Share

/4/

Penulis: Yeremia Jasson
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-03 15:47:16

Hughes 

1 Januari 14.15 WIB

Ronal terlonjak begitu mendengar ledakan senjata. Aku langsung mendekat dan tiarap di sampingnya.

Kami tidak bicara selama beberapa menit, suasana hening menyapu arena. Debar jantungku terasa bergemuruh. Bagaimana tidak, ada seseorang yang melanggar peraturan. 

   

Ronal menarik diri menjauh, dia butuh sudut pandang yang lebih mantap. Tak lama kemudian, setelah memejam-mejamkan mata dan beringsut sana-sini, anak itu berkata, “Di tengah sana,” katanya tenang, “ada yang membawa-bawa senter.”

Aku tidak bisa melihat apa pun, bahkan di posisi kami yang berada di lereng bukit dan langsung menghadap hutan. Para peserta masih bisa disembunyikan oleh rapatnya pepohonan, teropong Ronal yang menangkap pergerakan peserta adalah salah satu keajaiban di tempat ini.

“Siapa kira-kira? Kau lihat?” 

   

Ronal mengangkat satu tangan, rokok yang tak tersulut terselip di antara telunjuk dan jari tengahnya. Setelah menutup sebelah mata, dia berkata, “Salah satunya membawa senapan modern, pasti modern karena warnanya gelap-mengilat. Mereka bergerak lebih dalam, ada yang menjaga di luar. Ini masalah serius, bung, keadaanya seperti mau perang.” Ronal terdiam, jakunnya naik-turun.

Aku beringsut ke samping, memandang ke arah yang dituju Ronal. Sekonyong-konyong letupan senapan terdengar membahana sampai ke langit.

Ronal kali ini tidak terkejut, dia mengarahkan teropongnya ke sana-kemari. Tembak-menembak terjadi, suaranya yang menusuk telinga diikuti percikan-percikan api. Lengkingan seseorang mengoyak ketenangan, lalu hening. Tiba-tiba semuanya bungkam.

Aku mengatur tempo napas, dan tidak berani mengangkat wajah. Semuanya seperti kabut sekarang: samar-samar.  Membayangkan ada seseorang dengan dada dipenuhi lubang akibat peluru membuatku mual. Ditambah lagi dengan adanya kenyataan bahwa ada yang menyeludupkan senjata. Pertumpahan darah telah terjadi, itu pasti, teriakan melengking tadi adalah buktinya.

   

Ronal meludah, mulutnya menjepit rokok. “Sialan. Ada laki-laki yang terkapar di tengah jalan. Mayatnya diseret entah ke mana sekarang.”

 

Aku merangkak, melongok ke bawah. Posisi kami strategis, bisa mengamati keadaan arena seperti narator serba-tahu. Tapi masalahnya, teropong kami cuma satu, dan hutan begitu pekat.

 

“Ini membingungkan. Mereka melanggar peraturan,” gumamku.

“Bukan melanggar, siapa tahu ada senjata yang dibiarkan tergeletak di tengah hutan. Arena ini sinting, permainan ini gila, bahkan pembuat dan donaturnya memiliki otak miring. Tapi aku tidak mau munafik, aku juga bodoh karena rela mengikuti permainan ini.”

“Peraturan (1). Dilarang menodai permainan dengan senjata.”

Ronal meringis, namun dia tak menjawab.

Akumengulirkan pandangan ke area hutan yang terhampar luas. Kami menunggu tanpa kepastian, entah berapa lama lagi.

Ronal beranjak duduk, dia mengotak-atik sesuatu di teropongnya. Teropong itu keluaran terbaru, kami membobol toko seorang Tionghoa demi mengikuti rencana Ronal yang masih simpang-siur saat itu. Katanya, benda itu sangat berguna untuk rencana besarnya nanti. Bah, rencana besar apa. Kami sekarang tiarap dengan kaki kebas sembari mengintip-ngintip pergerakan musuh dari atas bukit. Berharap mendapatkan kunci dari cara ini. Aku tidak habis pikir.

