Para Pencari Kunci

Para Pencari Kunci

last updateLast Updated : 2021-12-23
By:  Yeremia JassonOngoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Not enough ratings
32Chapters
2.9Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Synopsis

Delapan tahun sekali. Di satu Januari yang bersih. Permainan Kunci digelar. 16 regu terbaik dipanggil. Kunci dilempar, permainan dimulai, dan pemenang hanya “satu”

View More

Chapter 1

/1/

Hughes

1 Januari. 10.00 WIB.

Di saat seluruh penduduk merayakan pergantian tahun. Kami tidak bisa berbuat apa-apa.

Petasan menggelegar, kembang api memancar. Dan kami hanya duduk dengan kikuk seperti kambing yang hendak dijagal. Semuanya terasa muram di ruang karantina.

Mungkin, sesekali ada juga orang sinting yang masih bisa cengar-cengir dan bergerak ke sana-kemari seperti hiperaktif. Tapi itu hanya si rambut ungu.

Kami sekarang berdiri berdempetan. Di sebuah ruangan kelabu dengan lift teronggok di hadapan kami. Semuanya mematung dengan perasaan yang sulit diungkapkan.

Sebagian peserta memisahkan diri dari rombongan, berdiskusi di sudut ruangan dengan rekan satu regu. Melempar tatapan suram ke lift, dan menanti para penjaga yang tak kunjung datang.

Aku tidak tahu perasaan menegangkan ini datang sejak kapan. Tapi semuanya memang tampak waswas, seolah uang 100 juta yang telah kami pegang, tidak berarti lagi saat harus memasuki lift dan memulai semuanya.

Ronal menyenggol rusukku. Dia pemuda berambut gelap dengan hidung bengkok, matanya kotor karena terpapar banyaknya polusi. 

“Nomor kita berapa?” Suaranya datar, tetapi sedikit bergetar. Matanya berair karena dia terus menerus menguap, merasa gugup dan tegang akan membuat kau mengantuk.

Kami di urutan ke 16; regu terakhir, yang akan masuk ke lift dan berangkat setelah ruang tunggu melompong.

Peserta lain telah sempurna memencar dan menjaga jarak. Hanya kami yang tetap bergeming sejak awal kedatangan. Ada sepasang kekasih—karena mereka sering meremas tangan satu sama lain—di tengah ruangan yang sibuk berbisik-bisik.

Di lain tempat, dekat dengan pintu masuk yang telah terkunci. Perempuan berambut ungu dan rekannya, pria berdarah asia dengan rambut lepek saling bertukar senyum. Mereka bercanda. Di saat-saat seperti ini.

Perempuan ungu itu menyusupkan satu tangannya ke saku, dia mengendikkan dagu ke semua peserta, lalu berhenti saat mata kami bersitatap.

Kuperhatikan wajahnya, dia juga ikut mengamati. Rambut perempuan itu sebahu, matanya kelabu, bibir mulus, dan tubuh semampai.

Dia golongan elite. Karena biasanya orang-orang kaya sangat senang mencorak-coraki rambut dengan warna nyentrik yang cenderung norak.

Detak sepatu terdengar dari pintu di sebelah timur yang langsung membuka.

Tiga penjaga dengan seragam hitam tanpa ekspresi memasuki ruangan. Mereka memegang senapan kejut yang siap menyambar jika ada peserta yang macam-macam. 

Pria yang paling depan mengecangkan pegangangan di senjata. Dia berhenti, memunggungi lift, diikuti anak buahnya yang bersiaga.

Matanya berwarna kuning-karat dan tampak malas. Dia menyisir ruangan sekejap, lalu berkata dengan suara seperti guru pemurung. “Kalian sudah tahu aturan main?" 

Semua peserta—atau mungkin sebagian, mengangguk kaku.

Si pria berputar, para penjaga lain menyebar. Pria jantan itu berhenti di depan lift, menekan-nekan tombol yang hanya bisa dirinya mengerti, lalu bergeser ke samping dua langkah. Pintu lift berdesis, asap menguar. Suara berdentang membuat Ronal terkejat.

Kami memerhatikan proses yang rasanya panjang itu sambil membisu. Bahkan si wanita ungu—yang entah mengapa seperti magnet bagiku, mengatupkan mulut dan memasang air muka waspada.

Pintu lift terbuka lambat-lambat. Tidak ada apa-apa di dalamnya, jangan kau harapkan apa pun.

Si pria penjaga menggantung senapannya di satu tangan. Sekonyong-konyong,  suara robot mengaung memenuhi ruang tunggu.

“Nomor satu. Samantha Black. Kim Huang.”

