Garrincha.
1 Januari. 15.49 WIBPedro tidak bersuara sejak tadi. Kupikir dia tertidur karena terlalu bosan mengawasi keadaan dari atap. Memang suasana di tempat ini hening, ditambah nuansa yang kelam dan tenang semakin membuat semuanya membosankan. Tenang di tempat ini lain. Suasanya dapat membuatmu merinding dan bergidik, bahkan jika hanya sekadar mendengar langkah kaki.Tidak ada dengkur hewan atau derik jangkrik, matahari tak sanggup menembus rapatnya dedaunan, tanah yang kami pijak berwarna legam, tidak bau dan sangat berdebu. Jika kau iseng menggesek kaki ke tanah, debu langsung bertebaran dan akan terdengar bunyi srek-srek. Letusan senapan beberapa jam lalu yang berasal dari arah jam 12 membuat kami siaga.
Bahkan Pedro sempat menarik pengaman senapannya hingga menghasilkan bunyi klik. Kami mengamati hutan yang tetap begitu saja dengan diam. Mungkin sebentar lagi ada orang yang menghambur keluar, berlari terengah-engah dengan wajah atau tangan bersimbah darah.
Aku menghalau pikiran tersebut.
Pedro sesekali terbatuk, dia alergi debu, dan pertandingan tiga bulan lalu membuatnya gempor setengah mati. Memang nasib berkata lain, padahal Pedro salah satu pemain yang diunggulkan akan masuk ke timnas. Tapi ada salah satu wonderkid yang mencuri perhatian pelatih, dan kami—kalau bisa kusebut pemain senior—tersingkir begitu saja. Pelatih tidak suka melihatku bermain, mungkin karena kakiku cacat.
Aku mengalami kelainan, itu sesuatu yang tak kuanggap serius. Karena aku tak perlu belajar mengetahui sikap seseorang. Biasanya orang sangat berempati pada para “cacat”. Dan mungkin saja akan mendapat diskriminasi secara berlebihan jika kau adalah atlet—terutama sepakbola. Ini yang terjadi padaku sekarang, banyak atlet yang lebih mumpuni dan memiliki fisik bagaikan pasukan khusus. Sedangkan aku berbeda dari pemain kebanyakan. Ini bukan era saat Brazil masih menyimpan trofi Jules Rimet. Banyak anak-anak berbakat yang lahir di tahun serba-modern ini.
Pedro berang setelah mengetahui dirinya gagal tampil gemilang di ajang mayor karena bocah 19 tahun. Tapi belakangan ini para junior memang naik beberapa tingkat lebih maju ketimbang yang tua. Mereka fleksibel, bisa bergerak semaunya dan mempunyai tubuh yang segar. Banyak pemain senior yang tersingkir karena masuknya pemain muda. Itu hal yang wajar, anak muda sekarang sangat ambisius dan hasil kerja keras mereka terbukti.
Lamunanku pecah karena suara ranting berderak patah terdengar dari hutan. Aku mengangkat tubuh, berusaha menampakkan diri bahwa ada yang berjaga di tempat itu. Awalnya aku berharap akan ada dua orang, atau satu, dengan tangan penuh darah sambil meminta pertolongan. Dan yang keluar malah bocah berwajah mulus itu: Ernest.
Dia hanya menyampirkan satu tali ransel ke bahu, rambutnya yang luurus sedikit acak-acakan. Wajahnya datar, tetapi akan nampak kalau dia sebenarnya tegang. Satu tangannya diselipkan ke saku, sepatunya penuh tanah kering, dan ujung celananya dilipat dua kali hingga menampakkan kaus kaki kelabu di dalam situ. Anak itu datang sendiri, dan bisa jadi sedang memegang sesuatu—pistol atau pisau—di sakunya.
Tapi dugaan itu patah karena Ernest mengeluarkan tangannya dari dalam saku.
“Kau berjaga di sini?” Ernest menyentakkan dagu ke arah bilik yang kupungungi.
“Tidak ada yang bisa lewat kalau aku di sini.” Dari atap mulai terdengar pergerakan. Aku melanjutkan dengan santai demi meredam gesekan Pedro di atap, “Kau membawa kunci? Atau hanya menemukan tempat ini tanpa sengaja?”
