Tuan Amers. Kuda-kuda juga sudah siap untuk perjalanan jauh ke desa lain,” jawab seseorang di samping kereta. Rambut pria itu diikat di belakang kepalanya.
“Bagus kalau begitu,” sahut Amers, “seperti yang aku yakin sudah bisa kalian duga, desa kita tidak akan bisa bertahan hanya dengan bergantung pada kemampuan kita sendiri. Apalagi waktu panen juga masih lama, jadi kita perlu berdagang dengan desa lain untuk memenuhi kebutuhan kita. Neca, aku percayakan padamu untuk berdagang dengan desa lain.”
Pria dengan rambut diikat di belakang kepalanya menyahut, “Percayakan pada saya, Tuan Amers. Saya sudah sering berdagang dengan suku lain sewaktu kami masih jadi nomaden.”
Amers tersenyum kemudian menoleh ke Arekh dan Lifnes yang ada di dekat kereta, “Kalian berdua, aku percayakan perlindungan kereta ini selama di perjalanan kepada kalian. Sebenarnya aku yakin Arekh sendiri sudah cukup, tapi untuk jaga-jaga aku juga ingin Lifnes menemani. Keselamatan kereta ini ada di tangan kalian.”
“Tenang saja Amers, kau bisa percayakan keselamatan Neca dan kereta ini pada kami,” ujar Arekh.
Lifnes menoleh ke arah Matahari Pagi dan Delthras, “Kalian berdua tolong jaga desa selama kami tidak ada ya. Tolong lindungi desa dengan baik.”
Matahari Pagi tersenyum lebar, “Tenang saja nya! Kamu tidak perlu khawatir, di tanganku desa ini pasti aman.”
Lifnes tersenyum, “Baguslah kalau begitu.”
Arekh menaiki kereta, dia duduk di sela-sela kotak dagangan sambil mengintip belakang kereta dari celah tirai. Lifnes mengikuti kereta kuda dari belakang saat Neca memacu kuda ke arah utara. Desa Leheath yang terlihat di belakang mereka semakin lama semakin menjauh.
Cuaca saat ini cerah, langit biru yang indah tanpa awan memenuhi langit. Matahari bersinar dengan cahaya yang tidak terlalu terik. Kereta kuda melewati beberapa kubangan air yang mengumpul di tanah berkat hujan semalam, dan angin sepoi-sepoi yang berhembus membawa aroma tanah hujan yang khas. Suara kicauan burung yang merdu menambah keindahan hari ini.
“Omong-omong Tuan Arekh, berapa lama kira-kira perjalanan sampai ke desa terdekat?” suara tanya Neca memecah kesunyian perjalanan.
“Hmm, kira-kira akan memakan waktu tiga hari perjalanan,” jawab Arekh.
Jawaban itu mengagetkan Neca, “Tiga hari? Jauh sekali, saya kira kita cuma akan butuh satu atau dua hari perjalanan saja.”
Arekh menjawab dengan santai, “Wajar kan? Daerah sini memang sejak dulu terkenal sebagai daerah yang berbahaya. Yah, biarpun salah satu alasannya karena perang dengan suku nomaden sih. Sekarang perang memang sudah berakhir, tapi kalau tidak ada alasan untuk orang-orang pergi ke selatan, daerah ini juga akan tetap sepi dari pelancong.”
“Begitu kah Tuan Arekh? Kalau begitu apa kita perlu takut dengan bahaya bandit?” tanya Neca lagi.
“Para bandit cuma menyerang daerah yang sering dilewati orang, terutama pedagang kaya. Tempat sepi seperti ini sih tidak terlalu menarik untuk para bandit, jadi mereka tidak akan menyerang kita di sini. Sekarang ini, kita cuma perlu khawatir serangan monster saja.”
“Lalu bagaimana dengan prajurit? Kenapa ibu kota tidak mengirim lebih banyak pasukan ke Leheath untuk menjaga desa lebih baik lagi?”
“Mungkin orang-orang awam tidak tahu, tapi tidak segampang itu lho untuk mengirim prajurit. Pertama-tama kita harus memastikan kita bisa memberi makan prajurit, kemudian kita juga harus menyediakan tempat tinggal buat mereka, barak misalnya. Dan juga, biarpun itu semua sudah terpenuhi, kadang ada juga orang yang tidak mau ditugaskan berjaga di tempat yang jauh dari keluarganya.”
Neca mengangguk-angguk mendengar penjelasan Arekh, dia tidak pernah menduga masalah prajurit ternyata sekompleks itu. Mungkin itu juga salah satu alasan kenapa Amers memberinya tugas untuk membeli gandum dan bahan makanan lain.
