Hughes.
2 Januari. 06.17 WIB.Ronal memberiku sebotol air yang masih tersegel. Persiapan kami soal urusan logistik memang banyak, namun kejadian panjang yang dilalui, membuat semua dahaga dan rasa lapar luntur.Ronal membuka bungkus roti, membelah dua, lalu menguyahnya dalam keheningan. Aku dan Eve ikut makan.
“Apa alasanmu ikut?” tanyaku pada Eve agar situasi canggung ini enyah.
Eve menggigit rotinya secuil. “Karena abangku,” katanya datar. “Kami terpaksa ikut karena ayah sakit keras dan ... yah, kami butuh uang secara instan.”
“Kenapa bisa lolos?”
“Lagi-lagi karena abangku. Dia jenius, peraih nilai tinggi, dan siap kerja saat lulus nanti...” Gadis itu menundukkan mata, dia tersenyum sedih. “Sayangnya, diterima kerja sama sulitnya dengan mencari Kunci.”
“Dunia memang kejam,” sahut Ronal. “Nikmati saja. Karena
Garrincha.2 Januari. 08.28 WIB. Pedro membacakan kartu identitas yang terselip di saku celana korbannya. “Frederick ... Lamar.” Pedro melempar kartu nama itu sembarangan. “Siapa nama rekannya?” “Elisabeth Burg,” jawabku. “Mereka suami-istri. Ada foto pernikahan di dompetnya.” Pedro mendenguskan tawa mengejek. “Dia pasti menikah lebih dari sekali. Kebiasaan pria bau tanah di provinsi Barat.” “Tapi kau juga dari Barat,” tanyaku—tanpa maksud apa pun. Air muka Pedro sukar dibaca. “Itu beda. Biasanya pekerja kasar ... atau pemabuk ... yang melepaskan penat dengan perempuan muda. Itu hal biasa di tempatku.” Aku mengiyakan dan menggeledah ransel Frederick. Isi ransel pria tua itu hanya obat tidur, pil anti-depresan yang tersisa dua butir, makanan ringan, dua botol air, pisau seukuran jari tengah yang bahkan tak b
Hughes.2 Januari. 09.54 WIB. Kami sudah hendak meninggalkan Eve untuk mencari mata air terdekat saat anak malang itu terbangun. Posisinya tetap terlentang, matanya memancarkan rongga yang kosong, dia mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya melihat kemari. “Kau butuh sesuatu?” tanyaku pelan. Raut wajahnya berubah suram dan dingin, dia mengerutkan hidung, lalu kembali memandang langit biru bersih. “Banyak mayat...” kata-katanya putus. “Banyak sekali ... mayat ... mayat.” Ronal yang menyender ke pohon langsung menegakkan tubuh. “Mayat siapa? Kau sempat lihat tidak?” “Yang satu kepalanya rusak...” gumam gadis itu. “Satu lagi ... satu lagi entah bagaimana.” Aku dan Ronal bertukar pandang. Eve masih terus meracau soal darah, kepala pecah, peluru, batu, perempuan-perempuan muda, dan
Garrincha.2 Januari. 11.02. WIB. Aku menggeliat dan hampir terjungkal dari atap. Kejadian penyerangan dua kali berturut-turut membuat sendiku pegal—melebihi saat usai pertandingan. Rasanya aku bisa tidur seharian penuh, menikmati angin sepoi-sepoi, dan menunggu senapan meletus lagi. Naasnya, perutku keroncongan, dan Pedro yang seolah tahu hal itu sudah duduk bersila. Dua mangkuk makanan instan terhidang di hadapannya, dia tak perlu memberiku isyarat untuk mendekat dan makan. Karena aku langsung mengambil jatahku dan melahapnya. Kali ini makanan kami sedikit mewah. Hasil merampas dari para penyerang yang memiliki banyak pasokan logistik. Di ransel pria yang memegang pistol perak, kami menemukan dua kaleng sardin yang bisa kau santap tanpa dimasak. Terdapat juga mie instan, kompor beserta gas portabel, serta sekantung penuh
Hughes.2 Januari. 12.25 WIB. Kami mengisi botol air tanpa bicara. Lidahku kelu sehabis menyaksikkan seorang gadis diseret-seret dengan kondisi separuh telanjang. Kasus pemerkosaan sering terjadi di arena. Itu hal yang lumrah—hampir setiap Permainan—selalu terjadi. Aku bisa saja meloncat keluar lalu menyerang dua pria mesum itu. Namun buat apa mengambil risiko? Ini terlalu berlebihan. Berlebihan, karena perjuangan untuk sampai ke danau racun dengan napas masih bisa ditarik adalah anugerah. Tubuhku penat. Dan Ronal juga tampak enggan bergerak. Sekarang yang perlu dilakukan hanya menunggu, menunggu, menunggu, dan menunggu sampai momen mendekat dan membuka Bilik bisa kami rangkul. Aku memutar leher. Ronal tengah berjongkok sembari mengisi air. Sinar mata temanku lemah, terlihat betul kalau mental dan fisiknya terkuras habis. “Kita harus ke Bil
