BIB... BIB... BIB...
Telephone berbunyi, Thania yang tepat berada di sebelahnya langsung mengangkat, dan betapa terkejut mendengar suara lawan bicaranya. Suara yang belum dia lupakan. Suara yang hampir setiap hari mengisi hari nya.
"Hallo, sayangku. Apa kamu masih di sana? Ada yang lupa aku sampaikan barusan." suara yang tak asing itu terdengar.
"Hello, sayang? Apa kau di sana?" suara di seberang mulai tak sabar karena tak mendapat jawaban.
"Yeah" jawab Thania. Belum sempat dia memanggil nama kakaknya, sang penelpon melanjutkan.
"Aku sudah selesai dengan adikmu. Sekarang kita bisa berjalan bersama tanpa perlu sembunyi-sembunyi, sayang. Seperti keinginanmu."
Thania begitu terkejut. Telepon terlepas dari genggamannya. Nichole segera mengambil telepon dan menaruhnya kembali ke tempatnya.
"Ada apa Thania? Siapa yang menelpon? Apa sesuatu yang buruk terjadi?" cecar Nichole. Tetapi hanya dibalas gelengan kepala oleh Thania yang langsung masuk ke kamarnya.
Tak ada yang perlu ditangisi karena memang dia tidak pernah benar-benar suka pada Andrew. Hanya melihat cara dan perlakuannya, Thania tidak suka. Thania merasa dipermainkan. Bahkan kakaknya turut mempermainkan dia!
"GOD please, aku tidak pernah berbuat buruk pada mereka, tapi kenapa ini yang aku terima. Berikan aku keteguhan hati supaya tetap sabar, dan berikan mereka yang terbaik. Amien" .
...
Keluarga Smith adalah keluarga kalangan menengah biasa. Ayahnya seorang pekerja di sebuah bank dan nyonya Smith hanyalah seorang ibu rumah tangga. Nichole dan Nathania dididik secara berbeda. Sejak kecil, Nichole yang merupakan cucu kesayangan grany Smith selalu menerima apa yang dia inginkan. Sedang Thania sebaliknya.
...
Malam itu... setelah menyadari bahwa bukan Nichole yang menerima telepon darinya, Andrew bergegas mengambil kunci mobilnya dan memacu mobilnya di jalanan menuju rumah Thania. Dia menghubungi Nichole melalui ponselnya.
"Hello, my love. Ada sesuatu yang penting yang harus aku sampaikan. Keluarlah dengan aku sebentar saja." kata nya dari ponselnya
Tak berapa lama, sepasang sejoli itupun duduk di sebuah club.
Nichole dengan santainya meletakkan gelasnya, lalu meletakkan kepalanya ke bahu bidang Andrew sambil memainkan rambut panjang ikal hitam yang dibiarkannya terurai.
"Sayang, sepertinya aku tadi melakukan kesalahan. Aku menelpon ke telepon rumah mu, yang aku kira kau masih di dekat telepon dan menerimanya. Tapi ternyata... " kata Andrew.
"Ya, aku tahu." jawab Nichole sambil menuang wine kembali di gelas kosongnya.
"Tenang saja, aku akan mengurus sisanya." lanjutnya.
Mereka melanjutkan melewati sisa malam mereka berdua.
...
"Thania, ada kiriman paket tuh di mejamu" kata Donita.
"Thanks!" kata nya dengan memberikan senyum khasnya.
Paket box warna merah muda, dengan pita gold metalik. Hmm... tanpa nama pemgirim. Hanya tertulis JUST FOR NATHANIA.
Siapa sih pengirimnya? Apaan sih isinya? Jangan jangan... ?
Ah... bukan, ini masih jauh dari bulan April. Tapi ini juga bukan hari ulang tahun ku. Hmm... trus apaan ini ya?
"Udah, jangan diputar-putar terus tuh kotak. Kasihan loh, ntar isinya pusing." kata Donita terkekeh, melihat wajah rekan sedivisinya seperti kebingungan. "Buka ajalah, Thania. Daripada kamu putar-putar ga jelas."
Setelah cukup lama mengamati dan memutar mutar kotak itu, akhirnya dibukanya si kotak paket berpita gold metalik itu.
Ada dua kotak coklat berbentuk hati di dalam nya. Tapi dari siapa ya gerangan?