Si rambut ungu, yang bernama Samantha, melenggang maju, ranselnya berayun-ayun seiring langkahnya. Mereka berhenti di samping penjaga yang masih muda, disuntik sesuatu, dan dipersilakan lewat.

Kelompok pertama itu masuk, belum sempat mereka membalikkan badan, lift tertutup dan terangkat dengan gerakan menyentak.

Keheningan merambati ruang tunggu selama beberapa menit.

Ronal memecahkan tegangnya suasana lebih dulu. “Kau lihat kuncinya, kan? Aku lupa, men.”

Aku mengangguk, berusaha mengingat siaran langsung pelemparan kunci di ruang tunggu pertama.

“Kita ke hutan kegelapan," kataku, "jatuhnya kunci itu di sekitaran danau ... semoga saja benar.”

Dia tertawa gugup. “Sebenarnya kalau kau tak lihat pun tak ada masalah. Aku ada rencana yang lebih baik daripada mencari kunci sampai mati.”

Aku tak menjawab karena lift kembali turun, sepasang kekasih tadi, yang rupanya bernama Hendro dan Andrea, menerima suntikan dan akhirnya berangkat.

Kami memandang bersamaan pada lelaki dengan kaki kiri bengkok yang berjalan mendekat. Biarpun berkaki bengkok, langkahnya tetap mantap dan tanpa ragu. Dia berhenti di hadapan kami. Mengulurkan tangan. Kulit orang itu  kemerah-metahan karena terpanggang matahari, dia tersenyum.

“Garrincha.”

Ronal menjabat tangan lelaki bernama aneh itu. Bukan aneh, tapi aku serasa pernah mendengarnya. Nama yang terasa kuno, dan sudah sangat pudar. Entah kapan aku mendengarnya.

Aku bersalaman dengannya seperti sahabat yang telah lama berpisah. Garrincha regu delapan, dia bersama seorang pria yang bernama Pedro.

“Apa pekerjaanmu, Hughes?” katanya setelah bersender di tembok di sampingku.

“Portir di pelabuhan. Dan kau sendiri?"

Garrincha termenung sebentar saat lift turun dan mengangkat peserta baru. “Aku atlet sepak bola. Pedro juga.” Dia menyentakkan ibu jari ke arah pria berwajah keras dengan rambut lurus. Pedro berdiri tegap dengan lengan disilingkan, seperti pelatih yang mengamati para pemainnya di lapangan hijau.

Aku baru ingat. “Garrincha. Nama pesepakbola ... Brazil,” gumamku.

Si kaki bengkok tergelak, dia menepuk bahuku dua kali. Kami cepat akrab, mungkin itu kelebihan atlet sepak bola. “Itu julukanku, bung. Kau tahu juga rupanya.”

Ronal menyahut, “Itu pemain lama. Bahkan kakekku bahkan belum lahir.”

Garrincha mengusap wajahnya, dia tersenyum lebar. “Teman-teman memanggilku seperti itu karena kakiku. Tapi itulah kelebihannya, kan?”

“Ya, ya,” kata Ronal, “aku sering lihat permainanmu. Makanya aku seperti familiar saat kau di sini ... lalu kenapa kau ikutan ini tuan Garrincha?”

“Hiburan,” sahut si atlet, “kami tidak lolos seleksi timnas, dan akhirnya mengikuti permainan ini.” Dia hendak tertawa, tapi mendongak saat suara robot di langit-langit memanggil antrian ke tujuh.

“Ini bukan hiburan, kaki bengkok,” sindir Ronal.

Garrincha tidak tersinggung. “Aku tahu, dan kenapa kau  mengurusi masalah kami?” Nadanya santai, tapi lelaki itu menyeringai. 

Ronal memundurkan tubuh. “Kau menarik. Semoga kita bertemu di arena secepatnya.”

Percakapan mereka terputus karena Pedro ikut bergabung. Kami bersalaman, bertukar nama dan informasi: Pedro menceritakan kegiatannya di lapangan bersama Garrincha, dan masalah remeh-temeh lainnya sampai dua atlet itu dipanggil suara robot.

“Kami pergi dulu.” Pedro mengendikkan alis, dan berlalu ke arah lift. Bahkan pria itu lebih tinggi dari penjaga yang menyuntiknya. Terlihat sekali siapa yang berlatih keras dan hanya menerima gaji buta.

Keheningan menyelimuti ruang tunggu lagi sampai lift itu benar-benar terangkat. Tidak ada peserta yang menarik perhatianku di tempat itu setelah kepergian si rambut ungu dan Garrincha.

