Share

Para Pencari Kunci
Para Pencari Kunci
Penulis: Yeremia Jasson

/1/

Penulis: Yeremia Jasson
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-02 11:46:12

Hughes

1 Januari. 10.00 WIB.

Di saat seluruh penduduk merayakan pergantian tahun. Kami tidak bisa berbuat apa-apa.

Petasan menggelegar, kembang api memancar. Dan kami hanya duduk dengan kikuk seperti kambing yang hendak dijagal. Semuanya terasa muram di ruang karantina.

Mungkin, sesekali ada juga orang sinting yang masih bisa cengar-cengir dan bergerak ke sana-kemari seperti hiperaktif. Tapi itu hanya si rambut ungu.

Kami sekarang berdiri berdempetan. Di sebuah ruangan kelabu dengan lift teronggok di hadapan kami. Semuanya mematung dengan perasaan yang sulit diungkapkan.

Sebagian peserta memisahkan diri dari rombongan, berdiskusi di sudut ruangan dengan rekan satu regu. Melempar tatapan suram ke lift, dan menanti para penjaga yang tak kunjung datang.

Aku tidak tahu perasaan menegangkan ini datang sejak kapan. Tapi semuanya memang tampak waswas, seolah uang 100 juta yang telah kami pegang, tidak berarti lagi saat harus memasuki lift dan memulai semuanya.

Ronal menyenggol rusukku. Dia pemuda berambut gelap dengan hidung bengkok, matanya kotor karena terpapar banyaknya polusi. 

“Nomor kita berapa?” Suaranya datar, tetapi sedikit bergetar. Matanya berair karena dia terus menerus menguap, merasa gugup dan tegang akan membuat kau mengantuk.

Kami di urutan ke 16; regu terakhir, yang akan masuk ke lift dan berangkat setelah ruang tunggu melompong.

Peserta lain telah sempurna memencar dan menjaga jarak. Hanya kami yang tetap bergeming sejak awal kedatangan. Ada sepasang kekasih—karena mereka sering meremas tangan satu sama lain—di tengah ruangan yang sibuk berbisik-bisik.

Di lain tempat, dekat dengan pintu masuk yang telah terkunci. Perempuan berambut ungu dan rekannya, pria berdarah asia dengan rambut lepek saling bertukar senyum. Mereka bercanda. Di saat-saat seperti ini.

Perempuan ungu itu menyusupkan satu tangannya ke saku, dia mengendikkan dagu ke semua peserta, lalu berhenti saat mata kami bersitatap.

Kuperhatikan wajahnya, dia juga ikut mengamati. Rambut perempuan itu sebahu, matanya kelabu, bibir mulus, dan tubuh semampai.

Dia golongan elite. Karena biasanya orang-orang kaya sangat senang mencorak-coraki rambut dengan warna nyentrik yang cenderung norak.

Detak sepatu terdengar dari pintu di sebelah timur yang langsung membuka.

Tiga penjaga dengan seragam hitam tanpa ekspresi memasuki ruangan. Mereka memegang senapan kejut yang siap menyambar jika ada peserta yang macam-macam. 

Pria yang paling depan mengecangkan pegangangan di senjata. Dia berhenti, memunggungi lift, diikuti anak buahnya yang bersiaga.

Matanya berwarna kuning-karat dan tampak malas. Dia menyisir ruangan sekejap, lalu berkata dengan suara seperti guru pemurung. “Kalian sudah tahu aturan main?" 

Semua peserta—atau mungkin sebagian, mengangguk kaku.

Si pria berputar, para penjaga lain menyebar. Pria jantan itu berhenti di depan lift, menekan-nekan tombol yang hanya bisa dirinya mengerti, lalu bergeser ke samping dua langkah. Pintu lift berdesis, asap menguar. Suara berdentang membuat Ronal terkejat.

Kami memerhatikan proses yang rasanya panjang itu sambil membisu. Bahkan si wanita ungu—yang entah mengapa seperti magnet bagiku, mengatupkan mulut dan memasang air muka waspada.

Pintu lift terbuka lambat-lambat. Tidak ada apa-apa di dalamnya, jangan kau harapkan apa pun.

Si pria penjaga menggantung senapannya di satu tangan. Sekonyong-konyong,  suara robot mengaung memenuhi ruang tunggu.