Ernest menggeleng. “Aku tidak membawa apa-apa, hanya menunggu adikku buang air kecil.” Dia terdiam, merenung. “Kau sendiri? Di mana rekanmu? Buang air kecil juga?”
Aku mengangkat bahu. “Dia tidak kembali setelah ada yang menembak dari tengah hutan.”
“Kemana dia kira-kira?”
“Berjalan-jalan sebentar mencari buah yang bisa dipetik. Kuharap bukan dia yang ditembak.”Ernest mengangguk. Dia waspada, sangat terlihat dari sikapnya. “Kenapa mereka berani melanggar peraturan. Apa kau ada nama yang bisa dituduh atas kejadian ini, sobat?”
“Peraturan soal senjata memang dibuat untuk dilanggar, dari dulu sudah begitu. Tidak pernah diambil pusing oleh penyelenggara.”
Ernest berjalan maju, lalu berhenti. Jarak kami terpaut delapan langkah. “Permainan ini diadakan delapan tahun sekali, lebih lama dari piala dunia, sampai-sampai Ibuku tak ingat kalau ada acara sejenis ini.”
“Ya. Aku juga tidak terlalu ingat jika kita punya permainan sinting.” Aku berharap Pedro tidak gegabah dan asal menembak pemuda lugu itu. Sebab dia tidak mengancam nyawa kami.
Seorang gadis mendadak muncul dari kedalaman hutan, dia bersender ke pohon, dan menatapku sinis. Sangat sinis sampai rasanya perutku terpelintir jika bertatapan terus dengannya.
“Aku suka gayamu di lapangan,” sahut Ernest tiba-tiba. Dia berusaha tersenyum. “Kau berbeda dari yang lain. Aku ingat saat kau melawan Uirosni FC, si pendek Gabriska kau buat jengkel karena gocekanmu. Dan lagi, waktu kau melambungkan bola saat berhadap-hadapan dengan Iker di semifinal. Sayang sekali, sobat. Kalian gagal melaju. Padahal dulu ayahku paling fanatik dengan klubmu.”
“Terima kasih, tapi beberapa orang tidak suka kehadiran si cacat ini.”
“Jangan merendah. Kau betul-betul bagus kok. Bahkan aku kecewa kenapa kau tidak lolos seleksi timnas.” Ernest mengentak-entakkan kakinya ke tanah, dia baru bertingkah seperti anak muda pada umumnya sekarang. “Kalau menurutku, Fernandez tidak cocok diikutkan kompetisi sebesar itu. Umurnya sepantaran denganku. Oh, astaga, kurasa pelatihmu memang sinting. Fernandez itu apanya yang bagus. Dia cuma menang tinggi dan tampan. Coba kau jegal sekali atau gocek, pasti dia terpuruk. Kau ingat tidak? Waktu bocah itu dihantam si mata biru. Dia langsung guling-guling. Lebay sekali dia.”
Aku tertawa singkat. “Kau tidak tahu kalau anak itu memang bermain sangat bagus, dia seperti Pele.”
“Pele? Siapa dia?” Satu alisnya terangkat.
Anak zaman sekarang tidak tahu Pele, legenda itu telah lama tergusur oleh nama-nama baru yang lebih cemerlang dan mengilap beberapa tahun belakangan.
“Dia legenda sepakbola, umurnya baru 17 tahun saat memenangi piala dunia. Itu sudah lama sekali. Bahkan kakekku belum lahir.”
Di ujung sana, tatapan Eve berangsur tenang. Bisa saja dia menunggu momen untuk menembak kami. Tidak ada yang tahu siapa dalang keributan di tengah hutan. Bisa jadi Ernest tengah memancing perhatianku agar dia bisa mengulur waktu.
“Kau tahu siapa yang menembak?” aku bertanya.
Ernest menggeleng.
Tidak ada yang bicara selama beberapa detik, mungkin Ernest dan Eve ingin beristirahat, terlihat bahwa mereka terus-terusan memutari hutan. Adik Ernest di ujung sana telah duduk dan menekuk lutut.