Thania melihat ke sekeliling. Semua nya bekerja dengan wajah serius. "Dari siapa sih?" gumamnya dalam hati.
-----------------------
Siang harinya, setelah jam makan siang.
"Thania, darimana kamu? " tanya Samuel.
"Eits - eits. Ada apa nih. Aku barusan cuma makan siang di kantin sama Donita. Memang ada apa sih kok cari aku?" tanya Thania.
"Ada paket lagi tuh di mejamu." jawab Samuel sekenanya.
Paket merah muda lainnya, dengan pita gold metalik juga. Heh - ada apa ini!
Sebaiknya semua yang aku terima, baik kotak coklat tadi dan yang ini, aku simpan saja. Siapa tau itu barang-barang dari Andrew. Ogah ah, nerima barang dari dia.
"Napa? Bengong aja. Paketannya tuh dibuka. Jangan dipelototin saja", kata Samuel.
"Ogah ah. Kira-kira siapa coba yang kirim. Jangan-jangan Andrew. Ih... " jawabnya.
"Eh bukan. Jelas itu bukan Andrew. Kemarin aku ada ketemu dia, katanya sih semua udah selesai. Dia ga akan ganggu kamu lagi. Gitu sih. Aku rasa juga ga mungkin dia mau berulah lagi di sini." kata Samuel.
Lantas siapa dia? Siapa yang menaruh paket paker berwarna merah muda dengan pita gold metalik itu di meja nya?
Semuanya misterius.
Lantas isi nya apa ya? Kalo memang ga mungkin Andrew, aku buka ajalah. Kalau toh Andrew nanti aku kembalikan saja semua. Setelah menimbang nimbang, akhirnya di bukalah paket merah muda itu.
Wajahnya berubah ketika melihat isi paket yang kedua. Tanaman kaktus mini. 'Siapa juga sih yang kirim beginian.'
Tapi akhirnya diletakkan pula tanaman itu di meja kerjanya.
Ada sepasang mata yang mengamati dari kejauhan. Tersenyum dan bergumam, semoga hari ini baik untukmu.
...
"Udah pulang, Thania, " kata Nichole, saat Thania melewati pintu ruang tamu.
"Yaa. Seperti biasa, hari yang sibuk dengan banyak angka yang membuat pusing kepalaku." jawabnya seperti biasa
"Eh, suka gak sih, sama kado yang aku kirim tadi. Enak gak coklatnya. Dan jangan lupa di siram ya kaktusnya." cerocos Nichole.
"Ow, jadi kamu yang kirim ya," kata Thania datar.
"Wah senengnya, anak mom pada rukun. Say thanks dong sama Nichole. Udah perhatian sama kamu!" kata Mrs. Smith.
"Oke. Thanks for everythings you do!", kata Thania.
"Your welcome, Thania." balasnya terkekeh.
"Semoga kalian bahagia deh" kata Thania dalam hati.
Tanpa Nichole sadari, karma sudah mulai berjalan. Menghampirinya. Tanpa dia sadari semua nya akan segera berbalik 180 derajat. Dan saat semua penyesalan itu datang, semuanya sudah terlambat.
...
"Alfred, apa kabar saudaraku?" kata Carl sambil mengguncang genggam tangan nya.
"Hahaha... baik. Seperti yang kau lihat. Lama kau tak kemari, dimana keluargamu? Tak kau ajak? Dan maafkan aku tidak menjemputmu di bandara." tanya Alfred pada teman dekatnya sekaligus anak dari pemilik perusahaan yang dipercayakan pada nya. Sebenarnya Alfredo Anderson adalah anak adopsi dari Richard Anderson yang notabene adalah ayah kandung dari Carl Anderson. Alfred yang merupakan yatim piatu sejak berusia 8tahun adalah teman akrab Carl.
"Sudahlah. cukup kau mengirimkan asistenmu, Wayne. Dia benar benar pegawai yang cakap. Dan - ayolah. Siane dan anak anak juga butuh waktu sendiri. Kemarin dia minta untuk menjenguk keluarganya di Bali. Biarlah seminggu mereka berkumpul. Setelah urusan aku di sini selesai, aku jemput mereka kembali ke Prancis." kata Carl.
"Bagaimana kabar Daddy? Apakah dia sehat?" tanya Alfredo.