“Para peserta yang berani bisa langsung mencari sumber suara dan ikut berperang. Yang pengecut...” Ronal terkekeh, dia mendekatkan teropong ke matanya. “Akan melarikan diri dan berkumpul di dataran tinggi sebentar lagi.”

   

“Semuanya bisa saja berkumpul,” sahutku. “Mereka tahu kalau kunci itu ada di tengah hutan, buat apa mereka lari ke pegunungan atau bukit.”

 

Ronal mengangkat bahu, dia tidak memandangku. “Banyak juga penakut di tempat ini, Hughes.”

     

“Termasuk kita?” 

Bibir Ronal melengkung naik.

     

Sinar mentari terasa hangat dan menenangkan tulang, tubuh kami seperti dipijat-pijat. Cuaca siang hari di arena memang menenangkan, dan rupanya kabar itu bukan desas-desus semata. Aku masih menunggu, kenapa belum ada penjaga yang keluar dan menghentikan permainan sementara. Apa peraturan itu dibuat untuk sengaja dilanggar.

 

Tidak ada pertikaian dan hal menarik lagi setelah adu-tembak terjadi. Jadi kami pergi untuk membuat api dan memasak air. Tak lama sesudahnya, kami meminum kopi sembari duduk-duduk menikmati kedamaian. Matahari terhalang awan, membuat cuaca mendung, angin sejuk bertiup tak karuan di sekitar kami. Tapi tetap suasana ini menyenangkan. Berbeda sekali dengan kondisi kami yang berpeluh semasa di pelabuhan.

Hutan kegelapan terlihat seperti batang-batang besi hitam dari sini, angin membuat pepohonan bergoyang dan daun-daun berkerisik. Sebenarnya tempat ini damai. Namun mengingat kami kemari bukan untuk bersantai, mulai membuatku dirasuki rasa waspada.

 

“Ada cahaya di sana.” Ronal menaruh cangkir ke tanah, kembali menelungkup, menarik teropong dan membidik ke arah jam 11. Memang ada seberkas cahaya kekuningan di sana, lalu padam secepat datangnya. Seakan-akan mereka telah tahu ada yang mengamati keadaan di hutan dari dataran tinggi sejak awal.

   

“Itu Garrincha dan Pedro. Mereka menjaga sesuatu,” kata temanku.

 

Aku tidak menjawab karena mendengar suara derap kaki di kejauhan. Aku memasang telinga sebentar, mendengarnya dengan bijak, dan beringsut ke samping Ronal. Dia memberi teropong, aku mengawasi keadaan dari benda kecil itu, melakukan close-up sejenak, dan tidak mendapati apa pun di arah jam 11 kecuali pohon hitam.

   

“Garrincha terburu-buru ... tenang saja, sekarang kita  tahu lokasi salah satu regu karena rencana geniusku.”

“Tahu dari mana?”

“Aku melihat si kaki bengkok menyalakan senter ... mereka ada di ... bilik! Sudah cukup! Sepertinya aku tahu rencana mereka.”

 

“Berjaga di bilik dan menunggu peserta pembawa kunci datang.” Aku mengangguk karena itu masuk akal. Kugerakkan teropong ke arah lain. Lalu terbesit ide di kepalaku: menyerang mereka diam-diam dan menguasai bilik. Tapi itu pasti sulit.  

 

Ronal tersenyum miring. “Mereka mendapat tempat yang lebih bagus dari kita. Awasi dia terus, Hughes! kita pastikan gerak-gerik peserta lain yang sedang mendekat atau melakukan gerakan seperti hendak mencari sesuatu. Setelah mereka berkumpul di depan bilik, bernegosiasi atau saling bunuh ... kita turun, lalu serang mereka saat lengah.” 

“Itu gampang kalau hanya dimulut,” tukasku. Anak muda memang lebih bersemangat dan berapi-api, tapi setelah berhadap-hadapan dengan keadaan nyata. Mereka ciut seperti tikus kehujanan. 

 

Ronal menepuk punggungku. “Jangan terlalu—“ Dia mendadak berdiri, aku ikut melompat dan berjaga karena terkejut. Terdengar langkah kaki terseret dari tempat kami mendaki.

