Share

/7/

last update Last Updated: 2021-08-11 23:09:22

Ronal

1 Januari. 18.58 WIB.

Hendro dan Andrea tidur lebih awal karena mereka berjanji akan mengambil tugas jaga. Hughes tidak berani menyalakan api unggun karena akan memancing perhatian. Dan sedari tadi, tidak ada senter yang dihidupkan para peserta. Tenang saja, kita tunggu berapa lama mereka bertahan di selimut kegelapan.

 

Langkah kaki terseret dari samping membuat jantungku mencelus, aku segera bangkit, begitu juga Hughes yang langsung kalang-kabut. 

   

Di depan, terpaut dua meter. Si rambut ungu dan rekannya berdiri dengan moncong senapan terarah sempurna. 

Rekan si rambut ungu: seorang pria Asia yang kaku menodong senapannya ke dadaku. Pria itu memandang tanpa ekspresi seolah tidak berniat mengarahkan benda jahat itu ke tubuhku.

Si rambut ungu melangkah lebih dulu, kulit wajahnya yang pucat diterangi sinar bulan. Lalu si pria mengikuti dengan berjalan pendek, masih dengan senapan membidik.

 

“Kami hanya bertanya...” Perempuan itu menggulirkan matanya sekejap. “Jawab dengan jujur agar semuanya beres.”

 

Jemariku merayap-rayap di saku belakang, lalu kuhentikan saat tatapan si pria menyalang ke arahku. Dia masih belum tahu, masih belum tahu. 

“Mana sepasang kekasih yang lari ke sini?” sahut si pria dengan sikapnya yang arogan. 

Aku menelan ludah, bersiap menjawab.

“Tidak ada.” Hughes angkat suara. “Hanya kami berdua di sini sejak awal. Kalian bisa bergerak lebih dalam ke ujung sana, kalau memang merasa ... mangsa kalian lari ke bukit.”

 

Si gadis rambut ungu mengerutkan alis saat matanya berhenti pada sesuatu. Dia mengarahkan senapan ke buntalan di belakang Hughes. “Itu apa? Boleh kau buka?”

Jantungku terpompa begitu keras, aku berharap mereka tidak melihat diriku mencuri-curi pandang ke arah tempat tidur Hendro. Si rambut ungu menarik pengaman senjatanya hingga berbunyi klik-klik.

 

“Berbalik. Jangan lari atau melawan," ancam si pria.

Hughes menurut, dia berjalan mundur beberapa langkah, lalu segera berbalik. Dia tampak bingung hingga akhirnya berjongkok di depan kain. Tangannya sudah siap menyambar saat terlintas keraguan di wajahnya. Dia membeku, begitu juga napasku yang semakin terlilit.

Pria Asia itu berderap maju karena tak sabar, begitu pula rambut ungu. 

“Apa yang ditunggu?” Senapan gadis itu teracung lurus ke punggung Hughes. 

 

Belum sempat Hughes menarik kainnya, penutup itu tersibak sendiri dengan cepat. Hendro menerjang keluar tanpa ragu. Tembakan pertama langsung dilepas, membuat telingaku berdenging.

 

“LARI!”

Aku merunduk saat raungan senjata kembali berdentam. Hughes mencengkeram lenganku, teriakan demi teriakan membelah permulaan malam. Bunyi bedebuk dan bau mesiu membuat lariku semakin kencang.

 

Senapan meletup-letup bagai mercon di belakang kami, teriakan melengking seseorang yang menyayat hati terdengar. Aku berusaha menutup telinga, tapi suara-suara itu tak kunjung teredam dan membuat diriku tersiksa.

Begitu sampai di bawah dengan napas terkuras. Hughes melemparkan ransel milikku. Aku terhuyung, meraih ransel, dan gegas lari mengekor Hughes. Aku tersandung kaki sendiri, menabrak pohon, mengatur napas sebentar, lalu segera bergerak. Tempurung lututku lemas saat membayangkan nasib Hendro.

