Ronal
1 Januari. 16.01 WIB.Bunyi gemuruh senapan membuat Andrea berjengit dan kembali terisak. Sebenarnya bukan anak itu saja yang butuh dihibur, kami di sini sama sekali tidak tahu siapa yang menembak dan siapa yang dibunuh. Setelah kuawasi keadaan di kedalaman hutan cukup lama, semuanya kembali tenteram dan keadaan berangsur normal. Tidak ada tembakan, jeritan, atau pohon yang tiba-tiba roboh.Jadi, selama itulah aku mengintai kedalaman hutan dan masih belum mendapatkan titik cerah. Kata Hendro, mungkin saja itu Samantha. Dia menembak asal-asalan demi membuat suasana kembali tegang. Tapi rasanya tidak, kalau kau jadi aku, coba bedakan masing-masing bunyi senapan yang dari tadi berbunyi. Kali ini lebih kecil dan mendesis, suaranya pun merambat melalui rapatnya pohon. Namun biarpun kecil, rasanya bunyi itu teramat sangat dekat dari tempat kami berlindung. Seakan-akan si penembak memang berniat membidik kami.
Aku bergantian jaga dengan Hughes. Andrea terlelap, tapi tidak dengan pacarnya. Hendro merenung dengan tatapan menerawang sambil memain-mainkan jemari. Kemurungan terpancar jelas di matanya yang cekung.
“Kau oke?” Itu pertanyaan basa-basi, karena saat malam tiba aku dan Hughes akan turun bukit untuk mencari tempat baru. Rasanya tidak enak jika langsung membeberkan rencana kami pada pemuda malang yang tengah masygul.
Dia mendongak, mengerutkan bibir.“Yah, aku oke. Hanya bingung bagaimana nasib kami. Andrea hamil, ada orang gila yang membawa-bawa senjata, dan malam pasti datang. Aku tidak sanggup membayangkan mati di tempat ini.”
Aku tidak menjawab. Kulemparkan cokelat batangan (yang aku curi di toko) pada anak itu. Dia menangkapnya dengan lihai, lalu makan tanpa bicara.
Aku memandang Andrea yang bergelung di hamparan rumput, mengenakan pakaian kumal, dan menyangga kepala dengan jaket kulit Hendro. Mereka masih sangat muda, bisa jadi Hendro hanya lebih tua dariku satu tahun. Namun Andrea masih menyerupai bocah yang baru lulus sekolah, dia hamil muda pun aslinya aku tak percaya.
“Berapa umurnya?” Aku bertanya setelah Hendro melumat-lumat bungkusan cokelat.
Dia menjawab tanpa menoleh, “Delapan belas. Kalau aku dua puluh.”
“Kau merusak anak orang,” kataku.
Hendro tampak tidak tertarik, tapi tertawa hampa. “Kami saling cinta. Cinta memiliki harga yang mahal.”“Kalau bicara saja gampang. Kau tidak memikirkan nasibnya. Pasti pacarmu yang paling menderita. Aku bisa jamin.”
“Kau benar. Dia diusir dari rumah setelah berkata jujur, lalu dipukuli ayahnya dan dikurung. Aku hendak menolong ... tapi untunglah. Dia langsung ditendang begitu saja. Saat itu adalah masa yang paling gelap bagi kami. Semuanya runtuh dan tidak ada yang bisa dipercaya.” Suaranya berubah dalam dan serak. “Kami mengontrak rumah petak, lalu aku bekerja serabutan...”
“Apa pekerjaanmu?”
“Penulis, editor, penerjemah. Gajiku tidak seberapa kalau nekat bertahan.” Dia tertawa dingin. “Zaman sudah berubah. Toko buku banyak bangkrut, dompet penulis kering. Buku semakin dianggap sampah. Semenjak teknologi kita berkembang begitu drastis, minat baca masyarakat semakin bobrok. Andrea bisa mati kelaparan di rumah kalau aku terus menulis. Jadi aku mencari pekerjaan tambahan, mengembara ke tempat-tempat, lalu menerima pekerjaan sebagai tukang masak. Masakanku cukup oke. Jadi aku percaya diri. Lalu kudapati kabar bahwa Permainan Kunci akan dimulai.”