Ini terasa canggung, dan ada rasa bersalah yang menggerogoti benakku saat sadar Pedro masih membidik dari atas. Posisinya tidak terlihat karena gelap, dia juga berkamuflase. Pedro telah berjanji akan menekan pelatuk jika ada yang mendekat dan bertingkah.
Ernest menghela napas berat, siap berbalik pergi. “Soal kau bermain indah di lapangan ... itu benar, aku juga kecewa saat kau tidak termasuk ke golongan timnas. Kau sungguh-sungguh berbakat, bung. Kalau Pedro ... aku tidak terlalu menyenangi gayanya... dia arogan, darahnya cepat mendidih. Menurutku dia pantas tidak masuk ke timnas.”
Tenggorokanku tercekik. Pedro di atas, dia di atas asal kau mau tahu!
Ledakan senapan membuat jantungku melompat, gendang telingaku berdengung, terdengar bedebuk tubuh seseorang membetur tanah. Jeritan melengking seorang gadis membuat pandanganku berair, raungan senapan kembali menyalak demi memastikan suara itu lenyap.
Aku langsung jatuh berlutut, kepalaku hanya diisi bunyi ngiing selama beberapa menit, suara Pedro memaki-maki membuatku sadar bahwa semuanya telah sirna.
Tangan lebar menekan ketiakku, aku tersentak bangkit. Pedro mendorongku hingga menempel ke tembok bilik, napas temanku terengah-engah dan berat.
“Bocah perempuan itu kabur,” kata Pedro dengan bengis. Wajahnya memerah, rahangnya mengeras, satu tangannya memegang senapan dengan ketat. Di balik punggungnya, aku mencuri-curi pandang untuk melihat tubuh Ernest yang berbaring ke samping dengan pelipis pecah. Cairan merah-gelap mengaliri tanah di sekitar batok kepala anak itu.
“Kau harusnya tidak menembak.”
Pedro menggebrak tembok dengan popor senapan. “Anak itu yang buat masalah duluan! Tidak usah memiliki hati malaikat lagi di tempat ini, Garrincha!” Dia mendengus, memalingkan muka. “Tak ada yang bisa kau bantu di tempat ini, semuanya musuh! Kau mengerti?”
Aku mengangguk kaku.Begitu Pedro berderap pergi dan kembali ke atap, aku menutupi tubuh Ernest dengan kain yang kubawa untuk menjadi alas tidur. Anak itu lebih memerlukannya sekarang. Kubentangkan kain itu dari kepala hingga dada, lalu segera pergi sebelum isi perutku keluar semua. Aku berjalan dengan lunglai, langsung duduk dan bersender, lalu berharap bahwa Eve bisa menemukan seseorang yang akan membatunya di permainan ini.
Ronal1 Januari. 16.01 WIB. Bunyi gemuruh senapan membuat Andrea berjengit dan kembali terisak. Sebenarnya bukan anak itu saja yang butuh dihibur, kami di sini sama sekali tidak tahu siapa yang menembak dan siapa yang dibunuh. Setelah kuawasi keadaan di kedalaman hutan cukup lama, semuanya kembali tenteram dan keadaan berangsur normal. Tidak ada tembakan, jeritan, atau pohon yang tiba-tiba roboh. Jadi, selama itulah aku mengintai kedalaman hutan dan masih belum mendapatkan titik cerah. Kata Hendro, mungkin saja itu Samantha. Dia menembak asal-asalan demi membuat suasana kembali tegang. Tapi rasanya tidak, kalau kau jadi aku, coba bedakan masing-masing bunyi senapan yang dari tadi berbunyi. Kali ini lebih kecil dan mendesis, suaranya pun merambat melalui rapatnya pohon. Namun biarpun kecil, rasanya bunyi itu teramat sangat dekat dari tempat kami berlindung. Seakan-akan si penembak memang berniat membidik kami.
