Juna berlagak polos. Padahal dia yakin, polisi tidak akan menangkap dia untuk alasan apa pun jika memang Hartono dan Rinjani sudah membuat mereka gentar.“O—oh, tentu saja tidak, Pak Juna!” Kepala polisi langsung yang menjawab pertanyaan Juna.Dari itu saja, anak buahnya paham apa yang harus mereka perbuat.“Kami sudah meminta anggota kami yang di rumah sakit untuk meminta keterangan dari orang-orang yang hendak mencelakai Pak Juna.” Salah satu dari polisi menimpali Juna.Yang lainnya juga mendekat usai dia memeriksa rekaman dashcam yang tadi diberikan Juna.“Dari rekaman dashcam, kami menemukan orang-orang di tiga mobil itu memang mengejar dan hendak melakukan upaya pembunuhan ke Pak Juna.” Polisi tadi berkata ke kepala polisi.Kepala polisi mengerutkan keningnya sambil mengangguk.“Pak Juna, apakah Anda memiliki musuh saat ini?” tanya kepala polisi.Tidak biasanya kepala polisi sudi ikut campur mengurusi tetek-bengek pertanyaan demikian. Namun, jadi berbeda jika ada Hartono dan Rinj
“Nyai.” Juna menyadari datangnya Nyai Wungu di bahunya sambil dia masih berkendara di atas motornya.“Tuan, saya sudah mengancam mereka untuk tidak mengatakan hal yang tak perlu dikatakan mengenai Tuan.” Nyai Wungu menggunakan suara manusia saat dia berbicara dengan Juna di jalan.Toh, tak akan ada yang menyadari itu. Apalagi wujud Nyai Wungu hanyalah ular kecil seukuran cacing biasa warna hitam yang menyaru seperti warna jaket Juna saat ini.“Hm, bagus. Aku suka pekerjaan rapi Nyai.” Juna mengangguk.Motornya dilajukan lebih kencang lagi karena ingin lekas menemui kekasih jiwanya.“Tuan, sepertinya ada pengendara aneh di belakang Tuan.” Nyai Wungu bicara pelan di sebelah helm full-face Juna.“Oh ya?” Juna terkejut.Dia segera mengedarkan penerawangannya ke daerah sekitarnya di radius 200 meter. Kebetulan, ada beberapa motor dan mobil di sekitarnya karena dia masih di jalan raya yang cukup ramai.“Saya perhatikan sejak tadi, pengendara motor warna merah hitam itu selalu mengambil jala
Jika menilik dari ekspresi pasrah Anika, sepertinya Juna bisa melanjutkan ke bagian paling inti yang sangat dia dambakan. “Iya, Nik, Mas datang, yah!” Juna mulai menyiapkan pusaka jantan yang dia sebut Tuan Jenderal. Dia keluarkan Tuan Jenderal dari sangkar kainnya untuk diarahkan ke liang sempit Anika. ‘Sedikit lagi! Sedikit lagi!’ teriak hati Juna. Jakunnya naik dan turun sambil membayangkan nikmatnya yang akan dia rasakan setelah ini. Sementara itu, Anika terus memandang sayu Juna di atasnya, sikapnya memang pasrah dan siap menerima apa pun dari pujaannya. “Nik, Mas masuk ….” Juna mendorongkan miliknya ke liang Anika. Tok! Tok! Tok! “Eh?” Anika terkesiap mendengar bunyi ketukan di pintunya. Segera saja dia mendorong Juna ke samping dan bergegas bangun dari ranjang dan menyambar mantel kamarnya. “Ya?” Anika menyahut dari dalam kamar tanpa membuka karena belum siap. “Maaf, Bu. Lisda demam tinggi.” Ada suara salah satu pekerja rumah dari balik pintu kamar Anika, mengabarkan