Jadi kami menunggu dalam diam sampai tak terasa nomor panggilan telah sampai di urutan empat belas.

Tersisa satu regu lagi yang menemani kami di ruang tunggu. Kuasumsikan mereka adalah kakak-beradik, sang kakak, pemuda berkulit pucat dengan rambut mengembang, sibuk berbisik-bisik pada adik perempuannya.

Bagaimana aku tahu mereka bersaudara? Karena wajah mereka mirip, lah. Tapi kekasih yang telah lama menjalin hubungan juga terkadang memiliki wajah kembar; biarlah. Aku tak tahu mereka itu siapa.

Si kakak memutar lehernya dan berhenti saat memandang kami. Dia mengangguk sopan, dan Ronal membalas anggukan itu.

“Ernest,” katanya, lebih lantang dari yang kuduga. Perawakannya jangkung, kaki ramping, wajah masih sangat polos—belum terbakar matahari dan terkena besi karat, mungkin baru lulus SMA. Dia memperkenalkan adiknya yang bernama Eve, yang malah menatap kami sinis. “Mohon bantuannya di arena nanti, Pak.”

“Berapa umurmu?" gertak Ronal.

Ernest tampak linglung, seperti habis dihantam seseorang. “Delapan belas.”

“Aku juga delapan belas. Jangan panggil aku ‘Pak'.”

Ernest membentuk tanda maaf memakai tangannya, sang adik menarik kakaknya pergi karena nama mereka dipanggil. Setelah melakukan proses sebentar, kedua anak muda itu akhirnya sirna ditelan lift.

“Sialan bocah itu!” Ronal memaki.

“Tenang saja. Kita harus bermain tenang di tempat ini.” Aku berharap perkataan itu bisa membuatku tenang. Tapi nyatanya tidak, aku hanya pandai menasihati orang. Namun keraguan dan ketakutan juga mencengkam paru-paruku hingga terasa sesak.

Lift turun, dan tekanan di paru-paruku lepas. Kami melangkah ke depan tanpa dipanggil, bahkan suara robot tak bersuara lagi saat kami berdua selesai disuntik.