Temanku sudah menembus hutan sangat jauh, aku menambah kecepatan. Tembakan kembali menyalak dari atas bukit. Terdengar jeritan tertahan, lalu semuanya lenyap seolah keributan yang kami buat tersapu angin seketika.

Aku berhasil menyusul Hughes. Dia berhenti tiga meter di depanku, satu tangannya bertumpu ke pohon. Setelah mendekatinya, Hughes menoleh, tatapannya berkilat waspada.

Terdengar gemerisik dari arah kedatangan kami. Hughes memberi isyarat, dan kami mengendap-endap ke pohon sebesar betis gajah.

Aku tiarap, bersembunyi di balik akar yang menyembul. Bau tanah di sini seperti tanah bakar di ladang-ladang, warnanya yang sepekat tinta dan sehalus pasir pantai membuat orang yakin bahwa ini semua rekayasa.

Hughes berjongkok sembari mengintip. Dia menarik muka saat derap kaki seseorang mendekat.

Jantungku serasa berhenti, aku tidak berani bergerak. Bisa jadi itu si rambut ungu dan temannya. Aku meraih pisau di saku belakang, meremas gagangnya erat-erat. Mereka bisa kutusuk, tetapi membayangkan dua orang sinting itu memegang senapan. Membuat debar jantungku semakin bergemuruh.

Aku melirik Hughes. Mata kami bertemu. Hughes menempelkan satu jarinya ke bibir. Orang itu kembali bergerak—dan kami tahu karena kakinya menggesek tanah terlalu keras. Terdengar bunyi gedebuk, dan kesunyian menutupi kami bagaikan kabut.

 

Orang itu laki-laki, si pria Asia. “Ini aku ... Kim.” Suaranya tersekat, seperti orang sekarat yang hendak mengungkapkan permohonan terakhir.

Ini kesempatan emas, jelas ada yang salah darinya. Aku beringsut pelan ke depan, mencuri-curi pandang. Terlihatlah sosok itu, pria keturunan Asia tengah terduduk lesu di bawah pohon. Rambutnya lepek karena keringat, dadanya kembang-kempis dengan berat, sedangkan lengan kanannya luka dan ditekuk, di balik jemarinya yang berlumuran darah. Aku melihat sesuatu berkilauan mirip emas.

 

“Kalian di mana!” bentaknya pada udara. Awalnya aku mengira begitu, karena anak itu melotot tanpa sebab. Namun setelahnya dia menekan-nekan telinga, mengumpat dengan bahasa asing. Rupanya ada alat tertanam di situ. Dia mendengus sebelum melanjutkan, “Aku tertembak ... Samantha mengejar pelakunya ... kalian cepat kemari, hubungi Julius, suruh dia naik bukit dan susul Samantha.” Kim meringis, dia mengangkat pantatnya lalu menggeser senapan. “Aku kirimkan suar sebentar lagi. Langsung kemari, jangan ditunda.”

Begitu Kim selesai bicara, aku menerobos keluar. Dia membelalak dan buru-buru mengambil senapan, aku menerjang tubuhnya, meringkus, membanting kepalanya ke tanah hingga debu memercik. Dia menjerit sangat keras hingga rasanya akan terdengar sampai bukit. Benda yang berkilauan terlontar dari jemarinya. Itu kunci. 

 

“Ambil kuncinya, Hug—“ Rahangku disodok siku Kim. Aku terjengkang, menabrak senapan. Hughes melesat ke arah kunci, Kim ikut merangkak-rangkak dengan liar. 

 

Napasku memburu karena Kim hampir mengambil kunci.

Aku meraih senapan dengan jari gemetar, dan langsung menekan pelatuk hingga bunyi gelegar membuat telingaku pekak.

Begitu peluru menembus tengkuk Kim hingga darah kental memencar. Bahuku bergetar hebat seakan mau copot.

Tubuh pria itu menggeletar, tangannya yang hendak menjangkau kunci perlahan-lahan terbanting. Wajahnya terbenam ke tanah lambat-lambat, dia masih sempat mengerang saat mencium tanah, dan akhirnya benar-benar bungkam untuk selamanya.