Saat malam tiba, mereka membuat api unggun di tepi sungai. Arekh memasak makan malam dengan daging dan bahan makan yang mereka bawa dari desa, dia mengaduk sup berisi daging dan kentang. Neca dan Lifnes memuji hasil masakan Arekh ketika mereka menyantapnya.
Ketika tiba saatnya tidur, Arekh berkata, “Kamu tidurlah dulu. Nanti aku bangunkan kamu saat waktumu berjaga.
Lifnes menolaknya, “Kau saja yang tidur dulu Arekh. Kau kan sudah memasak tadi, kau pasti capek.”
“Tapi, aku benar-benar masih bisa-”
“Aku memaksa. Kau tidurlah dulu, akan kubangunkan kau nanti,” Lifnes memotong omongan Arekh.
Arekh yang sudah tidak bisa memprotes, akhirnya memutuskan untuk tidur.
Beberapa jam telah berlalu.
“AAAAAAKKH!”
Arekh terbangun mendadak sambil berteriak. Keringat bercucuran dari dahinya dan nafasnya pun cepat.
“Mimpi buruk lagi?” tanya Lifnes dengan suara lembut.
Arekh tidak langsung menjawab, tapi dia menutupi wajahnya dengan tangan, seolah dia tidak ingin melihat sesuatu.
“Aku serasa masih berada di perrtarungan itu. Melawan monster yang buas dan kuat itu. Satu per satu dari para petualang gugur, hanya aku yang tersisa,” ujarnya dengan nafas terengah-engah.
Lifnes mendekati Arekh, kemudian dia mengelus kepala Arekh.
“Kau tenang saja, Arekh. Itu semua hanya mimpi, kau sudah melewati itu. Kau tidak perlu takut lagi.”
“Tapi.. aku tidak bisa menyelamatkan…”
“Jangan pikirkan itu lagi, jangan pikirkan apa-apa lagi. Tenanglah dan kembalilah tidur, kau tidak akan melihat mimpi buruk itu lagi.”
“Tapi, aku harus ganti jaga.”
“Kau tidak perlu memikirkan itu, istirahatlah saja.”
sesudah ditenangkan oleh Lifnes, Arekh pun kembali tidur. Kali ini, dia tidak mengalami mimpi buruk.
Perjalanan mereka di hari-hari berikutnya berjalan dengan lancar. Arekh berhasil mengatasi monster-monster yang menghalangi jalan mereka, dan di pagi hari keempat mereka sampai di desa terdekat.
Mereka membuat toko sementara di dekat gerbang desa, bersebelahan dengan pedagang lain, dan mulai berjualan. Barang dagangan mereka kebanyakan pakaian dari kulit hewan buruan, tapi ada juga guci dan pot, juga kerajinan tangan lainnya.
Barang-barang ditata di atas meja, Neca berdiri di belakang meja dengan wajah yang meyakinkan, sorot matanya adalah mata yang membuatnya mudah dipercaya orang lain.
Pakaian yang dia jual bukanlah pakaian biasa, tapi dibuat dari kulit dan bulu hewan yang hanya ada di hutan dan padang rumput di selatan. Hal itu membuat desain pakaiannya berbeda dengan dagangan penjual lain. Guci yang dia jual juga memiliki motif khas suku di selatan, ukirannya yang khas dan eksotis menambah daya tariknya di mata pembeli.
Setiap kata yang Neca ucapkan mampu menarik orang-orang ke stan dagangannya. Rayuan ahlinya dan keunikan barang dagangannya membuat orang-orang susah untuk tidak membeli.
Matahari sudah bergeser ke ufuk barat ketika guci terakhir berpindah tangan ke pembeli. Dagangan mereka kali ini sukses besar. Mereka bertiga memutuskan untuk tidur di penginapan desa malam ini.
Keesokan harinya, Neca menggunakan kemampuan yang sama untuk membeli gandum, rempah-rempah dan bahan makanan lain untuk desa. Setelah mengangkut semuanya ke kereta kuda, mereka bertiga mulai perjalanan kembali ke Leheath.
Malam harinya, Arekh kembali memasak di kamp mereka. Ia menghaluskan lada hitam kemudian menaburkannya di atas sepotong daging sebelum memanggangnya di api unggun. Setelah masakannya matang, ia menawarkannya pada Lifnes dan Neca.
“Bagaimana rasanya?” tanya Arekh.
Ekspresi wajah Lifnes terlihat sangat menikmati makan malamnya, “Wah ini enak sekali Arekh. Lebih enak dari masakanmu kemarin.”
“Anu, Lifnes… terima kasih.”
Sekarang wajah Lifnes melihatkan ekspresi kebingungan, “Ada apa? Kenapa kau berterima kasih padaku?”
“Tidak ada alasan khusus… cuma… aku merasa ingin berterimakasih.”