Hartono membelalakkan matanya atas pernyataan Juna.“Jun! Nita sedang sakit!” Nada suara Hartono meninggi.“Iya, aku tahu dia sedang sakit, Pa.” Tapi Juna tidak meladeni dengan nada tinggi dan tetap tenang menjawab ayah mertuanya.“Apa pantas kamu berlaku seperti itu ketika istrimu sedang sakit dan butuh kamu?” Pertanyaan Hartono ini membuat Juna tertawa di hatinya.“Lenita tidak butuh aku untuk kesembuhannya, Pa. Dia butuh pacarnya, Wildan.” Juna mengingatkan Hartono menggunakan jawabannya.Semoga saja ayah mertuanya tersadar bahwa Lenita tidak sesuci itu dan sudah melakukan kesalahan fatal.Hartono terdiam, tidak bisa menemukan kalimat yang tepat untuk membalas Juna.“Aku ke dalam dulu, Pa. Badanku lengket!” Juna pamit.“Jun, Papa belum selesai!” Hartono belum memperbolehkan Juna pergi.“Mas ….” Wenti di sebelah Hartono pun menyentuh lengan suaminya, memberikan sinyal agar sang suami bisa tenang, tak perlu emosi.Juna mau tak mau mengurungkan niat untuk masuk ke dalam rumah.‘Kalau
Mendengar pertanyaan Juna, perasaan Hartono menjadi tak nyaman. Dia merasa begitu kecil di mata menantunya.“Jun, bukan begitu.” Hartono belum tahu kalimat apa yang pantas untuk disampaikan.“Nyawaku yang hendak diambil, loh, Pa.” Juna berkata santai meski ada penegasan di tatapan matanya ke ayah mertua.Apakah nyawa harus direlakan jika yang meminta adalah pihak yang lebih besar kuasanya? Logika macam apa itu?‘Bagiku, urusan nyawa adalah siapa yang lebih kuat fisiknya, bukan kuasanya!’ tegas Juna di hatinya.Sebagai panglima di era kuno, dia hanya mengandalkan fisik kuatnya untuk bertahan dari apa pun. Percuma saja memiliki kuasa besar jika fisik tidak mendukung.“Pak Juna, ini tidak sesederhana seperti yang Bapak pikirkan.” Pengacara kepercayaan Hartono berkilah.Dia mencoba meredakan semangat Juna yang menggebu-gebu ingin memenjarakan putra bungsu dari Semesta Group.Namun, mana bisa Juna ditantang jika urusannya adalah nyawa?“Aku sudah membulatkan tekadku, aku akan menangani ini
Ternyata nama Ferdinand Hutapea memang bukan omong kosong sebagai pengacara pemberani sesuai yang digaungkan. Tak sia-sia Rinjani memujinya setinggi langit di depan Juna.“Nah, berkasnya sudah saya masukkan ke polisi, kita tunggu sehari atau dua hari agar polisi memanggil Robert untuk dimintai keterangan.” Ferdinand mendatangi Juna di kantor.Juna melihat salinan berkas yang dimaksud dan membacanya sekilas.‘Luar biasa! Dia memang pemberani dan bergerak cepat pula! Aku mengapresiasi kinerja dia.’ Juna membatin sambil menatap segan ke Ferdinand.“Terima kasih atas keberanian Pak Ferdinand.” Juna tidak pelit pujian jika memang seseorang pantas menerimanya.Ferdinand terkekeh santai dan menjawab, “Halah! Pak Juna ini! Sudah tugas saya mencarikan keadilan bagi klien yang datang ke saya. Apalagi ini urusannya nyawa! Tidak main-main!”Juna mengangguk dan bisa lebih rileks karena ada Ferdinand. Dia bisa mengurus hal lainnya.“Pak, apakah kita bisa memulai pembangunannya minggu ini?” tanya Sa
Dengan cepat, tohokan Juna dipatahkan. Harusnya dia menyadari bahwa tak mungkin Rinjani berani bertingkah begini jika ada Dharma Winata di rumah.“Jun ….” Tangan Rinjani mulai membelai dada Juna sambil merayapkan kedua tangan ke wajah Juna.Sungguh berbahaya, ini sangat berbahaya. Juna memang mencintai Anika, tapi sebagai pria normal, kalau terus digoda begini, bukankah akan membuatnya runtuh?“Rin, kalau tidak jadi makan bersama, aku pulang saja, yah!” Juna menahan dua tangan Rinjani yang merayap ke belakang telinganya.Mata Rinjani bertemu tatapan teguh Juna. Di pandangan Juna, selalu terarah ke wajahnya, sama sekali tidak melirik ke arah tubuhnya.“Apakah aku memang tidak semenarik itu, Jun?” Rinjani menampilkan wajah muram.“Bukannya kamu tidak menarik, Rin, tapi aku sudah memiliki pujaanku sendiri.” Juna berkata.Dia terpaksa menyatakan demikian karena Rinjani sudah semakin ekstrim cara menggodanya.Mata Rinjani membeku sejenak usai mendengar pengakuan Juna. “Kamu … kamu sudah pu