“Nomor satu. Samantha Black. Kim Huang.”

Si rambut ungu, yang bernama Samantha, melenggang maju, ranselnya berayun-ayun seiring langkahnya. Mereka berhenti di samping penjaga yang masih muda, disuntik sesuatu, dan dipersilakan lewat.

Kelompok pertama itu masuk, belum sempat mereka membalikkan badan, lift tertutup dan terangkat dengan gerakan menyentak.

Keheningan merambati ruang tunggu selama beberapa menit.

Ronal memecahkan tegangnya suasana lebih dulu. “Kau lihat kuncinya, kan? Aku lupa, men.”

Aku mengangguk, berusaha mengingat siaran langsung pelemparan kunci di ruang tunggu pertama.

“Kita ke hutan kegelapan," kataku, "jatuhnya kunci itu di sekitaran danau ... semoga saja benar.”

Dia tertawa gugup. “Sebenarnya kalau kau tak lihat pun tak ada masalah. Aku ada rencana yang lebih baik daripada mencari kunci sampai mati.”

Aku tak menjawab karena lift kembali turun, sepasang kekasih tadi, yang rupanya bernama Hendro dan Andrea, menerima suntikan dan akhirnya berangkat.

Kami memandang bersamaan pada lelaki dengan kaki kiri bengkok yang berjalan mendekat. Biarpun berkaki bengkok, langkahnya tetap mantap dan tanpa ragu. Dia berhenti di hadapan kami. Mengulurkan tangan. Kulit orang itu  kemerah-metahan karena terpanggang matahari, dia tersenyum.

“Garrincha.”

Ronal menjabat tangan lelaki bernama aneh itu. Bukan aneh, tapi aku serasa pernah mendengarnya. Nama yang terasa kuno, dan sudah sangat pudar. Entah kapan aku mendengarnya.

Aku bersalaman dengannya seperti sahabat yang telah lama berpisah. Garrincha regu delapan, dia bersama seorang pria yang bernama Pedro.

“Apa pekerjaanmu, Hughes?” katanya setelah bersender di tembok di sampingku.

“Portir di pelabuhan. Dan kau sendiri?"

Garrincha termenung sebentar saat lift turun dan mengangkat peserta baru. “Aku atlet sepak bola. Pedro juga.” Dia menyentakkan ibu jari ke arah pria berwajah keras dengan rambut lurus. Pedro berdiri tegap dengan lengan disilingkan, seperti pelatih yang mengamati para pemainnya di lapangan hijau.

Aku baru ingat. “Garrincha. Nama pesepakbola ... Brazil,” gumamku.

Si kaki bengkok tergelak, dia menepuk bahuku dua kali. Kami cepat akrab, mungkin itu kelebihan atlet sepak bola. “Itu julukanku, bung. Kau tahu juga rupanya.”

Ronal menyahut, “Itu pemain lama. Bahkan kakekku bahkan belum lahir.”

Garrincha mengusap wajahnya, dia tersenyum lebar. “Teman-teman memanggilku seperti itu karena kakiku. Tapi itulah kelebihannya, kan?”

“Ya, ya,” kata Ronal, “aku sering lihat permainanmu. Makanya aku seperti familiar saat kau di sini ... lalu kenapa kau ikutan ini tuan Garrincha?”

“Hiburan,” sahut si atlet, “kami tidak lolos seleksi timnas, dan akhirnya mengikuti permainan ini.” Dia hendak tertawa, tapi mendongak saat suara robot di langit-langit memanggil antrian ke tujuh.

“Ini bukan hiburan, kaki bengkok,” sindir Ronal.

Garrincha tidak tersinggung. “Aku tahu, dan kenapa kau  mengurusi masalah kami?” Nadanya santai, tapi lelaki itu menyeringai. 

Ronal memundurkan tubuh. “Kau menarik. Semoga kita bertemu di arena secepatnya.”

Percakapan mereka terputus karena Pedro ikut bergabung. Kami bersalaman, bertukar nama dan informasi: Pedro menceritakan kegiatannya di lapangan bersama Garrincha, dan masalah remeh-temeh lainnya sampai dua atlet itu dipanggil suara robot.

“Kami pergi dulu.” Pedro mengendikkan alis, dan berlalu ke arah lift. Bahkan pria itu lebih tinggi dari penjaga yang menyuntiknya. Terlihat sekali siapa yang berlatih keras dan hanya menerima gaji buta.