Garrincha.2 Januari. 13.29 WIB. Rombongan itu berduyun-duyun mendekati Bilik dengan gagah. Pedro mengangkat senapan yang sisa dua peluru. Salah satu dari mereka—lekaki berambut gondrong—menghunus sebuah pedang berkilat. Pedro belum sempat menarik pelatuk saat si lelaki berteriak memperingatkan, “Jangan tembak! Kau akan menyesal! Kujamin! Kau akan menyesal seumur hidupmu Pedro!” Aku terperangah selama lima detik sebelum akhirnya menatap Pedro. Temanku bergeming, jemarinya membatu di ujung pelatuk. Rahangnya mengencang. Dari tatapannya, dia seolah ingin menerkam lelaki tersebut. Di belakang laki-laki yang memegang pedang. Ada tiga orang yang memasang air muka kusut tapi mengerikan. Bahkan salah satunya masih sangat muda seperti bocah baru puber. Lelaki itu mengujam pedangnya ke tanah. Dia mendonga
Ronal.2 Januari. 15.01 WIB. Kekeringan ini pernah kurasakan sebelumnya. Kering dalam artian perasan kosong, dan seakan batinku ini tak mampu diisi hal apa pun untuk sementara waktu. Aku pernah merasakannya. Pertama, saat kematian Robert, sesi pengantaran jenazah yang diikuti raungan keluarga terdekatnya mengiris telinga serta hati. Jika diandaikan perasaanku sebagai bunga. Ada matahari terik yang merontokkan semarak daunnya hingga layu dan mati. Perasaanku mati. Batinku sakit. Dan ini juga hal yang sama saat harus pasrah dan menerima takdir bahwa ibu tak akan bersamaku lagi. Arena dapat membuatmu gila. Kau mungkin tegar serta optimis menang begitu tiba di lift. Sikapmu tetap tenang saat ada bahaya dan bergerak penuh kehati-hatian bak pasukan khusus. Namun, seiring waktu, makanan, dan air yang kian terkikis. Rasa sesak
Hughes.2 Januari. 15.28. WIB.Aku kabur terbirit-birit begitu kepala si pemuda berpedang terhambur keluar. Gelegar tembakannya begitu dekat dan dalam. Tanpa tenaga, pemuda itu terkulai ambruk dengan posisi menyamping.Napasku putus dan sesak begitu tiba di pedalaman hutan. Betisku berdenyut. Suara gemerisik dari Bilik yang hangus masih dapat dijangkau. Itu memastikan bahwa diriku belum lari terlalu jauh. Garrincha. Entah keajaiban apa yang dirinya buat. Berhasil lolos dari maut dan mendapat mukjizat.Ini hal yang luar biasa. Si pemuda berpedang sudah hendak menebas lehernya, namun aku tahu kalau teman si kaki bengkok juga ikut bergerak di balik layar. Momen saat isi kepala pemuda berpedang hancur bagai daging tercacah membuatku membatu.Lutut si kaki bengkok juga tampak goyah, dia melangkah mundur dengan lunglai sebel
Hughes.2 Januari. 17.03 WIB.Cipratan lumpur bercampur darah memenuhi mulutku. Aku melepehkan segumpal tanah liat yang dilumuri cairan merah-segar.Hujan menghantam tubuh tanpa ampun. Kepalaku pening. Lututku pecah-pecah dan sobek.Aku berbaring menyamping dengan sekujur tubuh menggigil. Hawa dingin teramat menusuk tulang.Napasku masih hangat, namun rasa asam tanah serta amis darah bercampur baur. Isi perutku naik dan tersekat di kerongkongan.Aku mencoba bangkit, tapi gagal karena kakiku terbenam lumpur hingga sebetis. Aku merunduk, mencoba menyentakkan tungkai. Sialnya, air hujan membuat tanah semakin licin dan menumpuk. Kalau saja aku bukan jatuh di tanah basah. Tentu badanku langsung remuk.Siluet seseorang di puncak membuatku tercekat. Aku melupakan posisi yang tidak menguntungkan ini dan memicingkan mata.