Mendengar seruan Rinjani, Juna hanya menjawab, “Sudah, sudah, sana masuk ke dalam! Jangan terlalu lama di luar begini, tak baik!”Setelah itu, dia melajukan motornya keluar dari areal hunian Winata yang besar dan luas.“Hgh! Wanita satu itu … apa dia tidak malu teriak-teriak begitu? Memangnya tidak malu kalau sampai terdengar pekerja-pekerja di rumahnya? Tak paham aku dengannya.” Juna menggumam pelan.Setelahnya, motor melaju ke arah rumah Anika.“Tuan.” Mendadak saja, Nyai Wungu sudah muncul di bahu Juna. Seperti biasa, dia memilih bentuk sebesar cacing tanah bila memunculkan wujud fisik solidnya.“Bagaimana, Nyai? Apakah Hartono masih mengirim orang untuk menguntit aku?” tanya Juna tanpa menoleh ke samping.“Tadi sempat menguntit Tuan dan saya biarkan karena saya tahu Tuan hendak ke tempat nona Rinjani. Tapi begitu penguntitnya melihat Tuan masuk ke rumah nona Rinjani, dia langsu
Juna dan ketiga istrinya mengangguk. “Kami akan berusaha untuk itu, Ma. Terus doakan kami agar selalu memiliki hal baik.” Juna menanggapi Wenti. Kemudian, keningnya berkerut, “Ma, apakah Mama akhir-akhir ini sering cepat lelah dan mual?” “Eh, kok tahu?” Wenti terhenyak kaget. Namun, kemudian dia sadar bahwa putra angkatnya ini bukan manusia sembarangan. “Selamat, Ma!” Juna maju untuk memberikan pelukan tulus ke Wenti. Anika dan Shevia paham makna ucapan Juna dan mereka bergantian mengucapkan selamat pula sambil memeluk Wenti. “Eh? Mama kenapa?” Rinjani belum paham. “Mama sudah hamil lagi, Kak.” Shevia menjelaskan. Di antara mereka, Rinjani memang yang paling hebat jika itu mengenai intuisi bisnis, tapi dia payah dalam aspek lainnya yang berkaitan dengan hubungan antar manusia. Wenti menanggapinya dengan senyum simpul dan sedikit malu-malu. *** “Ya ampun, lihat mereka! Sungguh keluarga besar yang ramai.” Seseorang menahan pekikannya ketika melihat Juna dan keluarga kecil dia tu
“Ya ampun, lucu sekali dia! Cantiknya ….” Rinjani sambil menggendong bayinya, dia menoleh ke bayi Shevia.“Dedek bayinya Kak Rin juga ganteng, tuh!” Shevia menunjuk bayi di gendongan Rinjani dengan dagunya.Mereka saling memuji bayi milik madu masing-masing.“Mbak Anika masih menyusui anaknya, yah?” tanya Shevia setelah dia berhasil menidurkan bayinya.“Iya. Masih di kamar. Semua anaknya tenang sekali, jarang menangis. Benar-benar bayi kalem seperti ibunya.” Rinjani mengomentari anak kembar Anika.Kemudian, pintu depan terbuka dan masuklah Juna yang baru pulang dari kantornya.“Mana jagoan-jagoanku?” tanya Juna sambil mendekat ke mereka dan mulai mencium bayi-bayinya di gendongan ibunya masing-masing. “BIntang … umcchh! Wulan … umchh! Sudah wangi semua!”“Lah ini anakku masa sih dipanggil jagoan?” Shevia sambil mengangkat sedikit bayi perempuan di gendongannya.“Lho, dia ini nantinya seorang jagoan wanita! Menjadi perempuan kuat yang akan melindungi orang tertindas dan menebar kebajik
