Ronal
1 Januari 11.30 WIB.Lift membawa kami dan terasa tak ada habisnya. Ruangan di dalamnya pengap dan apak, sangat sempit, bahkan kau tidak bisa terlentang dengan kaki lurus di dalam situ.
Hawa menurun saat lift mulai bergoncang, terasa sentakan-sentakan kasar, besi berdenting, dan suara mesin mendesis dari lantai.
Mungkin kami akan didamparkan ke dataran tinggi. Tapi aku berharap untuk mendarat di hutan kegelapan. Aku melihat siaran langsung pelemparan kunci—karena para peserta memang diwajibkan menonton, tapi ingatanku buruk. Aku lupa kunci itu tertanam di mana. Namun setelah Hughes ingatkan, pikiranku mulai berkumpul dan memang benar kunci itu berada di hutan kegelapan. Kami tidak mau bermain seperti orang bodoh dan gegabah, rencana yang kubuat akan terlihat jenius—kalau tidak ada peserta lain yang memakainya.
Jenius di kamusku itu berbeda. Tidak seperti orang kebanyakan.
“Hutan kegelapan.” gumam Hughes saat lift mulai melambat, dia membentang sebuah kertas yang diambilnya dari saku celana. Itu peta.
Dia menunjuk gambar danau—tepat di tepinya. “Kalau dugaanku benar, kunci itu di sini. Kita bisa menyusur tepi danau kalau mau. Tapi kemungkinan bertemu peserta lain bertambah tinggi.”
“Bagaimana kalau masuk danau?"
Hughes merenung. “Itu tidak mungkin,” katanya, “sudah diprediksi sebelum diluncurkan. Dan sangat jarang penyelenggara melakukan kesalahan fatal. Ini zaman yang serba canggih, kawanku.”
Biarpun sudah diprediksi, hal itu tetap menjadi perhatianku. Bagaimana kalau kunci masuk ke air, tenggelam, dicium ikan-ikan. Dan tidak bisa didapatkan.
Lift melaju lebih kencang. Tidak ada goncangan selama beberapa menit, kami bergerak lebih mulus dan teratur.
Hughes berkata, “Jangan pikirkan soal kunci masuk ke dalam air.” Tampaknya dia tahu isi pikiranku. “Apa rencanamu?” Temanku itu berpaling, tatapannya menyelidik dan penuh tanda tanya.
Aku memandang pintu yang tak kunjung membuka. “Kita ke bukit darah, mengamati keadaan di dalam hutan dengan teropong. Mencari persembunyian untuk mengamati gerak-gerik para regu, dan kalau beruntung kita bisa melihat siapa yang memegang kunci. Kita akan jadi natator-serba-tahu nanti.”
Hughes menggertakkan gigi, kebiasaan yang dia lakukan jika galau atau mengalami dilema. Dia bersender, dengung mesin lift membuat percakapan kami berhenti.
“Semoga Tuhan mendaratkan kita di bukit darah,” katanya tanpa emosi.
Aku tertawa singkat. “Itu tidak masalah, kita bisa menjelajah di tempat lain dan berangkat ke bukit darah ... kalau kunci berada di hutan kegelapan, semua peserta pasti berkerumun di sana.” Berkerumun. Ya, seperti burung nasar menggigiti mayat.
Tidak ada otak dan otot di tim kami. Semuanya dipukul sama rata. Hughes tidak sekolah sejak kecil, tapi dia bisa menulis dan membaca. Sedangkan aku bersekolah, tapi rokok dan minuman keras menarikku lebih kuat daripada alat tulis serta buku. Aku pernah ditampar ayah karena membakar buku pelajaran yang harus kau beli dengan berpeluh dulu. Dan selepas menerima hantaman itu, aku berjanji untuk kabur dari sekolah dan hidup di jalan saja. Beginilah hidupku sekarang, bebas dan tak terikat, walaupun dicekik oleh kemiskinan juga.
“Kita berhenti.” Hughes menegakkan tubuh. Lift berdecit beberapa kali, tersentak-sentak, dan mendadak bergeming. Lampu lift mulai meredup, berkedip-kedip, dan padam seketika.