Lampu temaram dari bangunan lain di luar sana merayap merayap masuk dan membuat jalur-jalur sinar di lorong gelap. Jendela buram yang mengisi kiri tembok memantulkan cahaya putih seram. Dengung mesin pendingin dari langit-langit lorong seakan ingin menuntut pertanggungan jawab kami atas tertumpahnya darah. Aku memimpin dengan langkah menyelinap. Sesekali, pandanganku berpaling ke jendela yang rupanya percuma dipandang karena buram—bagai tertutup kabut. Hawa dingin mencekik kulit. Kesunyian di tempat ini rasanya sanggup mengeringkan tulang karena membuat siapa pun merinding. Di areal ini, lampu memang padam demi menghemat sumber daya. Tak seorangpun yang lalu-lalang sebab memang lorong ini digunakan untuk menuju bangunan lain. Dan, kalau kau mau tahu, bangunan lain itu apa. Tidak ada pekerja—seperti kami—yang paham apa isi bangunan lain. Yang kami tahu, dan itupun hanya desas-desus, temp
Di musim dingin tahun lalu. Aku banyak membuang waktu dengan pria berdarah Asia. Dia menabur, dan aku menuai bibit cinta dari pertemuan yang, dilakukan berulang-ulang. Kami berdua bertukar gelas di malam Natal, bilang kalau ini adalah saat teristimewa. Pria itu—aku tahu—sangat mencintaiku sedemikian rupa. Dan kalau ditanya buktinya, dia membuang pekerjaan mapannya sebagai animator layanan-pendidikan demi hadir ke perencanaan Permainan Kunci. Awalnya begitu. Aku lugu saat mendengar dia membuang segala hal demi diriku. Nyatanya tidak. Dia sanggup memanipulasi emosi. Dan orang seperti itu adalah pribadi kelewat busuk yang tak akan mampu kau bayangkan. Aku masih ingat kata terakhinya di malam tahun baru. “Aku ke sini bukan karena kau, aku cuma senang-senang. Lelaki mana yang sanggup seorang diri di tempat antah berantah.” Di malam yang sama. Masih musim dingin. Aku dan Sero berdiri te
Aku dan Sero dipanggil petugas setempat—dua jam selepas kejadian. Kami berangkat dari kafetaria dengan wajah murung. Aku tidak berniat mengubah air muka, tapi Sero yang nampak berpikir paling keras mulai terlihat tabiat kecemasannya. Dan sikapnya menular dengan segera saat kami digiring pria kurus-kekar ke lorong serba kelabu.“Kalian tahu apa yang terjadi, heh?” tanya si petugas tanpa menoleh.“Tahu,” sahut Sero sayu. “Kau mau bawa kami ke mana?” Tangan kiri Sero terkepal, lalu mengembang lagi.Mungkin saja dia tahu kalau petugas di depan kami memiliki senjata tersembunyi. Setahuku, memang begitu. Ada semacam pisau elektrik di sekitar tali ikat pinggangnya.Si petugas mengangkat topinya. “Kalau Tuan tanya,” mulainya, “jawab sejujur-jujurnya.” Dia berhenti di samping pintu kecil, menekan tombol di sisinya cepat-cepat. “Kau!
Garrincha si pria jantan memberikanku kasurnya yang seempuk busa. Dia berbaring terlentang di lantai dingin. Dan biarpun sudah kupaksa—bahwa aku bisa tidur di mana pun—dia tetap kekeh. Kami berceloteh panjang lebar tanpa sekat canggung. Mungkin ini keahlian alamiku; dapat langsung melebur bersama orang baru dan dipercaya sepenuhnya. Garrincha menceritakan awal mula kariernya di sepakbola, yang kemudian runtuh karena gagal terpilihnya dia di tim nasional. Lalu cerita bergulir ke keluarga, tempat tinggal kami masing-masing, dan memutar kembali ke titik awal: sepakbola. “Awalnya teman-teman bilang kakiku mirip salah satu atlet lawas. Dan jadilah mereka menyebut-nyebutku Garrincha,” ujarnya santai. “Kalau kau? Kenapa tahu asal-usul Garrincha?” “Aku suka sejarah, sastra, dan seni. Kadang-kadang aku melukis. Aku hobi mencari asal-usul seseorang.” 