Lifnes tersenyum kecil sebelum menjawab, “Sama-sama.”
Desa Leheath satu hari sesudah Arekh, Lifnes, dan Neca pergi berdagang ke desa tetangga. Para penduduk desa melakukan aktifitas seperti biasanya, baik itu pemburu atau pun petani. Salah seorang petani itu adalah seorang perempuan remaja yang membantu ibunya di sawah. Hal biasa yang dilakukan para wanita sementara pria pergi berburu.Saat gadis remaja itu sedang bekerja di ladang, mendadak wajahnya menjadi pucat dan dia terjatuh begitu saja.“Lety! Kau kenapa?” teriak sang Ibu panik ketika melihat anaknya terjatuh.Saat dia memeriksa dahi anaknya dia langsung merasa kalau anaknya mengalami demam tinggi.“Aku harus membawanya ke tabib,” ujar si Ibu sebelum menggendong putrinya kembali ke desa.Rumah tabib itu terlihat mencolok di antara rumah-rumah lain, terutama karena ada banyak pot tanaman obat memenuhi pekarangan depan rumahnya. Tabib Rootena adalah seorang perempuan tua yang sudah melewati jauh lebih banyak musim dingin daripada warga desa yang lain, walau begitu dia tetap terlihat
Malam ini malam yang cerah, bulan menggantikan matahari sebagain penerang langit, dan bintang-bintang memenuhi langit malam sebagai hiasan yang indah. Obor-obor dinyalakan di tiang kayu di beberapa titik di desa, menerangi rumah-rumah dan jalan desa. Malam ini keempat anggota kelompok menjaga Desa Leheath dari empat sisi yang berbeda.Lifnes menjaga sisi utara, Matahari Pagi di sisi timur, Arekh mengawasi sisi selatan, sementara Delthras berjaga di sisi barat desa. Masing-masing dari mereka ditemani oleh 4 orang prajurit penjaga desa, biarpun begitu para prajurit tahu bahwa kemampuan bertarung mereka berada jauh di bawah mereka berempat. Mereka di sini hanya untuk formalitas belaka, atau mungkin karena Amers yang memrintahkan mereka untuk menemani.Angin dingin berhembus, membuat Delthras sedikit kedinginan. Sayangnya dia bukan keturunan naga penyembur api yang tahan dingin."Suasananya dingin ya, Tuan Delthras," ujar salah seorang prajurit pada dragonborn itu, cahaya bulan memantul p
Siang itu, para penduduk desa sedang membangun tembok kayu mengelilingi desa. Sebuah kemajuan setelah akhirnya semua penduduk sudah mendapat jatah lahan mereka masing-masing dan tentu saja bisa membangun rumah mereka, kini mereka bisa membangun tembok permanen di sekliling desa untuk lebih melindungi mereka.Suara kayu digergaji dan paku yang di palu bisa terdengar di hampir seluruh desa. Pandai besi dan pemotong kayu harus bekerja keras untuk bisa memenuhi kebutuhan bahan yang diperlukan untuk membangun tembok desa.Di tengah-tengah kesibukan ini, sebuah kereta kuda datang dari arah utara. Kereta kudanya terlihat berbeda dari kereta kuda biasa. Kuda-kuda yang menariknya terlihat sehat, kuat, dan terawat bagus. Sementara kereta kudanya memiliki hiasan yang cantik di atapnya. Terlihat jelas bahwa pemilik kereta ini adalah orang kaya, atau mungkin seorang bangsawan.Kereta kuda itu berhenti di depan kantor desa. Mansion yang dulu baru setengah dibangun, kini sudah selesai dibangun selur
Pagi ini Arekh mengumpulkan anggota party-nya di alun-alun desa. Mereka sedang mempersiapkan tas ransel untuk perbekalan bepergian. Matahari Pagi juga membawa peralatan untuk membuat obat dari tanaman herbal. Beberapa penduduk desa mengelilingi mereka, termasuk seorang pria tua yang masih terlihat berotot.“Baiklah, akan aku jabarkan rencananya sekali lagi,” ujar Arekh, “karena kemarin desa kita baru saja diserang monster, dan untuk mengantisipasi serangan monster berikutnya, kita akan menyisir daerah sekitar desa. Pertama-tama kita akan pergi ke selatan dan kita akan membasmi monster-monster di selatan. Setelah itu kita akan kembali ke desa, kemudian kita akan melakukan hal yang sama ke timur.”Omongan Arekh itu masuk akal. Tidak ada ancaman dari utara karena itu adalah arah kerajaan. Hutan di barat juga biarpun ada monsternya, tapi kebanyakan monster itu tidak pergi ke luar hutan. Mungkin yang keluar hutan hanya hewan-hewan liar yang penasaran. Berarti daerah yang harus mereka sisir