Aku ingin meraih tangan Hughes untuk memastikan dia ada, tapi segera melawan keinginan bodoh itu. Kami seperti ditumpahi tinta; dari kepala lalu mengalir menutup mata. Gelap, sunyi, pengap.
Dentaman terdengar, seperti ada yang memukul pintu dengan palu. Dadaku seperti ditusuk sesuatu sampai terbatuk. Hughes tidak bicara, hanya napasnya yang terdengar sangat lirih.
Pintu terbuka, cahaya samar menyusup masuk, perlahan-lahan, hingga menerangi isi dalam saat pintu terbuka lebar.
Aku menghambur ke depan lebih dulu, melongok, memandang berkeliling. Tidak ada cahaya, pepohonan rapat menutupi cahaya mentari. Dedaunan rimbun tampak menyelimuti langit, tanah lebih pekat dan tampak kelam. Sudah pasti kami berada di hutan kegelapan.
***
Garrincha
1 Januari 12.01 WIB.
Alasanku mendekati kelompok 16 adalah karena pernah melihat salah satu dari mereka. Si Ronal, pemuda berwajah lusuh itu seorang portir di pelabuhan. Jika ditilik, penampilannya memang lebih tua dari anak seumurannya. Kalau kau tahu Ernest—aku pernah berbincang dengannya saat menonton siaran langsung pelemparan kunci—dia sepantaran dengan Ronal, tapi lebih bersih dan berwajah mulus. Sungguh perbedaan kasta yang signifikan.
Aku bertemu pemuda kusut itu di pelabuhan—ya karena memang dia bekerja di pelabuhan. Ronal dalam keadaan mabuk saat itu, dia berjalan sempoyongan ke arah para gadis yang sibuk menanti kapal, memeluknya tiba-tiba dan berkelahi dengan orang yang “katanya” kekasih sang gadis. Adu pukul terjadi, Ronal memiting si penyerang dan mematahkan tangannya. Pemuda itu dapat masalah, tentu saja. Aku melapor ke polisi, dia diringkus, dan katanya mendekam tiga bulan di penjara. Satu tahun lalu, pertemuan itu tak sengaja terjadi. Tapi bertemu Ronal di tempat seperti ini, seakan sedang bertemu hyena di padang yang amat luas.
Aku dan Pedro terdampar di hutan kegelapan, sangat di ujung sampai jika kau mendongak, bisa melihat pegunungan amat jelas. Melihat gunung itu membuatku membayangkan raksasa yang tengah tidur berdiri dan siap memelukmu jika mau mendekat. Pedro memimpin di depan, dia menarik ransel, mengeluarkan sebuah alat: senter. Dia mengetuk-ngetuk senternya, lalu cahaya menyorot terang seketika.
Aku mempercepat langkah, berdiri sejajar dengan Pedro membuat kau seakan aman. Bahkan jika berada di tengah singa.
“Kau bawa?” sahut Pedro tiba-tiba.
“Bawa. Mau kau rakit di mana?”
“Kita cari tempat dulu. Jangan sampai ada distraksi, bahkan semut pun tak boleh tahu kalau kita menyeludupkan senapan.” Pedro menyibakkan ranting-ranting rendah, mengarahkan cahaya ke atas kepalanya.
Pohon-pohon di sini sangat tinggi dan rimbun, bahkan cahaya matahari tak sanggup menembus. Aku tak tahu apa jadinya jika kami berbulan-bulan mencari kunci tanpa sinar matahari menyentuh kulit.
Jalan mulai melebar dan tidak ada semak-semak serta ranting rendah lagi. Pedro berbalik, berjalan mundur. Senternya dimatikan, dia memandangku lekat-lekat. “Kunci di tengah hutan,” terangnya, “kita harus cari tempat sempurna untuk...” Perkataannya terputus karena temanku itu tersandung akar pohon.
Aku menoleh ke kiri-kanan, benar-benar hening, bahkan jangkrik enggan berbisik.
“Kita bisa memanjat pohon kalau mau, membidik orang dari atas sangat cocok. Tapi resikonya besar,” usulku.
“Ide bagus. Yang penting jangan terburu-buru. Semuanya harus tetap optimal sampai akhir permainan.”