Keheningan menyelimuti ruang tunggu lagi sampai lift itu benar-benar terangkat. Tidak ada peserta yang menarik perhatianku di tempat itu setelah kepergian si rambut ungu dan Garrincha.

Jadi kami menunggu dalam diam sampai tak terasa nomor panggilan telah sampai di urutan empat belas.

Tersisa satu regu lagi yang menemani kami di ruang tunggu. Kuasumsikan mereka adalah kakak-beradik, sang kakak, pemuda berkulit pucat dengan rambut mengembang, sibuk berbisik-bisik pada adik perempuannya.

Bagaimana aku tahu mereka bersaudara? Karena wajah mereka mirip, lah. Tapi kekasih yang telah lama menjalin hubungan juga terkadang memiliki wajah kembar; biarlah. Aku tak tahu mereka itu siapa.

Si kakak memutar lehernya dan berhenti saat memandang kami. Dia mengangguk sopan, dan Ronal membalas anggukan itu.

“Ernest,” katanya, lebih lantang dari yang kuduga. Perawakannya jangkung, kaki ramping, wajah masih sangat polos—belum terbakar matahari dan terkena besi karat, mungkin baru lulus SMA. Dia memperkenalkan adiknya yang bernama Eve, yang malah menatap kami sinis. “Mohon bantuannya di arena nanti, Pak.”

“Berapa umurmu?" gertak Ronal.

Ernest tampak linglung, seperti habis dihantam seseorang. “Delapan belas.”

“Aku juga delapan belas. Jangan panggil aku ‘Pak'.”

Ernest membentuk tanda maaf memakai tangannya, sang adik menarik kakaknya pergi karena nama mereka dipanggil. Setelah melakukan proses sebentar, kedua anak muda itu akhirnya sirna ditelan lift.

“Sialan bocah itu!” Ronal memaki.

“Tenang saja. Kita harus bermain tenang di tempat ini.” Aku berharap perkataan itu bisa membuatku tenang. Tapi nyatanya tidak, aku hanya pandai menasihati orang. Namun keraguan dan ketakutan juga mencengkam paru-paruku hingga terasa sesak.

Lift turun, dan tekanan di paru-paruku lepas. Kami melangkah ke depan tanpa dipanggil, bahkan suara robot tak bersuara lagi saat kami berdua selesai disuntik.

Si pria penjaga di samping lift mengatakan “selamat berjuang”. Dia memencet-mencet tombol saat kami di lift. Dan tak lama kemudian, pintu terbanting, besi berkerit, dan kami melambung pergi.

Bab terkait

  • Para Pencari Kunci   /2/

    Ronal1 Januari 11.30 WIB. Lift membawa kami dan terasa tak ada habisnya. Ruangan di dalamnya pengap dan apak, sangat sempit, bahkan kau tidak bisa terlentang dengan kaki lurus di dalam situ. Hawa menurun saat lift mulai bergoncang, terasa sentakan-sentakan kasar, besi berdenting, dan suara mesin mendesis dari lantai. Mungkin kami akan didamparkan ke dataran tinggi. Tapi aku berharap untuk mendarat di hutan kegelapan. Aku melihat siaran langsung pelemparan kunci—karena para peserta memang diwajibkan menonton, tapi ingatanku buruk. Aku lupa kunci itu tertanam di mana. Namun setelah Hughes ingatkan, pikiranku mulai berkumpul dan memang benar kunci itu berada di hutan kegelapan. Kami tidak mau bermain seperti orang bodoh dan gegabah, rencana yang kubuat akan terlihat jenius—kalau tidak ada peserta lain yang memakainya. Jenius di kamusku itu berbeda. Tidak seperti orang kebanyakan.