“Setelah dapat 100 juta?”
Hendro diam sejenak, berpikir. “Andrea sebenarnya sudah jadi kasir, tapi setelah kutawari soal Permainan Kunci. Dia setuju. Kami iseng-iseng mendaftar, dan tanpa sadar diterima. Soal Andrea hamil, tidak aku masukkan di data. Itu akan membuat kami tersingkir lebih cepat. Penyelenggara akan murka jika tahu aku memalsukan data, tapi siapa peduli. Intinya tidak ada yang tahu, kan?”
“Kau tidak sayang anakmu?”
“Sayang ... tapi aku tidak tahan melihat Andrea menderita. Setidaknya dia pernah hidup senang dari uang 100 juta.”
Aku tertawa karena kekonyolannya. “Kau bodoh, benar-benar tolol.”
Hendro mendelik. “Jangan munafik, bung. Kalau kau punya pasangan, aku bertaruh, akan kau tiduri juga dia. Bahkan aku curiga kau menyewa pelacur setelah mendapat 100 juta.”
“Aku selalu benci penyair.”
“Aku bukan penyair,” ujarnya santai.
Aku bangkit berdiri karena malas mendebat dan bergerak ke arah Hughes, lalu menepuknya. Bilang bahwa gilirannya telah usai. Sebenarnya belum, tapi melihat wajah Hendro membuatku ingin memukul dan meretakkan hidungnya. Dia tega sekali membawa kekasihnya yang hamil ke arena kejam ini demi uang. Dia pria yang busuk, kenapa pula Andrea yang manis mau tidur dengannya.
Begitu duduk aku mengotak-atik teropong, mengubah arah pandangan setiap satu menit. Dan berusaha menetralkan benakku yang dipenuhi amarah.
Tak lama kemudian, Hughes datang membawa makanan kaleng. Aku makan dan menjilati sendok yang dilumuri bubur merah asin sambil terus mengamati, kerja seperti ini sebenarnya seru. Daripada harus mengangkat-angkat barang penumpang ke kapal, lebih bagus aku bekerja seperti ini. Mati pun tak masalahnya. Karena aku merasa gairah hidupku sudah kering total sekarang.
Aku menelusuri satu demi satu areal hutan. Melakukan close-up dan mendapati sesuatu yang janggal. Aku beringsut maju, memerhatikan detail kecil itu. Ada sesuatu, jauh di kedalaman hutan arah jam 1. Aku mendesah saat kehilangan momen. Jelas sekali, aku jelas melihat ujung senapan menyembul dari rimbunya dedaunan. Permainan ini benar-benar kotor rupanya. Banyak kunyuk yang nekat membunuh demi menang.
Samantha.
1 Januari. 17.09 WIB.
Langit sebentar lagi gelap, dan akan memudahkan kami untuk bergerak. Aku sudah mengabari aliansi untuk berjaga di beberapa titik. Jika dugaanku betul, Hendro dan Andrea tengah bersembunyi di bukit darah. Awalnya aku tidak menganggap perkataan Kim soal ada asap membumbung dari bukit darah sesuatu yang benar. Tapi jika dipikir-pikir, sepertinya hal itu memang benar.
Buruan kami—Hendro—tidak mungkin sebodoh itu untuk tetap berjalan-jalan di hutan. Kami belum bergerak selama beberapa jam terakhir setelah menghabisi dua peserta yang sempat mengacau, dan hanya mendengarkan laporan-laporan aliansi. Tubuhku nyeri seperti habis dipukuli karena berurusan dengan dua pengacau tadi. Tapi itulah untungnya, kami bisa mendapat senjata tambahan.
Kim bilang, dia tidak percaya siapa pun di tempat ini. Secara harfiah, dia merujuk pada aliansi.
“Jangan bilang kalau kita mau ke bukit, biarkan orang-orang itu berjaga di beberapa titik yang aku sebut,” jelasnya saat aku mengontak aliansi.