Ronal1 Januari. 18.58 WIB. Hendro dan Andrea tidur lebih awal karena mereka berjanji akan mengambil tugas jaga. Hughes tidak berani menyalakan api unggun karena akan memancing perhatian. Dan sedari tadi, tidak ada senter yang dihidupkan para peserta. Tenang saja, kita tunggu berapa lama mereka bertahan di selimut kegelapan. Langkah kaki terseret dari samping membuat jantungku mencelus, aku segera bangkit, begitu juga Hughes yang langsung kalang-kabut. Di depan, terpaut dua meter. Si rambut ungu dan rekannya berdiri dengan moncong senapan terarah sempurna. Rekan si rambut ungu: seorang pria Asia yang kaku menodong senapannya ke dadaku. Pria itu memandang tanpa ekspresi seolah tidak berniat mengarahkan benda jahat itu ke tubuhku. Si rambut ungu melangkah lebih dulu, kulit wajahnya yang pucat diterangi sinar bulan. Lalu si pria mengikuti dengan berjalan pendek, masi
Samantha.1 Januari 20.18 WIB. Aku berusaha mengotak Kim tapi tak dijawab. Anak itu melarikan diri ke bawah tanpa kabar setelah Hendro menyambar senapanku. Lengan Kim ditembus peluru, dia hanya sempat menjerit dan langsung melangkah lunglai ke bawah. Begitu aku kembali siap, kulemparkan pisau lipat yang langsung menancap ke jantung Hendro. Pemuda itu terhuyung mundur—tak sempat menembak—lalu terbanting dengan darah mengalir memenuhi dadanya. Andrea menjerit-jerit tak keruan dan langsung terbirit-birit ke kegelapan. Aku meraih senapan, mengejarnya secepat mungkin. Kini aku terjebak di padang rumput sejauh mata memandang. Di kiriku masih terhampar rumput-rumput segar setinggi mata kaki. Sedangkan di kanan terdapat bukit yang lebih tinggi dan menjorok terlalu ke depan. Andrea cukup gesit. Dia bisa sembunyi di tempat lapang seperti ini. Derap kaki bergumu
Ronal1 Januari. 21.04 WIB. Pikiranku kacau. Perutku terpelintir dan ada sebongkah makanan yang hendak keluar dari tenggorokan. Aku tak sanggup membayangkan nasib Hendro, dan terlebih lagi, darah Kim yang terhambur. Aku ingat jelas semuanya. Jemariku yang menarik pelatuk, percikan api dari mulut senapan, lalu kepala Kim yang ambruk. Terlebih-lebih, aku ingat warna cairan gelap yang membungkus tengkuk Kim. Aku menahan bobot tubuh ke pohon, satu tanganku memegangi perut. Sentakan rasa mual kembali hadir. Biasanya aku tak selemah ini. Tapi melihat ceceran darah yang bisa ditampung gelas, akan membuat siapa saja mendadak lemas. Langkah Hughes semakin pelan hingga akhirnya berhenti. “Kita istrirahat dulu kalau kau mau,” katanya. Tiba-tiba aku teringat kunci. Dan bersyukur karena rasa asam di kerongkonganku mendadak cair kare
Garrincha.1 Januari. 22.03 WIB. Aku bergantian melirik tubuh Ernest yang kaku dan suar yang luar-biasa-terang. Kami kini berada di atap, berdempetan, dan bersembunyi di gelap. Tubuh Ernest dijadikan Pedro sebagai peringatan. Jadi yang berniat mendekat, mereka bisa tahu kalau ada tubuh melintang dengan darah kering di sekitarnya. Otot keras Pedro menempel di bahuku. Napas temanku itu teratur dan tenang. Luncuran suar membuatnya mengokang senapan. “Orang gila lagi,” kata Pedro datar. “Perang mulai menjalar,” gumamku. Pedro menyeringai dengan lagaknya yang sinis. “Aku tahu, aku tahu. Kita tak perlu turun ke lapangan, sobatku. Kita lihat seberapa hebat kurcaci-kurcaci itu malam ini. Kau tahu, kita seperti timnas AS saat melawan Inggris. Tak diperhitungkan, tapi mematikan.” Menunggu rasanya memuakkan. Karena aku mengalaminy