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-02
  • Para Pencari Kunci   /3/

    Samantha1 Januari 13.48 WIB.Pergerakan para peserta sangat waspada dan tidak liar. Mereka tahu permainan ini lebih menekankan kesabaran. Jadi kami sedikit bosan saat tidak ada satupun semut—maksudku peserta, yang bisa diinjak-injak. Kim bergerak kasak-kusuk daritadi, dia tidak kuat berada di kegelapan berlama-lama. Dan berkali-kali ingin menyalakan senter untuk menerangi jalan. Terkadang anak itu suka melanggar peraturan dan tidak mau mendengar nasihat. Tapi memang, hutan ini luas dan gelap. Berjalan dari ujung ke ujung mungkin akan memakan waktu lama. Kim berjalan di belakangku, langkahnya tenang dan sabar, tidak seperti tadi. “Seharusnya kita bisa lebih cepat kalau tak berjalan tanpa tujuan.” Tak lama dia tertawa sendiri tanpa sebab seolah tengah terlintas hal lucu di benaknya.“Mencari kunci atau membunuh semut?” Aku tidak berminat menjawab pernyataan sintingnya.

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-02
  • Para Pencari Kunci   /4/

    Hughes1 Januari 14.15 WIB Ronal terlonjak begitu mendengar ledakan senjata. Aku langsung mendekat dan tiarap di sampingnya. Kami tidak bicara selama beberapa menit, suasana hening menyapu arena. Debar jantungku terasa bergemuruh. Bagaimana tidak, ada seseorang yang melanggar peraturan. Ronal menarik diri menjauh, dia butuh sudut pandang yang lebih mantap. Tak lama kemudian, setelah memejam-mejamkan mata dan beringsut sana-sini, anak itu berkata, “Di tengah sana,” katanya tenang, “ada yang membawa-bawa senter.” Aku tidak bisa melihat apa pun, bahkan di posisi kami yang berada di lereng bukit dan langsung menghadap hutan. Para peserta masih bisa disembunyikan oleh rapatnya pepohonan, teropong Ronal yang menangkap pergerakan peserta adalah salah satu keajaiban di tempat ini. “Siapa kira-kira? Kau lihat?” Ronal mengangkat satu tang

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-03
  • Para Pencari Kunci   /5/

    Garrincha.1 Januari. 15.49 WIB Pedro tidak bersuara sejak tadi. Kupikir dia tertidur karena terlalu bosan mengawasi keadaan dari atap. Memang suasana di tempat ini hening, ditambah nuansa yang kelam dan tenang semakin membuat semuanya membosankan. Tenang di tempat ini lain. Suasanya dapat membuatmu merinding dan bergidik, bahkan jika hanya sekadar mendengar langkah kaki. Tidak ada dengkur hewan atau derik jangkrik, matahari tak sanggup menembus rapatnya dedaunan, tanah yang kami pijak berwarna legam, tidak bau dan sangat berdebu. Jika kau iseng menggesek kaki ke tanah, debu langsung bertebaran dan akan terdengar bunyi srek-srek. Letusan senapan beberapa jam lalu yang berasal dari arah jam 12 membuat kami siaga. Bahkan Pedro sempat menarik pengaman senapannya hingga menghasilkan bunyi klik. Kami mengamati hutan yang tetap begitu saja dengan diam. Mungkin sebentar lagi ada orang yang menghambur keluar, berlari terengah-enga

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-09
  • Para Pencari Kunci   /6/

    Ronal1 Januari. 16.01 WIB. Bunyi gemuruh senapan membuat Andrea berjengit dan kembali terisak. Sebenarnya bukan anak itu saja yang butuh dihibur, kami di sini sama sekali tidak tahu siapa yang menembak dan siapa yang dibunuh. Setelah kuawasi keadaan di kedalaman hutan cukup lama, semuanya kembali tenteram dan keadaan berangsur normal. Tidak ada tembakan, jeritan, atau pohon yang tiba-tiba roboh. Jadi, selama itulah aku mengintai kedalaman hutan dan masih belum mendapatkan titik cerah. Kata Hendro, mungkin saja itu Samantha. Dia menembak asal-asalan demi membuat suasana kembali tegang. Tapi rasanya tidak, kalau kau jadi aku, coba bedakan masing-masing bunyi senapan yang dari tadi berbunyi. Kali ini lebih kecil dan mendesis, suaranya pun merambat melalui rapatnya pohon. Namun biarpun kecil, rasanya bunyi itu teramat sangat dekat dari tempat kami berlindung. Seakan-akan si penembak memang berniat membidik kami.