Hughes

1 Januari 19.43 WIB.

Ketegangan menghiasi hutan selama beberapa detik. Kami berhasil memegang kunci. Itu mustahil, tapi ini  nyata setelah tanganku sendiri yang merasakan lekuk kunci keemasan yang diincar semua regu.

Darah Kim terciprat dan mengenai sepatuku, tangan anak itu terjulur ke depan, dan aku menahan keinginan untuk muntah saat melihat tengkuknya berdarah-darah.

Aku memandang Ronal, dia tertegun dengan pandangan kosong seakan rohnya terhisap. Tangannya memeluk senapan, dan dia mengerjap-ngerjap beberapa kali sebelum akhirnya berkata, “Sialan ... Dia benar-benar mati.”

   

Aku mengangguk lemah, kakiku seperti terkunci di tanah. Bergerak rasanya susah setelah menyaksikan ada darah tertumpah.

   

Ada yang berlari-lari dari arah berlawanan menuju kami. Ronal terlonjak, dan kami bergegas menjauhi mayat Kim. Itu pasti orang yang disuruh Kim menemui dirinya.

Kini aku tahu kenapa Hendro dan Andrea bersembunyi di pinggiran arena. Karena mereka sudah membawa kunci sejak kedatangannya pertama kali ke bukit.

Aku dan Ronal bersembunyi di tempat semula. 

Derap kaki itu semakin dekat, lalu lambat-laun memelan, dan akhirnya tidak terdengar apa pun. 

Kegelapan serta keheningan yang mencekam membuat bulu romaku meremang. Waktu seakan berhenti, dan jantungku memukul-mukul tulang dada sangat keras. Bunyi debarnya memenuhi kepalaku.

Tidak ada suara; baik gesekan kaki, ranting patah, atau angin yang berkesiur. 

Cahaya terang sekonyong-konyong menyorot tubuhku.

Di antara pepohonan, dekat dengan kepala Kim tergolek. Perempuan bermata cemerlang menatapku tajam dengan satu tangan memegang pistol perak. 

Ronal melancarkan tembakan lebih dulu. Bunyi kaca pecah membuat cahaya sirna.

 

Ronal memekik, “LARI!”

 

Si perempuan balas menembak, pistolnya yang meletus diikuti percik api yang menerangi sekitar bagai kilat.

Kami berlari beriringan, Ronal melesat begitu kencang dengan senapan di dadanya.

Kunci di pelukan tanganku terasa licin dan siap meluncur jika dilepaskan.

Kelebat bayangan terlihat di sudut mataku, aku hendak berkelit dan mengganti arah.

Seorang gadis menyeruak dari semak setinggi pinggang di kiri. Belum sempat aku menghindar, tendangan keras langsung menyasar ke bahu.

Tubuhku terempas, kepala membentur tanah, dan dunia di sekelilingku seolah berpusing.

Tangan-tangan kurus mencekik leherku, menekan jakunku dengan jempol. Aku meronta dan berusaha memelintir si penyerang.

Suara berdebak dan tengkorak retak membuatku tersentak, cekikan di leherku terlepas. Napasku pendek karena jakunku ditekan begitu dalam, Ronal bergerak-gerak dengan panik di depan. 

Aku mengangkat kepala. Ada yang datang dari arah jam 12. Perempuan itu! Dia menodong pistol di tengah kegelapan ke badan Ronal.

Ronal tak sadar karena memunggunginya. Aku menarik ujung baju temanku, gelegar pistol membuat telingaku seakan pecah sangking kerasnya.

Ronal ambruk di sampingku. Dia buru-buru mengokang senapan, lalu menarik pelatuk hingga percikan kilat menerangi sekitaran kami. Tubuh perempuan itu terlontar dan rebah begitu dihantam peluru.