Ronal bersiaga, aku hendak berjalan dan dia menahannya dengan lengan terentang.

 

“Jangan,” anak itu menggeleng. Pisau telah sempurna dia amankan di satu tangan.

Suara derap kaki semakin keras dan dekat, orang di ujung sana tengah bersusah payah untuk naik. Kepala seseorang lambat-laun mulai timbul, seorang pemuda berambut pendek dan, anak gadis.

 

Ronal menyembunyikan pisaunya di punggung.

Pemuda itu memapah si gadis, dan aku baru sadar jika mereka adalah sepasang kekasih yang sering kuamati di ruang karantina. Wajah si laki-laki lebih kotor seperti baru saja mengalami masa-masa berat, rambut kering bercabang, dan pacarnya lebih buruk: Rambut sebahu tampak kusut, baju kedodoran, dan wajah cemong. Mereka seperti suami-istri tunawisma yang telah lama tak disentuh air.

 

“Tolong kami,” desah si lelaki, “namaku Hendro, ini Andrea.” Napasnya tersengal dan tersendat-sendat, kaki kananya gemetar pelan. “Tolong,” ulangnya.

   

“Oke!” Ronal melangkah maju. Pisau itu masih berada di tangannya. “Jangan bergerak dulu!” bentaknya begitu melihat Andrea menangis pilu dan berjalan tertatih. 

 

Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku orang dewasa yang tolol, kehidupanku berbeda dibanding Ronal yang hampir setiap malam berkelahi dalam kondisi mabuk. Bahkan ditusuk parang pun dia tidak akan kesakitan jika dikuasai minuman keras. Sedangkan aku hanya menghabiskan waktu dengan buku dan barang-barang penumpang.

 

“Hughes,” Ronal menoleh, melemparkan pisau, aku menangkap dan nyaris menjatuhkannya. Ronal memandang dua sejoli itu lagi. “Perlihatkan isi tas kalian dulu, setelah itu letakkan di ujung sana. Baru kalian boleh mendekat dan kita minum-minum serta makan. Kau setuju?”

Hendro mengangguk, dia sudah mengalah sepenuhnya. Mereka membongkar-bongkar isi tas, menuangkannya ke tanah. Dan tidak ada barang menarik kecuali makanan kaleng, dan alat serba-guna yang bisa menjadi pisau dan gunting. Aku mengusulkan untuk membawa makanan kaleng itu serta pisau yang bisa ditukar-tukar menjadi gunting. Ronal menolak pisau itu dibawa-bawa, tapi akhirnya luluh setelah aku bercakap-cakap sebentar.

 

Proses itu selesai, Hendro membuang ransel mereka ke antara semak-semak. Lalu berjalan ragu-ragu.

“Tak apa, kemari saja,” kata Ronal yang menjejalkan rokok ke tepi bibirnya. Begitu Hendro mendekat, dia menawari sebatang rokok, dan mereka pun menghisapnya seperti sahabat.

 

Aku membuat api unggun, dan memasak air. Andrea duduk dengan lemah, anak itu menekuk lutut dan terus-terusan terisak. Hendro ada di sana setelah merokok, merangkul bahu pacarnya tanpa bisa berkata-kata lagi. Aku tidak tahu apa sebabnya mereka begitu. Jadi kusodorkan saja dua gelas air sambil menunggu inisiatif mereka bercerita.

Hendro memulai begitu mata kami bertemu, “Kami tidak bermaksud jahat. Awalnya aku mendarat di area pegunungan, lalu berjalan turun ... sebenarnya, Andrea hamil. Jadi aku dalam kesulitan karena dia tidak boleh lelah.”

 

 “Tak penting,” sela Ronal yang ikut nimbrung, “lanjutkan saja.”

 

“Kami menelusuri hutan kegelapan, memang tidak ada apa pun. Tapi dua orang itu mencegat kami dan menembak. Untung, tidak ada yang kena. Namun Andrea tergoncang.”

   

“Siapa yang menembak?” Aku menunggu jawabannya.