Aku memberitahu titik-titik lokasi pada aliansi. Emil dan Emma, dari regu dua belas, kusuruh untuk berjaga di hutan sekitaran bukit. Jika Hendro atau Andrea melompat turun, mereka bisa menembaknya dan menangkap dua cecunguk itu. Namun lebih baik, kalau salah satu dari kami yang langsung merampas kunci dari anak-anak itu. Mimpi buruk jika Emma menyambar kunci dari tangan Hendro.
Aku memberitahu titik selanjutnya yang harus dituju untuk Julius dan Lewi. Katanya mereka mantan napi, spesialis pembobol rumah para elite, dan hal itu membuat Kim tertarik merekrutnya.
“Begini ... bukannya aku mau tahu urusan kalian. Tapi kenapa kau suruh aku berjaga di tempat penurunan bukit bagian timur?” protes Julius setelah kuberitahu tempat-tempat penjagaan.
Aku melirik Kim yang pipi kanannya dikembungkan.
“Kami mau menyergap anak kucing. Titik-titik itu paling cocok untuk mencegat mereka kalau ada yang kabur.”
Jeda panjang di antara kami.
Lalu Julius berkata serius, “Kalian menemukan si pemegang kunci ya?”
Aku tetap tenang, biarpun jantung berdebar-debar.
“Entahlah. Berdoa saja...”
“Jangan berbohong pada kelompok, nona muda. Katakan saja kalau punya maksud terselubung. Tapi tak masalah, kami akan patuh karena perjanjian.”
Aku berusaha menahan keinginan untuk memaki. “Oke, kita bertemu nanti Julius.”
Setelah kupencet alat di telinga, aku menghadap Kim yang masih sibuk mengintai bukit.
“Apa katanya?” tanya Kim tanpa menoleh, pemuda itu melipat lengan, bersender ke pohon dengan santai.
“Mereka sudah curiga ... tenang saja, kita bisa habisi mereka setelah mendapatkan kunci malam ini. Tidak ada tangan kotor yang bisa merampas kunci dari kita, Kim.”
Kim memutar tubuhnya lambat-lambat. “Bagus. Dan kau sendiri jangan gegabah. Kita berunding dengan mereka sebisa mungkin.”
“Oke,” suaraku mendadak tercekik. “ Tapi kita harus rampas dulu kuncinya.”
Kim menggeleng, air mukanya serius. “Maksudnya jangan gegabah karena ada orang lain di tempat itu. Coba kau pahami sedikit kata-kataku ini.”
“Siapa?”
Kim memasukkan tangannya ke saku. Dia luar biasa tampan jika tidak bertingkah konyol. “Itu hanya firasat. Keluargaku sangat menghargai firasat seseorang. Dan kali ini, aku merasakan kalau ada orang lain di sana. Biasanya firasatku 89,99 persen selalu tepat.”
“Terserah kau,” tukasku, “kita harus berangkat agar sampai bukit saat gelap.”
Kami mengisi perut lebih dulu dan melahap dalam diam. Kim menyukai semua makanan, baik kalengan maupun mentah. Terlalu banyak menyantap daging membuat lidahku gatal saat berurusan dengan ikan sarden. Selepas makan, Kim merakit senapannya dengan lincah. Matanya berkilat-kilat dan tampak bergairah melakukan petualangan ini. Aku mengasah pisau lipat (yang bisa kulempar ke musuh), menyiapkan senter, memeriksa earphone, lalu mengecek peluru. Burung gagak berkoak-koak saat langit mulai berubah. Malam ini akan terasa berat karena cakrawala menampilkan garis-garis gelap keunguan, awan pekat nan gelap menumpuk-numpuk dan menyembunyikan deru gemuruh bagaikan dentuman meriam yang tersumbat.
Keheningan terasa memanjang saat malam benar-benar hadir. Di tempat ini tidak ada nyamuk, dan kunang-kunang langsung meloncat-loncat keluar dari persembunyian. Suhu menurun, bukit tidak terlihat indah seperti hari terang. Ia hanya seperti gundukan tanah yang siap longsor jika diterjang hujan deras.
Kim menghela napas berat, kami belum menyalakan senter karena kunang-kunang berbaik hati menerangi sekitaran kami. Semua peserta akan terlihat batang hidungnya pada hari gelap, mereka tentu akan menyalakan senter dan menjelajah. Atau tidur sambil bermalas-malasan.