Garrincha tampil lebih bersih dan dia seketika berbalik saat mendengar pintu kututup. Pria di depanku adalah makhluk lain. Dia bukan Garrincha yang terseok-seok dengan muka kusam di Arena. Juga bukan Garrincha yang setengah telanjang di lift. Kini dirinya memakai kaus-kerah berwarna biru dan celana jins. Di tungkai kanannya, terbebat perban kusam yang digenangi cairan gelap-kemerahan. Rambutnya awut-awutan dan basah. Rahangnya nampak keras, juga daya tarik utamanya yaitu kaki kanan yang bengkok—terlihat lebih lurus dan sempurna. Tak terlalu kentara kalau ia seorang pria pendek yang cacat. Dia sempurna setelah mengubah penampilan. Atau jangan-jangan, bukan dirinya yang berjasa penuh melainkan para perawat yang punya selera fashion bagus. Di ruang khusus Pemenang ini hanya ada satu kasur empuk bersih. Jendela buram yang tidak bisa dibuka-tutup. Wastafel lengkap de
Erin.3 Januari. 06.05. Pemenang tahun ini berbeda dari kebanyakan peserta yang kutemui. Ya, kau harus tahu bahwa aku adalah pembimbing. Tugas pembinbing—kalau kau masih mau tahu—adalah mengawasi para Pemenang setelah lolos dari kejamnya Arena. Kenapa hal tersebut perlu dilakukan? Jawabannya sesingkat pertanyaan tadi. Karena mereka stres. Tak bisa disangkal, bahkan diragukan, bahwa para peserta mengalami penurunan kinerja fisik dan mental. Maka tak heran kalau banyak Pemenang yang perlahan-lahan meninggal tanpa sebab yang jelas. Kelompok Pembimbing mulai dibentuk saat Permainan Kunci ke-delapan digelar. Kebanyakan pemenang memang banyak yang meninggal dini. Maksudnya dini; mereka mati tak lama setelah menang. Bahkan ada yang seketika tewas selepas menginjakkan kaki di asrama. Keadaannya tidak bisa dijelaskan s
Garrincha.3 Januari. 00.01.Sentuhan panas menjalar memenuhi rusukku. Aku menahan lidah agar tidak menjerit. Tanganku menekan perut kanan yang dialiri cairan hangat kemerahan.Jemariku menggeletar seolah baru diangkat dari air es. Napasku memburu, dan berusaha kukontrol sebisa mungkin agar tetap normal.Paru-paru menjadi masalahku kini. Ada sensasi tertahan di dada, yang membuatku tertekan hingga kepalaku pening. Diikuti tatapan berair, dan bagian belakang mata panas terbakar.Tungkaiku berdenyut-denyut—rasanya seperti ditusuk jarum. Aku rebah. Entah berapa lama aku terbaring di tempat ini. Leherku tegang dan aku pernah mengalami hal serupa saat salah bantal. Namun aku tidak pernah benar-benar istirahat.Pinggangku seakan rontok. Belum pernah—sekalipun di lapangan—aku menderita separah ini.
Garrincha.2 Januari. 22.13. WIB. Hujan kembali turun dan diikuti hawa dingin yang menusuk kulit. Aku menerobos sesemakan. Langkahku tersendat-sendat karena tanah mulai basah. Aku mengendarkan pandangan. Padang semak setinggi pinggang terhampar sejauh mata memandang. Tidak ada obyek lain—hanya rumput. Ini gila. Seakan-akan Panitia sudah merubah Arena menjadi lautan semak dalam sekejap. Aku mengangkat kaki secara teratur. Kiri-kanan-kanan-kiri. Bulu halus di lenganku meremang akibat tergesek-gesek semak. Kenapa Arena mendadak berubah? Aku meludah, terbatuk, lalu tersandung kaki sendiri hingga hampir terjerembap. Tempurung lututku berdenyut karena jatuh mendadak. Tanganku menjejak tanah becek. Aku menghimpun kekuatan, dan segera bangkit dengan sekujur tubuh yang teramat lemas.&n
Garrincha.2 Januari. 21.10. WIB.Mataku tercelik dan sel-sel tubuhku mendadak terjaga. Aku meloncat pergi dan menerjang semak-semak sebelum kehadiranku dikenali.Bunyi kaki tersaruk-saruk dari kedalaman pohon rimbun menjadikan suasana dicekam ketegangan yang panas. Aku mengusap sisa air mata, menarik napas panjang, lalu memfokuskan diri untuk menghadapi ancaman baru. Bunyi “srekkk” yang tajam membuat jantungku terpompa. Aku menunduk, membiarkan sedikit kepalaku tersisa agar dapat mengintip.Di depan sana, tepat di bawah naungan pepohonan. Lelaki berbadan pendek dengan lutut tertekuk tengah bersandar.Di sekitaran betisnya ada segumpal tanah liat yang membungkus hingga telapak kaki.Badan orang itu benar-benar pendek, mungkin hanya sebahuku. Namun tubuhnya berisi. Dan dari jalannya, jelas kalau pemuda ini semacam pa