Delapan tahun sekali. Di satu Januari yang bersih. Permainan Kunci digelar. 16 regu terbaik dipanggil. Kunci dilempar, permainan dimulai, dan pemenang hanya “satu”
View MoreLampu temaram dari bangunan lain di luar sana merayap merayap masuk dan membuat jalur-jalur sinar di lorong gelap. Jendela buram yang mengisi kiri tembok memantulkan cahaya putih seram. Dengung mesin pendingin dari langit-langit lorong seakan ingin menuntut pertanggungan jawab kami atas tertumpahnya darah. Aku memimpin dengan langkah menyelinap. Sesekali, pandanganku berpaling ke jendela yang rupanya percuma dipandang karena buram—bagai tertutup kabut. Hawa dingin mencekik kulit. Kesunyian di tempat ini rasanya sanggup mengeringkan tulang karena membuat siapa pun merinding. Di areal ini, lampu memang padam demi menghemat sumber daya. Tak seorangpun yang lalu-lalang sebab memang lorong ini digunakan untuk menuju bangunan lain. Dan, kalau kau mau tahu, bangunan lain itu apa. Tidak ada pekerja—seperti kami—yang paham apa isi bangunan lain. Yang kami tahu, dan itupun hanya desas-desus, temp
Di musim dingin tahun lalu. Aku banyak membuang waktu dengan pria berdarah Asia. Dia menabur, dan aku menuai bibit cinta dari pertemuan yang, dilakukan berulang-ulang. Kami berdua bertukar gelas di malam Natal, bilang kalau ini adalah saat teristimewa. Pria itu—aku tahu—sangat mencintaiku sedemikian rupa. Dan kalau ditanya buktinya, dia membuang pekerjaan mapannya sebagai animator layanan-pendidikan demi hadir ke perencanaan Permainan Kunci. Awalnya begitu. Aku lugu saat mendengar dia membuang segala hal demi diriku. Nyatanya tidak. Dia sanggup memanipulasi emosi. Dan orang seperti itu adalah pribadi kelewat busuk yang tak akan mampu kau bayangkan. Aku masih ingat kata terakhinya di malam tahun baru. “Aku ke sini bukan karena kau, aku cuma senang-senang. Lelaki mana yang sanggup seorang diri di tempat antah berantah.” Di malam yang sama. Masih musim dingin. Aku dan Sero berdiri te
Aku dan Sero dipanggil petugas setempat—dua jam selepas kejadian. Kami berangkat dari kafetaria dengan wajah murung. Aku tidak berniat mengubah air muka, tapi Sero yang nampak berpikir paling keras mulai terlihat tabiat kecemasannya. Dan sikapnya menular dengan segera saat kami digiring pria kurus-kekar ke lorong serba kelabu.“Kalian tahu apa yang terjadi, heh?” tanya si petugas tanpa menoleh.“Tahu,” sahut Sero sayu. “Kau mau bawa kami ke mana?” Tangan kiri Sero terkepal, lalu mengembang lagi.Mungkin saja dia tahu kalau petugas di depan kami memiliki senjata tersembunyi. Setahuku, memang begitu. Ada semacam pisau elektrik di sekitar tali ikat pinggangnya.Si petugas mengangkat topinya. “Kalau Tuan tanya,” mulainya, “jawab sejujur-jujurnya.” Dia berhenti di samping pintu kecil, menekan tombol di sisinya cepat-cepat. “Kau!
Garrincha si pria jantan memberikanku kasurnya yang seempuk busa. Dia berbaring terlentang di lantai dingin. Dan biarpun sudah kupaksa—bahwa aku bisa tidur di mana pun—dia tetap kekeh. Kami berceloteh panjang lebar tanpa sekat canggung. Mungkin ini keahlian alamiku; dapat langsung melebur bersama orang baru dan dipercaya sepenuhnya. Garrincha menceritakan awal mula kariernya di sepakbola, yang kemudian runtuh karena gagal terpilihnya dia di tim nasional. Lalu cerita bergulir ke keluarga, tempat tinggal kami masing-masing, dan memutar kembali ke titik awal: sepakbola. “Awalnya teman-teman bilang kakiku mirip salah satu atlet lawas. Dan jadilah mereka menyebut-nyebutku Garrincha,” ujarnya santai. “Kalau kau? Kenapa tahu asal-usul Garrincha?” “Aku suka sejarah, sastra, dan seni. Kadang-kadang aku melukis. Aku hobi mencari asal-usul seseorang.” 