Hughes.1 Januari. 23.16 WIB. “Kerusuhan 2023 menewaskan orang tuanya,” kata Ardian saat kutanya perihal orang tua Ishak. “Dia baca apa?” Ronal menyentakkan ibu jari ke arah Ishak. Ardian tak perlu menoleh untuk mengetahui keponakannya membaca apa. “Alkitab. Dia kuajari membaca. Sangat lamban, benar-benar lamban kalau soal baca-tulis. Tapi dia hebat berkebun dan menombak.” Eve berkata, “Aku tahu soal kerusuhan 23. Kakekku terkena imbasnya. Dia didepak dari pabrik kertas setelah isi pabrik dijarah.” Ardian menghela napas, membuat api lilin menari-nari. “Zaman gelap. Seharusnya pemerintah tak perlu membunuh aktivis malang itu.” “Dunia makin kacau,” kataku tanpa emosi. “Terutama permainan ini. Kita tidak tahu keburuntungan di tangan siapa.” Ardian menyeringai. “Jangan pesimis teman-teman, kita bermain pasif saja sampai saatnya benar-
Ronal.2 Januari. 03.40 WIB. Aku bermimpi soal ayah. Permah sekali, tangannya yang seukuran pipiku telak menghantam wajah ibu, setelahnya, aku dihajar habis-habisan dan disumpahi macam-macam. Akar pahit memang tertanam di hatiku karena orang tua itu. Seperti cerita klise kebanyakan. Hidup kami selayaknya dilabeli ‘tragis'. Tapi nyatanya tidak. Ibu diam-diam menjadi selingkuhan salah satu pemilik toko-bangunan di pinggir kota. Dia mendapat banyak uang dari permainan gelapnya, dari situlah kami bisa makan roti dan aku dapat sekolah. Ibuku memang cantik. Wajahnya oriental. Dan aku mendengarnya beberapa kali bergumam, soal betapa bodoh dirinya mau menikahi ayah. Ayah tak pernah mau tahu kenapa aku bisa sekolah. Hampir siang-malam pria itu main perempuan dan mabuk. Namun aku tahu, ayahku tak pernah meniduri perempuan selain ibu—karena dia pengecut. Kebejatan ibu terbongka
Garrincha.2 Januari. 05.25 WIB. “Ayo keluar kawan-kawan!” seru seorang pria tua berperawakan kurus di samping mayat Ernest. Matahari sempurna memancar dan menyemburkan cahaya pucat-hangatnya. Suasana di Bilik masih sama remang-remang seperti di hari pertama, namun kami kedatangan orang asing yang tanpa gentar membusungkan dada. Setahuku, matahari buatan arena memang diformat agar langsung menyebar tanpa menunggu waktu normal. Dan kau bisa mendapati bahwa jam 5 pagi sudah sangat terik. Pedro belum menarik pelatuk, dia memantau keadaan layaknya serigala berdarah dingin. Di bagian bawah matanya, terdapat garis gelap yang didapat dari kurang tidur. Emosinya kembali terpancing setelah melihat “target yang bisa dibunuh”. Pria tua itu berdiri dengan satu tangan berkacak pinggang. Dia memakai topi berwarna kelabu yang membungkus rambut, badannya ceking, dan memakai