Kami mulai berjalan, masih belum tanpa senter. Kunang-kunang melekat pada kami dan terus menyinari jalur. Setelah berjalan setengah kilometer, kami berbelok, menembus rapatnya semak dan sampai di tempat pendakian.
Aku mempercepat langkah saat melihat rute pendakian bukit di depan mata. Kim menyambar lenganku sangat cepat seolah di depan ada ranjau. “Kita memutar,” katanya.
Aku patuh dan bergerak di belakang Kim, punggungnya naik-turun saat berjalan. Dengan senapan dikepit, membuat penampilan Kim semakin gagah. Barulah, kegelapan menekan pandangan kami karena kunang-kunang berlarian pergi. Mereka seolah telah diproses agar tidak mendekati areal bukit.
Kami keluar dari hutan, tanah hitam terputus. Sekarang pasir terhampar sejauh mata memandang dan terganti lagi oleh jalan penuh kerakal saat tiba di tempat pendakian terjal. Kim melompat lebih dulu, kami bergumul untuk naik, dan tiba di atas dengan baju basah penuh peluh.
Kami istirahat sebentar untuk mengatur napas, setelah kembali berjalan. Kim berjalan lambat untuk menyejajari langkahku.
Pipi Kim mengilap karena keringat, jakunnya menonjol jika dilihat dari dekat. “Tetap di sampingku oke?”
Aku tidak menjawab karena fokus pada jalan menurun. Saat kakiku memijak rumput, kesegaran merayap-rayap dari ujung kaki hingga ubun-ubun. Udara di sini luar biasa dingin, angin berembus terlalu kencang, membuat rambutku diacak-acak.
Di depan, sejauh 500 meter. Terlihat bekas api unggun dan sisa-sisa kayu yang berserakan. Aku tidak melihat tubuh seseorang. Namun Kim cepat-cepat menarikku menjauh dari tempat itu ke sebuah batu sebesar raksasa.
Kim bungkam secara mendadak, kau akan tahu dia sangat tegang karena jemarinya bergetar saat mengisi peluru.
Aku mengintip, ada siluet orang sedang bergerak. Orang itu bergerak ke ujung bukit, kukira dia akan melompat, tapi setelahnya. Dia berjongkok, dan aku paham jika ada yang sedang tiarap di situ. Aku tersenyum, mengakui kecerdasan mereka. Itu bukan Hendro dan Andrea. Karena tubuh dua orang itu besar-besar dan tegap seperti kuli bangunan.
Kim menghembuskan napas, aku ikut siaga. Kami mematung selama beberapa detik sembari memindai pergerakan dua orang itu. Lalu, setelah salah satu dari mereka berjalan ke arah api unggun, Kim melangkah keluar tanpa gentar dengan dagu diangkat.
Ronal1 Januari. 18.58 WIB. Hendro dan Andrea tidur lebih awal karena mereka berjanji akan mengambil tugas jaga. Hughes tidak berani menyalakan api unggun karena akan memancing perhatian. Dan sedari tadi, tidak ada senter yang dihidupkan para peserta. Tenang saja, kita tunggu berapa lama mereka bertahan di selimut kegelapan. Langkah kaki terseret dari samping membuat jantungku mencelus, aku segera bangkit, begitu juga Hughes yang langsung kalang-kabut. Di depan, terpaut dua meter. Si rambut ungu dan rekannya berdiri dengan moncong senapan terarah sempurna. Rekan si rambut ungu: seorang pria Asia yang kaku menodong senapannya ke dadaku. Pria itu memandang tanpa ekspresi seolah tidak berniat mengarahkan benda jahat itu ke tubuhku. Si rambut ungu melangkah lebih dulu, kulit wajahnya yang pucat diterangi sinar bulan. Lalu si pria mengikuti dengan berjalan pendek, masi