Garrincha tampil lebih bersih dan dia seketika berbalik saat mendengar pintu kututup. Pria di depanku adalah makhluk lain. Dia bukan Garrincha yang terseok-seok dengan muka kusam di Arena. Juga bukan Garrincha yang setengah telanjang di lift. Kini dirinya memakai kaus-kerah berwarna biru dan celana jins. Di tungkai kanannya, terbebat perban kusam yang digenangi cairan gelap-kemerahan. Rambutnya awut-awutan dan basah. Rahangnya nampak keras, juga daya tarik utamanya yaitu kaki kanan yang bengkok—terlihat lebih lurus dan sempurna. Tak terlalu kentara kalau ia seorang pria pendek yang cacat. Dia sempurna setelah mengubah penampilan. Atau jangan-jangan, bukan dirinya yang berjasa penuh melainkan para perawat yang punya selera fashion bagus. Di ruang khusus Pemenang ini hanya ada satu kasur empuk bersih. Jendela buram yang tidak bisa dibuka-tutup. Wastafel lengkap de
Erin.3 Januari. 06.05. Pemenang tahun ini berbeda dari kebanyakan peserta yang kutemui. Ya, kau harus tahu bahwa aku adalah pembimbing. Tugas pembinbing—kalau kau masih mau tahu—adalah mengawasi para Pemenang setelah lolos dari kejamnya Arena. Kenapa hal tersebut perlu dilakukan? Jawabannya sesingkat pertanyaan tadi. Karena mereka stres. Tak bisa disangkal, bahkan diragukan, bahwa para peserta mengalami penurunan kinerja fisik dan mental. Maka tak heran kalau banyak Pemenang yang perlahan-lahan meninggal tanpa sebab yang jelas. Kelompok Pembimbing mulai dibentuk saat Permainan Kunci ke-delapan digelar. Kebanyakan pemenang memang banyak yang meninggal dini. Maksudnya dini; mereka mati tak lama setelah menang. Bahkan ada yang seketika tewas selepas menginjakkan kaki di asrama. Keadaannya tidak bisa dijelaskan s
Garrincha.3 Januari. 00.01.Sentuhan panas menjalar memenuhi rusukku. Aku menahan lidah agar tidak menjerit. Tanganku menekan perut kanan yang dialiri cairan hangat kemerahan.Jemariku menggeletar seolah baru diangkat dari air es. Napasku memburu, dan berusaha kukontrol sebisa mungkin agar tetap normal.Paru-paru menjadi masalahku kini. Ada sensasi tertahan di dada, yang membuatku tertekan hingga kepalaku pening. Diikuti tatapan berair, dan bagian belakang mata panas terbakar.Tungkaiku berdenyut-denyut—rasanya seperti ditusuk jarum. Aku rebah. Entah berapa lama aku terbaring di tempat ini. Leherku tegang dan aku pernah mengalami hal serupa saat salah bantal. Namun aku tidak pernah benar-benar istirahat.Pinggangku seakan rontok. Belum pernah—sekalipun di lapangan—aku menderita separah ini.
Garrincha.2 Januari. 22.13. WIB. Hujan kembali turun dan diikuti hawa dingin yang menusuk kulit. Aku menerobos sesemakan. Langkahku tersendat-sendat karena tanah mulai basah. Aku mengendarkan pandangan. Padang semak setinggi pinggang terhampar sejauh mata memandang. Tidak ada obyek lain—hanya rumput. Ini gila. Seakan-akan Panitia sudah merubah Arena menjadi lautan semak dalam sekejap. Aku mengangkat kaki secara teratur. Kiri-kanan-kanan-kiri. Bulu halus di lenganku meremang akibat tergesek-gesek semak. Kenapa Arena mendadak berubah? Aku meludah, terbatuk, lalu tersandung kaki sendiri hingga hampir terjerembap. Tempurung lututku berdenyut karena jatuh mendadak. Tanganku menjejak tanah becek. Aku menghimpun kekuatan, dan segera bangkit dengan sekujur tubuh yang teramat lemas.&n
Garrincha.2 Januari. 21.10. WIB.Mataku tercelik dan sel-sel tubuhku mendadak terjaga. Aku meloncat pergi dan menerjang semak-semak sebelum kehadiranku dikenali.Bunyi kaki tersaruk-saruk dari kedalaman pohon rimbun menjadikan suasana dicekam ketegangan yang panas. Aku mengusap sisa air mata, menarik napas panjang, lalu memfokuskan diri untuk menghadapi ancaman baru. Bunyi “srekkk” yang tajam membuat jantungku terpompa. Aku menunduk, membiarkan sedikit kepalaku tersisa agar dapat mengintip.Di depan sana, tepat di bawah naungan pepohonan. Lelaki berbadan pendek dengan lutut tertekuk tengah bersandar.Di sekitaran betisnya ada segumpal tanah liat yang membungkus hingga telapak kaki.Badan orang itu benar-benar pendek, mungkin hanya sebahuku. Namun tubuhnya berisi. Dan dari jalannya, jelas kalau pemuda ini semacam pa
Hughes1 Januari. 10.00 WIB. Di saat seluruh penduduk merayakan pergantian tahun. Kami tidak bisa berbuat apa-apa. Petasan menggelegar, kembang api memancar. Dan kami hanya duduk dengan kikuk seperti kambing yang hendak dijagal. Semuanya terasa muram di ruang karantina. Mungkin, sesekali ada juga orang sinting yang masih bisa cengar-cengir dan bergerak ke sana-kemari seperti hiperaktif. Tapi itu hanya si rambut ungu. Kami sekarang berdiri berdempetan. Di sebuah ruangan kelabu dengan lift teronggok di hadapan kami. Semuanya mematung dengan perasaan yang sulit diungkapkan. Sebagian peserta memisahkan diri dari rombongan, berdiskusi di sudut ruangan dengan rekan satu regu. Melempar tatapan suram ke lift, dan menanti para penjaga yang tak kunjung datang. Aku tidak tahu perasaan menegangkan ini datang sejak kapan. Tapi semuanya memang tampak waswas, seolah uan...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments