Jelas-jelas Sandy tidak suka Jefri menemui Sara, tetapi Sara malah meminta bantuan Jefri untuk memapah Sandy ke atas.Jika menilai dari sudut pandang Sandy, Sara merasa tindakannya ini memang keterlaluan. Dia segera mendorong Jefri menjauh."Aku selimuti dia dulu sebelum pergi, udara malam dingin banget."Jefri pun berjalan ke sof dan dengan santai menarik selimut sehingga sekujur tubuh Sandy tertutup selimut.Sara memelototi Jefri, lalu melangkah maju dan membetulkan posisi selimut di atas tubuh Sandy. Setelah itu, dia membuka dua buah jendela agar aliran udara di dalam apartemen Sandy tetap terjaga. Barulah setelah itu Sara pergi.Karena Sara ternyata tidak berniat tetap di sini, ekspresi Jefri pun baru menjadi lebih cerah.Mereka berdua berjalan depan belakang seperti orang asing. Bayangan mereka makin lama makin berjauhan.Jefri yang berjalan di depan akan melambat setiap kali berbelok. Dia menunggu Sara menyusulnya sebelum lanjut berjalan lagi.Setelah keluar dari kompleks apartem
Karena ekspresi Sara terlihat marah, Jefri pun memaksakan dirinya untuk tetap tenang. Meskipun begitu, dia menatap Sara dengan tajam.Sara terlalu malas untuk memedulikannya, jadi dia menginjak pedal gas dalam-dalam.Setelah mereka berdua terdiam selama beberapa saat, Jefri mengangkat kakinya dan menendang kursi Sara."Aku nggak akan pernah mengambil kembali barang-barang yang sudah kuberikan kepada wanita. Besok kamu ke rumahku saja dan ambil kembali barang-barang itu.""Kebetulan sekali."Sara memutar kemudi dan menjawab,"Aku juga nggak akan pernah mengambil kembali apa yang sudah kuberikan.""Sara, apa harus aku marah-marah dulu?"Sara berhenti bicara dan tidak menjawab, tetapi hatinya terasa berat."Jefri, aku mengembalikan barang-barang pemberianmu itu karena dulu saat bersamamu, aku nggak pernah punya niatan mau uangmu. Karena kita sudah putus, tentu saja aku harus mengembalikannya. Nggak usah mikir kejauhan. Lalu ...."Setelah jeda sejenak, Sara menarik napas dalam-dalam dan me
Setelah Sara pergi, Reo memberanikan diri memaksa Jihan minum semangkuk sup sebelum makan malam selesai.Karena Jefri dan Sandy sedang berkompetisi, Wina bahkan tidak memandang Lilia dengan saksama. Jadi, dia baru menyadari betapa pucatnya wajah Lilia."Lilia, kamu kenapa? Kamu sakit? Mukamu kok nggak enak dilihat banget?"Lilia yang sedang memegang tangan Gisel sambil mengantar mereka keluar pun berhenti sejenak dan menatap Wina, yang sedang menatapnya sambil mengernyit."Nggak apa-apa, kayaknya aku flu.""Bukan, itu karena ada paman aneh yang waktu itu membawa Bibi Lilia pergi ...."Wina langsung tahu siapa yang Gisel maksud, jadi dia segera meraih Lilia dan memeriksa tubuh sahabatnya itu dari atas ke bawah."Apa Yuno datang menemuimu? Apa dia mengganggumu atau menyakitimu?"Lilia tidak segera menjawab Wina, dia malah memelototi Gisel dan berpura-pura marah."Bukannya kamu sudah sepakat untuk nggak memberi tahu bibimu?"Gisel memeluk boneka buluknya sambil cemberut."Aku nggak suka k
Wina mengikuti pandangan Lilia ke arah perutnya."Obatnya sih sudah habis, tapi ...."Wina sedikit kecewa dan menghela napas."Aku mungkin nggak bisa hamil."Dia meminum begitu banyak obat, tetapi tetap tidak berefek. Wina takut dia tidak akan bisa punya anak."Wina ... mungkin kamu coba saja bayi tabung?"Wina berbalik dan menatap Jihan yang duduk di dalam mobil."Dia nggak setuju."Jihan tahu proses bayi tabung itu menyakitkan, melahirkan juga menyakitkan. Jihan takut Wina jadi menderita, jadi Jihan memutuskan agar mereka tidak usah punya anak.Setelah Lilia memahami pemikiran Jihan, dia pun tidak menyarankan bayi tabung lagi. "Kalau begitu, akan kucoba sesuaikan lagi resepnya. Nanti kamu coba lagi saja kalau sudah minum."Wina ingin menolak, tetapi Lilia mendorongnya ke dalam mobil tanpa ragu. "Aku akan membuatkan obatnya dan mengirimkannya kepadamu besok."Setelah Lilia selesai berbicara, dia menutup pintu mobil, mundur selangkah dan melambai ke Wina."Kirimi aku pesan kalau sudah