“Wah, gedungmu begitu wow sekali, Jun!” Rinjani menatap gedung baru Juna. Matanya berkeliling menelisik semua interior di sana.“Ini juga berkat bantuanmu.” Juna berkata di dekat telinga Rinjani.“Kok aku?” tanya Rinjani sambil menjauhkan kepalanya dari Juna untuk menatap suaminya dari jarak yang tepat.“Kamu kira aku tidak tahu kalau kau mengirim investor gadungan untuk membantu pendanaan untuk gedung ini, hm?” Juna sambil mencubit lembut pinggang Rinjani.Karena sudah ketahuan begitu, Rinjani hanya bisa tertawa. Shevia dan Anika di sebelahnya tersenyum.Siang ini, mereka baru saja mengadakan peresmian gedung baru apartemen Juna yang besar dan spektakuler. Meski bukan merupakan apartemen paling wah dan nomor satu di Samanggi, namun tetap mencuri perhatian publik karena dimiliki oleh pengusaha muda dengan berbagai gonjang-ganjing isu di belakangnya.Isu paling sering dibicarakan publik mengenai Juna belakangan ini tentu saja tidak lain dan tak bukan adalah mengenai ketiga istrinya yan
“Hah? Om Fer yakin dengan berita yang Om terima?” tanya Juna saat dia berbicara dengan pengacaranya, Ferdinand, di telepon. “Sangat yakin, Jun! Periksa saja ke rutan kejaksaan. Oh, atau untuk lebih akuratnya, datang saja ke rumahnya, pasti sedang ramai di sana.” Ferdinand menyahut dari seberang. Juna tak bisa berkata-kata. Dia segera mengakhiri teleponnya dengan si pengacara. “Ada apa, Jun?” tanya Rinjani dengan wajah ingin tahu. “Berita apa? Ada berita apa dari Om Fer?” Dia semakin mendekat ke Juna di sofa ruang tengah. Anika datang sambil membawa nampan berisi beberapa cangkir wedang cokelat jahe dan camilan buatannya seperti kue pukis dan bakwan jagung. “Bobby meninggal tadi sore.” Juna berkata sambil menatap Anika dan Rinjani secara bergantian. “Hah?!” pekik Rinjani karena terlalu kaget dengan berita yang diucapkan suaminya. Juna mengangguk ke istrinya. “Ada apa? Siapa yang meninggal?” Shevia keluar dari kamarnya karena suara pekikan Rinjani terdengar hingga ke telinganya.
“Ti—Tidak begitu! Ular sialan!” geram Nyai Mirah dan dia mulai mengejar Nyai Wungu yang melarikan diri sambil tertawa melengking meledek permaisuri Ki Amok itu.Kemudian, Ki Amok memanggil Nyai Mirah untuk pulang bersamanya ke istana mereka. Nyai Mirah segera berdiri melayang di sebelah Ki Amok dengan wajah merona menyebabkan kulitnya semakin memerah.“Kami pulang dulu. Nanti jika Mirah dibutuhkan lagi oleh istrimu, panggil saja, tak apa, tapi itu harus benar-benar gawat. Kalian pasti mengerti maksudku, ‘kan?” Ki Amok berkata ke Juna yang masih membopong Anika.‘Ya, ya, ya, aku paham. Intinya kami tidak boleh mengganggu kemesraan kalian berdua kecuali sangat gawat darurat.’ Juna membatin menanggapi Ki Amok.“Ya, kami paham, Ki. Terima kasih, sekali lagi untuk Anda dan pasukan, juga terima kasih pada Nyai Mirah atas bantuannya.” Juna mengangguk sebagai tanda dia menghargai mereka.Kemudian, kereta kencana Ki Amok pun pergi dari sana.Juna menoleh ke Nyai Wungu dan bertanya, “Apakah Nya
‘Apakah Dewi Salwapadmi menyaksikan aku dan Nik … bercinta selama ini?’ Juna memiliki pemikiran demikian. Ya ampun, Juna mendadak saja super malu jika mengingat seperti apa dia memesumi Anika selama ini. Belum lagi tingkah dia saat menggauli Anika. Dia bertanya-tanya, apakah itu disaksikan dan juga dirasakan sang dewi? Mendadak saja senyum lebar dan menahan geli dari Dewi Salwapadmi muncul saat dia bertutur ke Juna, “Jangan khawatir mengenai itu, Tuan Panglima. Aku selama ini tertidur di raga Anika dan mulai terbangkitkan ketika bertarung melawan mantan istrimu.” Mendengar ucapan Dewi Salwapadmi melalui mulut Anika, Juna merasa sangat lega sekaligus malu karena pikirannya ternyata bisa dibaca sang dewi. “A—Ah, iya, baiklah, Ndoro Dewi. Terima kasih penjelasannya.” Juna sedikit merona karena malu. Kemudian, Dewi Salwapadmi menoleh ke Nyai Mirah, dia berkata, “Nyai Mirah, aku sungguh tersentuh dengan pengabdianmu yang luar biasa pada ndoro putrimu ini. Tingkah lakumu sejak dulu jug