Si pria penjaga di samping lift mengatakan “selamat berjuang”. Dia memencet-mencet tombol saat kami di lift. Dan tak lama kemudian, pintu terbanting, besi berkerit, dan kami melambung pergi.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
32 Chapters
/1/
Hughes1 Januari. 10.00 WIB. Di saat seluruh penduduk merayakan pergantian tahun. Kami tidak bisa berbuat apa-apa.   Petasan menggelegar, kembang api memancar. Dan kami hanya duduk dengan kikuk seperti kambing yang hendak dijagal. Semuanya terasa muram di ruang karantina.   Mungkin, sesekali ada juga orang sinting yang masih bisa cengar-cengir dan bergerak ke sana-kemari seperti hiperaktif. Tapi itu hanya si rambut ungu.   Kami sekarang berdiri berdempetan. Di sebuah ruangan kelabu dengan lift teronggok di hadapan kami. Semuanya mematung dengan perasaan yang sulit diungkapkan.   Sebagian peserta memisahkan diri dari rombongan, berdiskusi di sudut ruangan dengan rekan satu regu. Melempar tatapan suram ke lift, dan menanti para penjaga yang tak kunjung datang.   Aku tidak tahu perasaan menegangkan ini datang sejak kapan. Tapi semuanya memang tampak waswas, seolah uan
last updateLast Updated : 2021-07-02
Read more
/2/
Ronal1 Januari 11.30 WIB.  Lift membawa kami dan terasa tak ada habisnya. Ruangan di dalamnya pengap dan apak, sangat sempit, bahkan kau tidak bisa terlentang dengan kaki lurus di dalam situ.   Hawa menurun saat lift mulai bergoncang, terasa sentakan-sentakan kasar, besi berdenting, dan suara mesin mendesis dari lantai.   Mungkin kami akan didamparkan ke dataran tinggi. Tapi aku berharap untuk mendarat di hutan kegelapan. Aku melihat siaran langsung pelemparan kunci—karena para peserta memang diwajibkan menonton, tapi ingatanku buruk. Aku lupa kunci itu tertanam di mana. Namun setelah Hughes ingatkan, pikiranku mulai berkumpul dan memang benar kunci itu berada di hutan kegelapan. Kami tidak mau bermain seperti orang bodoh dan gegabah, rencana yang kubuat akan terlihat jenius—kalau tidak ada peserta lain yang memakainya.   Jenius di kamusku itu berbeda. Tidak seperti orang kebanyakan.  
last updateLast Updated : 2021-07-02
Read more
/3/
Samantha1 Januari 13.48 WIB. Pergerakan para peserta sangat waspada dan tidak liar. Mereka tahu permainan ini lebih menekankan kesabaran. Jadi kami sedikit bosan saat tidak ada satupun semut—maksudku peserta, yang bisa diinjak-injak. Kim bergerak kasak-kusuk daritadi, dia tidak kuat berada di kegelapan berlama-lama. Dan berkali-kali ingin menyalakan senter untuk menerangi jalan. Terkadang anak itu suka melanggar peraturan dan tidak mau mendengar nasihat. Tapi memang, hutan ini luas dan gelap. Berjalan dari ujung ke ujung mungkin akan memakan waktu lama.   Kim berjalan di belakangku, langkahnya tenang dan sabar, tidak seperti tadi. “Seharusnya kita bisa lebih cepat kalau tak berjalan tanpa tujuan.” Tak lama dia tertawa sendiri tanpa sebab seolah tengah terlintas hal lucu di benaknya.  “Mencari kunci atau membunuh semut?” Aku tidak berminat menjawab pernyataan sintingnya.
last updateLast Updated : 2021-07-02
Read more
/4/
Hughes 1 Januari 14.15 WIB Ronal terlonjak begitu mendengar ledakan senjata. Aku langsung mendekat dan tiarap di sampingnya.   Kami tidak bicara selama beberapa menit, suasana hening menyapu arena. Debar jantungku terasa bergemuruh. Bagaimana tidak, ada seseorang yang melanggar peraturan.      Ronal menarik diri menjauh, dia butuh sudut pandang yang lebih mantap. Tak lama kemudian, setelah memejam-mejamkan mata dan beringsut sana-sini, anak itu berkata, “Di tengah sana,” katanya tenang, “ada yang membawa-bawa senter.”   Aku tidak bisa melihat apa pun, bahkan di posisi kami yang berada di lereng bukit dan langsung menghadap hutan. Para peserta masih bisa disembunyikan oleh rapatnya pepohonan, teropong Ronal yang menangkap pergerakan peserta adalah salah satu keajaiban di tempat ini.   “Siapa kira-kira? Kau lihat?”     Ronal mengangkat satu tang
last updateLast Updated : 2021-07-03
Read more
/5/
Garrincha.1 Januari. 15.49 WIB Pedro tidak bersuara sejak tadi. Kupikir dia tertidur karena terlalu bosan mengawasi keadaan dari atap. Memang suasana di tempat ini hening, ditambah nuansa yang kelam dan tenang semakin membuat semuanya membosankan. Tenang di tempat ini lain. Suasanya dapat membuatmu merinding dan bergidik, bahkan jika hanya sekadar mendengar langkah kaki.   Tidak ada dengkur hewan atau derik jangkrik, matahari tak sanggup menembus rapatnya dedaunan, tanah yang kami pijak berwarna legam, tidak bau dan sangat berdebu. Jika kau iseng menggesek kaki ke tanah, debu langsung bertebaran dan akan terdengar bunyi srek-srek. Letusan senapan beberapa jam lalu yang berasal dari arah jam 12 membuat kami siaga.   Bahkan Pedro sempat menarik pengaman senapannya hingga menghasilkan bunyi klik. Kami mengamati hutan yang tetap begitu saja dengan diam. Mungkin sebentar lagi ada orang yang menghambur keluar, berlari terengah-enga