     

Beberapa detik kemudian, semuanya hening. Tidak ada ledakan, langkah kaki terburu-buru, dan semua tetek-bengek lainnya. Kami berbaring mematung, tidak sanggup mengeluarkan kata-kata. Napasku terengah, sangat sesak dan sulit untuk ditarik karena adrenalin.

Satu perempuan yang Ronal pukul berbaring tengkurap tanpa daya. Sedangkan nasib yang satunya entah-sudah-jadi-apa. Bisa jadi peluru Ronal menewaskan orang lagi. 

Ronal mulai bergerak, tak lama kemudian dia merangkak, berhenti, lalu mengatur napasnya yang kian tak teratur. Bajunya lembap karena peluh. 

Senapan milik Kim dia biarkan tergeletak. Anak itu mendongak, di tengah gelap, aku masih bisa menangkap jika wajahnya memutih. Pucat-pasi tanpa kehidupan. Ronal membisu, dia berdiri, berjalan terseok-seok ke dalam hutan.

   

Related chapters

  • Para Pencari Kunci   /8/

    Samantha.1 Januari 20.18 WIB. Aku berusaha mengotak Kim tapi tak dijawab. Anak itu melarikan diri ke bawah tanpa kabar setelah Hendro menyambar senapanku. Lengan Kim ditembus peluru, dia hanya sempat menjerit dan langsung melangkah lunglai ke bawah. Begitu aku kembali siap, kulemparkan pisau lipat yang langsung menancap ke jantung Hendro. Pemuda itu terhuyung mundur—tak sempat menembak—lalu terbanting dengan darah mengalir memenuhi dadanya. Andrea menjerit-jerit tak keruan dan langsung terbirit-birit ke kegelapan. Aku meraih senapan, mengejarnya secepat mungkin. Kini aku terjebak di padang rumput sejauh mata memandang. Di kiriku masih terhampar rumput-rumput segar setinggi mata kaki. Sedangkan di kanan terdapat bukit yang lebih tinggi dan menjorok terlalu ke depan. Andrea cukup gesit. Dia bisa sembunyi di tempat lapang seperti ini. Derap kaki bergumu

    Last Updated : 2021-08-12
  • Para Pencari Kunci   /9/

    Ronal1 Januari. 21.04 WIB. Pikiranku kacau. Perutku terpelintir dan ada sebongkah makanan yang hendak keluar dari tenggorokan. Aku tak sanggup membayangkan nasib Hendro, dan terlebih lagi, darah Kim yang terhambur. Aku ingat jelas semuanya. Jemariku yang menarik pelatuk, percikan api dari mulut senapan, lalu kepala Kim yang ambruk. Terlebih-lebih, aku ingat warna cairan gelap yang membungkus tengkuk Kim. Aku menahan bobot tubuh ke pohon, satu tanganku memegangi perut. Sentakan rasa mual kembali hadir. Biasanya aku tak selemah ini. Tapi melihat ceceran darah yang bisa ditampung gelas, akan membuat siapa saja mendadak lemas. Langkah Hughes semakin pelan hingga akhirnya berhenti. “Kita istrirahat dulu kalau kau mau,” katanya. Tiba-tiba aku teringat kunci. Dan bersyukur karena rasa asam di kerongkonganku mendadak cair kare

    Last Updated : 2021-08-16
  • Para Pencari Kunci   /10/

    Garrincha.1 Januari. 22.03 WIB. Aku bergantian melirik tubuh Ernest yang kaku dan suar yang luar-biasa-terang. Kami kini berada di atap, berdempetan, dan bersembunyi di gelap. Tubuh Ernest dijadikan Pedro sebagai peringatan. Jadi yang berniat mendekat, mereka bisa tahu kalau ada tubuh melintang dengan darah kering di sekitarnya. Otot keras Pedro menempel di bahuku. Napas temanku itu teratur dan tenang. Luncuran suar membuatnya mengokang senapan. “Orang gila lagi,” kata Pedro datar. “Perang mulai menjalar,” gumamku. Pedro menyeringai dengan lagaknya yang sinis. “Aku tahu, aku tahu. Kita tak perlu turun ke lapangan, sobatku. Kita lihat seberapa hebat kurcaci-kurcaci itu malam ini. Kau tahu, kita seperti timnas AS saat melawan Inggris. Tak diperhitungkan, tapi mematikan.” Menunggu rasanya memuakkan. Karena aku mengalaminy

