Jeritan keluar dari mulut bocah dari motor satunya yang hendak menyabetkan celurit panjangnya ke Juna.Sayang sekali, usaha itu sungguh sia-sia jika lawannya adalah Juna. Mantan panglima itu hanya perlu menangkap celurit dengan mudah dan merebutnya untuk kemudian Juna sabetkan benda tajam itu ke arah roda motor mereka.Brak!Motor tadi segera tergelincir dan kedua penumpangnya terjungkal, berguling-guling di aspal sebelum mengerang kesakitan.“Cepat! Cepat pergi! Kebut motornya!” Bocah di motor pertama menepuk panik bahu kawannya yang memegang kemudi.Mereka sudah melihat seperti apa tindakan Juna ke rekan mereka. Untuk apa berlama-lama di sana, lebih baik kabur menyelamatkan diri!“Hei, kenapa kabur? Kalian sungguh meninggalkan teman kalian? Betapa tidak setia kawannya kalian!” seru Juna sambil mengejar motor pertama.Hanya butuh sekian menit yang singkat saja bagi Juna untuk mensejajarkan lagi motornya dengan kedua bocah yang ketakutan.Karena gugup dan takut, bocah yang membonceng
“Heh?” Juna berkelit dengan cepat dari serangan tangan selingkuhan istrinya.Meski dia sudah bersiap untuk apa pun yang terburuk dari pria itu, tapi dia tidak mengira akan secepat ini orang itu menyerangnya.“Kau ini, astaga!” Juna terkekeh.Meskipun selingkuhan Lenita ternyata sudah menyiapkan pisau lipat dari saku celananya dan ditusukkan ke Juna, sayang sekali pria itu salah memilih lawan.Plak!Juna dengan mudah menampar pisau lipat di tangan selingkuhan Lenita yang dihunuskan kepadanya.“Kau ingin berkelahi? Yakin? Denganku?” ledek Juna sambil terkekeh menyepelekan selingkuhan Lenita.Pria itu sudah kehilangan senjata kejutannya, tapi dia tidak ingin menyerah. Berbekal ilmu bela diri seadanya, dia menyarangkan kepalan tinju ke Juna.Plak! Plak!Hanya dengan dua tamparan sangat sederhana dari Juna, selingkuhan Lenita mengernyitkan kening karena sakit. Dia merasa seperti memukul bet
Ya, Juna sangat penasaran dengan fakta siapa bapak sebenarnya dari janin di perut Lenita pada kehamilan pertama wanita itu sebelum Juna datang ke era modern ini.“Kenapa? Kok diam?” Juna menatap Wildan.Sejak pertanyaan itu diucapkan, Wildan masih juga belum membuka mulut meski sudah beberapa menit berlalu.“Apakah kau bisa memberikan jaminan bahwa ucapanku ini tidak kau sampaikan ke papanya Lenita?” tanya Wildan.Kening Juna mengernyit seketika.‘Memangnya kenapa dia sampai berkata begitu?’ batin Juna sambil berpikir, ‘Apakah dia takut pada Hartono? Apakah papanya Lenita adalah kelemahan dia?’Dagu Juna terangkat sambil memandang arogan penuh dominasi pada Wildan yang sepertinya sudah tak berkutik lagi di hadapannya.“Kenapa malah membawa-bawa ayahnya Lenita? Kau takut padanya?” tanya Juna, ingin mengorek lebih banyak.Dia yakin, dengan kemampuannya, dia bisa mendapatkan banyak informasi penting dari Wildan. Siapa tahu itu bisa dijadikan senjata untuk melemahkan Lenita nantinya.“Itu
Anika menahan rasa geli ketika pahanya mulai diraba perlahan oleh Juna. Dia seakan sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. “Mas!” Anika tersentak ketika jemari Juna sudah tiba di pangkal pahanya. Namun, tidak boleh! Anika harus teguh pada prinsipnya! “Kenapa, Nik Sayang?” Juna berbisik. Tangannya masih mengelus paha Anika, namun wanita itu justru mendorongnya secara lembut sembari menjauh darinya. “Nik?” Juna menatap kecewa pada Anika. “Maaf, Mas, tidak bisa begini.” Anika menggelengkan kepalanya. Kemudian, kepala Anika tertunduk ketika dia duduk meringkuk bersandar di kepala ranjang sembari membenahi pakaiannya. Juna tak tega memaksanya. Sebenarnya bisa saja dia egois dengan hasratnya, tapi ini adalah Anika, wanita istimewa di hatinya. “Baiklah, baiklah.” Juna tersenyum. Tangannya terjulur untuk meraih pipi Anika dan mengelus di sana dengan lembut. “Aku temani tidur sambil berpelukan saja, yah! Aku janji tidak akan melakukan apa pun selain memeluk dan tidur.”