Kami menelusuri hutan itu dan berputar-putar selama beberapa menit, hingga akhirnya menemukan jalan setapak yang nampak janggal di tengah rapatnya pepohonan. Pedro melompati akar yang menyembul, dia berjalan pendek-pendek ke salah satu pohon, memerhatikan sekeliling, dan memberi isyarat. Aku berjalan di belakangnya sembari mengatur napas, keheningan membuatku tertekan, dadaku seperti diimpit tangan-tangan gaib hingga sesak. Ketenangan di hutan ini berbeda dari tenang saat berada di pantai. Tidak ada debur ombak yang menghantam karang di sini. Masih bisa mendengar gesekan langkah saja sudah sangat beruntung. Sangking heningnya, kau bisa mendengar degup jantungmu memukul-mukul tulang.
Pedro berhenti mendadak, aku hampir menabraknya karena melamun. Punggung temanku itu sangat tegap, seperti atlet kebanyakan: badan jangkung, betis kekar, lengan berotot, serta tampan. Dia sempurna, lelaki yang bisa meraih apa pun dengan mudah. Berbeda denganku. Kaki bengkok ke dalam karena kelainan, badan pendek, dan tidak ada lagi yang bisa kubanggakan selain disebut-sebut sebagai “Garricha”. Lagipula itu bukan nama asliku.
Pedro tidak pernah tampak konyol di lapangan, dia selalu mendominasi, tapi aku sering dibisiki beberapa pemain bahwa performa Pedro menurun karena diriku. Apa salahku? Katanya aku lincah. Namun kami sama-sama tidak masuk timnas, yang berarti, nasib kami sama: terpuruk beberapa saat. Mungkin Pedro terpuruk, tetapi aku tidak. Masuk timnas menambah beban, aku bermain bola karena senang, bukan ambisi.
Pedro bergeser ke samping, langkahnya terseret dan tampak hati-hati. Dia mengarahkan senter ke depan. Sejurus kemudian, sorot cahaya lurus menerangi sebuah gubuk yang teronggok di ujung hutan. Pintunya terbuat dari besi kelabu, gagang pintu mengilat saat dihadapkan cahaya, kiri-kanan bangunan itu kosong dan bersih, atapnya ditutupi jerami yang sembarang ditumpuk. Perpaduan yang aneh, karena mengingat bahwa pintunya sangat gagah.
Pedro beringsut mundur, dia tertawa hampa. “Jangan bilang ini bercanda.”
Aku memusatkan perhatian sejenak. Bangunan itu adalah bilik. Yang harus dibuka saat sudah mendapatkan kunci.
Pedro mematikan senter, kegelapan mencengkeram kami.
“Keluarkan semuanya, aku ada rencana.”
Aku menurut, ikut menumpahkan isi tas. Beberapa barang berhamburan, baik yang dari panitia maupun barang bawaan kami. Semuanya tercecer di tanah. Pedro menjangkau magazin di dekat kakiku, dia merakit senapan seperti balita menyusun lego. Sentuhan terakhir, temanku itu menancapkan magazin berisi peluru penuh. Senapan itu berwarna hitam-legam, milik ayah Pedro. Karena katanya, “Barang lama lebih mematikan.”
Kami bergerak maju tanpa suara setelah menyiapkan beberapa alat. Pedro belum membeberkan rencananya, tapi aku tahu garis besar kenapa kami sudah mengeluarkan senjata: kami akan menjaga bilik.
Samantha1 Januari 13.48 WIB.Pergerakan para peserta sangat waspada dan tidak liar. Mereka tahu permainan ini lebih menekankan kesabaran. Jadi kami sedikit bosan saat tidak ada satupun semut—maksudku peserta, yang bisa diinjak-injak. Kim bergerak kasak-kusuk daritadi, dia tidak kuat berada di kegelapan berlama-lama. Dan berkali-kali ingin menyalakan senter untuk menerangi jalan. Terkadang anak itu suka melanggar peraturan dan tidak mau mendengar nasihat. Tapi memang, hutan ini luas dan gelap. Berjalan dari ujung ke ujung mungkin akan memakan waktu lama. Kim berjalan di belakangku, langkahnya tenang dan sabar, tidak seperti tadi. “Seharusnya kita bisa lebih cepat kalau tak berjalan tanpa tujuan.” Tak lama dia tertawa sendiri tanpa sebab seolah tengah terlintas hal lucu di benaknya.“Mencari kunci atau membunuh semut?” Aku tidak berminat menjawab pernyataan sintingnya.