    Last Updated : 2021-08-18
  • Para Pencari Kunci   /11/

    Hughes.1 Januari. 23.16 WIB. “Kerusuhan 2023 menewaskan orang tuanya,” kata Ardian saat kutanya perihal orang tua Ishak. “Dia baca apa?” Ronal menyentakkan ibu jari ke arah Ishak. Ardian tak perlu menoleh untuk mengetahui keponakannya membaca apa. “Alkitab. Dia kuajari membaca. Sangat lamban, benar-benar lamban kalau soal baca-tulis. Tapi dia hebat berkebun dan menombak.” Eve berkata, “Aku tahu soal kerusuhan 23. Kakekku terkena imbasnya. Dia didepak dari pabrik kertas setelah isi pabrik dijarah.” Ardian menghela napas, membuat api lilin menari-nari. “Zaman gelap. Seharusnya pemerintah tak perlu membunuh aktivis malang itu.” “Dunia makin kacau,” kataku tanpa emosi. “Terutama permainan ini. Kita tidak tahu keburuntungan di tangan siapa.” Ardian menyeringai. “Jangan pesimis teman-teman, kita bermain pasif saja sampai saatnya benar-

    Last Updated : 2021-08-20
  • Para Pencari Kunci   /12/

    Ronal.2 Januari. 03.40 WIB. Aku bermimpi soal ayah. Permah sekali, tangannya yang seukuran pipiku telak menghantam wajah ibu, setelahnya, aku dihajar habis-habisan dan disumpahi macam-macam. Akar pahit memang tertanam di hatiku karena orang tua itu. Seperti cerita klise kebanyakan. Hidup kami selayaknya dilabeli ‘tragis'. Tapi nyatanya tidak. Ibu diam-diam menjadi selingkuhan salah satu pemilik toko-bangunan di pinggir kota. Dia mendapat banyak uang dari permainan gelapnya, dari situlah kami bisa makan roti dan aku dapat sekolah. Ibuku memang cantik. Wajahnya oriental. Dan aku mendengarnya beberapa kali bergumam, soal betapa bodoh dirinya mau menikahi ayah. Ayah tak pernah mau tahu kenapa aku bisa sekolah. Hampir siang-malam pria itu main perempuan dan mabuk. Namun aku tahu, ayahku tak pernah meniduri perempuan selain ibu—karena dia pengecut. Kebejatan ibu terbongka

    Last Updated : 2021-08-22
  • Para Pencari Kunci   /13/

    Garrincha.2 Januari. 05.25 WIB. “Ayo keluar kawan-kawan!” seru seorang pria tua berperawakan kurus di samping mayat Ernest. Matahari sempurna memancar dan menyemburkan cahaya pucat-hangatnya. Suasana di Bilik masih sama remang-remang seperti di hari pertama, namun kami kedatangan orang asing yang tanpa gentar membusungkan dada. Setahuku, matahari buatan arena memang diformat agar langsung menyebar tanpa menunggu waktu normal. Dan kau bisa mendapati bahwa jam 5 pagi sudah sangat terik. Pedro belum menarik pelatuk, dia memantau keadaan layaknya serigala berdarah dingin. Di bagian bawah matanya, terdapat garis gelap yang didapat dari kurang tidur. Emosinya kembali terpancing setelah melihat “target yang bisa dibunuh”. Pria tua itu berdiri dengan satu tangan berkacak pinggang. Dia memakai topi berwarna kelabu yang membungkus rambut, badannya ceking, dan memakai