“Samantha dan rekannya dari kelompok satu.” Hendro mengendikkan bahu. “Aku tidak tahu nama temannya. Dan mereka terus-menerus mengejar kami tanpa ampun. Aku berhasil lari setelah ada bala bantuan ... Sebenarnya tak bisa disebut bala bantuan, itu hanya kebetulan peserta lain lewat dan ikut menembaki Samantha. Jadi kami memanfaatkan momen dan berhasil menyelinap pergi.”

   

Ronal tampak diam seribu bahasa. Dan setelah menyesap rokok, dia baru berkata, “Ada yang mati saat mereka baku-tembak, tapi aku tidak itu siapa ... gelap soalnya.”

“Kuharap itu Samantha!” Andrea menghardik, air matanya meleleh di pipi. “Dia gila! Perempuan sinting! Otak udang! Sialan bet..” Suaranya tertahan karena dia tersedu-sedu.

 

Hendro merangkul sang pacar. Andrea mulai tenang, dan bersender ke bahu kekasihnya. Sungguh, sebuah kisah cinta yang apik melebihi Romeo & Juliet.

   

Setelah kusuruh dua anak muda itu beristirahat, aku langsung mendekati Ronal. Kukatan bahwa ini gawat, Andrea hamil. Itu bohong atau bukan, kami tidak tahu. Tapi jika benar, ya, itu masalahnya. Ronal setuju untuk diam beberapa jam di tempat itu bersama mereka, lagipula Hendro menarik, katanya. Kami sudah setuju, dan mulai saat itu bergantian menjaga area hutan serta Hendro dan Andrea. 

Bab terkait

  • Para Pencari Kunci   /5/

    Garrincha.1 Januari. 15.49 WIB Pedro tidak bersuara sejak tadi. Kupikir dia tertidur karena terlalu bosan mengawasi keadaan dari atap. Memang suasana di tempat ini hening, ditambah nuansa yang kelam dan tenang semakin membuat semuanya membosankan. Tenang di tempat ini lain. Suasanya dapat membuatmu merinding dan bergidik, bahkan jika hanya sekadar mendengar langkah kaki. Tidak ada dengkur hewan atau derik jangkrik, matahari tak sanggup menembus rapatnya dedaunan, tanah yang kami pijak berwarna legam, tidak bau dan sangat berdebu. Jika kau iseng menggesek kaki ke tanah, debu langsung bertebaran dan akan terdengar bunyi srek-srek. Letusan senapan beberapa jam lalu yang berasal dari arah jam 12 membuat kami siaga. Bahkan Pedro sempat menarik pengaman senapannya hingga menghasilkan bunyi klik. Kami mengamati hutan yang tetap begitu saja dengan diam. Mungkin sebentar lagi ada orang yang menghambur keluar, berlari terengah-enga

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-09
  • Para Pencari Kunci   /6/

    Ronal1 Januari. 16.01 WIB. Bunyi gemuruh senapan membuat Andrea berjengit dan kembali terisak. Sebenarnya bukan anak itu saja yang butuh dihibur, kami di sini sama sekali tidak tahu siapa yang menembak dan siapa yang dibunuh. Setelah kuawasi keadaan di kedalaman hutan cukup lama, semuanya kembali tenteram dan keadaan berangsur normal. Tidak ada tembakan, jeritan, atau pohon yang tiba-tiba roboh. Jadi, selama itulah aku mengintai kedalaman hutan dan masih belum mendapatkan titik cerah. Kata Hendro, mungkin saja itu Samantha. Dia menembak asal-asalan demi membuat suasana kembali tegang. Tapi rasanya tidak, kalau kau jadi aku, coba bedakan masing-masing bunyi senapan yang dari tadi berbunyi. Kali ini lebih kecil dan mendesis, suaranya pun merambat melalui rapatnya pohon. Namun biarpun kecil, rasanya bunyi itu teramat sangat dekat dari tempat kami berlindung. Seakan-akan si penembak memang berniat membidik kami.