Hughes1 Januari 14.15 WIB Ronal terlonjak begitu mendengar ledakan senjata. Aku langsung mendekat dan tiarap di sampingnya. Kami tidak bicara selama beberapa menit, suasana hening menyapu arena. Debar jantungku terasa bergemuruh. Bagaimana tidak, ada seseorang yang melanggar peraturan. Ronal menarik diri menjauh, dia butuh sudut pandang yang lebih mantap. Tak lama kemudian, setelah memejam-mejamkan mata dan beringsut sana-sini, anak itu berkata, “Di tengah sana,” katanya tenang, “ada yang membawa-bawa senter.” Aku tidak bisa melihat apa pun, bahkan di posisi kami yang berada di lereng bukit dan langsung menghadap hutan. Para peserta masih bisa disembunyikan oleh rapatnya pepohonan, teropong Ronal yang menangkap pergerakan peserta adalah salah satu keajaiban di tempat ini. “Siapa kira-kira? Kau lihat?” Ronal mengangkat satu tang
Garrincha.1 Januari. 15.49 WIB Pedro tidak bersuara sejak tadi. Kupikir dia tertidur karena terlalu bosan mengawasi keadaan dari atap. Memang suasana di tempat ini hening, ditambah nuansa yang kelam dan tenang semakin membuat semuanya membosankan. Tenang di tempat ini lain. Suasanya dapat membuatmu merinding dan bergidik, bahkan jika hanya sekadar mendengar langkah kaki. Tidak ada dengkur hewan atau derik jangkrik, matahari tak sanggup menembus rapatnya dedaunan, tanah yang kami pijak berwarna legam, tidak bau dan sangat berdebu. Jika kau iseng menggesek kaki ke tanah, debu langsung bertebaran dan akan terdengar bunyi srek-srek. Letusan senapan beberapa jam lalu yang berasal dari arah jam 12 membuat kami siaga. Bahkan Pedro sempat menarik pengaman senapannya hingga menghasilkan bunyi klik. Kami mengamati hutan yang tetap begitu saja dengan diam. Mungkin sebentar lagi ada orang yang menghambur keluar, berlari terengah-enga
Ronal1 Januari. 16.01 WIB. Bunyi gemuruh senapan membuat Andrea berjengit dan kembali terisak. Sebenarnya bukan anak itu saja yang butuh dihibur, kami di sini sama sekali tidak tahu siapa yang menembak dan siapa yang dibunuh. Setelah kuawasi keadaan di kedalaman hutan cukup lama, semuanya kembali tenteram dan keadaan berangsur normal. Tidak ada tembakan, jeritan, atau pohon yang tiba-tiba roboh. Jadi, selama itulah aku mengintai kedalaman hutan dan masih belum mendapatkan titik cerah. Kata Hendro, mungkin saja itu Samantha. Dia menembak asal-asalan demi membuat suasana kembali tegang. Tapi rasanya tidak, kalau kau jadi aku, coba bedakan masing-masing bunyi senapan yang dari tadi berbunyi. Kali ini lebih kecil dan mendesis, suaranya pun merambat melalui rapatnya pohon. Namun biarpun kecil, rasanya bunyi itu teramat sangat dekat dari tempat kami berlindung. Seakan-akan si penembak memang berniat membidik kami.