    Last Updated : 2021-08-24
  • Para Pencari Kunci   /14/

    Hughes.2 Januari. 06.17 WIB. Ronal memberiku sebotol air yang masih tersegel. Persiapan kami soal urusan logistik memang banyak, namun kejadian panjang yang dilalui, membuat semua dahaga dan rasa lapar luntur. Ronal membuka bungkus roti, membelah dua, lalu menguyahnya dalam keheningan. Aku dan Eve ikut makan. “Apa alasanmu ikut?” tanyaku pada Eve agar situasi canggung ini enyah. Eve menggigit rotinya secuil. “Karena abangku,” katanya datar. “Kami terpaksa ikut karena ayah sakit keras dan ... yah, kami butuh uang secara instan.” “Kenapa bisa lolos?” “Lagi-lagi karena abangku. Dia jenius, peraih nilai tinggi, dan siap kerja saat lulus nanti...” Gadis itu menundukkan mata, dia tersenyum sedih. “Sayangnya, diterima kerja sama sulitnya dengan mencari Kunci.” “Dunia memang kejam,” sahut Ronal. “Nikmati saja. Karena

    Last Updated : 2021-08-27
  • Para Pencari Kunci   /15/

    Garrincha.2 Januari. 08.28 WIB. Pedro membacakan kartu identitas yang terselip di saku celana korbannya. “Frederick ... Lamar.” Pedro melempar kartu nama itu sembarangan. “Siapa nama rekannya?” “Elisabeth Burg,” jawabku. “Mereka suami-istri. Ada foto pernikahan di dompetnya.” Pedro mendenguskan tawa mengejek. “Dia pasti menikah lebih dari sekali. Kebiasaan pria bau tanah di provinsi Barat.” “Tapi kau juga dari Barat,” tanyaku—tanpa maksud apa pun. Air muka Pedro sukar dibaca. “Itu beda. Biasanya pekerja kasar ... atau pemabuk ... yang melepaskan penat dengan perempuan muda. Itu hal biasa di tempatku.” Aku mengiyakan dan menggeledah ransel Frederick. Isi ransel pria tua itu hanya obat tidur, pil anti-depresan yang tersisa dua butir, makanan ringan, dua botol air, pisau seukuran jari tengah yang bahkan tak b

    Last Updated : 2021-08-30

Latest chapter

  • Para Pencari Kunci   /6/

    Lampu temaram dari bangunan lain di luar sana merayap merayap masuk dan membuat jalur-jalur sinar di lorong gelap. Jendela buram yang mengisi kiri tembok memantulkan cahaya putih seram. Dengung mesin pendingin dari langit-langit lorong seakan ingin menuntut pertanggungan jawab kami atas tertumpahnya darah. Aku memimpin dengan langkah menyelinap. Sesekali, pandanganku berpaling ke jendela yang rupanya percuma dipandang karena buram—bagai tertutup kabut. Hawa dingin mencekik kulit. Kesunyian di tempat ini rasanya sanggup mengeringkan tulang karena membuat siapa pun merinding. Di areal ini, lampu memang padam demi menghemat sumber daya. Tak seorangpun yang lalu-lalang sebab memang lorong ini digunakan untuk menuju bangunan lain. Dan, kalau kau mau tahu, bangunan lain itu apa. Tidak ada pekerja—seperti kami—yang paham apa isi bangunan lain. Yang kami tahu, dan itupun hanya desas-desus, temp

  • Para Pencari Kunci   /5/

    Di musim dingin tahun lalu. Aku banyak membuang waktu dengan pria berdarah Asia. Dia menabur, dan aku menuai bibit cinta dari pertemuan yang, dilakukan berulang-ulang. Kami berdua bertukar gelas di malam Natal, bilang kalau ini adalah saat teristimewa. Pria itu—aku tahu—sangat mencintaiku sedemikian rupa. Dan kalau ditanya buktinya, dia membuang pekerjaan mapannya sebagai animator layanan-pendidikan demi hadir ke perencanaan Permainan Kunci. Awalnya begitu. Aku lugu saat mendengar dia membuang segala hal demi diriku. Nyatanya tidak. Dia sanggup memanipulasi emosi. Dan orang seperti itu adalah pribadi kelewat busuk yang tak akan mampu kau bayangkan. Aku masih ingat kata terakhinya di malam tahun baru. “Aku ke sini bukan karena kau, aku cuma senang-senang. Lelaki mana yang sanggup seorang diri di tempat antah berantah.” Di malam yang sama. Masih musim dingin. Aku dan Sero berdiri te