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-10
  • Para Pencari Kunci   /7/

    Ronal1 Januari. 18.58 WIB. Hendro dan Andrea tidur lebih awal karena mereka berjanji akan mengambil tugas jaga. Hughes tidak berani menyalakan api unggun karena akan memancing perhatian. Dan sedari tadi, tidak ada senter yang dihidupkan para peserta. Tenang saja, kita tunggu berapa lama mereka bertahan di selimut kegelapan. Langkah kaki terseret dari samping membuat jantungku mencelus, aku segera bangkit, begitu juga Hughes yang langsung kalang-kabut. Di depan, terpaut dua meter. Si rambut ungu dan rekannya berdiri dengan moncong senapan terarah sempurna. Rekan si rambut ungu: seorang pria Asia yang kaku menodong senapannya ke dadaku. Pria itu memandang tanpa ekspresi seolah tidak berniat mengarahkan benda jahat itu ke tubuhku. Si rambut ungu melangkah lebih dulu, kulit wajahnya yang pucat diterangi sinar bulan. Lalu si pria mengikuti dengan berjalan pendek, masi

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-11
  • Para Pencari Kunci   /8/

    Samantha.1 Januari 20.18 WIB. Aku berusaha mengotak Kim tapi tak dijawab. Anak itu melarikan diri ke bawah tanpa kabar setelah Hendro menyambar senapanku. Lengan Kim ditembus peluru, dia hanya sempat menjerit dan langsung melangkah lunglai ke bawah. Begitu aku kembali siap, kulemparkan pisau lipat yang langsung menancap ke jantung Hendro. Pemuda itu terhuyung mundur—tak sempat menembak—lalu terbanting dengan darah mengalir memenuhi dadanya. Andrea menjerit-jerit tak keruan dan langsung terbirit-birit ke kegelapan. Aku meraih senapan, mengejarnya secepat mungkin. Kini aku terjebak di padang rumput sejauh mata memandang. Di kiriku masih terhampar rumput-rumput segar setinggi mata kaki. Sedangkan di kanan terdapat bukit yang lebih tinggi dan menjorok terlalu ke depan. Andrea cukup gesit. Dia bisa sembunyi di tempat lapang seperti ini. Derap kaki bergumu

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-12
  • Para Pencari Kunci   /9/

    Ronal1 Januari. 21.04 WIB. Pikiranku kacau. Perutku terpelintir dan ada sebongkah makanan yang hendak keluar dari tenggorokan. Aku tak sanggup membayangkan nasib Hendro, dan terlebih lagi, darah Kim yang terhambur. Aku ingat jelas semuanya. Jemariku yang menarik pelatuk, percikan api dari mulut senapan, lalu kepala Kim yang ambruk. Terlebih-lebih, aku ingat warna cairan gelap yang membungkus tengkuk Kim. Aku menahan bobot tubuh ke pohon, satu tanganku memegangi perut. Sentakan rasa mual kembali hadir. Biasanya aku tak selemah ini. Tapi melihat ceceran darah yang bisa ditampung gelas, akan membuat siapa saja mendadak lemas. Langkah Hughes semakin pelan hingga akhirnya berhenti. “Kita istrirahat dulu kalau kau mau,” katanya. Tiba-tiba aku teringat kunci. Dan bersyukur karena rasa asam di kerongkonganku mendadak cair kare

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-16
  • Para Pencari Kunci   /10/

    Garrincha.1 Januari. 22.03 WIB. Aku bergantian melirik tubuh Ernest yang kaku dan suar yang luar-biasa-terang. Kami kini berada di atap, berdempetan, dan bersembunyi di gelap. Tubuh Ernest dijadikan Pedro sebagai peringatan. Jadi yang berniat mendekat, mereka bisa tahu kalau ada tubuh melintang dengan darah kering di sekitarnya. Otot keras Pedro menempel di bahuku. Napas temanku itu teratur dan tenang. Luncuran suar membuatnya mengokang senapan. “Orang gila lagi,” kata Pedro datar. “Perang mulai menjalar,” gumamku. Pedro menyeringai dengan lagaknya yang sinis. “Aku tahu, aku tahu. Kita tak perlu turun ke lapangan, sobatku. Kita lihat seberapa hebat kurcaci-kurcaci itu malam ini. Kau tahu, kita seperti timnas AS saat melawan Inggris. Tak diperhitungkan, tapi mematikan.” Menunggu rasanya memuakkan. Karena aku mengalaminy