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-10
  • Para Pencari Kunci   /7/

    Ronal1 Januari. 18.58 WIB. Hendro dan Andrea tidur lebih awal karena mereka berjanji akan mengambil tugas jaga. Hughes tidak berani menyalakan api unggun karena akan memancing perhatian. Dan sedari tadi, tidak ada senter yang dihidupkan para peserta. Tenang saja, kita tunggu berapa lama mereka bertahan di selimut kegelapan. Langkah kaki terseret dari samping membuat jantungku mencelus, aku segera bangkit, begitu juga Hughes yang langsung kalang-kabut. Di depan, terpaut dua meter. Si rambut ungu dan rekannya berdiri dengan moncong senapan terarah sempurna. Rekan si rambut ungu: seorang pria Asia yang kaku menodong senapannya ke dadaku. Pria itu memandang tanpa ekspresi seolah tidak berniat mengarahkan benda jahat itu ke tubuhku. Si rambut ungu melangkah lebih dulu, kulit wajahnya yang pucat diterangi sinar bulan. Lalu si pria mengikuti dengan berjalan pendek, masi

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-11
  • Para Pencari Kunci   /8/

    Samantha.1 Januari 20.18 WIB. Aku berusaha mengotak Kim tapi tak dijawab. Anak itu melarikan diri ke bawah tanpa kabar setelah Hendro menyambar senapanku. Lengan Kim ditembus peluru, dia hanya sempat menjerit dan langsung melangkah lunglai ke bawah. Begitu aku kembali siap, kulemparkan pisau lipat yang langsung menancap ke jantung Hendro. Pemuda itu terhuyung mundur—tak sempat menembak—lalu terbanting dengan darah mengalir memenuhi dadanya. Andrea menjerit-jerit tak keruan dan langsung terbirit-birit ke kegelapan. Aku meraih senapan, mengejarnya secepat mungkin. Kini aku terjebak di padang rumput sejauh mata memandang. Di kiriku masih terhampar rumput-rumput segar setinggi mata kaki. Sedangkan di kanan terdapat bukit yang lebih tinggi dan menjorok terlalu ke depan. Andrea cukup gesit. Dia bisa sembunyi di tempat lapang seperti ini. Derap kaki bergumu

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-12
  • Para Pencari Kunci   /9/

    Ronal1 Januari. 21.04 WIB. Pikiranku kacau. Perutku terpelintir dan ada sebongkah makanan yang hendak keluar dari tenggorokan. Aku tak sanggup membayangkan nasib Hendro, dan terlebih lagi, darah Kim yang terhambur. Aku ingat jelas semuanya. Jemariku yang menarik pelatuk, percikan api dari mulut senapan, lalu kepala Kim yang ambruk. Terlebih-lebih, aku ingat warna cairan gelap yang membungkus tengkuk Kim. Aku menahan bobot tubuh ke pohon, satu tanganku memegangi perut. Sentakan rasa mual kembali hadir. Biasanya aku tak selemah ini. Tapi melihat ceceran darah yang bisa ditampung gelas, akan membuat siapa saja mendadak lemas. Langkah Hughes semakin pelan hingga akhirnya berhenti. “Kita istrirahat dulu kalau kau mau,” katanya. Tiba-tiba aku teringat kunci. Dan bersyukur karena rasa asam di kerongkonganku mendadak cair kare

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-16

Bab terbaru

  • Para Pencari Kunci   /6/

    Lampu temaram dari bangunan lain di luar sana merayap merayap masuk dan membuat jalur-jalur sinar di lorong gelap. Jendela buram yang mengisi kiri tembok memantulkan cahaya putih seram. Dengung mesin pendingin dari langit-langit lorong seakan ingin menuntut pertanggungan jawab kami atas tertumpahnya darah. Aku memimpin dengan langkah menyelinap. Sesekali, pandanganku berpaling ke jendela yang rupanya percuma dipandang karena buram—bagai tertutup kabut. Hawa dingin mencekik kulit. Kesunyian di tempat ini rasanya sanggup mengeringkan tulang karena membuat siapa pun merinding. Di areal ini, lampu memang padam demi menghemat sumber daya. Tak seorangpun yang lalu-lalang sebab memang lorong ini digunakan untuk menuju bangunan lain. Dan, kalau kau mau tahu, bangunan lain itu apa. Tidak ada pekerja—seperti kami—yang paham apa isi bangunan lain. Yang kami tahu, dan itupun hanya desas-desus, temp