Ronal1 Januari. 18.58 WIB. Hendro dan Andrea tidur lebih awal karena mereka berjanji akan mengambil tugas jaga. Hughes tidak berani menyalakan api unggun karena akan memancing perhatian. Dan sedari tadi, tidak ada senter yang dihidupkan para peserta. Tenang saja, kita tunggu berapa lama mereka bertahan di selimut kegelapan. Langkah kaki terseret dari samping membuat jantungku mencelus, aku segera bangkit, begitu juga Hughes yang langsung kalang-kabut. Di depan, terpaut dua meter. Si rambut ungu dan rekannya berdiri dengan moncong senapan terarah sempurna. Rekan si rambut ungu: seorang pria Asia yang kaku menodong senapannya ke dadaku. Pria itu memandang tanpa ekspresi seolah tidak berniat mengarahkan benda jahat itu ke tubuhku. Si rambut ungu melangkah lebih dulu, kulit wajahnya yang pucat diterangi sinar bulan. Lalu si pria mengikuti dengan berjalan pendek, masi
Samantha.1 Januari 20.18 WIB. Aku berusaha mengotak Kim tapi tak dijawab. Anak itu melarikan diri ke bawah tanpa kabar setelah Hendro menyambar senapanku. Lengan Kim ditembus peluru, dia hanya sempat menjerit dan langsung melangkah lunglai ke bawah. Begitu aku kembali siap, kulemparkan pisau lipat yang langsung menancap ke jantung Hendro. Pemuda itu terhuyung mundur—tak sempat menembak—lalu terbanting dengan darah mengalir memenuhi dadanya. Andrea menjerit-jerit tak keruan dan langsung terbirit-birit ke kegelapan. Aku meraih senapan, mengejarnya secepat mungkin. Kini aku terjebak di padang rumput sejauh mata memandang. Di kiriku masih terhampar rumput-rumput segar setinggi mata kaki. Sedangkan di kanan terdapat bukit yang lebih tinggi dan menjorok terlalu ke depan. Andrea cukup gesit. Dia bisa sembunyi di tempat lapang seperti ini. Derap kaki bergumu
Ronal1 Januari. 21.04 WIB. Pikiranku kacau. Perutku terpelintir dan ada sebongkah makanan yang hendak keluar dari tenggorokan. Aku tak sanggup membayangkan nasib Hendro, dan terlebih lagi, darah Kim yang terhambur. Aku ingat jelas semuanya. Jemariku yang menarik pelatuk, percikan api dari mulut senapan, lalu kepala Kim yang ambruk. Terlebih-lebih, aku ingat warna cairan gelap yang membungkus tengkuk Kim. Aku menahan bobot tubuh ke pohon, satu tanganku memegangi perut. Sentakan rasa mual kembali hadir. Biasanya aku tak selemah ini. Tapi melihat ceceran darah yang bisa ditampung gelas, akan membuat siapa saja mendadak lemas. Langkah Hughes semakin pelan hingga akhirnya berhenti. “Kita istrirahat dulu kalau kau mau,” katanya. Tiba-tiba aku teringat kunci. Dan bersyukur karena rasa asam di kerongkonganku mendadak cair kare
Garrincha.1 Januari. 22.03 WIB. Aku bergantian melirik tubuh Ernest yang kaku dan suar yang luar-biasa-terang. Kami kini berada di atap, berdempetan, dan bersembunyi di gelap. Tubuh Ernest dijadikan Pedro sebagai peringatan. Jadi yang berniat mendekat, mereka bisa tahu kalau ada tubuh melintang dengan darah kering di sekitarnya. Otot keras Pedro menempel di bahuku. Napas temanku itu teratur dan tenang. Luncuran suar membuatnya mengokang senapan. “Orang gila lagi,” kata Pedro datar. “Perang mulai menjalar,” gumamku. Pedro menyeringai dengan lagaknya yang sinis. “Aku tahu, aku tahu. Kita tak perlu turun ke lapangan, sobatku. Kita lihat seberapa hebat kurcaci-kurcaci itu malam ini. Kau tahu, kita seperti timnas AS saat melawan Inggris. Tak diperhitungkan, tapi mematikan.” Menunggu rasanya memuakkan. Karena aku mengalaminy