Juna terkejut. Wanita yang dia tolong adalah anak dari Dharma Winata, pemilik bank swasta terbesar di Nusantara!“Oh ya, jangan terlalu formal padaku. Tak usah pakai anda-saya. Biasa saja.” Rinjani berkata demikian.Ini juga mengejutkan Juna. Kini, wanita yang dia tolong sudah jauh lebih rileks keadaannya ketimbang tadi.“Baiklah. Hm. Kamu putrinya Pak Dharma Winata! Tapi kenapa bisa berada di situasi seperti tadi?” tanya Juna sedikit heran. “Di mana pengawalmu?”Di imajinasi Juna, anak orang penting semacam itu harusnya memiliki pengawal yang menjaganya dengan ketat. Apalagi wanita secantik dan semenarik Rinjani.“Ha ha ha, pengawal apanya? Mungkin aku sedang apes, katakan saja demikian.” Rinjani enteng menjawab.Jika Juna melihat, sepertinya Rinjani sudah tidak lagi syok, dia sudah pulih.“Oh, aku pikir anak-anak taipan ternama akan dikelilingi banyak pengawal setiap pergi keluar rumah.” Juna menuangkan begitu aja pemikirannya.Jika ini di era kuno tempatnya hidup zaman dulu, anak-a
“Mengantarku pulang?” ulang Juna dengan nada tanya. “Aku bisa pulang sendiri menggunakan ojek online, jangan repotkan dirimu untukku.”Juna jadi segan sendiri kalau dia malah diantarkan pulang oleh wanita, apalagi status Rinjani bukan wanita sederhana.“Kenapa? Takut istrimu marah? Apa dia cemburuan?” tanya Rinjani dengan lugas.Dalam hatinya, Juna tertawa. Wanita satu ini kenapa begitu lantang menyuarakan apa pun yang ingin diucapkan?“Bukan begitu.” Juna mencari jawaban diplomatis yang sekiranya tepat.“Apakah melukai harga diri lelakimu kalau diantar pulang perempuan?” todong Rinjani.Mau tak mau, Juna tertawa.“Ha ha ha! Kamu terlalu berpikir berlebihan, Rinjani.” Juna tak habis pikir dengan wanita di depannya.“Panggil Rin saja. Nanti aku panggil kamu Jun, yah!” Rinjani memutuskan sepihak.Juna mengangguk setuju saja.“Kamu itu ‘kan baru saja mendapatkan pengalaman tidak mengenakkan. Justru harusnya aku yang mengantar kamu pulang sampai selamat ke rumahmu, bukan sebaliknya.” Juna
Tak hanya Juna yang termangu mendengar ucapan Rinjani baru saja, Anika dan Shevia pun demikian. Mereka menatap bingung ke Rinjani dan pria bernama Rob sedang berdebat.“Dia? Dia pacarmu?” Mata pria dengan panggilan Rob itu mengangkat alisnya tinggi-tinggi sambil menuding Juna dengan telunjuknya, seolah tak percaya.Juna sudah hendak membuka mulut untuk meluruskan sesuatu yang pasti benar-benar merupakan salah paham, tapi Rinjani memberi kode isyarat menggunakan matanya.“Iya, dia pacarku, kenapa? Sudahlah, Robert, lebih baik kamu jangan ganggu aku di sini, oke!” Rinjani terlihat kesal.Robert tidak mengatakan apa-apa lagi selain menatap benci ke Juna.‘Aduh! Kenapa aku harus dilibatkan?’ keluh Juna di hatinya. ‘Aku yang cuma diam begini saja akhirnya menambah musuh, bukan karena kemauanku.’Sepertinya hidup tenang memang tak ada di catatan takdir Juna.Juna memandang Robert yang pergi dengan membawa aroma marah di sekujur tubuhnya. Mau bagaimana lagi, dia sudah terlanjur dikorbankan R
Juna mematung sambil memegang ponselnya, lalu menoleh ke Anika yang terdiam. “Jun?” Rinjani bertanya dari seberang sana karena tak mendapatkan respon dari Juna. “Oh, ehem!” Juna tersadar dan berdehem sebentar untuk mengusir kebingungannya. “Bagaimana, Jun? Apakah kamu bersedia?” Rinjani bertanya. Permintaan Rinjani harus Juna pertimbangkan dulu, apakah akan menyakiti perasaan Anika atau tidak. “Rin, bukankah akan repot nantinya kalau Robert tahu aku ini sudah punya istri? Papamu juga pasti akan marah kalau tahu mengenai itu.” Juna menemukan alasan untuk berkelit dari permintaan Rinjani. Hening di seberang, menandakan Rinjani sedang berpikir. “Hm, ya sudah kalau begitu, aku besok kabur saja dulu, keluar rumah.” Rinjani sungguh enteng memutuskan perkara demikian. Setelah itu, Rinjani menyudahi telepon. Alasan yang diberikan Juna sangat masuk akal. Juna menaruh kembali ponselnya ke meja nakas dan kembali mendekat ke Anika. “Nik, itu tadi ….” “Kasihan Rinjani.” Anika tiba-tiba be