Jika menilik dari ekspresi pasrah Anika, sepertinya Juna bisa melanjutkan ke bagian paling inti yang sangat dia dambakan. “Iya, Nik, Mas datang, yah!” Juna mulai menyiapkan pusaka jantan yang dia sebut Tuan Jenderal. Dia keluarkan Tuan Jenderal dari sangkar kainnya untuk diarahkan ke liang sempit Anika. ‘Sedikit lagi! Sedikit lagi!’ teriak hati Juna. Jakunnya naik dan turun sambil membayangkan nikmatnya yang akan dia rasakan setelah ini. Sementara itu, Anika terus memandang sayu Juna di atasnya, sikapnya memang pasrah dan siap menerima apa pun dari pujaannya. “Nik, Mas masuk ….” Juna mendorongkan miliknya ke liang Anika. Tok! Tok! Tok! “Eh?” Anika terkesiap mendengar bunyi ketukan di pintunya. Segera saja dia mendorong Juna ke samping dan bergegas bangun dari ranjang dan menyambar mantel kamarnya. “Ya?” Anika menyahut dari dalam kamar tanpa membuka karena belum siap. “Maaf, Bu. Lisda demam tinggi.” Ada suara salah satu pekerja rumah dari balik pintu kamar Anika, mengabarkan
Hartono membelalakkan matanya atas pernyataan Juna.“Jun! Nita sedang sakit!” Nada suara Hartono meninggi.“Iya, aku tahu dia sedang sakit, Pa.” Tapi Juna tidak meladeni dengan nada tinggi dan tetap tenang menjawab ayah mertuanya.“Apa pantas kamu berlaku seperti itu ketika istrimu sedang sakit dan butuh kamu?” Pertanyaan Hartono ini membuat Juna tertawa di hatinya.“Lenita tidak butuh aku untuk kesembuhannya, Pa. Dia butuh pacarnya, Wildan.” Juna mengingatkan Hartono menggunakan jawabannya.Semoga saja ayah mertuanya tersadar bahwa Lenita tidak sesuci itu dan sudah melakukan kesalahan fatal.Hartono terdiam, tidak bisa menemukan kalimat yang tepat untuk membalas Juna.“Aku ke dalam dulu, Pa. Badanku lengket!” Juna pamit.“Jun, Papa belum selesai!” Hartono belum memperbolehkan Juna pergi.“Mas ….” Wenti di sebelah Hartono pun menyentuh lengan suaminya, memberikan sinyal agar sang suami bisa tenang, tak perlu emosi.Juna mau tak mau mengurungkan niat untuk masuk ke dalam rumah.‘Kalau
Mendengar pertanyaan Juna, perasaan Hartono menjadi tak nyaman. Dia merasa begitu kecil di mata menantunya.“Jun, bukan begitu.” Hartono belum tahu kalimat apa yang pantas untuk disampaikan.“Nyawaku yang hendak diambil, loh, Pa.” Juna berkata santai meski ada penegasan di tatapan matanya ke ayah mertua.Apakah nyawa harus direlakan jika yang meminta adalah pihak yang lebih besar kuasanya? Logika macam apa itu?‘Bagiku, urusan nyawa adalah siapa yang lebih kuat fisiknya, bukan kuasanya!’ tegas Juna di hatinya.Sebagai panglima di era kuno, dia hanya mengandalkan fisik kuatnya untuk bertahan dari apa pun. Percuma saja memiliki kuasa besar jika fisik tidak mendukung.“Pak Juna, ini tidak sesederhana seperti yang Bapak pikirkan.” Pengacara kepercayaan Hartono berkilah.Dia mencoba meredakan semangat Juna yang menggebu-gebu ingin memenjarakan putra bungsu dari Semesta Group.Namun, mana bisa Juna ditantang jika urusannya adalah nyawa?“Aku sudah membulatkan tekadku, aku akan menangani ini
Ternyata nama Ferdinand Hutapea memang bukan omong kosong sebagai pengacara pemberani sesuai yang digaungkan. Tak sia-sia Rinjani memujinya setinggi langit di depan Juna.“Nah, berkasnya sudah saya masukkan ke polisi, kita tunggu sehari atau dua hari agar polisi memanggil Robert untuk dimintai keterangan.” Ferdinand mendatangi Juna di kantor.Juna melihat salinan berkas yang dimaksud dan membacanya sekilas.‘Luar biasa! Dia memang pemberani dan bergerak cepat pula! Aku mengapresiasi kinerja dia.’ Juna membatin sambil menatap segan ke Ferdinand.“Terima kasih atas keberanian Pak Ferdinand.” Juna tidak pelit pujian jika memang seseorang pantas menerimanya.Ferdinand terkekeh santai dan menjawab, “Halah! Pak Juna ini! Sudah tugas saya mencarikan keadilan bagi klien yang datang ke saya. Apalagi ini urusannya nyawa! Tidak main-main!”Juna mengangguk dan bisa lebih rileks karena ada Ferdinand. Dia bisa mengurus hal lainnya.“Pak, apakah kita bisa memulai pembangunannya minggu ini?” tanya Sa