“Semua sudah usai?” Juna terengah-engah sambil menanyakan itu pada dirinya sendiri meski itu sebuah gumaman rendah. Anika bergegas terbang ke suaminya dan menyebelahinya di angkasa. Sedangkan Juna mulai merasakan armor yang melingkupi tubuhnya mulai memudar hilang secara perlahan. “Mas … semua sudah selesai. Pertarungan telah Mas menangkan.” Anika tersenyum lembut. Benar, semua sudah usai. Segala ancaman bahaya dan mimpi buruk yang pernah ditakutkan Anika, yang telah menjadi momok baginya selama beberapa minggu ini sekarang lenyap. Seakan batu besar yang mengimpit dada Anika, kini telah terangkat dengan kematian Lexus. Juna menengok ke istrinya sembari dia ikut tersenyum. “Kita yang memenangkan ini, Nik. Kita. Bukan aku saja. Kau, dan semua yang lainnya.” Tentu saja dia tidak boleh mengambil semua kredit yang ada. Bergegas, tangan Juna meraih Anika untuk memeluk wanita itu sembari hatinya berucap syukur pada semesta dan penciptanya yang telah memberikan restu sehingga dia bisa m
“Hm?” Juna mendadak saja merasakan dirinya menjadi lebih bertenaga, energi murninya melonjak tinggi.Setelah dia berpikir cepat, dia merasakan adanya energi dari Shevia dan Rinjani.‘Ternyata mereka.’ Juna tersenyum setelah memahami dari mana energi tambahan untuknya datang secara tak terduga.Saat ini, pedang di tangan Juna menebas tegas ke depan sehingga dengan cepat menyebabkan udara mengalir berputar mengakibatkan munculnya pusaran udara hanya dari ayunan pedang tersebut.Wusshh!Kibasan pedang Juna memicu beberapa ledakan bunyi memekakkan telinga ketika gelombang udara yang tadinya hanya memunculkan pusaran angin, kini berubah menjadi badai, menyapu udara di sekitar Lexus.Energi petir beserta angin badai dari kibasan pedang Juna menyerbu ke Lexus, bagaikan ular raksasa membuka mulutnya hendak menelan Lexus untuk mengunyahnya menjadi ketiadaaan.“Jangan harap semudah itu!” seru Lexus ketika dia juga mengibaskan pedang api hitam di tangannya sehingga energi api miliknya bertabraka
“Jangan sombong dulu, manusia bangs4t!” teriak Lexus pada Juna. “Jangan kau kira karena kau memiliki zirah itu maka kau bisa sekuat aku!”Lexus merobek udara hampa dan mengempaskan angin panas yang bisa membakar kulit manusia biasa dengan segera meski hanya dari hempasan anginnya saja.Juna tidak gentar meski fisik Lexus sudah semirip iblis. Dia memiliki banyak dendam terhadap sosok di depannya. “Kau yang akan berakhir mengenaskan, Lexus!”Zirah di tangan Juna mengumpulkan energi murni yang kini bermuatan energi keilahian.Dhuaarr!Ketika pukulan Juna bertabrakan dengan tinju iblis Lexus, mereka berdua sama-sama terdorong ke belakang. Tapi Juna lekas menerjang maju lagi, tak memberi kesempatan Lexus untuk menarik napas berikutnya.“Kau sudah tak sabar mati, hah?” teriak Lexus sambil mendorongkan energi iblisnya ke arah Juna.Tangan berzirah Juna menangkap kepalan tangan Lexus dan mendorongnya ke samping agar dia bisa menyarangkan tinju di tangan lain ke tubuh Lexus.Dhaakk!Betapa kag