Hati Alvin terasa sakit saat mendengar ucapan Vera.Rasa sakit yang menyayat hati gagal membuatnya bergegas mendekat dan memeluknya dari belakang."Mereka yang pantas mati nggak pantas hidup di dunia ini."Vera tertegun di tempatnya sambil memegang embrio di tangannya.Agak tidak percaya dengan apa yang dia dengar, dia perlahan berbalik untuk menatapnya.Alvin tidak bisa mengingat ekspresi seperti apa yang dirinya tunjukkan saat itu.Dia mungkin bersikap dingin dan tidak berperasaan, berdiri di dekat Vera dan menatapnya dengan dingin.Bagaimanapun, setelah Vera melihat ekspresinya, keterkejutan di matanya berangsur-angsur berubah menjadi kekecewaan.Pada akhirnya, dia tidak mengatakan apa-apa, hanya menundukkan kepalanya dan menatap embrio di tangannya dengan bingung.Saat Alvin berjalan menjauh, dia samar-samar bisa mendengar suara Vera dari belakang ...."Ternyata aku pantas mati."Alvin terdiam, berbalik dan melirik Vera yang berdiri di samping tempat sampah dengan wajah pucat.Dia
Gisel melihat Paman Aneh itu sedang terikat pada kursi, dengan keadaan kedua kaki tertembak dan berlumuran darah. Wujud pria itu saat ini benar-benar menakutkan.Gisel buru-buru melompat dari pelukan pengawal dan berlari ke arah Robert sembari menarik-narik bajunya."Ayah, kumohon panggilkan dokter. Biarkan dokter obati kakinya, kumohon Ayah."Gisel menatap wajah Paman Aneh yang sudah memucat dan tubuhnya gemetar. Entah apakah karena ayahnya itu marah pada Alvin atau wajahnya memucat akibat rasa sakit pada lukanya yang tak tertahankan.Namun, yang pasti, Gisel merasa sakit seolah hatinya tersayat melihat Paman Aneh itu menderita.Paman Aneh yang diingat Gisel selalu bersikap dingin, santai dan tidak pernah terlihat tidak berdaya seperti saat ini.Gisel berharap ayahnya bisa melepaskan Paman Aneh dan membiarkan dokter untuk segera merawat Alvin. Kalau terus dibiarkan seperti ini, Paman Aneh itu bisa-bisa mati karena kehabisan darah.Robert menundukkan kepala menatap lembut anak gadisnya
Kalau sampai ayahnya yang turun tangan menembak, Paman Aneh pasti akan berakhir sama seperti pengawal itu. Sekujur tubuhnya pasti akan berlumuran penuh akan darah, kedua matanya tidak akan kembali terbuka, dan selamanya kehilangan kesadarannya.Kalau dia sendiri yang menembak, ada kemungkinan peluru tidak akan keluar dari pistol dan Paman Aneh masih akan berkesempatan untuk hidup.Memikirkan itu, Gisel mengangkat senjata di tangannya dengan mantap dan mulai menarik pelatuk pada pistol dengan tegas ...."Jangan!"George yang berlari dari ruang bawah tanah seketika terkejut hingga berteriak keras."Gisel, kamu nggak boleh bunuh ayah kandungmu!"Namun, sayangnya pelatuk pistol pada tangan Gisel sudah ditembakkan ....Untungnya, tak ada satu pun peluru yang keluar dari pistol tersebut!Gisel yang masih memegang pistol itu menghela napasnya merasa lega.George yang baru saja naik dari ruang bawah tanah juga ikut menghela napasnya lega.Sedangkan pria yang terduduk pada kursi itu, wajahnya t
Pergerakan itu membuat sekujur tubuh Gisel bergetar, perlahan matanya mulai berkaca-kaca dan bergerak menatap pria yang menodongkan pistol ke kepalanya."Ayah, kamu mau membunuhku?""Nggak, Ayah cuman bermain denganmu."Robert meraih tangan Gisel."Gisel, kemarilah. Ayo lanjutkan permainan menembak dengan Ayah."Gisel menggelengkan kepalanya sembari meraih leher Alvin dengan tangan mungilnya.Gisel mengeratkan pelukannya pada tubuh Alvin, seolah menolak terang-terangan tak ingin melanjutkan kegiatan tembak-menembak itu.Melihat itu, tatapan ramah pada mata Robert perlahan memudar."Gisel, kalau kamu jadi nggak nurut sama Ayah. Kalau anak nakal yang nggak nurut akan dihukum loh."Setiap kali omongan itu diucapkan ayahnya, Gisel akan selalu mengingat adegan di mana dia dikurung ayahnya dalam sebuah kamar gelap. Mengingat adegan itu, wajah Gisel berubah pucat.Melihat sosok mungil di pangkuannya mulai bergetar sekujur badan, Alvin tiba-tiba merasakan sakit pada hatinya.Rasa sakit itu ber
