Beranda / Fantasi / Para Penjaga Perbatasan / Bab 2: Arekh Sanarvin

Share

Bab 2: Arekh Sanarvin

Beberapa hari berlalu sejak didirikannya Desa Leheath. Beberapa bangunan dari kayu sudah mulai dibangun, terutama bangunan-bangunan penting seperti bar, kandang ternak, dan gudang hasil pertanian. Sawah-sawah sudah dibuat di sisi selatan desa, di tepi sungai yang membelah desa ke utara.

Bar juga berfungsi sebagai penginapan untuk para pendatang atau petualang dari luar desa nantinya. Tapi sekarang ini, bar digunakan sebagai tempat tinggal untuk empat petualang yang bertugas menjaga desa.

Pagi ini, Arekh terlihat berlatih Halberd di luar bar. Ia mengayunkan senjatanya dengan teratur dan natural, seolah senjata itu sudah merupakan bagian dari tubuhnya sendiri. Ia mengayunkan senjatanya dari atas ke bawah, kiri ke kanan. Arekh berlatih sambil membayangkan ia melawan musuh imajiner. Ia belajar dari pengalaman sebelumnya sambil berpikir apakah dia bisa mengatasi lawannya dengan lebih efektif.

Keringat menuruni dahinya saat Arekh memutuskan untuk menyudahi latihan. Ia mengambil minum dari botol kulit dan meminumnya untuk menghapus dahaga.

“Pagi-pagi begini kau sudah rajin latihan ya?” ujar sebuah suara perempuan.

Ketika Arekh menoleh, ia melihat seorang perempuan paruh baya berambut panjang mendekati bar.

“ya, karena aku tidak punya kemampuan sihir sama sekali, dan aku harus siap menghadapi musuh seperti apa pun. Termasuk melawan musuh yang lebih kuat dariku. Karena itu, latihan setiap hari adalah hal yang wajar,” jawab Arekh sambil menyeka keringat.

“Aku merasa tenang kalau anak muda berbakat sepertimu yang melindungi kami,” lanjut perempuan itu.

Setelah itu, Arekh berpamitan kepada perempuan itu untuk berpatroli keliling desa. Sesekali angin memainkan jubah zirahnya. Sepanjang jalan, dia melihat rumah-rumah kayu yang sedang dibangun, walau masih ada juga warga yang tinggal di tenda.

Banyak warga desa yang sedang pergi berburu atau sedang menebang pohon di hutan. Mereka harus menghentikan gaya hidup nomaden mereka dan mulai belajar untuk hidup di satu tempat.

Salah satu bangunan yang sudah selesai dibangun adalah tempat penggergajian kayu. Letaknya ada di selatan desa, di tepi sungai. Sebuah roda kayu digerakkan oleh aliran sungai pada akhirnya memutar sebuah gergaji besi yang digunakan untuk memotong pohon yang sudah ditebang oleh penduduk desa.

Arekh menghampiri penggergajian kayu itu. Terlihat seorang pria sedang dengan hati-hati mendorong pohon yang baru ditebang ke gergaji yang sedang berputar.

“Anda pasti sedang sibuk ya?” tanya Arekh dengan santai.

Pria yang diajak bicara menghentikan pekerjaannya sebelum menjawa, “Ah Tuan Arekh. Iya, karena kami membutuhkan banyak kayu untuk membangun rumah-rumah, dan Tuan Amers juga mengatakan kalau dia ingin kita membuat perabotan kayu. Jadi, saat ini saya harus memotong banyak sekali pohon.”

“Tapi aku lihat rumah-rumahnya masih rumah sederhana, apalagi beberapa rumahnya tidak terlihat terlalu kokoh,” ujar Arekh.

“Anda tidak dengar soal ini ya? Tuan Amers memerintahkan kepada warga yang belum menerima pembagian tanah secara resmi untuk tidak membangun rumah yang permanen dulu, karena bisa jadi mereka harus pindah dan harus membongkar rumah mereka.”

Arekh baru ingat bahwa tanah ini memang tanah milik keluarga Boatrice, para penduduk di sini hanya mendapat ijin tinggal dan nantinya harus membayar pajak juga kepada tuan tanah. Mungkin ini juga sebabnya masih banyak warga yang tinggal di dalam tenda.

“Tapi paling tidak beberapa bangunan penting sudah dibangun ya? Seperti bar dan penggergajian kayu ini,” Arekh bertanya lagi.