Lampu temaram dari bangunan lain di luar sana merayap merayap masuk dan membuat jalur-jalur sinar di lorong gelap. Jendela buram yang mengisi kiri tembok memantulkan cahaya putih seram. Dengung mesin pendingin dari langit-langit lorong seakan ingin menuntut pertanggungan jawab kami atas tertumpahnya darah. Aku memimpin dengan langkah menyelinap. Sesekali, pandanganku berpaling ke jendela yang rupanya percuma dipandang karena buram—bagai tertutup kabut. Hawa dingin mencekik kulit. Kesunyian di tempat ini rasanya sanggup mengeringkan tulang karena membuat siapa pun merinding. Di areal ini, lampu memang padam demi menghemat sumber daya. Tak seorangpun yang lalu-lalang sebab memang lorong ini digunakan untuk menuju bangunan lain. Dan, kalau kau mau tahu, bangunan lain itu apa. Tidak ada pekerja—seperti kami—yang paham apa isi bangunan lain. Yang kami tahu, dan itupun hanya desas-desus, temp
Di musim dingin tahun lalu. Aku banyak membuang waktu dengan pria berdarah Asia. Dia menabur, dan aku menuai bibit cinta dari pertemuan yang, dilakukan berulang-ulang. Kami berdua bertukar gelas di malam Natal, bilang kalau ini adalah saat teristimewa. Pria itu—aku tahu—sangat mencintaiku sedemikian rupa. Dan kalau ditanya buktinya, dia membuang pekerjaan mapannya sebagai animator layanan-pendidikan demi hadir ke perencanaan Permainan Kunci. Awalnya begitu. Aku lugu saat mendengar dia membuang segala hal demi diriku. Nyatanya tidak. Dia sanggup memanipulasi emosi. Dan orang seperti itu adalah pribadi kelewat busuk yang tak akan mampu kau bayangkan. Aku masih ingat kata terakhinya di malam tahun baru. “Aku ke sini bukan karena kau, aku cuma senang-senang. Lelaki mana yang sanggup seorang diri di tempat antah berantah.” Di malam yang sama. Masih musim dingin. Aku dan Sero berdiri te
Aku dan Sero dipanggil petugas setempat—dua jam selepas kejadian. Kami berangkat dari kafetaria dengan wajah murung. Aku tidak berniat mengubah air muka, tapi Sero yang nampak berpikir paling keras mulai terlihat tabiat kecemasannya. Dan sikapnya menular dengan segera saat kami digiring pria kurus-kekar ke lorong serba kelabu.“Kalian tahu apa yang terjadi, heh?” tanya si petugas tanpa menoleh.“Tahu,” sahut Sero sayu. “Kau mau bawa kami ke mana?” Tangan kiri Sero terkepal, lalu mengembang lagi.Mungkin saja dia tahu kalau petugas di depan kami memiliki senjata tersembunyi. Setahuku, memang begitu. Ada semacam pisau elektrik di sekitar tali ikat pinggangnya.Si petugas mengangkat topinya. “Kalau Tuan tanya,” mulainya, “jawab sejujur-jujurnya.” Dia berhenti di samping pintu kecil, menekan tombol di sisinya cepat-cepat. “Kau!
Garrincha si pria jantan memberikanku kasurnya yang seempuk busa. Dia berbaring terlentang di lantai dingin. Dan biarpun sudah kupaksa—bahwa aku bisa tidur di mana pun—dia tetap kekeh. Kami berceloteh panjang lebar tanpa sekat canggung. Mungkin ini keahlian alamiku; dapat langsung melebur bersama orang baru dan dipercaya sepenuhnya. Garrincha menceritakan awal mula kariernya di sepakbola, yang kemudian runtuh karena gagal terpilihnya dia di tim nasional. Lalu cerita bergulir ke keluarga, tempat tinggal kami masing-masing, dan memutar kembali ke titik awal: sepakbola. “Awalnya teman-teman bilang kakiku mirip salah satu atlet lawas. Dan jadilah mereka menyebut-nyebutku Garrincha,” ujarnya santai. “Kalau kau? Kenapa tahu asal-usul Garrincha?” “Aku suka sejarah, sastra, dan seni. Kadang-kadang aku melukis. Aku hobi mencari asal-usul seseorang.” 