Samantha.1 Januari 20.18 WIB. Aku berusaha mengotak Kim tapi tak dijawab. Anak itu melarikan diri ke bawah tanpa kabar setelah Hendro menyambar senapanku. Lengan Kim ditembus peluru, dia hanya sempat menjerit dan langsung melangkah lunglai ke bawah. Begitu aku kembali siap, kulemparkan pisau lipat yang langsung menancap ke jantung Hendro. Pemuda itu terhuyung mundur—tak sempat menembak—lalu terbanting dengan darah mengalir memenuhi dadanya. Andrea menjerit-jerit tak keruan dan langsung terbirit-birit ke kegelapan. Aku meraih senapan, mengejarnya secepat mungkin. Kini aku terjebak di padang rumput sejauh mata memandang. Di kiriku masih terhampar rumput-rumput segar setinggi mata kaki. Sedangkan di kanan terdapat bukit yang lebih tinggi dan menjorok terlalu ke depan. Andrea cukup gesit. Dia bisa sembunyi di tempat lapang seperti ini. Derap kaki bergumu
Ronal1 Januari. 21.04 WIB. Pikiranku kacau. Perutku terpelintir dan ada sebongkah makanan yang hendak keluar dari tenggorokan. Aku tak sanggup membayangkan nasib Hendro, dan terlebih lagi, darah Kim yang terhambur. Aku ingat jelas semuanya. Jemariku yang menarik pelatuk, percikan api dari mulut senapan, lalu kepala Kim yang ambruk. Terlebih-lebih, aku ingat warna cairan gelap yang membungkus tengkuk Kim. Aku menahan bobot tubuh ke pohon, satu tanganku memegangi perut. Sentakan rasa mual kembali hadir. Biasanya aku tak selemah ini. Tapi melihat ceceran darah yang bisa ditampung gelas, akan membuat siapa saja mendadak lemas. Langkah Hughes semakin pelan hingga akhirnya berhenti. “Kita istrirahat dulu kalau kau mau,” katanya. Tiba-tiba aku teringat kunci. Dan bersyukur karena rasa asam di kerongkonganku mendadak cair kare
Garrincha.1 Januari. 22.03 WIB. Aku bergantian melirik tubuh Ernest yang kaku dan suar yang luar-biasa-terang. Kami kini berada di atap, berdempetan, dan bersembunyi di gelap. Tubuh Ernest dijadikan Pedro sebagai peringatan. Jadi yang berniat mendekat, mereka bisa tahu kalau ada tubuh melintang dengan darah kering di sekitarnya. Otot keras Pedro menempel di bahuku. Napas temanku itu teratur dan tenang. Luncuran suar membuatnya mengokang senapan. “Orang gila lagi,” kata Pedro datar. “Perang mulai menjalar,” gumamku. Pedro menyeringai dengan lagaknya yang sinis. “Aku tahu, aku tahu. Kita tak perlu turun ke lapangan, sobatku. Kita lihat seberapa hebat kurcaci-kurcaci itu malam ini. Kau tahu, kita seperti timnas AS saat melawan Inggris. Tak diperhitungkan, tapi mematikan.” Menunggu rasanya memuakkan. Karena aku mengalaminy
Hughes.1 Januari. 23.16 WIB. “Kerusuhan 2023 menewaskan orang tuanya,” kata Ardian saat kutanya perihal orang tua Ishak. “Dia baca apa?” Ronal menyentakkan ibu jari ke arah Ishak. Ardian tak perlu menoleh untuk mengetahui keponakannya membaca apa. “Alkitab. Dia kuajari membaca. Sangat lamban, benar-benar lamban kalau soal baca-tulis. Tapi dia hebat berkebun dan menombak.” Eve berkata, “Aku tahu soal kerusuhan 23. Kakekku terkena imbasnya. Dia didepak dari pabrik kertas setelah isi pabrik dijarah.” Ardian menghela napas, membuat api lilin menari-nari. “Zaman gelap. Seharusnya pemerintah tak perlu membunuh aktivis malang itu.” “Dunia makin kacau,” kataku tanpa emosi. “Terutama permainan ini. Kita tidak tahu keburuntungan di tangan siapa.” Ardian menyeringai. “Jangan pesimis teman-teman, kita bermain pasif saja sampai saatnya benar-