Hubungan antara ayah dan putri selalu terdapat ikatan batin, di mana hanya dengan saling menatap, kedua sudah bisa saling tahu apa yang dipikirkan.Alvin mengangkat tangannya menyentuh pipi Gisel dengan lembut sembari bersuara dengan serius padanya."Gisel, semua omongan ayahmu itu palsu, dia sedang bermain denganmu."Alvin sudah bisa menduga bahwa kemungkinan hari ini dia tidak akan bisa keluar dari vila itu.Kalau memang dia ditakdirkan untuk mati hari ini, tidak masalah baginya jika Gisel tidak akan tahu bahwa sebenarnya dia adalah ayah kandung Gisel.Lagi pula, dia memang tidak memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang ayah. Tentu saja, dirinya saat ini tidak pantas dipanggil "ayah" oleh putrinya itu.Alvin menggerakkan tangannya menyentuh dari alis hingga berakhir pada bahu Gisel, merasa enggan, tetapi dia harus melepaskan Gisel.Merasa Paman Aneh itu akan melepaskannya, Gisel merasa panik dan langsung mengeratkan pelukannya pada Alvin sembari menangis dengan keras."Paman Aneh,
Setelah memikirkannya, Alvin perlahan mengangkat senjata di tangannya, sembari menatap Gisel yang tampak sabar menunggu membelakangi tirai.Wajah mungil itu sangat mirip dengannya, tetapi matanya mirip dengan Vera, begitu jernih dan polos tak bernoda.Mata jernihnya itu tidak boleh sedikit pun tercemar oleh pemandangan berdarah ini.Alvin menatap Gisel dan tersenyum ringan padanya."Gisel, berjanjilah pada Paman ....""Oke."Tanpa banyak bertanya, Gisel langsung menyetujui dan menganggukkan kepala.Melihat Gisel begitu patuh padanya, Alvin merasa begitu berat hati, tetapi dia tetap harus menahannya dan melanjutkan kalimatnya."Berbaliklah."Gisel menurut dan berbalik badan.Melihat sisi belakang Gisel yang mungil, mata Alvin memerah dan berair."Gisel, kalau kamu mendengar suara tembakan, jangan putar balik kecuali aku memanggil namamu. Mengerti?""Mengerti!"Gisel menyetujuinya, suara imutnya itu menggema di seluruh arena.Alvin merasakan kehangatan dalam hatinya, tetapi air mata itu
Melihat banyaknya darah yang mencuat, Gisel langsung paham.Barusan Paman Aneh tidak menembak ke arahnya melainkan memilih untuk menembak dirinya sendiri.Demi melindunginya, Paman Aneh itu menjadikan dirinya sendiri sebagai sasaran.Dia harus segera menemui Paman Aneh, dia harus melihatnya ....Namun, perlawanan itu tetap tidak bisa melepaskan kungkuhan pengawal yang amat kuat pada tubuhnya.Gisel merasa tak berdaya dan menangis tersedu-sedu ...."Paman Aneh, bangunlah, kumohon peluklah aku."Alvin yang terduduk kembali ke kursi terdiam dengan ekspresi kaku di wajahnya.Dia beralih menatap Gisel yang berjarak jauh darinya, sembari membuka bibirnya bergetarnya, mencoba menenangkan putrinya."Gisel ... jangan nangis ...."Begitu kalimat itu diucapkan, darah kembali mengalir keluar.Darah yang mencuat keluar itu semakin mengalir deras tak terkendali, membuat Gisel kaget dan memucat."Ayah, cepat selamatkan Paman Aneh, cepat selamatkan dia ...."Pria dipanggil ayah itu hanya mengabaikanny
Di sebuah ruang kerja, di vila milik Sara.Wina tampak sedang fokus menggenggam penggaris sembari menggambar sketsa. Sekalipun sudah sangat fokus, goresan pada tinta pena masih saja terlihat miring.Wina merasakan hatinya tidak nyaman, seolah merasa ada yang hilang, membuatnya sedih tanpa sebab yang jelas.Merasakan perasaan gelisah yang tak berujung, Wina akhirnya meletakkan pensilnya dan merebahkan tubuhnya di atas kursi sembari mengusap-usap keningnya.Tiba-tiba ponsel yang terletak di atas meja itu berdering.Melihat panggilan itu berasal dari Jihan, Wina segera mengangkatnya."Gimana Jihan? Sudah bertemu dengan Alvin?"Setelah terdiam sekian detik, suara dingin pria itu pun mulai terdengar."Wina, kamu harus kemari dan bertemu dengan Alvin untuk terakhir kalinya."Wina seketika merasa sesak, jantungnya seakan tertekan hingga terasa sakit.Perasaan sakit itu seolah sedang menguasai dirinya, membuat Wina kehilangan kendali atas tubuhnya.Wina mengangkat ponselnya dan buru-buru henda