"Tentu, dia menjaga menu makannya, dan berolahraga. Katanya menjaga kesehatan itu penting di usianya." jawab Carl sambil terkekeh menirukan gaya bicara Daddy nya.
"Well, bagaimana dengan dirimu sendiri? Udah mulai berfikiran untuk berkeluarga?" tanya Carl.
Tanpa sadar mata Alfredo melihat ke arah lain, yang membuat Carl ikut menoleh ingin tau apa yang Alfredo lihat.
"Ah, saudaraku. Tak usah kau jawab." Lanjutnya sambil terkekeh.
Alfredo melotot. Wait - apa maksudnya.
"Ya aku tau jawabannya. Dia baru saja lewat, kan. Lantas kapan akan kau ungkapkan perasaanmu?" tanya Carl.
Pertanyaan Carl ini seolah menampar wajahnya. Sampai kapan dirinya akan menjadi manusia bodoh yang hanya melihat dan memendam rasa. Padahal sesuatu yang dia suka, dia cinta ada di pelupuk mata. Setiap hari hadir. Sampai kapan dia hanya diam, tanpa memperjuangkan cintanya?
"Aih, malah ngelamun. Jangan kelamaan, nanti keburu di samber orang loh. Cinta ga datang dengan sendirinya. Semua harus diperjuangkan, saudaraku." kata Carl.
"Ok ok. Thanks perhatiannya, saudaraku. Nih, urus dulu tentang masalah kontrak ini nih... "
...
Nichole sedang terduduk lunglai di lantai kamarnya. Tangannya masih memegang benda pipih yang panjangnya sekitar 15cm itu. Matanya tertuju pada benda itu, menatap sayu.
"My love, kita harus ketemu. Nanti malam, jangan lupa di tempat biasa, ya. Ada sesuatu yang harus aku sampaikan.", kata Nichole dengan nada pelan nyaris tak terdengar di ponselnya.
"Ok Alfred, meeting kita kali ini sampai di sini saja. Capek juga ya ngurus bisnis ini. Untunglah ada kamu yang bisa diandalkan. Good job Alfred." kata Carl sambil berjabat tangan dan menepuk bahu Alfredo."Dan jangan lupa, urusan pribadimu tadi, oke. Cari waktu yang tepat, ungkapkan perasaanmu." kata Carl menggoda.Alfredo hanya membalas dengan senyum khas nya. "Wish me luck, ya Carl" katanya sambil tertawa berjalan beriringan mengantar Carl keluar menuju loby.Setelah kepulangan Carl. Alfred menggumam perlahan. "Cari waktu yang tepat, Alfred".Tapi tanpa sengaja gumaman itu terdengar oleh Thania yamg saat itu berpapasan dengan dia, bersama setumpuk berkas laporan keuangan. Yang tanpa sengaja bertabrakan saat melewati lorong depan kantor divisinya. Akibatnya map laporan itu tercecer berantakan."Maaf - maaf - maaf. Mr. Alfred" katanya langsung menunduk hendak memunguti berkas berkas itu.Tetapi mala
Entah kenapa Thania kembali merasa debaran yang asing yang tak bisa dia pahami. Ada apa denganmu, Thania!"Thania, maaf, sebenarnya lagu itu adalah gambaran aku saat ini. Sebenarnya sudah lama aku memendam rasa ini.""Aku - suka kamu. Aku ingin menjadikanmu wanita terpenting dalam hidupku.""Akankah kau menerima?"Mendadak jari jemari Thania membeku, terasa dingin. Jantungnya berasa berhenti berdetak. Badannya berasa sangat ringan, seperti akan melayang. Entah apa nama rasa ini. Belum pernah dia merasa hal semacam ini.Thania hanya diam mematung tak bergerak ketika Alfredo mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku jasnya. Kotak kecil yang diam-diam, terus dia bawa kemanapun. Sebagai saksi penantian akan waktu yang tepat ini.Alfredo berlutut di depan Thania yang masih duduk terpaku. Di raihnya jemari tangannya dengan lembut dan memasangkan sebentuk cincin bermata satu yang tampak manis dengan motif lengkung hibisc