Ronal.2 Januari. 03.40 WIB. Aku bermimpi soal ayah. Permah sekali, tangannya yang seukuran pipiku telak menghantam wajah ibu, setelahnya, aku dihajar habis-habisan dan disumpahi macam-macam. Akar pahit memang tertanam di hatiku karena orang tua itu. Seperti cerita klise kebanyakan. Hidup kami selayaknya dilabeli ‘tragis'. Tapi nyatanya tidak. Ibu diam-diam menjadi selingkuhan salah satu pemilik toko-bangunan di pinggir kota. Dia mendapat banyak uang dari permainan gelapnya, dari situlah kami bisa makan roti dan aku dapat sekolah. Ibuku memang cantik. Wajahnya oriental. Dan aku mendengarnya beberapa kali bergumam, soal betapa bodoh dirinya mau menikahi ayah. Ayah tak pernah mau tahu kenapa aku bisa sekolah. Hampir siang-malam pria itu main perempuan dan mabuk. Namun aku tahu, ayahku tak pernah meniduri perempuan selain ibu—karena dia pengecut. Kebejatan ibu terbongka
Garrincha.2 Januari. 05.25 WIB. “Ayo keluar kawan-kawan!” seru seorang pria tua berperawakan kurus di samping mayat Ernest. Matahari sempurna memancar dan menyemburkan cahaya pucat-hangatnya. Suasana di Bilik masih sama remang-remang seperti di hari pertama, namun kami kedatangan orang asing yang tanpa gentar membusungkan dada. Setahuku, matahari buatan arena memang diformat agar langsung menyebar tanpa menunggu waktu normal. Dan kau bisa mendapati bahwa jam 5 pagi sudah sangat terik. Pedro belum menarik pelatuk, dia memantau keadaan layaknya serigala berdarah dingin. Di bagian bawah matanya, terdapat garis gelap yang didapat dari kurang tidur. Emosinya kembali terpancing setelah melihat “target yang bisa dibunuh”. Pria tua itu berdiri dengan satu tangan berkacak pinggang. Dia memakai topi berwarna kelabu yang membungkus rambut, badannya ceking, dan memakai
Hughes.2 Januari. 06.17 WIB. Ronal memberiku sebotol air yang masih tersegel. Persiapan kami soal urusan logistik memang banyak, namun kejadian panjang yang dilalui, membuat semua dahaga dan rasa lapar luntur. Ronal membuka bungkus roti, membelah dua, lalu menguyahnya dalam keheningan. Aku dan Eve ikut makan. “Apa alasanmu ikut?” tanyaku pada Eve agar situasi canggung ini enyah. Eve menggigit rotinya secuil. “Karena abangku,” katanya datar. “Kami terpaksa ikut karena ayah sakit keras dan ... yah, kami butuh uang secara instan.” “Kenapa bisa lolos?” “Lagi-lagi karena abangku. Dia jenius, peraih nilai tinggi, dan siap kerja saat lulus nanti...” Gadis itu menundukkan mata, dia tersenyum sedih. “Sayangnya, diterima kerja sama sulitnya dengan mencari Kunci.” “Dunia memang kejam,” sahut Ronal. “Nikmati saja. Karena