"Nggak usah, aku sudah memutuskan ...."Lilia menyeka air matanya dan dengan lembut mendorong tangan Reo menjauh."Maaf ...."Setelah balas dendam pada Yuno, Lilia memang berencana untuk bersama Reo, tetapi ternyata kehidupan yang damai dan dicintai bukanlah miliknya."Lilia, seberapa keras pun kamu menolak, aku akan tetap menunggumu."Reo juga bertekad akan membalaskan dendam Lilia setelah Yuno menodainya!"Reo, jangan bodoh."Bagi Lilia, mendorong Reo menjauh berarti melindungi pria itu. Karena Yuno si gila itu bisa melakukan apa saja."Kamu tahu aku bodoh, jadi jangan lakukan ini padaku."Setelah berkata seperti itu, Reo pun berbalik dan berjalan meninggalkan vila. Sikap keras kepalanya membuat Lilia duduk di tangga dengan tidak berdaya.Di mobil menuju Bundaran Blue Bay."Paman ...."Gisel yang sedang memegang boneka itu memanggil Jihan yang sedang menutupi Wina dengan selimut tipis.Jihan balas menatap Gisel dengan santai. "Pelankan suaramu, jangan sampai bibimu kebangun."Gisel p
Tangisan Gisel membangunkan Wina. Saat dia membuka matanya, dia melihat Daris sedang memasukkan kapas ke dalam sebuah boneka, sementara Gisel sedang memegang kepala boneka itu sambil menangis."Kenapa ini?"Wina pun mengambil tisu dan menyeka air mata Gisel."Paman ... tukang bohong ...."Gisel menangis dengan tersedu-sedu. Karena bibinya sudah bangun, dia pun mengabaikan bonekanya. Dia memeluk lengan Wina sambil menangis menuduh Daris."Dia membongkar boneka peninggalan ibuku, tapi nggak bisa menjahitnya lagi! Huhuhu ...."Daris pun terdiam.Ya ampun, ternyata diam-diam saja bisa jadi masalah.Dia melirik ke arah Pak Jihan yang duduk di sebelahnya dan kebetulan Jihan juga sedang menatapnya seolah-olah sedang ikut menyalahkan Daris.Daris menghela napas dengan berat. Sudahlah, siapa suruh dia bekerja di keluarga yang terkenal. Ya, ya, ya, memang dia yang salah!"Nyonya, ada cip memori di dalam boneka itu ...."Daris menunjuk cip memori di tangan Pak Jihan dan mengedipkan mata ke arah W
Setelah mobil berhenti di Bundaran Blue Bay, Wina menggendong Gisel dan membaringkannya di ruang tamu di lantai pertama. Gadis kecil itu tertidur dengan begitu pulas sampai tidak bisa dibangunkan, jadi Wina membiarkan Gisel tidur.Dia menutupi Gisel dengan selimut, lalu bangkit berdiri dan berjalan ke ruang kerja. Jihan tampak tampan karena sedang fokus memproses cip memori.Wina bersandar di pintu dan menatap Jihan selama beberapa saat, lalu meminta pelayan untuk memanaskan susu. Setelah dipanaskan, Wina mengambil susu itu dan meletakkannya dengan lembut di atas meja."Bagaimana? Berapa lama untuk membuka cip memorinya?"Jihan tampak fokus mengurus cip memori itu."Semalaman kayaknya."Semalaman?Bukankah Jihan selalu pandai melakukan segala sesuatunya?Kenapa membuka cip memori saja memakan waktu semalaman?"Sini, duduk di sebelahku."Di saat Wina masih terkejut, Jihan pun melirik ke sofa di sebelahnya dan mengisyaratkan Wina untuk duduk.Suaminya sudah membantu Wina membongkar kode
Setelah Jefri duduk, dia melihat kode itu dan mulai mengetik dengan cepat di keyboard.Cara dia beroperasi bahkan lebih fokus daripada Jihan.Memang seorang pria itu baru serius saat mengerjakan bidang keahliannya.Wina merasa agak lelah setelah bergadang semalaman, jadi Jihan menyuruhnya untuk tidur dulu. Nanti Jihan akan membangunkannya jika kode cip memori itu sudah terpecahkan.Wina meminta pelayan untuk menyiapkan sarapan bagi Jefri dan Jihan, lalu pergi ke kamar Gisel. Dia memejamkan matanya dan tertidur sambil memeluk Gisel.Meskipun Jefri adalah seorang ahli komputer, tetap saja dia membutuhkan waktu yang lama untuk membuka isi cip memori itu. Jefri menghabiskan sekitar dua jam sebelum akhirnya berhasil."Wah, kakaknya Kak Wina bukan orang sembarangan. Cip ini kayak diberikan kode sembilan lapis. Begitu satu lapis terpecahkan, ada lapis berikutnya. Kira-kira apa rahasia yang tersembunyi di dalamnya?"Jihan berdiri di belakang Jefri sambil melipat kedua tangannya di depan dada d