Matahari mulai condong ke ufuk barat ketika Arekh dan yang lainnya kembali ke Leheath. Sudah empat hari berlalu sejak mereka pergi menyisir daerah selatan. Para penjaga kota menyambut mereka dengan gembira.“Selamat datang kembali Tuan Arekh, Tuan Delthras, Nona Lifnes, dan Nona Matahari Pagi. Kami senang kalian semua berhasil kembali dengan selamat,” ujar salah satu penjaga.Arekh membalas sapaan penjaga itu, “bagaimana dengan desa selama kami pergi? Apa ada masalah?”Penjaga itu menggelengkan kepala, “tidak ada masalah sama sekali, Tuan Arekh. Kami berhasil menjaga desa dari serangan hewan buas. Hanya saja, ada seorang petualang yang datang dari timur, seorang druid.”“Oh, jarang sekali ada petualang yang mampir ke desa? Itu jarang sekali terjadi, apa ada masalah dengan druid itu?”“Tidak ada, Tuan Arekh. Si druid hanya keheranan karena ada desa baru di tempat yang sebelumnya Cuma padang rumput. Dia sempat mengunjungi bar sejenak, tapi tidak membuat masalah.”“Apa druid itu masih di
Pagi hari beberapa minggu setelah Arekh dan yang lainnya menemukan kota mati dengan piramida di pusatnya. Mereka sudah menyebarkan berita tentang adanya sebuah piramida yang belum terjamah ke kota-kota lain. Baik itu melalui permintaan misi yang dipasang di bar di kota lain, ataupun hanya sekadar berbagi kabar dengan pedagang lain.Di pagi yang cerah di tepi Kerajaan Rivala, desa kecil yang sebelumnya diacuhkan kini berubah menjadi sarang kegembiraan dan kegaduhan. Kabut tipis pagi masih menyelimuti atap-atap rumah yang terbuat dari jerami dan batu, namun semangat yang berkobar tidak bisa ditutupi. Suara keramaian mulai terdengar dari jalan-jalan setapak yang sempit, dihiasi oleh pedagang yang berteriak menawarkan perbekalan dan peralatan untuk para petualang yang berlalu lalang.Adventurer dari berbagai penjuru datang dengan baju zirah yang berkilauan dan senjata yang terhunus, berbaur dengan penduduk desa yang penasaran. Anak-anak desa berlarian di antara kaki-kaki kuda, tertawa ria
Fajar menyingsing di desa yang terlelap, cahaya merah muda dan oranye perlahan menari di atas atap rumah-rumah kayu. Kabut tipis menggantung rendah di atas ladang, dan suara ayam jantan berkokok memecah kesunyian pagi. Desa terpencil ini mulai terbangun.Tiba-tiba, dari tepi hutan, muncul sosok yang berjalan dengan langkah gontai. Itu adalah Ren, pemburu desa yang gagah berani, yang kemarin pergi berburu dan tidak kembali. Desas-desus tentang nasibnya telah menyebar, dan istrinya bahkan berdoa untuk keselamatannya di kuil desa.Busur dan tabung anak panahnya masih dia bawa di punggungnya. Langkah kakinya lambat, wajahnya yang biasanya terlihat penuh semangat itu kini lesu dan pucat. Seakan-akan sesuatu telah terjadi padanya ketika dia menghilang di hutan.Penjaga kota menyapanya santai ketika dia mendekat, “hey Ren apa kau tidak apa-apa? Kami semua khawatir ketika kau mendadak menghilang.”Ren tidak menjawab, tapi dia mengambil busur panahnya kemudian memanah si penjaga. Anak panah it
Kerajaan Rivala adalah sebuah kerjaan yang terletak di daerah selatan Benua Contena. Ujung selatan benua ini belum terpetakan karena daerah itu masih liar dan berbahaya untuk kebanyakan petualang. Mulai dari monster yang berbahaya hingga suku-suku barbarian yang nomaden memenuhi selatan kerajaan, bahkan Kerajaan Rivala sudah beberapa kali berperang dengan suku barbarian ini.Salah satu suku nomaden yang sudah beberapa kali kontak senjata dengan Kerajaan Rivala adalah Suku Leheath. Akan tetapi, itu semua adalah masa lalu. Pagi ini, di padang rumput di selatan Rivala, sejarah baru sedang ditulis.Sebuah sungai mengalir dari selatan hingga utara, pagi ini banyak orang berkumpul di lapangan luas di tepi sungai. Semua orang itu terlihat jelas terbagi dalam dua kelompok: satu kelompok adalah suku barbarian yang terlihat dari pakaian dari kulit hewan yang mereka kenakan, dan yang satu lagi adalah orang-orang yang lebih berbudaya dengan pakaian dari kain dan juga baju zirah, mereka adalah par