Lampu temaram dari bangunan lain di luar sana merayap merayap masuk dan membuat jalur-jalur sinar di lorong gelap. Jendela buram yang mengisi kiri tembok memantulkan cahaya putih seram. Dengung mesin pendingin dari langit-langit lorong seakan ingin menuntut pertanggungan jawab kami atas tertumpahnya darah. Aku memimpin dengan langkah menyelinap. Sesekali, pandanganku berpaling ke jendela yang rupanya percuma dipandang karena buram—bagai tertutup kabut. Hawa dingin mencekik kulit. Kesunyian di tempat ini rasanya sanggup mengeringkan tulang karena membuat siapa pun merinding. Di areal ini, lampu memang padam demi menghemat sumber daya. Tak seorangpun yang lalu-lalang sebab memang lorong ini digunakan untuk menuju bangunan lain. Dan, kalau kau mau tahu, bangunan lain itu apa. Tidak ada pekerja—seperti kami—yang paham apa isi bangunan lain. Yang kami tahu, dan itupun hanya desas-desus, temp
Di musim dingin tahun lalu. Aku banyak membuang waktu dengan pria berdarah Asia. Dia menabur, dan aku menuai bibit cinta dari pertemuan yang, dilakukan berulang-ulang. Kami berdua bertukar gelas di malam Natal, bilang kalau ini adalah saat teristimewa. Pria itu—aku tahu—sangat mencintaiku sedemikian rupa. Dan kalau ditanya buktinya, dia membuang pekerjaan mapannya sebagai animator layanan-pendidikan demi hadir ke perencanaan Permainan Kunci. Awalnya begitu. Aku lugu saat mendengar dia membuang segala hal demi diriku. Nyatanya tidak. Dia sanggup memanipulasi emosi. Dan orang seperti itu adalah pribadi kelewat busuk yang tak akan mampu kau bayangkan. Aku masih ingat kata terakhinya di malam tahun baru. “Aku ke sini bukan karena kau, aku cuma senang-senang. Lelaki mana yang sanggup seorang diri di tempat antah berantah.” Di malam yang sama. Masih musim dingin. Aku dan Sero berdiri te
Aku dan Sero dipanggil petugas setempat—dua jam selepas kejadian. Kami berangkat dari kafetaria dengan wajah murung. Aku tidak berniat mengubah air muka, tapi Sero yang nampak berpikir paling keras mulai terlihat tabiat kecemasannya. Dan sikapnya menular dengan segera saat kami digiring pria kurus-kekar ke lorong serba kelabu.“Kalian tahu apa yang terjadi, heh?” tanya si petugas tanpa menoleh.“Tahu,” sahut Sero sayu. “Kau mau bawa kami ke mana?” Tangan kiri Sero terkepal, lalu mengembang lagi.Mungkin saja dia tahu kalau petugas di depan kami memiliki senjata tersembunyi. Setahuku, memang begitu. Ada semacam pisau elektrik di sekitar tali ikat pinggangnya.Si petugas mengangkat topinya. “Kalau Tuan tanya,” mulainya, “jawab sejujur-jujurnya.” Dia berhenti di samping pintu kecil, menekan tombol di sisinya cepat-cepat. “Kau!
Garrincha si pria jantan memberikanku kasurnya yang seempuk busa. Dia berbaring terlentang di lantai dingin. Dan biarpun sudah kupaksa—bahwa aku bisa tidur di mana pun—dia tetap kekeh. Kami berceloteh panjang lebar tanpa sekat canggung. Mungkin ini keahlian alamiku; dapat langsung melebur bersama orang baru dan dipercaya sepenuhnya. Garrincha menceritakan awal mula kariernya di sepakbola, yang kemudian runtuh karena gagal terpilihnya dia di tim nasional. Lalu cerita bergulir ke keluarga, tempat tinggal kami masing-masing, dan memutar kembali ke titik awal: sepakbola. “Awalnya teman-teman bilang kakiku mirip salah satu atlet lawas. Dan jadilah mereka menyebut-nyebutku Garrincha,” ujarnya santai. “Kalau kau? Kenapa tahu asal-usul Garrincha?” “Aku suka sejarah, sastra, dan seni. Kadang-kadang aku melukis. Aku hobi mencari asal-usul seseorang.” 