  • Para Pencari Kunci   /4/

    Aku dan Sero dipanggil petugas setempat—dua jam selepas kejadian. Kami berangkat dari kafetaria dengan wajah murung. Aku tidak berniat mengubah air muka, tapi Sero yang nampak berpikir paling keras mulai terlihat tabiat kecemasannya. Dan sikapnya menular dengan segera saat kami digiring pria kurus-kekar ke lorong serba kelabu.“Kalian tahu apa yang terjadi, heh?” tanya si petugas tanpa menoleh.“Tahu,” sahut Sero sayu. “Kau mau bawa kami ke mana?” Tangan kiri Sero terkepal, lalu mengembang lagi.Mungkin saja dia tahu kalau petugas di depan kami memiliki senjata tersembunyi. Setahuku, memang begitu. Ada semacam pisau elektrik di sekitar tali ikat pinggangnya.Si petugas mengangkat topinya. “Kalau Tuan tanya,” mulainya, “jawab sejujur-jujurnya.” Dia berhenti di samping pintu kecil, menekan tombol di sisinya cepat-cepat. “Kau!

  • Para Pencari Kunci   /3/

    Garrincha si pria jantan memberikanku kasurnya yang seempuk busa. Dia berbaring terlentang di lantai dingin. Dan biarpun sudah kupaksa—bahwa aku bisa tidur di mana pun—dia tetap kekeh. Kami berceloteh panjang lebar tanpa sekat canggung. Mungkin ini keahlian alamiku; dapat langsung melebur bersama orang baru dan dipercaya sepenuhnya. Garrincha menceritakan awal mula kariernya di sepakbola, yang kemudian runtuh karena gagal terpilihnya dia di tim nasional. Lalu cerita bergulir ke keluarga, tempat tinggal kami masing-masing, dan memutar kembali ke titik awal: sepakbola. “Awalnya teman-teman bilang kakiku mirip salah satu atlet lawas. Dan jadilah mereka menyebut-nyebutku Garrincha,” ujarnya santai. “Kalau kau? Kenapa tahu asal-usul Garrincha?” “Aku suka sejarah, sastra, dan seni. Kadang-kadang aku melukis. Aku hobi mencari asal-usul seseorang.” 

  • Para Pencari Kunci   /2/

    Garrincha tampil lebih bersih dan dia seketika berbalik saat mendengar pintu kututup. Pria di depanku adalah makhluk lain. Dia bukan Garrincha yang terseok-seok dengan muka kusam di Arena. Juga bukan Garrincha yang setengah telanjang di lift. Kini dirinya memakai kaus-kerah berwarna biru dan celana jins. Di tungkai kanannya, terbebat perban kusam yang digenangi cairan gelap-kemerahan. Rambutnya awut-awutan dan basah. Rahangnya nampak keras, juga daya tarik utamanya yaitu kaki kanan yang bengkok—terlihat lebih lurus dan sempurna. Tak terlalu kentara kalau ia seorang pria pendek yang cacat. Dia sempurna setelah mengubah penampilan. Atau jangan-jangan, bukan dirinya yang berjasa penuh melainkan para perawat yang punya selera fashion bagus. Di ruang khusus Pemenang ini hanya ada satu kasur empuk bersih. Jendela buram yang tidak bisa dibuka-tutup. Wastafel lengkap de