Lampu temaram dari bangunan lain di luar sana merayap merayap masuk dan membuat jalur-jalur sinar di lorong gelap. Jendela buram yang mengisi kiri tembok memantulkan cahaya putih seram. Dengung mesin pendingin dari langit-langit lorong seakan ingin menuntut pertanggungan jawab kami atas tertumpahnya darah. Aku memimpin dengan langkah menyelinap. Sesekali, pandanganku berpaling ke jendela yang rupanya percuma dipandang karena buram—bagai tertutup kabut. Hawa dingin mencekik kulit. Kesunyian di tempat ini rasanya sanggup mengeringkan tulang karena membuat siapa pun merinding. Di areal ini, lampu memang padam demi menghemat sumber daya. Tak seorangpun yang lalu-lalang sebab memang lorong ini digunakan untuk menuju bangunan lain. Dan, kalau kau mau tahu, bangunan lain itu apa. Tidak ada pekerja—seperti kami—yang paham apa isi bangunan lain. Yang kami tahu, dan itupun hanya desas-desus, temp
Di musim dingin tahun lalu. Aku banyak membuang waktu dengan pria berdarah Asia. Dia menabur, dan aku menuai bibit cinta dari pertemuan yang, dilakukan berulang-ulang. Kami berdua bertukar gelas di malam Natal, bilang kalau ini adalah saat teristimewa. Pria itu—aku tahu—sangat mencintaiku sedemikian rupa. Dan kalau ditanya buktinya, dia membuang pekerjaan mapannya sebagai animator layanan-pendidikan demi hadir ke perencanaan Permainan Kunci. Awalnya begitu. Aku lugu saat mendengar dia membuang segala hal demi diriku. Nyatanya tidak. Dia sanggup memanipulasi emosi. Dan orang seperti itu adalah pribadi kelewat busuk yang tak akan mampu kau bayangkan. Aku masih ingat kata terakhinya di malam tahun baru. “Aku ke sini bukan karena kau, aku cuma senang-senang. Lelaki mana yang sanggup seorang diri di tempat antah berantah.” Di malam yang sama. Masih musim dingin. Aku dan Sero berdiri te
Aku dan Sero dipanggil petugas setempat—dua jam selepas kejadian. Kami berangkat dari kafetaria dengan wajah murung. Aku tidak berniat mengubah air muka, tapi Sero yang nampak berpikir paling keras mulai terlihat tabiat kecemasannya. Dan sikapnya menular dengan segera saat kami digiring pria kurus-kekar ke lorong serba kelabu.“Kalian tahu apa yang terjadi, heh?” tanya si petugas tanpa menoleh.“Tahu,” sahut Sero sayu. “Kau mau bawa kami ke mana?” Tangan kiri Sero terkepal, lalu mengembang lagi.Mungkin saja dia tahu kalau petugas di depan kami memiliki senjata tersembunyi. Setahuku, memang begitu. Ada semacam pisau elektrik di sekitar tali ikat pinggangnya.Si petugas mengangkat topinya. “Kalau Tuan tanya,” mulainya, “jawab sejujur-jujurnya.” Dia berhenti di samping pintu kecil, menekan tombol di sisinya cepat-cepat. “Kau!
Garrincha si pria jantan memberikanku kasurnya yang seempuk busa. Dia berbaring terlentang di lantai dingin. Dan biarpun sudah kupaksa—bahwa aku bisa tidur di mana pun—dia tetap kekeh. Kami berceloteh panjang lebar tanpa sekat canggung. Mungkin ini keahlian alamiku; dapat langsung melebur bersama orang baru dan dipercaya sepenuhnya. Garrincha menceritakan awal mula kariernya di sepakbola, yang kemudian runtuh karena gagal terpilihnya dia di tim nasional. Lalu cerita bergulir ke keluarga, tempat tinggal kami masing-masing, dan memutar kembali ke titik awal: sepakbola. “Awalnya teman-teman bilang kakiku mirip salah satu atlet lawas. Dan jadilah mereka menyebut-nyebutku Garrincha,” ujarnya santai. “Kalau kau? Kenapa tahu asal-usul Garrincha?” “Aku suka sejarah, sastra, dan seni. Kadang-kadang aku melukis. Aku hobi mencari asal-usul seseorang.” 