Garrincha tampil lebih bersih dan dia seketika berbalik saat mendengar pintu kututup. Pria di depanku adalah makhluk lain. Dia bukan Garrincha yang terseok-seok dengan muka kusam di Arena. Juga bukan Garrincha yang setengah telanjang di lift. Kini dirinya memakai kaus-kerah berwarna biru dan celana jins. Di tungkai kanannya, terbebat perban kusam yang digenangi cairan gelap-kemerahan. Rambutnya awut-awutan dan basah. Rahangnya nampak keras, juga daya tarik utamanya yaitu kaki kanan yang bengkok—terlihat lebih lurus dan sempurna. Tak terlalu kentara kalau ia seorang pria pendek yang cacat. Dia sempurna setelah mengubah penampilan. Atau jangan-jangan, bukan dirinya yang berjasa penuh melainkan para perawat yang punya selera fashion bagus. Di ruang khusus Pemenang ini hanya ada satu kasur empuk bersih. Jendela buram yang tidak bisa dibuka-tutup. Wastafel lengkap de
Erin.3 Januari. 06.05. Pemenang tahun ini berbeda dari kebanyakan peserta yang kutemui. Ya, kau harus tahu bahwa aku adalah pembimbing. Tugas pembinbing—kalau kau masih mau tahu—adalah mengawasi para Pemenang setelah lolos dari kejamnya Arena. Kenapa hal tersebut perlu dilakukan? Jawabannya sesingkat pertanyaan tadi. Karena mereka stres. Tak bisa disangkal, bahkan diragukan, bahwa para peserta mengalami penurunan kinerja fisik dan mental. Maka tak heran kalau banyak Pemenang yang perlahan-lahan meninggal tanpa sebab yang jelas. Kelompok Pembimbing mulai dibentuk saat Permainan Kunci ke-delapan digelar. Kebanyakan pemenang memang banyak yang meninggal dini. Maksudnya dini; mereka mati tak lama setelah menang. Bahkan ada yang seketika tewas selepas menginjakkan kaki di asrama. Keadaannya tidak bisa dijelaskan s
Garrincha.3 Januari. 00.01.Sentuhan panas menjalar memenuhi rusukku. Aku menahan lidah agar tidak menjerit. Tanganku menekan perut kanan yang dialiri cairan hangat kemerahan.Jemariku menggeletar seolah baru diangkat dari air es. Napasku memburu, dan berusaha kukontrol sebisa mungkin agar tetap normal.Paru-paru menjadi masalahku kini. Ada sensasi tertahan di dada, yang membuatku tertekan hingga kepalaku pening. Diikuti tatapan berair, dan bagian belakang mata panas terbakar.Tungkaiku berdenyut-denyut—rasanya seperti ditusuk jarum. Aku rebah. Entah berapa lama aku terbaring di tempat ini. Leherku tegang dan aku pernah mengalami hal serupa saat salah bantal. Namun aku tidak pernah benar-benar istirahat.Pinggangku seakan rontok. Belum pernah—sekalipun di lapangan—aku menderita separah ini.
Garrincha.2 Januari. 22.13. WIB. Hujan kembali turun dan diikuti hawa dingin yang menusuk kulit. Aku menerobos sesemakan. Langkahku tersendat-sendat karena tanah mulai basah. Aku mengendarkan pandangan. Padang semak setinggi pinggang terhampar sejauh mata memandang. Tidak ada obyek lain—hanya rumput. Ini gila. Seakan-akan Panitia sudah merubah Arena menjadi lautan semak dalam sekejap. Aku mengangkat kaki secara teratur. Kiri-kanan-kanan-kiri. Bulu halus di lenganku meremang akibat tergesek-gesek semak. Kenapa Arena mendadak berubah? Aku meludah, terbatuk, lalu tersandung kaki sendiri hingga hampir terjerembap. Tempurung lututku berdenyut karena jatuh mendadak. Tanganku menjejak tanah becek. Aku menghimpun kekuatan, dan segera bangkit dengan sekujur tubuh yang teramat lemas.&n
Garrincha.2 Januari. 21.10. WIB.Mataku tercelik dan sel-sel tubuhku mendadak terjaga. Aku meloncat pergi dan menerjang semak-semak sebelum kehadiranku dikenali.Bunyi kaki tersaruk-saruk dari kedalaman pohon rimbun menjadikan suasana dicekam ketegangan yang panas. Aku mengusap sisa air mata, menarik napas panjang, lalu memfokuskan diri untuk menghadapi ancaman baru. Bunyi “srekkk” yang tajam membuat jantungku terpompa. Aku menunduk, membiarkan sedikit kepalaku tersisa agar dapat mengintip.Di depan sana, tepat di bawah naungan pepohonan. Lelaki berbadan pendek dengan lutut tertekuk tengah bersandar.Di sekitaran betisnya ada segumpal tanah liat yang membungkus hingga telapak kaki.Badan orang itu benar-benar pendek, mungkin hanya sebahuku. Namun tubuhnya berisi. Dan dari jalannya, jelas kalau pemuda ini semacam pa