  • Para Pencari Kunci   /1/

    Erin.3 Januari. 06.05. Pemenang tahun ini berbeda dari kebanyakan peserta yang kutemui. Ya, kau harus tahu bahwa aku adalah pembimbing. Tugas pembinbing—kalau kau masih mau tahu—adalah mengawasi para Pemenang setelah lolos dari kejamnya Arena. Kenapa hal tersebut perlu dilakukan? Jawabannya sesingkat pertanyaan tadi. Karena mereka stres. Tak bisa disangkal, bahkan diragukan, bahwa para peserta mengalami penurunan kinerja fisik dan mental. Maka tak heran kalau banyak Pemenang yang perlahan-lahan meninggal tanpa sebab yang jelas. Kelompok Pembimbing mulai dibentuk saat Permainan Kunci ke-delapan digelar. Kebanyakan pemenang memang banyak yang meninggal dini. Maksudnya dini; mereka mati tak lama setelah menang. Bahkan ada yang seketika tewas selepas menginjakkan kaki di asrama. Keadaannya tidak bisa dijelaskan s

  • Para Pencari Kunci   BAGIAN 2

    Garrincha.3 Januari. 00.01.Sentuhan panas menjalar memenuhi rusukku. Aku menahan lidah agar tidak menjerit. Tanganku menekan perut kanan yang dialiri cairan hangat kemerahan.Jemariku menggeletar seolah baru diangkat dari air es. Napasku memburu, dan berusaha kukontrol sebisa mungkin agar tetap normal.Paru-paru menjadi masalahku kini. Ada sensasi tertahan di dada, yang membuatku tertekan hingga kepalaku pening. Diikuti tatapan berair, dan bagian belakang mata panas terbakar.Tungkaiku berdenyut-denyut—rasanya seperti ditusuk jarum. Aku rebah. Entah berapa lama aku terbaring di tempat ini. Leherku tegang dan aku pernah mengalami hal serupa saat salah bantal. Namun aku tidak pernah benar-benar istirahat.Pinggangku seakan rontok. Belum pernah—sekalipun di lapangan—aku menderita separah ini.

  • Para Pencari Kunci   /25/

    Garrincha.2 Januari. 22.13. WIB. Hujan kembali turun dan diikuti hawa dingin yang menusuk kulit. Aku menerobos sesemakan. Langkahku tersendat-sendat karena tanah mulai basah. Aku mengendarkan pandangan. Padang semak setinggi pinggang terhampar sejauh mata memandang. Tidak ada obyek lain—hanya rumput. Ini gila. Seakan-akan Panitia sudah merubah Arena menjadi lautan semak dalam sekejap. Aku mengangkat kaki secara teratur. Kiri-kanan-kanan-kiri. Bulu halus di lenganku meremang akibat tergesek-gesek semak. Kenapa Arena mendadak berubah? Aku meludah, terbatuk, lalu tersandung kaki sendiri hingga hampir terjerembap. Tempurung lututku berdenyut karena jatuh mendadak. Tanganku menjejak tanah becek. Aku menghimpun kekuatan, dan segera bangkit dengan sekujur tubuh yang teramat lemas.&n

  • Para Pencari Kunci   /24

    Garrincha.2 Januari. 21.10. WIB.Mataku tercelik dan sel-sel tubuhku mendadak terjaga. Aku meloncat pergi dan menerjang semak-semak sebelum kehadiranku dikenali.Bunyi kaki tersaruk-saruk dari kedalaman pohon rimbun menjadikan suasana dicekam ketegangan yang panas. Aku mengusap sisa air mata, menarik napas panjang, lalu memfokuskan diri untuk menghadapi ancaman baru. Bunyi “srekkk” yang tajam membuat jantungku terpompa. Aku menunduk, membiarkan sedikit kepalaku tersisa agar dapat mengintip.Di depan sana, tepat di bawah naungan pepohonan. Lelaki berbadan pendek dengan lutut tertekuk tengah bersandar.Di sekitaran betisnya ada segumpal tanah liat yang membungkus hingga telapak kaki.Badan orang itu benar-benar pendek, mungkin hanya sebahuku. Namun tubuhnya berisi. Dan dari jalannya, jelas kalau pemuda ini semacam pa

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status