Garrincha tampil lebih bersih dan dia seketika berbalik saat mendengar pintu kututup. Pria di depanku adalah makhluk lain. Dia bukan Garrincha yang terseok-seok dengan muka kusam di Arena. Juga bukan Garrincha yang setengah telanjang di lift. Kini dirinya memakai kaus-kerah berwarna biru dan celana jins. Di tungkai kanannya, terbebat perban kusam yang digenangi cairan gelap-kemerahan. Rambutnya awut-awutan dan basah. Rahangnya nampak keras, juga daya tarik utamanya yaitu kaki kanan yang bengkok—terlihat lebih lurus dan sempurna. Tak terlalu kentara kalau ia seorang pria pendek yang cacat. Dia sempurna setelah mengubah penampilan. Atau jangan-jangan, bukan dirinya yang berjasa penuh melainkan para perawat yang punya selera fashion bagus. Di ruang khusus Pemenang ini hanya ada satu kasur empuk bersih. Jendela buram yang tidak bisa dibuka-tutup. Wastafel lengkap de
Erin.3 Januari. 06.05. Pemenang tahun ini berbeda dari kebanyakan peserta yang kutemui. Ya, kau harus tahu bahwa aku adalah pembimbing. Tugas pembinbing—kalau kau masih mau tahu—adalah mengawasi para Pemenang setelah lolos dari kejamnya Arena. Kenapa hal tersebut perlu dilakukan? Jawabannya sesingkat pertanyaan tadi. Karena mereka stres. Tak bisa disangkal, bahkan diragukan, bahwa para peserta mengalami penurunan kinerja fisik dan mental. Maka tak heran kalau banyak Pemenang yang perlahan-lahan meninggal tanpa sebab yang jelas. Kelompok Pembimbing mulai dibentuk saat Permainan Kunci ke-delapan digelar. Kebanyakan pemenang memang banyak yang meninggal dini. Maksudnya dini; mereka mati tak lama setelah menang. Bahkan ada yang seketika tewas selepas menginjakkan kaki di asrama. Keadaannya tidak bisa dijelaskan s
Garrincha.3 Januari. 00.01.Sentuhan panas menjalar memenuhi rusukku. Aku menahan lidah agar tidak menjerit. Tanganku menekan perut kanan yang dialiri cairan hangat kemerahan.Jemariku menggeletar seolah baru diangkat dari air es. Napasku memburu, dan berusaha kukontrol sebisa mungkin agar tetap normal.Paru-paru menjadi masalahku kini. Ada sensasi tertahan di dada, yang membuatku tertekan hingga kepalaku pening. Diikuti tatapan berair, dan bagian belakang mata panas terbakar.Tungkaiku berdenyut-denyut—rasanya seperti ditusuk jarum. Aku rebah. Entah berapa lama aku terbaring di tempat ini. Leherku tegang dan aku pernah mengalami hal serupa saat salah bantal. Namun aku tidak pernah benar-benar istirahat.Pinggangku seakan rontok. Belum pernah—sekalipun di lapangan—aku menderita separah ini.
Garrincha.2 Januari. 22.13. WIB. Hujan kembali turun dan diikuti hawa dingin yang menusuk kulit. Aku menerobos sesemakan. Langkahku tersendat-sendat karena tanah mulai basah. Aku mengendarkan pandangan. Padang semak setinggi pinggang terhampar sejauh mata memandang. Tidak ada obyek lain—hanya rumput. Ini gila. Seakan-akan Panitia sudah merubah Arena menjadi lautan semak dalam sekejap. Aku mengangkat kaki secara teratur. Kiri-kanan-kanan-kiri. Bulu halus di lenganku meremang akibat tergesek-gesek semak. Kenapa Arena mendadak berubah? Aku meludah, terbatuk, lalu tersandung kaki sendiri hingga hampir terjerembap. Tempurung lututku berdenyut karena jatuh mendadak. Tanganku menjejak tanah becek. Aku menghimpun kekuatan, dan segera bangkit dengan sekujur tubuh yang teramat lemas.&n
Garrincha.2 Januari. 21.10. WIB.Mataku tercelik dan sel-sel tubuhku mendadak terjaga. Aku meloncat pergi dan menerjang semak-semak sebelum kehadiranku dikenali.Bunyi kaki tersaruk-saruk dari kedalaman pohon rimbun menjadikan suasana dicekam ketegangan yang panas. Aku mengusap sisa air mata, menarik napas panjang, lalu memfokuskan diri untuk menghadapi ancaman baru. Bunyi “srekkk” yang tajam membuat jantungku terpompa. Aku menunduk, membiarkan sedikit kepalaku tersisa agar dapat mengintip.Di depan sana, tepat di bawah naungan pepohonan. Lelaki berbadan pendek dengan lutut tertekuk tengah bersandar.Di sekitaran betisnya ada segumpal tanah liat yang membungkus hingga telapak kaki.Badan orang itu benar-benar pendek, mungkin hanya sebahuku. Namun tubuhnya berisi. Dan dari jalannya, jelas kalau pemuda ini semacam pa