"Maaf mom, aku tidak tahan dengan bau menyengat ini," kata Nichole sambil berlari ke arah toilet. Dia mengeluarkan seluruh isi perutnya."Apa kau tidak enak badan? Apa penyakit lambungmu kambuh?""Sepertinya begitu, mom."Mrs. Smith menyeduh teh camomile sebelum menyajikan di hadapan Nichole."Minumlah! Lalu telponlah Mrs. Thompson untuk ambil libur hari ini. Kamu tidak enak badan ya.""Ok mom. Aku akan telepon kios sebentar lagi, aku akan tidur di kamarku setelahnya""Mom, sedapnya, masak apa nih?" Thania tidak menghiraukan kehadiran Nichole."Mau soup, Thania? Duduklah.""Ok mom. Aku akan duduk manis. Jangan lupa roti gandum kesukaanku mom, dengan garlic yang banyak."Tiba-tiba Nichole lari kembali ke kamar mandi."Eh,eh. Kenapa tuh Nichole.""Ga enak badan katanya, entahlah. mau flu mungkin. mual sama bau-bauan dan ga enak makan""Ah, sudahlah. Udah besar juga. Pasti
"Jawab mom dengan jujur, Thania!"Thania terkejut dicecar begitu banyak pertanyaan oleh ibunya. Beberapa saat kemudian ekspresi wajahnya berubah tersenyum lalu tertawa terkekeh."Mom, seperti yang aku katakan. Apapun yang aku katakan, kau tidak akan percaya. Jadi semuanya akan percuma untuk dijelaskan.""Pertama, apa hubunganku dengan Andrew. Hubungan teman atau bahkan mungkin lebih dari sekadar teman. Karena dia membawaku ke pertemuan keluarganya.""Kedua, hubungan intim?" Thania tertawa terkekeh."Pertanyaan apa ini. Siapa yang membuatmu berpikiran aku akan melakukannya?""Dan pertanyaan terakhirmu. Apa aku masih mencintainya. Satu jawabanku, tidak. Aku tidak akan mentolerir perbuatannya." jawabnya kali ini dengan nada serius.Mrs. Smith terkejut dengan jawaban terakhir putrinya tersebut."Wait... aku masih belum mengerti. Mentolerir dalam hal apa. Jelaskan Thania!""Untuk apa aku menjelaskan mom. Seandainya aku
"Apapun itu, Thania. Usahakanlah untuk datang. Walaupun sebenarnya kau tak ingin datang. Entah itu karena ketidaksenanganmu atas hubungan mereka ataupun alasan yang lain. Bagaimanapun dia adalah kakak kandungmu. Saudara sedarah, Thania."Memang kata 'sedarah' inilah yang selalu membuat Thania menahan diri dan selalu mengalah."Ok mom. Akan kuusahakan."..."Thania, ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu? Atau kau tak menyukai rasa makanan ini?""Bukan Alfred. Hanya ada yang sedang aku pikirkan.""Apa kau mau menceritakannya, sayang? Aku akan menjadi pendengarmu.""Hanya tentang saudara perempuanku. Dia besok akan menikah dengan Andrew,""Aku hanya tak mungkin bisa menghadiri pernikahannya. Ini bukanlah hari libur. Selain itu, ini adalah akhir bulan, dimana laporan keuangan dari semua kantor cabang menumpuk di mejaku. Mom ingin supaya aku tetap hadir apapun itu alasannya.""Ok. Tidak masalah. Aku akan menemanimu. K
Gadis kecil itu berlari menghampiri Mr. Leigh,"Daddy!"Gadis kecil dengan rambut ikal kecoklatan itu berlari kemudian mencium kening Harrison yang sedang terbaring di kamarnya.Leticia terkejut, buah apel tergelincir dari tangannya dan menggelinding di lantai.Vannesa memungutnya, tersenyum dan memberikannya kembali padanya."Apa-apaan ini! Siapa gadis kecil itu! Berani sekali," Leticia mencengkram lengan gadis itu dan menariknya. Tetapi kemudian Sean bertindak. Dia merebut Jenny dan menyembunyikannya di balik badannya yang tegap."Sean! Siapa dia!?""Letty, dia adalah anakku. Anakku dari Vannesa. Maafkan aku, Letty."Kaki Leticia terasa lemas, terduduk lunglai mendengar pengakuan suaminya. Hancur sudah kepercayaan yang selama ini dia berikan. Hatinya terasa hancur berkeping-keping. Dengan sisa tenaga yang ada, dia berdiri dan pergi meninggalkan suaminya."Mr. Leigh, sebenarnya Jenn