Dengan cepat, tohokan Juna dipatahkan. Harusnya dia menyadari bahwa tak mungkin Rinjani berani bertingkah begini jika ada Dharma Winata di rumah.“Jun ….” Tangan Rinjani mulai membelai dada Juna sambil merayapkan kedua tangan ke wajah Juna.Sungguh berbahaya, ini sangat berbahaya. Juna memang mencintai Anika, tapi sebagai pria normal, kalau terus digoda begini, bukankah akan membuatnya runtuh?“Rin, kalau tidak jadi makan bersama, aku pulang saja, yah!” Juna menahan dua tangan Rinjani yang merayap ke belakang telinganya.Mata Rinjani bertemu tatapan teguh Juna. Di pandangan Juna, selalu terarah ke wajahnya, sama sekali tidak melirik ke arah tubuhnya.“Apakah aku memang tidak semenarik itu, Jun?” Rinjani menampilkan wajah muram.“Bukannya kamu tidak menarik, Rin, tapi aku sudah memiliki pujaanku sendiri.” Juna berkata.Dia terpaksa menyatakan demikian karena Rinjani sudah semakin ekstrim cara menggodanya.Mata Rinjani membeku sejenak usai mendengar pengakuan Juna. “Kamu … kamu sudah pu
Mendengar seruan Rinjani, Juna hanya menjawab, “Sudah, sudah, sana masuk ke dalam! Jangan terlalu lama di luar begini, tak baik!”Setelah itu, dia melajukan motornya keluar dari areal hunian Winata yang besar dan luas.“Hgh! Wanita satu itu … apa dia tidak malu teriak-teriak begitu? Memangnya tidak malu kalau sampai terdengar pekerja-pekerja di rumahnya? Tak paham aku dengannya.” Juna menggumam pelan.Setelahnya, motor melaju ke arah rumah Anika.“Tuan.” Mendadak saja, Nyai Wungu sudah muncul di bahu Juna. Seperti biasa, dia memilih bentuk sebesar cacing tanah bila memunculkan wujud fisik solidnya.“Bagaimana, Nyai? Apakah Hartono masih mengirim orang untuk menguntit aku?” tanya Juna tanpa menoleh ke samping.“Tadi sempat menguntit Tuan dan saya biarkan karena saya tahu Tuan hendak ke tempat nona Rinjani. Tapi begitu penguntitnya melihat Tuan masuk ke rumah nona Rinjani, dia langsu
Suara astral yang hanya bisa didengar oleh makhluk yang memiliki energi supernatural itu terdengar berat, rendah, dan tua.‘Sial! Kenapa datang di saat sedang begini?’ maki Nyai Mirah di hatinya ketika dia mengetahui suara siapa itu.Mau tak mau, gara-gara suara itu, pertarungan pun berjeda. Kedua nyai jin menengadah ke langit di atas mereka dan kemudian muncul perlahan cahaya merah terang yang turun dari atas.Juna bisa melihat jelas itu kumpulan cahaya merah yang setelahnya memunculkan wujud kereta kencana dengan 8 kuda hitam legam, melayang gagah di angkasa.‘Hm, kau membuatku menunggu terlalu lama, Mirah!’ Suara itu muncul lagi, diikuti sosoknya yang keluar dari kereta kencana.Mata supernatural Juna melihat sosok gagah di angkasa. Wujudnya tinggi besar, berkulit merah kehitaman, dan berotot bagaikan binaragawan, memakai pakaian seperti raja Jawa kuno, bertelanjang dada meski memakai armor yang menyatu dengan mantel juba
Tanah Nusantara ini sungguh beragam adat dan budaya serta kepercayaan secara supernaturalnya.Meski sudah memasuki era millennium, era modern, tapi tetap saja sebagian masyarakatnya masih memegang ajaran nenek moyang, termasuk hal-hal berkaitan dengan mistis dan klenik.Tak pelak jika Juna beberapa kali harus bersinggungan dengan hal gaib, sosok astral, dan kejadian supernatural lainnya meski sudah berada di zaman modern yang segalanya serba canggih.Banyak orang di sekitar Juna, termasuk para musuh dan rival, masih menggunakan cara-cara mistis untuk menangani urusan mereka.Maka, tak perlu heran jika di rumahnya, Hartono saat ini sedang berbicara di telepon dengan seseorang.“Ki Darmo, benarkah sudah ada hasilnya?” tanya Hartono disertai senyum girang di wajah sumringah.“Tentu, Pak. Anak buah saya sudah mengonfirmasi ini benar-benar bukti solid, tidak terbantahkan!” Orang yang dipanggil Ki Darmo, menyahut Hartono.