last updateLast Updated : 2021-08-09
Read more
/6/
Ronal1 Januari. 16.01 WIB. Bunyi gemuruh senapan membuat Andrea berjengit dan kembali terisak. Sebenarnya bukan anak itu saja yang butuh dihibur, kami di sini sama sekali tidak tahu siapa yang menembak dan siapa yang dibunuh. Setelah kuawasi keadaan di kedalaman hutan cukup lama, semuanya kembali tenteram dan keadaan berangsur normal. Tidak ada tembakan, jeritan, atau pohon yang tiba-tiba roboh.   Jadi, selama itulah aku mengintai kedalaman hutan dan masih belum mendapatkan titik cerah. Kata Hendro, mungkin saja itu Samantha. Dia menembak asal-asalan demi membuat suasana kembali tegang. Tapi rasanya tidak, kalau kau jadi aku, coba bedakan masing-masing bunyi senapan yang dari tadi berbunyi. Kali ini lebih kecil dan mendesis, suaranya pun merambat melalui rapatnya pohon. Namun biarpun kecil, rasanya bunyi itu teramat sangat dekat dari tempat kami berlindung. Seakan-akan si penembak memang berniat membidik kami.     
last updateLast Updated : 2021-08-10
Read more
/7/
Ronal1 Januari. 18.58 WIB. Hendro dan Andrea tidur lebih awal karena mereka berjanji akan mengambil tugas jaga. Hughes tidak berani menyalakan api unggun karena akan memancing perhatian. Dan sedari tadi, tidak ada senter yang dihidupkan para peserta. Tenang saja, kita tunggu berapa lama mereka bertahan di selimut kegelapan.    Langkah kaki terseret dari samping membuat jantungku mencelus, aku segera bangkit, begitu juga Hughes yang langsung kalang-kabut.      Di depan, terpaut dua meter. Si rambut ungu dan rekannya berdiri dengan moncong senapan terarah sempurna.  Rekan si rambut ungu: seorang pria Asia yang kaku menodong senapannya ke dadaku. Pria itu memandang tanpa ekspresi seolah tidak berniat mengarahkan benda jahat itu ke tubuhku.   Si rambut ungu melangkah lebih dulu, kulit wajahnya yang pucat diterangi sinar bulan. Lalu si pria mengikuti dengan berjalan pendek, masi
last updateLast Updated : 2021-08-11
Read more
/8/
Samantha.1 Januari 20.18 WIB.   Aku berusaha mengotak Kim tapi tak dijawab. Anak itu melarikan diri ke bawah tanpa kabar setelah Hendro menyambar senapanku. Lengan Kim ditembus peluru, dia hanya sempat menjerit dan langsung melangkah lunglai ke bawah.   Begitu aku kembali siap, kulemparkan pisau lipat yang langsung menancap ke jantung Hendro. Pemuda itu terhuyung mundur—tak sempat menembak—lalu terbanting dengan darah mengalir memenuhi dadanya.  Andrea menjerit-jerit tak keruan dan langsung terbirit-birit ke kegelapan. Aku meraih senapan, mengejarnya secepat mungkin.  Kini aku terjebak di padang rumput sejauh mata memandang. Di kiriku masih terhampar rumput-rumput segar setinggi mata kaki. Sedangkan di kanan terdapat bukit yang lebih tinggi dan menjorok terlalu ke depan.   Andrea cukup gesit. Dia bisa sembunyi di tempat lapang seperti ini.    Derap kaki bergumu
last updateLast Updated : 2021-08-12
Read more
/9/
Ronal 1 Januari. 21.04 WIB.   Pikiranku kacau. Perutku terpelintir dan ada sebongkah makanan yang hendak keluar dari tenggorokan.   Aku tak sanggup membayangkan nasib Hendro, dan terlebih lagi, darah Kim yang terhambur. Aku ingat jelas semuanya. Jemariku yang menarik pelatuk, percikan api dari mulut senapan, lalu kepala Kim yang ambruk.   Terlebih-lebih, aku ingat warna cairan gelap yang membungkus tengkuk Kim.      Aku menahan bobot tubuh ke pohon, satu tanganku memegangi perut. Sentakan rasa mual kembali hadir. Biasanya aku tak selemah ini. Tapi melihat ceceran darah yang bisa ditampung gelas, akan membuat siapa saja mendadak lemas.    Langkah Hughes semakin pelan hingga akhirnya berhenti. “Kita istrirahat dulu kalau kau mau,” katanya.   Tiba-tiba aku teringat kunci. Dan bersyukur karena rasa asam di kerongkonganku mendadak cair kare
last updateLast Updated : 2021-08-16
Read more
/10/
Garrincha.1 Januari. 22.03 WIB.   Aku bergantian melirik tubuh Ernest yang kaku dan suar yang luar-biasa-terang. Kami kini berada di atap, berdempetan, dan bersembunyi di gelap.  Tubuh Ernest dijadikan Pedro sebagai peringatan. Jadi yang berniat mendekat, mereka bisa tahu kalau ada tubuh melintang dengan darah kering di sekitarnya.    Otot keras Pedro menempel di bahuku. Napas temanku itu teratur dan tenang. Luncuran suar membuatnya mengokang senapan.   “Orang gila lagi,” kata Pedro datar.    “Perang mulai menjalar,” gumamku.    Pedro menyeringai dengan lagaknya yang sinis. “Aku tahu, aku tahu. Kita tak perlu turun ke lapangan, sobatku. Kita lihat seberapa hebat kurcaci-kurcaci itu malam ini. Kau tahu, kita seperti timnas AS saat melawan Inggris. Tak diperhitungkan, tapi mematikan.” Menunggu rasanya memuakkan. Karena aku mengalaminy
last updateLast Updated : 2021-08-18
Read more
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status