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-18
  • Para Pencari Kunci   /11/

    Hughes.1 Januari. 23.16 WIB. “Kerusuhan 2023 menewaskan orang tuanya,” kata Ardian saat kutanya perihal orang tua Ishak. “Dia baca apa?” Ronal menyentakkan ibu jari ke arah Ishak. Ardian tak perlu menoleh untuk mengetahui keponakannya membaca apa. “Alkitab. Dia kuajari membaca. Sangat lamban, benar-benar lamban kalau soal baca-tulis. Tapi dia hebat berkebun dan menombak.” Eve berkata, “Aku tahu soal kerusuhan 23. Kakekku terkena imbasnya. Dia didepak dari pabrik kertas setelah isi pabrik dijarah.” Ardian menghela napas, membuat api lilin menari-nari. “Zaman gelap. Seharusnya pemerintah tak perlu membunuh aktivis malang itu.” “Dunia makin kacau,” kataku tanpa emosi. “Terutama permainan ini. Kita tidak tahu keburuntungan di tangan siapa.” Ardian menyeringai. “Jangan pesimis teman-teman, kita bermain pasif saja sampai saatnya benar-

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-20
  • Para Pencari Kunci   /12/

    Ronal.2 Januari. 03.40 WIB. Aku bermimpi soal ayah. Permah sekali, tangannya yang seukuran pipiku telak menghantam wajah ibu, setelahnya, aku dihajar habis-habisan dan disumpahi macam-macam. Akar pahit memang tertanam di hatiku karena orang tua itu. Seperti cerita klise kebanyakan. Hidup kami selayaknya dilabeli ‘tragis'. Tapi nyatanya tidak. Ibu diam-diam menjadi selingkuhan salah satu pemilik toko-bangunan di pinggir kota. Dia mendapat banyak uang dari permainan gelapnya, dari situlah kami bisa makan roti dan aku dapat sekolah. Ibuku memang cantik. Wajahnya oriental. Dan aku mendengarnya beberapa kali bergumam, soal betapa bodoh dirinya mau menikahi ayah. Ayah tak pernah mau tahu kenapa aku bisa sekolah. Hampir siang-malam pria itu main perempuan dan mabuk. Namun aku tahu, ayahku tak pernah meniduri perempuan selain ibu—karena dia pengecut. Kebejatan ibu terbongka

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-22

Bab terbaru

  • Para Pencari Kunci   /6/

    Lampu temaram dari bangunan lain di luar sana merayap merayap masuk dan membuat jalur-jalur sinar di lorong gelap. Jendela buram yang mengisi kiri tembok memantulkan cahaya putih seram. Dengung mesin pendingin dari langit-langit lorong seakan ingin menuntut pertanggungan jawab kami atas tertumpahnya darah. Aku memimpin dengan langkah menyelinap. Sesekali, pandanganku berpaling ke jendela yang rupanya percuma dipandang karena buram—bagai tertutup kabut. Hawa dingin mencekik kulit. Kesunyian di tempat ini rasanya sanggup mengeringkan tulang karena membuat siapa pun merinding. Di areal ini, lampu memang padam demi menghemat sumber daya. Tak seorangpun yang lalu-lalang sebab memang lorong ini digunakan untuk menuju bangunan lain. Dan, kalau kau mau tahu, bangunan lain itu apa. Tidak ada pekerja—seperti kami—yang paham apa isi bangunan lain. Yang kami tahu, dan itupun hanya desas-desus, temp