Tiba-tiba Sean menyadari, sosok tubuh mungil yang berdiri di ambang pintu, air matanya berlinang, "Mommy...!""Sayang, mengapa kau belum tidur?" Vannesa menghampiri dan memeluk tubuh gadis itu."Aku takut, mommy. Mimpi buruk terus datang menghampiriku.""Mommy buatkan susu hangat ya, supaya tidurmu bisa lelap dan mimpi buruk tidak akan bisa menyentuhmu." katanya menenangkan putrinya.Vannesa membuka kemasan susu dan menghangatkannya sebentar sebelum menyodorkan pada putrinya di meja makan."Jenny, segera habiskan ya, setelah itu pergilah tidur.""Ya mom."Vannesa membelai rambut Jenny dengan lembut. Dan Jenny dengan patuh menghabiskan segelas susu hangatnya dengan cepat. Vannesa menghantar Jenny ke kamarnya, mengantarnya tidur dan menyelimutinya.Vannesa hendak mematikan lampu kamar ketika Jenny bertanya,"Mom, bolehkah aku bertanya, sebenarnya siapa ayahku?"Vannesa berhenti. Dia duduk kem
Thania menoleh dan menutup sebisa mungkin bagian badannya yang terlanjur terbuka. Thania tidak ingin terlihat telanjang."Alfred!"Alfred tertawa terkekeh. "Sekarang sudah adil, karena aku juga melihat sebagian tubuhmu. Ini, aku letakkan di sini handuk untukmu."Thania mengambil botol sabun berukuran kecil dan melemparkannya ke arah Alfred yang langsung mengelak sambil tertawa terkekeh keluar...."Hmm... Harum steak kenapa masih menempel padamu?" goda Alfred ketika Thania keluar dalam lilitan handuk."Mana pakaianku tadi Alfred?""Itu, di dalam mesin cuci.""Apa!? Lalu aku pulang pakai apa dong.""Ya sudah. Pakai handuk itu juga tidak apa-apa." godanya sambil tertawa terkekeh."Alfredo Anderson! Aku tidak sedang bercanda."Alfredo terdiam, lalu melangkah ke arah Thania. Semakin dekat. Sehingga Thania dapat mencium aroma tubuh Alfredo. Jantung Thania berdetak semakin kencang. Perlahan bergerak mundur dengan
"Baiklah Andrew, aku akan mendukung apapun yang kau lakukan, asalkan tidak melanggar hukum atau membahayakan dirimu. Ingat itu sekali lagi." kata Alysa membalikkan badannya dan menatap Andrew.Tatapan mata Andrew telah berubah kembali lembut seperti semula. Tatapan mata yang meluluh lantakkan hati Alysa."Baiklah, Andrew kau harus memeriksa pelanggan-pelanggan ayahmu, membuatnya menjadi sebuah daftar." kata Alysa."Benar. Kita harus segera membuat daftar kunjungan." kata Andrew yang bergegas kembali ke mejanya.Saat itulah tiba-tiba Sean mengetuk pintu ruangannya."Andrew, para pemegang saham berkumpul kembali di ruang meeting. Segeralah ke sana. Sebelum mereka bertambah panik dan marah." kata Sean, pandangan matanya melirik dengan tajam pada Alysa yang mejanya berada di sampingnya."Baiklah, keluarlah aku akan segera menyusul." jawabnya."Aku tahu, mereka pasti memprotes setelah tahu produk di pasaran sangatlah buruk.""Se
"Para pekerja telah siap dengan biji-biji kopi terbaik kita, Andrew. Mereka telah siap untuk mulai memproduksi bubuk kopi terbaik dari panen terbaik perkebunan kita." lapor Alysa menyambut kedatangan Andrew pagi itu."Bersiaplah, kita akan memastikan segalanya lancar sesuai keinginan sekarang." kata Andrew sambil berjalan menuju mejanya, mengambil sebuah berkas, dan berjalan kembali keluar. "Aku menunggumu di mobil.Alysa mengangguk, dan tak lama kemudian dia telah membawa tas dan sebuah map di tangannya berlari-lari kecil mengejar Andrew berusaha mengimbangi langkahnya.Terdengar suara hi heels menghantam lantai dengan cepat. Andrew tersenyum, berhenti untuk menunggu wanita itu."Lain kali tak perlu berlari seperti itu." kata Andrew."Maaf, aku hanya ingin kita berjalan bersama.""Baiklah."Tak lama kemudian mobil telah melaju di jalanan berbatu menuju pabrik. Di depan bangunan tinggi itu, para pekerja telah berbaris menyambut kedatang