  • Para Pencari Kunci   /5/

    Di musim dingin tahun lalu. Aku banyak membuang waktu dengan pria berdarah Asia. Dia menabur, dan aku menuai bibit cinta dari pertemuan yang, dilakukan berulang-ulang. Kami berdua bertukar gelas di malam Natal, bilang kalau ini adalah saat teristimewa. Pria itu—aku tahu—sangat mencintaiku sedemikian rupa. Dan kalau ditanya buktinya, dia membuang pekerjaan mapannya sebagai animator layanan-pendidikan demi hadir ke perencanaan Permainan Kunci. Awalnya begitu. Aku lugu saat mendengar dia membuang segala hal demi diriku. Nyatanya tidak. Dia sanggup memanipulasi emosi. Dan orang seperti itu adalah pribadi kelewat busuk yang tak akan mampu kau bayangkan. Aku masih ingat kata terakhinya di malam tahun baru. “Aku ke sini bukan karena kau, aku cuma senang-senang. Lelaki mana yang sanggup seorang diri di tempat antah berantah.” Di malam yang sama. Masih musim dingin. Aku dan Sero berdiri te

  • Para Pencari Kunci   /4/

    Aku dan Sero dipanggil petugas setempat—dua jam selepas kejadian. Kami berangkat dari kafetaria dengan wajah murung. Aku tidak berniat mengubah air muka, tapi Sero yang nampak berpikir paling keras mulai terlihat tabiat kecemasannya. Dan sikapnya menular dengan segera saat kami digiring pria kurus-kekar ke lorong serba kelabu.“Kalian tahu apa yang terjadi, heh?” tanya si petugas tanpa menoleh.“Tahu,” sahut Sero sayu. “Kau mau bawa kami ke mana?” Tangan kiri Sero terkepal, lalu mengembang lagi.Mungkin saja dia tahu kalau petugas di depan kami memiliki senjata tersembunyi. Setahuku, memang begitu. Ada semacam pisau elektrik di sekitar tali ikat pinggangnya.Si petugas mengangkat topinya. “Kalau Tuan tanya,” mulainya, “jawab sejujur-jujurnya.” Dia berhenti di samping pintu kecil, menekan tombol di sisinya cepat-cepat. “Kau!

  • Para Pencari Kunci   /3/

    Garrincha si pria jantan memberikanku kasurnya yang seempuk busa. Dia berbaring terlentang di lantai dingin. Dan biarpun sudah kupaksa—bahwa aku bisa tidur di mana pun—dia tetap kekeh. Kami berceloteh panjang lebar tanpa sekat canggung. Mungkin ini keahlian alamiku; dapat langsung melebur bersama orang baru dan dipercaya sepenuhnya. Garrincha menceritakan awal mula kariernya di sepakbola, yang kemudian runtuh karena gagal terpilihnya dia di tim nasional. Lalu cerita bergulir ke keluarga, tempat tinggal kami masing-masing, dan memutar kembali ke titik awal: sepakbola. “Awalnya teman-teman bilang kakiku mirip salah satu atlet lawas. Dan jadilah mereka menyebut-nyebutku Garrincha,” ujarnya santai. “Kalau kau? Kenapa tahu asal-usul Garrincha?” “Aku suka sejarah, sastra, dan seni. Kadang-kadang aku melukis. Aku hobi mencari asal-usul seseorang.” 

  • Para Pencari Kunci   /2/

    Garrincha tampil lebih bersih dan dia seketika berbalik saat mendengar pintu kututup. Pria di depanku adalah makhluk lain. Dia bukan Garrincha yang terseok-seok dengan muka kusam di Arena. Juga bukan Garrincha yang setengah telanjang di lift. Kini dirinya memakai kaus-kerah berwarna biru dan celana jins. Di tungkai kanannya, terbebat perban kusam yang digenangi cairan gelap-kemerahan. Rambutnya awut-awutan dan basah. Rahangnya nampak keras, juga daya tarik utamanya yaitu kaki kanan yang bengkok—terlihat lebih lurus dan sempurna. Tak terlalu kentara kalau ia seorang pria pendek yang cacat. Dia sempurna setelah mengubah penampilan. Atau jangan-jangan, bukan dirinya yang berjasa penuh melainkan para perawat yang punya selera fashion bagus. Di ruang khusus Pemenang ini hanya ada satu kasur empuk bersih. Jendela buram yang tidak bisa dibuka-tutup. Wastafel lengkap de