  • Para Pencari Kunci   /5/

    Di musim dingin tahun lalu. Aku banyak membuang waktu dengan pria berdarah Asia. Dia menabur, dan aku menuai bibit cinta dari pertemuan yang, dilakukan berulang-ulang. Kami berdua bertukar gelas di malam Natal, bilang kalau ini adalah saat teristimewa. Pria itu—aku tahu—sangat mencintaiku sedemikian rupa. Dan kalau ditanya buktinya, dia membuang pekerjaan mapannya sebagai animator layanan-pendidikan demi hadir ke perencanaan Permainan Kunci. Awalnya begitu. Aku lugu saat mendengar dia membuang segala hal demi diriku. Nyatanya tidak. Dia sanggup memanipulasi emosi. Dan orang seperti itu adalah pribadi kelewat busuk yang tak akan mampu kau bayangkan. Aku masih ingat kata terakhinya di malam tahun baru. “Aku ke sini bukan karena kau, aku cuma senang-senang. Lelaki mana yang sanggup seorang diri di tempat antah berantah.” Di malam yang sama. Masih musim dingin. Aku dan Sero berdiri te

  • Para Pencari Kunci   /4/

    Aku dan Sero dipanggil petugas setempat—dua jam selepas kejadian. Kami berangkat dari kafetaria dengan wajah murung. Aku tidak berniat mengubah air muka, tapi Sero yang nampak berpikir paling keras mulai terlihat tabiat kecemasannya. Dan sikapnya menular dengan segera saat kami digiring pria kurus-kekar ke lorong serba kelabu.“Kalian tahu apa yang terjadi, heh?” tanya si petugas tanpa menoleh.“Tahu,” sahut Sero sayu. “Kau mau bawa kami ke mana?” Tangan kiri Sero terkepal, lalu mengembang lagi.Mungkin saja dia tahu kalau petugas di depan kami memiliki senjata tersembunyi. Setahuku, memang begitu. Ada semacam pisau elektrik di sekitar tali ikat pinggangnya.Si petugas mengangkat topinya. “Kalau Tuan tanya,” mulainya, “jawab sejujur-jujurnya.” Dia berhenti di samping pintu kecil, menekan tombol di sisinya cepat-cepat. “Kau!

  • Para Pencari Kunci   /3/

    Garrincha si pria jantan memberikanku kasurnya yang seempuk busa. Dia berbaring terlentang di lantai dingin. Dan biarpun sudah kupaksa—bahwa aku bisa tidur di mana pun—dia tetap kekeh. Kami berceloteh panjang lebar tanpa sekat canggung. Mungkin ini keahlian alamiku; dapat langsung melebur bersama orang baru dan dipercaya sepenuhnya. Garrincha menceritakan awal mula kariernya di sepakbola, yang kemudian runtuh karena gagal terpilihnya dia di tim nasional. Lalu cerita bergulir ke keluarga, tempat tinggal kami masing-masing, dan memutar kembali ke titik awal: sepakbola. “Awalnya teman-teman bilang kakiku mirip salah satu atlet lawas. Dan jadilah mereka menyebut-nyebutku Garrincha,” ujarnya santai. “Kalau kau? Kenapa tahu asal-usul Garrincha?” “Aku suka sejarah, sastra, dan seni. Kadang-kadang aku melukis. Aku hobi mencari asal-usul seseorang.” 

  • Para Pencari Kunci   /2/

    Garrincha tampil lebih bersih dan dia seketika berbalik saat mendengar pintu kututup. Pria di depanku adalah makhluk lain. Dia bukan Garrincha yang terseok-seok dengan muka kusam di Arena. Juga bukan Garrincha yang setengah telanjang di lift. Kini dirinya memakai kaus-kerah berwarna biru dan celana jins. Di tungkai kanannya, terbebat perban kusam yang digenangi cairan gelap-kemerahan. Rambutnya awut-awutan dan basah. Rahangnya nampak keras, juga daya tarik utamanya yaitu kaki kanan yang bengkok—terlihat lebih lurus dan sempurna. Tak terlalu kentara kalau ia seorang pria pendek yang cacat. Dia sempurna setelah mengubah penampilan. Atau jangan-jangan, bukan dirinya yang berjasa penuh melainkan para perawat yang punya selera fashion bagus. Di ruang khusus Pemenang ini hanya ada satu kasur empuk bersih. Jendela buram yang tidak bisa dibuka-tutup. Wastafel lengkap de