Sepagi itu, Nichole sudah duduk di meja makan. Tangannya meremas-remas tisu yang telah lusuh. Matanya terlihat sembab. "Tumben sepagi ini kau sudah datang, kak." Thania membuka percakapan. "Ada yang ingin aku ceritakan pada mom." jawabnya singkat. Thania cuma melirik mata sembab kakaknya, tak berani berkata apapun. Disambarnya roti panggang yang sudah disiapkan ibunya. Dan berangkat. "Mom," " Semalam Andrew tak pulang. Aku mempunyai firasat buruk tentang ini." "Apalagi perusahaannya sedang kacau saat ini." kata Nichole dengan tangis yang kembali meledak. Mrs. Smith memeluk putri sulungnya, menepuk punggungnya lembut. "Dia adalah pria pilihanmu. Apapun itu bertahanlah, demi anak dalam perutmu." Tiba-tiba terdengar panggilan di ponselnya. "Nichole, kau ada di mana sayang?" "Aku bersama mom. Di rumahku." "Syukurlah. Aku kira terjadi sesuatu padamu." "Apa yang kau la
"Alysa, sepertinya aku mulai menyukaimu. Gadis cerdas, tegas sepertimu." kata Andrew menyeringai."Ikutlah denganku, kita harus merayakannya." kata Andrew, menarik pinggang gadis itu dalam pelukannya."Bukankah ini terlalu cepat, Tuan."Andrew tersenyum, " Tidak. Ini bahkan terlalu lambat untuk menyadari seorang dewi penyelamat ada di sampingku selama ini." katanya sambil mengecup bibir gadis itu."Tuan Andrew." kata gadis itu, terbawa hasratnya. Ketika tangan-tangan Andrew mulai nakal menjelajah bagian tubuhnya.Andrew menghentikannya ketika mendengar suara ketukan di pintu."Sean!" serunya ketika seorang pria masuk ke dalam ruangannya."Apa ada yang perlu dibicarakan?"Sean melihat kehadiran Alysa, dan membatalkan niatnya."Tidak. Aku hanya ingin menyapamu." katanya, "Apakah semuanya berjalan lancar?"Ya, semuanya lancar. Karena aku mempunyai seorang malaikat penyelamat." Andrew memandang Alysa dan t
"Baiklah! Aku akan melepas dua puluh persen sahamku," kata Andrew dengan tegas.Ruang meeting mendadak menjadi sunyi. Para pemegang saham yang memang sengaja dikumpulkan untuk membahas kemunduran perusahaan ini sempat kacau, sebelum Andrew mengatakan hal yang mengejutkan tersebut."Aku akan melepas dan menjual dua puluh persen nilai saham yang kuperoleh, jika dalam tiga bulan tidak ada peningkatan signifikan dalam masa kepemimpinanku! Bagaimana menurut para pemegang saham semuanya. Aku dan team yang kubentuk, akan berjuang sekuat tenaga. Percayakan pada kami!" lanjutnya memohon dengan membungkuk memberi hormat."Baiklah. Kami selaku teman-teman seperjuangan Harrison juga tak ingin usaha keluarga teman kami secara turun temurun ini bangkrut di tangan anaknya sendiri. Kami akan memberimu waktu. Tapi tidak lebih dari dua bulan. Bekerja keraslah, Andrew. Buktikan bahwa kau Leigh sejati!"Demikian pertemuan itu berakhir.Andrew bertindak cepat. Dia