  • Para Pencari Kunci   /1/

    Erin.3 Januari. 06.05. Pemenang tahun ini berbeda dari kebanyakan peserta yang kutemui. Ya, kau harus tahu bahwa aku adalah pembimbing. Tugas pembinbing—kalau kau masih mau tahu—adalah mengawasi para Pemenang setelah lolos dari kejamnya Arena. Kenapa hal tersebut perlu dilakukan? Jawabannya sesingkat pertanyaan tadi. Karena mereka stres. Tak bisa disangkal, bahkan diragukan, bahwa para peserta mengalami penurunan kinerja fisik dan mental. Maka tak heran kalau banyak Pemenang yang perlahan-lahan meninggal tanpa sebab yang jelas. Kelompok Pembimbing mulai dibentuk saat Permainan Kunci ke-delapan digelar. Kebanyakan pemenang memang banyak yang meninggal dini. Maksudnya dini; mereka mati tak lama setelah menang. Bahkan ada yang seketika tewas selepas menginjakkan kaki di asrama. Keadaannya tidak bisa dijelaskan s

  • Para Pencari Kunci   BAGIAN 2

    Garrincha.3 Januari. 00.01.Sentuhan panas menjalar memenuhi rusukku. Aku menahan lidah agar tidak menjerit. Tanganku menekan perut kanan yang dialiri cairan hangat kemerahan.Jemariku menggeletar seolah baru diangkat dari air es. Napasku memburu, dan berusaha kukontrol sebisa mungkin agar tetap normal.Paru-paru menjadi masalahku kini. Ada sensasi tertahan di dada, yang membuatku tertekan hingga kepalaku pening. Diikuti tatapan berair, dan bagian belakang mata panas terbakar.Tungkaiku berdenyut-denyut—rasanya seperti ditusuk jarum. Aku rebah. Entah berapa lama aku terbaring di tempat ini. Leherku tegang dan aku pernah mengalami hal serupa saat salah bantal. Namun aku tidak pernah benar-benar istirahat.Pinggangku seakan rontok. Belum pernah—sekalipun di lapangan—aku menderita separah ini.

  • Para Pencari Kunci   /25/

    Garrincha.2 Januari. 22.13. WIB. Hujan kembali turun dan diikuti hawa dingin yang menusuk kulit. Aku menerobos sesemakan. Langkahku tersendat-sendat karena tanah mulai basah. Aku mengendarkan pandangan. Padang semak setinggi pinggang terhampar sejauh mata memandang. Tidak ada obyek lain—hanya rumput. Ini gila. Seakan-akan Panitia sudah merubah Arena menjadi lautan semak dalam sekejap. Aku mengangkat kaki secara teratur. Kiri-kanan-kanan-kiri. Bulu halus di lenganku meremang akibat tergesek-gesek semak. Kenapa Arena mendadak berubah? Aku meludah, terbatuk, lalu tersandung kaki sendiri hingga hampir terjerembap. Tempurung lututku berdenyut karena jatuh mendadak. Tanganku menjejak tanah becek. Aku menghimpun kekuatan, dan segera bangkit dengan sekujur tubuh yang teramat lemas.&n

  • Para Pencari Kunci   /24

    Garrincha.2 Januari. 21.10. WIB.Mataku tercelik dan sel-sel tubuhku mendadak terjaga. Aku meloncat pergi dan menerjang semak-semak sebelum kehadiranku dikenali.Bunyi kaki tersaruk-saruk dari kedalaman pohon rimbun menjadikan suasana dicekam ketegangan yang panas. Aku mengusap sisa air mata, menarik napas panjang, lalu memfokuskan diri untuk menghadapi ancaman baru. Bunyi “srekkk” yang tajam membuat jantungku terpompa. Aku menunduk, membiarkan sedikit kepalaku tersisa agar dapat mengintip.Di depan sana, tepat di bawah naungan pepohonan. Lelaki berbadan pendek dengan lutut tertekuk tengah bersandar.Di sekitaran betisnya ada segumpal tanah liat yang membungkus hingga telapak kaki.Badan orang itu benar-benar pendek, mungkin hanya sebahuku. Namun tubuhnya berisi. Dan dari jalannya, jelas kalau pemuda ini semacam pa

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status