  • Para Pencari Kunci   /1/

    Erin.3 Januari. 06.05. Pemenang tahun ini berbeda dari kebanyakan peserta yang kutemui. Ya, kau harus tahu bahwa aku adalah pembimbing. Tugas pembinbing—kalau kau masih mau tahu—adalah mengawasi para Pemenang setelah lolos dari kejamnya Arena. Kenapa hal tersebut perlu dilakukan? Jawabannya sesingkat pertanyaan tadi. Karena mereka stres. Tak bisa disangkal, bahkan diragukan, bahwa para peserta mengalami penurunan kinerja fisik dan mental. Maka tak heran kalau banyak Pemenang yang perlahan-lahan meninggal tanpa sebab yang jelas. Kelompok Pembimbing mulai dibentuk saat Permainan Kunci ke-delapan digelar. Kebanyakan pemenang memang banyak yang meninggal dini. Maksudnya dini; mereka mati tak lama setelah menang. Bahkan ada yang seketika tewas selepas menginjakkan kaki di asrama. Keadaannya tidak bisa dijelaskan s

  • Para Pencari Kunci   BAGIAN 2

    Garrincha.3 Januari. 00.01.Sentuhan panas menjalar memenuhi rusukku. Aku menahan lidah agar tidak menjerit. Tanganku menekan perut kanan yang dialiri cairan hangat kemerahan.Jemariku menggeletar seolah baru diangkat dari air es. Napasku memburu, dan berusaha kukontrol sebisa mungkin agar tetap normal.Paru-paru menjadi masalahku kini. Ada sensasi tertahan di dada, yang membuatku tertekan hingga kepalaku pening. Diikuti tatapan berair, dan bagian belakang mata panas terbakar.Tungkaiku berdenyut-denyut—rasanya seperti ditusuk jarum. Aku rebah. Entah berapa lama aku terbaring di tempat ini. Leherku tegang dan aku pernah mengalami hal serupa saat salah bantal. Namun aku tidak pernah benar-benar istirahat.Pinggangku seakan rontok. Belum pernah—sekalipun di lapangan—aku menderita separah ini.

  • Para Pencari Kunci   /25/

    Garrincha.2 Januari. 22.13. WIB. Hujan kembali turun dan diikuti hawa dingin yang menusuk kulit. Aku menerobos sesemakan. Langkahku tersendat-sendat karena tanah mulai basah. Aku mengendarkan pandangan. Padang semak setinggi pinggang terhampar sejauh mata memandang. Tidak ada obyek lain—hanya rumput. Ini gila. Seakan-akan Panitia sudah merubah Arena menjadi lautan semak dalam sekejap. Aku mengangkat kaki secara teratur. Kiri-kanan-kanan-kiri. Bulu halus di lenganku meremang akibat tergesek-gesek semak. Kenapa Arena mendadak berubah? Aku meludah, terbatuk, lalu tersandung kaki sendiri hingga hampir terjerembap. Tempurung lututku berdenyut karena jatuh mendadak. Tanganku menjejak tanah becek. Aku menghimpun kekuatan, dan segera bangkit dengan sekujur tubuh yang teramat lemas.&n

  • Para Pencari Kunci   /24

    Garrincha.2 Januari. 21.10. WIB.Mataku tercelik dan sel-sel tubuhku mendadak terjaga. Aku meloncat pergi dan menerjang semak-semak sebelum kehadiranku dikenali.Bunyi kaki tersaruk-saruk dari kedalaman pohon rimbun menjadikan suasana dicekam ketegangan yang panas. Aku mengusap sisa air mata, menarik napas panjang, lalu memfokuskan diri untuk menghadapi ancaman baru. Bunyi “srekkk” yang tajam membuat jantungku terpompa. Aku menunduk, membiarkan sedikit kepalaku tersisa agar dapat mengintip.Di depan sana, tepat di bawah naungan pepohonan. Lelaki berbadan pendek dengan lutut tertekuk tengah bersandar.Di sekitaran betisnya ada segumpal tanah liat yang membungkus hingga telapak kaki.Badan orang itu benar-benar pendek, mungkin hanya sebahuku. Namun tubuhnya berisi. Dan dari jalannya, jelas kalau pemuda ini semacam pa

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status