Thania menoleh dan menutup sebisa mungkin bagian badannya yang terlanjur terbuka. Thania tidak ingin terlihat telanjang."Alfred!"Alfred tertawa terkekeh. "Sekarang sudah adil, karena aku juga melihat sebagian tubuhmu. Ini, aku letakkan di sini handuk untukmu."Thania mengambil botol sabun berukuran kecil dan melemparkannya ke arah Alfred yang langsung mengelak sambil tertawa terkekeh keluar...."Hmm... Harum steak kenapa masih menempel padamu?" goda Alfred ketika Thania keluar dalam lilitan handuk."Mana pakaianku tadi Alfred?""Itu, di dalam mesin cuci.""Apa!? Lalu aku pulang pakai apa dong.""Ya sudah. Pakai handuk itu juga tidak apa-apa." godanya sambil tertawa terkekeh."Alfredo Anderson! Aku tidak sedang bercanda."Alfredo terdiam, lalu melangkah ke arah Thania. Semakin dekat. Sehingga Thania dapat mencium aroma tubuh Alfredo. Jantung Thania berdetak semakin kencang. Perlahan bergerak mundur dengan
Tiba-tiba Sean menyadari, sosok tubuh mungil yang berdiri di ambang pintu, air matanya berlinang, "Mommy...!""Sayang, mengapa kau belum tidur?" Vannesa menghampiri dan memeluk tubuh gadis itu."Aku takut, mommy. Mimpi buruk terus datang menghampiriku.""Mommy buatkan susu hangat ya, supaya tidurmu bisa lelap dan mimpi buruk tidak akan bisa menyentuhmu." katanya menenangkan putrinya.Vannesa membuka kemasan susu dan menghangatkannya sebentar sebelum menyodorkan pada putrinya di meja makan."Jenny, segera habiskan ya, setelah itu pergilah tidur.""Ya mom."Vannesa membelai rambut Jenny dengan lembut. Dan Jenny dengan patuh menghabiskan segelas susu hangatnya dengan cepat. Vannesa menghantar Jenny ke kamarnya, mengantarnya tidur dan menyelimutinya.Vannesa hendak mematikan lampu kamar ketika Jenny bertanya,"Mom, bolehkah aku bertanya, sebenarnya siapa ayahku?"Vannesa berhenti. Dia duduk kem
Gadis kecil itu berlari menghampiri Mr. Leigh,"Daddy!"Gadis kecil dengan rambut ikal kecoklatan itu berlari kemudian mencium kening Harrison yang sedang terbaring di kamarnya.Leticia terkejut, buah apel tergelincir dari tangannya dan menggelinding di lantai.Vannesa memungutnya, tersenyum dan memberikannya kembali padanya."Apa-apaan ini! Siapa gadis kecil itu! Berani sekali," Leticia mencengkram lengan gadis itu dan menariknya. Tetapi kemudian Sean bertindak. Dia merebut Jenny dan menyembunyikannya di balik badannya yang tegap."Sean! Siapa dia!?""Letty, dia adalah anakku. Anakku dari Vannesa. Maafkan aku, Letty."Kaki Leticia terasa lemas, terduduk lunglai mendengar pengakuan suaminya. Hancur sudah kepercayaan yang selama ini dia berikan. Hatinya terasa hancur berkeping-keping. Dengan sisa tenaga yang ada, dia berdiri dan pergi meninggalkan suaminya."Mr. Leigh, sebenarnya Jenn
"Apapun itu, Thania. Usahakanlah untuk datang. Walaupun sebenarnya kau tak ingin datang. Entah itu karena ketidaksenanganmu atas hubungan mereka ataupun alasan yang lain. Bagaimanapun dia adalah kakak kandungmu. Saudara sedarah, Thania."Memang kata 'sedarah' inilah yang selalu membuat Thania menahan diri dan selalu mengalah."Ok mom. Akan kuusahakan."..."Thania, ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu? Atau kau tak menyukai rasa makanan ini?""Bukan Alfred. Hanya ada yang sedang aku pikirkan.""Apa kau mau menceritakannya, sayang? Aku akan menjadi pendengarmu.""Hanya tentang saudara perempuanku. Dia besok akan menikah dengan Andrew,""Aku hanya tak mungkin bisa menghadiri pernikahannya. Ini bukanlah hari libur. Selain itu, ini adalah akhir bulan, dimana laporan keuangan dari semua kantor cabang menumpuk di mejaku. Mom ingin supaya aku tetap hadir apapun itu alasannya.""Ok. Tidak masalah. Aku akan menemanimu. K