“Itu benar, Tuan. Selain itu tempat pandai besi juga sudah dibangun dan sedang sibuk membuat panci dan barang-barang lain yang diperlukan.”

“Baiklah kalau begitu, aku tidak ingin mengganggu pekerjaanmu lebih lama. Lanjutkanlah,” ujar Arekh.

Si pemotong kayu itu pun kembali kepada kesibukan pekerjaannya. Baru saja Arekh akan meninggalkan penggergajian kayu, tapi beberapa orang laki-laki mendatangi penggergajian kayu sambil membawa pohon yang sudah ditebang.

“Ah, Tuan Arekh. Sedang berpatroli kah? Terima kasih anda mau repot-repot melakukannya. Kami merasa tenang kalau Anda yang menjaga desa ini,” ujar seorang pria dengan brewok tebal sambil meletakkan pohon yang dibawanya.

Arekh berusaha merendah dengan menjawab, “Tapi saya juga tidak sehebat itu.”

“Anda tidak perlu merendah, Tuan Arekh. Kami sudah mendengar cerita tentang Anda, sang Zirah Merah, dalam pertempuran melawan sekelompok hobgoblin.”

“Saya bukanlah satu-satunya petualang yang ikut bertarung dalam pertempuran itu,” Arekh masih berusaha merendah.

“Memang, tapi Anda satu-satunya yang selamat. Karena itulah kami merasa tenang. Kalau Anda yang melindungi kami, desa ini pasti bisa bertahan dari serangan monster.”

tiba-tiba terdengar suara riang anak kecil, terlihat dua orang anak laki-laki sedang bermain pedang-pedangan dengan pedang kayu di dekat penggergajian kayu.

“Hei kalian berdua, jangan main terlalu dekat dengan tempat penggergajian kayu, sudah ayah bilang kan kalau ini bahaya,” ujar pria yang tadi membawa kayu.

Salah seorang anak melihat halberd yang dibawa oleh Arekh, dan anak itu mendadak bersemangat.

“Waah, paman senjatanya keren! Boleh liat nggak? Apa nama senjatanya paman?” anak itu berteriak-teriak dengan semangat.

“Hei, jangan mengganggu Tuan Arekh.”

Arekh menggelengkan kepalanya, “Ah tidak apa-apa kok. Saya tidak keberatan menjawabnya.”

Arekh menoleh ke anak kecil itu saat menjawab, “Senjata ini namanya halberd. Keren kan? Senjata ini memang gabungan antara tombak dan kapak, karena itu senjata ini sangat berguna baik untuk menusuk ataupun untuk menebas lawan.”

“Kenapa paman tidak pakai pedang saja?” tanya anak yang satu lagi.

“Senjata ini punya kelebihan daripada pedang lho. Yang pertama dari jarak serangnya yang lebih jauh daripada pedang, dan seperti yang tadi sudah aku bilang, senjata ini sangat bagus untuk menebas dan menusuk. Beda dengan pedang yang tergantung dari pembuatannya bisa jadi cuma unggul di satu bidang saja.”

“Aku nggak ngerti tapi kayaknya keren!” ujar anak itu. Arekh hanya tersenyum mendengarnya.

“Dari mana paman belajar cara bertarung? Apa paman punya guru?” tanya anak satunya.

“Tidak, aku tidak punya guru yang mengajariku bertarung. Semua ilmu bertarungku aku pelajari sendiri. Sejak dulu aku selalu bisa langsung tau cara menggunakan sebuah senjata,” jawab Arekh.

“Tuan Arekh, sebenarnya saya juga ingin bertanya tentang simbol di jubah Anda, kalau Anda tidak keberatan,” ujar seorang pria.

Jubah Arekh yang menempel di zirahnya itu menutupi punggungnya hingga hampir ke mata kaki. Di jubah itu tergambar sebuah simbol: pedang yang bersilangan di depan gerbang kota yang ditutup.

“Ah jubah ini. Aku mendapatkannya sebagai bentuk terima kasih dari penduduk desa yang aku tolong dulu. Dia bilang ini adalah peninggalan almarhum ayahnya, dan simbol ini melambangkan kekuatan yang melindungi, dilambangkan dengan melindungi desa. Aku juga berharap semoga kekuatanku juga bisa untuk melindungi orang-orang. Karena itu, aku akan berusaha sekuat mungkin supaya tidak mengecewakan simbol ini.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status