Garrincha tampil lebih bersih dan dia seketika berbalik saat mendengar pintu kututup. Pria di depanku adalah makhluk lain. Dia bukan Garrincha yang terseok-seok dengan muka kusam di Arena. Juga bukan Garrincha yang setengah telanjang di lift. Kini dirinya memakai kaus-kerah berwarna biru dan celana jins. Di tungkai kanannya, terbebat perban kusam yang digenangi cairan gelap-kemerahan. Rambutnya awut-awutan dan basah. Rahangnya nampak keras, juga daya tarik utamanya yaitu kaki kanan yang bengkok—terlihat lebih lurus dan sempurna. Tak terlalu kentara kalau ia seorang pria pendek yang cacat. Dia sempurna setelah mengubah penampilan. Atau jangan-jangan, bukan dirinya yang berjasa penuh melainkan para perawat yang punya selera fashion bagus. Di ruang khusus Pemenang ini hanya ada satu kasur empuk bersih. Jendela buram yang tidak bisa dibuka-tutup. Wastafel lengkap de
Erin.3 Januari. 06.05. Pemenang tahun ini berbeda dari kebanyakan peserta yang kutemui. Ya, kau harus tahu bahwa aku adalah pembimbing. Tugas pembinbing—kalau kau masih mau tahu—adalah mengawasi para Pemenang setelah lolos dari kejamnya Arena. Kenapa hal tersebut perlu dilakukan? Jawabannya sesingkat pertanyaan tadi. Karena mereka stres. Tak bisa disangkal, bahkan diragukan, bahwa para peserta mengalami penurunan kinerja fisik dan mental. Maka tak heran kalau banyak Pemenang yang perlahan-lahan meninggal tanpa sebab yang jelas. Kelompok Pembimbing mulai dibentuk saat Permainan Kunci ke-delapan digelar. Kebanyakan pemenang memang banyak yang meninggal dini. Maksudnya dini; mereka mati tak lama setelah menang. Bahkan ada yang seketika tewas selepas menginjakkan kaki di asrama. Keadaannya tidak bisa dijelaskan s
Garrincha.3 Januari. 00.01.Sentuhan panas menjalar memenuhi rusukku. Aku menahan lidah agar tidak menjerit. Tanganku menekan perut kanan yang dialiri cairan hangat kemerahan.Jemariku menggeletar seolah baru diangkat dari air es. Napasku memburu, dan berusaha kukontrol sebisa mungkin agar tetap normal.Paru-paru menjadi masalahku kini. Ada sensasi tertahan di dada, yang membuatku tertekan hingga kepalaku pening. Diikuti tatapan berair, dan bagian belakang mata panas terbakar.Tungkaiku berdenyut-denyut—rasanya seperti ditusuk jarum. Aku rebah. Entah berapa lama aku terbaring di tempat ini. Leherku tegang dan aku pernah mengalami hal serupa saat salah bantal. Namun aku tidak pernah benar-benar istirahat.Pinggangku seakan rontok. Belum pernah—sekalipun di lapangan—aku menderita separah ini.
Garrincha.2 Januari. 22.13. WIB. Hujan kembali turun dan diikuti hawa dingin yang menusuk kulit. Aku menerobos sesemakan. Langkahku tersendat-sendat karena tanah mulai basah. Aku mengendarkan pandangan. Padang semak setinggi pinggang terhampar sejauh mata memandang. Tidak ada obyek lain—hanya rumput. Ini gila. Seakan-akan Panitia sudah merubah Arena menjadi lautan semak dalam sekejap. Aku mengangkat kaki secara teratur. Kiri-kanan-kanan-kiri. Bulu halus di lenganku meremang akibat tergesek-gesek semak. Kenapa Arena mendadak berubah? Aku meludah, terbatuk, lalu tersandung kaki sendiri hingga hampir terjerembap. Tempurung lututku berdenyut karena jatuh mendadak. Tanganku menjejak tanah becek. Aku menghimpun kekuatan, dan segera bangkit dengan sekujur tubuh yang teramat lemas.&n
Garrincha.2 Januari. 21.10. WIB.Mataku tercelik dan sel-sel tubuhku mendadak terjaga. Aku meloncat pergi dan menerjang semak-semak sebelum kehadiranku dikenali.Bunyi kaki tersaruk-saruk dari kedalaman pohon rimbun menjadikan suasana dicekam ketegangan yang panas. Aku mengusap sisa air mata, menarik napas panjang, lalu memfokuskan diri untuk menghadapi ancaman baru. Bunyi “srekkk” yang tajam membuat jantungku terpompa. Aku menunduk, membiarkan sedikit kepalaku tersisa agar dapat mengintip.Di depan sana, tepat di bawah naungan pepohonan. Lelaki berbadan pendek dengan lutut tertekuk tengah bersandar.Di sekitaran betisnya ada segumpal tanah liat yang membungkus hingga telapak kaki.Badan orang itu benar-benar pendek, mungkin hanya sebahuku. Namun tubuhnya berisi. Dan dari jalannya, jelas kalau pemuda ini semacam pa